Langsung ke konten utama

Biografi Imam Abu Hanifah (80-150 H/696-767 M)



Oleh : Much Aulia Esa Setyawan
111 12 225
Resum dari buku karya Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, hlm. 125-128, dan karya Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm. 12-70.

A.  Biografi Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H di sebuah desa di bawah pemerintahan Abdullah bin Marwan di kota Kufah Irak. Nama asli beliau adalah Nu’man bin Tsabit. Tetapi lebih dikenal dengan Abu Hanifah yang berasal dari kata Abu al-Millah al-Hanifah diambil dari potongan ayat Al-Qur’an:
Artinya : . . Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus (Q.S Ali-Imran : 95).

Kakek dan ayahnya pernah didoakan oleh Imam Ali agar mendapatkan keturunan yang diberkahi Allah. Sewaktu kecil beliau menghafal Al-Qur’an, kemudian berguru kepada Imam Ashim salah seorang Imam Qiro’ah Sab’ah. Keluarganya adalah keluarga pedagang khususnya Ayah, dan Ibunya kurang begitu terkenal dari para ahli sejarah, namun Abu Hanifah sangat menghormati dan taat kepadanya. Dengan latar belakang keluarga pedagang, maka tidak heran ia juga menjadi pedagang, sampai suatu waktu beliau bertemu Al-Sya’bi salah seorang ulama besar di Kufah dan terjadilah dialog sebagai berikut :
Al-Sya’bi         : “Kau mau ke mana?”
Abu Hanifah     : “Saya mau ke pasar”
Al-Sya’bi         : “Jangan hanya pergi ke pasar saja pergilah ke ulama”
Abu Hanifah     : “Memang saya jarang-jarang pergi ke ulama”
Al-Sya’bi         : “Jangan begitu. Kau harus memperdalam ilmu dan menghadiri pengajian-
pengajian yang diberikan para ulama, karena saya melihat kau mempunyai potensi yang besar di bidang ilmu”
Abu Hanifah     : “Nasihat Al-Sya’bi ini menyentuh hatiku, maka saya meninggalkan
kesibukan di pasar dan mulai menuntut ilmu”
Dalam cerita lain Abu Hanifah mewakilkan aktivitas perdagangannya kepada orang lain.
B.  Sejarah dan Pandangan Pemikiran Madzhab Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah adalah pendahulu para imam madzhab, karena ia lahir dan meninggal lebih dahulu dari imam-imam yang lain. Abu Hanifah seorang yang berjiwa besar, cerdas, ikhlas, tegas dalm bersikap dan bisa dikatakan berhasil dalam hidupnya. Pandangan beliau dalam bidang ilmu pengetahuan adalah seorang yang bijak dan tepat dalam memberikan keputusan bagi suatu masalah atau peristiwa yang dihadapi. Ia berbudi luhur dan mendapat tempat yang tinggi baik dalam masyarakat maupun hubungan dengan pemerintah, sehingga beliau menyandang jabatan tertinggi yaitu, Imam Besar (Al Imam Al-‘Adham) atau ketua agung. Hingga seorang utusan yang bernama Abdullah bin Al-Mubaraq (pejabat ketika itu) berkata : “Imam Abu Hanifah adalah akal ilmu pengetahuan”; dan perutusan lain pun berkata ia sebagai pakar dalam ilmu fiqih.
Ketika hidup ia dapat mengikuti bermacam-macam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan baik politik/agama, karena zaman ini terkenal sebagai zaman politik, agama dan ideologi-ideologi atau isme-isme. Bermacam-macam agama dan ideologi telah timbul dari penerjemah buku-buku hingga pertalian Islam dengan falsafah Yunani lebih luas dan begitu juga dengan ideologi persi dan hindu. Pada masa itu suasana masyarakat kacau balau karena saling menindas, perbudakan menjadi kebiasaan antar ras dan suku. Dan akhirnya ada percobaan untuk menyatukan dan timbul dua cara dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis.
Pertama : Berpegang kepada ayat atau hadis yang ada tanpa penambahan apapun.
Kedua : Menggunakan akal sebagai tambahan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis yang ada kekeliruan.
Selain fiqih beliau sempat belajar ilmu lain seperti tauhid. Banyak guru yang mengajar beliau di antaranya Hamad bin Abu Sulaiman Al-Asya’ari dimana ia banyak sekali memberi pelajaran kepada Abu Hanifah. Murid-muridnya Abu Hanifah juga banyak bahkan sampai ada yang sampai membuat kitab karangan seperti Abu Yusuf Ya’akub Al-Anshori karyanya Al-Kharaj, Al-Athar, dan lainnya. Kemudian A-Hazail, Al-Hasan bin Ziad Al-Lu’lu dengan karangannya Al-Qadhi, Al-Khaisal, An-Nafaqat, dan lain sebagainya. Walaupun Abu Hanifah tidak banyak mengarang sebuah kitab untuk madzhabnya, namun madzhabnya terkenal karena murid-muridnya yang banyak menulis kitab. Madzhab Abu Hanifah sebagai gambaran yang jelas dan nyata tentang persamaan hukum-hukum fiqih dalam Islam dengan pandangan-pandangan masyarakat di semua lapangan kehidupan.

Abu Hanifah mendasarkan madzhabnya dengan dasar pada Al-Qur’an, Hadis, Al-Ijma’, Al-Qiyas, dan Al-Istihsan. Beliau berkata, “Aku memberikan hukum berdasarkan Al-Qur’an apabila tak ada, maka saya gunakan Hadis dan jika tidak ada di keduanya aku dasarkan pada pendapat para sahabat. Aku berpegang kepada pendapat siapa saja dari para sahabat dan aku tinggalkan apa yang tidak kusukai dan tetap berpegang pada satu pendapat saja”. Dapat disimpulkan di bagian kata-kata terakhir di atas bahwa ia menggunakan ijtihad dan pikiran serta menggunakannya untuk membandingkan antar pendapat dan memilih salah satunya.
Berikut beberapa sifat dari dasar atau kaidah Abu Hanifah untuk mengatasi permasalahan, antara lain :
1.    Kemudahan dalam beribadah dan pekerjaan sehari-hari.
2.    Menjaga hak-hak fakir miskin.
3.    Mengakui peradaban hidup manusia.
4.    Memelihara kehormatan dan perikemanusiaan.
5.    Memberikan kuasa penuh kepada kerajaan atau para pemimpin negara.
C.  Kedudukan Mazhab Abu Hanifah
 Ada beberapa pendapat dari orang Islam tentang kedudukan mazhab ini. Sebagian menganggap madzhab Abu Hanifah adalah satu madzhab yang baru yang lain dari madzhab-madzhab yang lain. Ada juga yang merendahkan madzhab dengan ucapan bahwa Abu Hanifah belum sampai pada taraf atau pangkat berijtihad tentang hukum bahkan dianggap hanya sebagai pengikut yang lain saja.
Pendapat para orientalis seperti Juimble dari Inggris serta Edward Sakhau dan Gold Tasihar mengakui pendapat Abu Hanifah dan berkata, bahwa Abu Hanifah ialah pemimpin para ahli pikir dan beliau telah mengkaji kaidah ilmu fiqih dengan sempurna dan di zamannya lahir satu pengenalan cara atau sistem ilmu fiqih yang berdasarkan pada ilmu qiyas. Seperti yang kita ketahui dari awal bahwa suasana kehidupan di Irak yang penuh dengan bermacam-macam madzhab, hidup kemewahan, maka tidak heran bila lahir gagasan yang menyatukan hidup modern dan nas-nas agama.
Kemudian tentang nasihat-nasihat Abu Hanifah, ada banyak sekali, contohnya tentang mencari ilmu pengetahuan, yaitu :
1.    Menuntut ilmu di samping mencari harta, melumpuhkan dari kegiatan dalam pelajaran karena akan senantiasa sibuk dengan kekayaan dunia.
2.    Jangan menikah sebelum berilmu karena ini bisa merugikan dirimu dan sudah tentu akan mendapatkan anak-anak yang akan diberi nafkah.
3.    Tuntutlah ilmu sewaktu mudamu dengan pikiran tenang dan lapang dada.
4.    Bertaqwalah kepada Allah dan menjaga amanah dan berilah nasihat kepada siapapun.
5.    Hormatilah sesama manusia serta jangan menyombongkan diri karena berilmu tinggi, dll.
Yang menonjol dari fiqih Imam Abu Hanifah ini antara lain adalah :
1.    Sangat Rasional, mementingkan maslahat dan manfaat.
2.    Lebih mudah dipahami daripada madzhab yang lain.
3.    Lebih liberal sikapnya terhadap dzimis (warga Negara yang non muslim).
Hal ini bisa dipahami karena cara istinbat Abu Hanifah selalu memikirkan dan memerhatikan apa yang ada di belakang nash yang tersurat yaitu illat-illat dan maksud-maksud hukum. Sedang bila masalah yang tidak ada nash-nya beliau menggunakan qiyas, istihsan, dan urf. Meskipun beliau ulama besar, ia tidak merasa memonopoli kebenaran, hal itu terbukti dari pernyataannya :
“Saya mengambil pendapat ini, karena pendapat ini benar, tapi mengandung kemungkinan salah. Dan saya tidak mengambil pendapat itu, karena pendapat itu salah, tapi mengandung kemungkinan benar”.
Seorang penyair pernah berkata : “Alangkah baiknya jika agama dan dunia disatukan”
Artinya : “Jika pekerjaan di dunia disamakan dengan ibadah untuk akhirat. Sebenarnya Abu Hanifah bukan menyamakan agama dan dunia saja tetapi beliau samakan juga antara tiga perkara. Justru itu seorang itu lebih mulia dan besar, menyamakan (kombinasi) antara mencari kekayaan dan kesenangan, menyamakan antara menuntut ilmu dan fiqih dan menyamakan antara ibadah dan taqwa kepada Allah”.
D.  Abu Hanifah Meninggal Dunia
Beliau meninggal pada bulan Rajab tahun 150 H. Imam An-Nawawi berpendapat bahwa beliau meninggal dunia ketika dalam tahanan. Sungguh banyak orang awam yang mengiringi jenazahnya, diperkirakan ribuan bahkan lebih kurang 5000 orang yang menyalatkan jenazahnya. Ada juga yang berpendapat 50.000 orang dalam mengiringi jenazahnya termasuk Abu Ja’far Al-Mansur sebagai penguasa negeri masa itu yang telah menahan Abu Hanifah semasa hidupnya.
Jenazah Abu Hanifah dikebumikan di makam pekuburan ‘Al-Khaizaran’ di timur kota Baghdad. Ibnu Jarir merasa sedih tatkala mendengar kematian Abu Hanifah dan berkata : “Ilmu sudah hilang”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.