Langsung ke konten utama

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)




OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092)

A.      HAKIKAT HUKUM SYAR’I
Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

B.       PEMBAGIAN HUKUM SYAR’I
Dengan memperhatikan kembali ta’rif hakikat hukum menurut Ushuliyun sebagaimana dikemukakan diatas, nyatalah bahwa elemen-elemen yang terdapat dalam ta’rif tersebut membedakan hukum kepada dua macam, yakni:
1.      Hukum Taklifi
2.      Hukum wadh’i
Penjelasan:
1.    HUKUM TAKLIFI   ((الحكم التكليفي
a.    Ta’rif
Khitab syar’i yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh para mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara dikerjakan dan ditinggalkannya oleh para Ushuliyun, disebut “hukum taklifi” (yang berhubungan dengan pemberian beban).
Misalnya:
v  Khitab yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan ialah:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
Artinya: ambillah sedekah dari sebagian harta mereka  ( at-Taubah :103)
v  Khitab yang mengandung tuntutan untuk ditinggalkan ialah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّه
Artinya: diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih dengan nama selain Allah........ (al-Maidah:3)


v  Khitab yang mengandung pilihan antara dikerjakan dengan ditinggalkan, ialah:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ
Artinya: apabila telah selesai sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi....... (al-Jumu’ah:10)
Khitab-khitab tersebut dinamai hukum taklifi karena mengandung pembebanan (taklif) kepada para mukallaf untuk dikerjakan, ditinggalkan atau dipilih antara dikerjakan dengan ditinggalkan.
b.    Pembagian Hukum Taklifi
Hukum taklifi itu ada 5 macam yaitu:
1)      Ijab
Yaitu khitab syar’i yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Efek dari khitab ini disebut wujub dan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan disebut wajib atau fardhu. Umpamanya melakukan sholat.
2)      Nadb
Ialah khitab syar’i yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan efek dari khitab ini disebut juga nadb dan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan secara suka rela itu disebut mandub atau sunnat. Umpamanya memberi sumbangan kepada panti asuhan.
3)      Tahrim
Yakni kitab syar’i yang menuntut untuk ditinggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Efek dari kitab tersebut dinamai hurmah dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan disebut haram atau mahzur. Umpamanya memakan harta anak yatim secara tidak patut.
4)      Karahah
Ialah khitab syar’i yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas agar ditinggalkan. Efek dari khitab ini disebut karahah seperti nama khitab itu sendiri dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkannya disebut makruh. Umpamanya merokok.
5)      Ibahah
Ialah khitab syar’i yang mengandung hak pilihan bagi orang mukallaf antara mengerjakan dan meninggalkannya. Efek dari khitab ini disebut ibahah sebagaimana khitab itu sendiri, sedang perbuatan yang diperkenankan untuk dikerjakan dan ditinggalkan  disebut mubah. Umpamanya melakukan perburuan sesudah melakukan tahalul dalam ibadah haji.
Lima macam hukum taklifi di atas adalah hukum taklifi menurut jumhur ulama itulah yang disebut “hukum yang lima” atau al-ahkam al-khamsah الآ حكم الخمسة

a)         WAJIB
*        Ta’rif
Yang dikatakan wajib ialah suatu perbuatan apabila perbuatan itu dikerjakan oleh seseorang, maka orang yang mengerjakannya akan mendapat pahala dan apabila perbuatan itu ditinggalkan oleh seseorang, maka orang yang meninggalkannya akan mendapat siksa.
Suatu khitab yang menuntut suatu perbuatan wajib dikerjakan dapat diketahui dengan adanya beberapa petunjuk.antara lain;
1.      Dalam khitab itu dicantumkan kata-kata yang tegas menunjukkan keharusan untuk dikerjakan. Misalnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: hai orang-orang yang beriman, diwajubkan atasmu berpuasa sebagaimana diwajubkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa (al-Baqoroh:183)
2.      Khitab itu menggunakan fi’il amr serta dikuatkan pula dengan kata-kata yang tegas. Misalnya:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Artinya: Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;
3.      Dalam khitab tersebut diterangkan sanksi bagi orang yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana diperintahkan. Misalnya:
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا
Artinya: Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya
*      Pembagian wajib
1.      Ditinjau dari segi tertentu atau tidaknya tuntutan yang diminta, wajib itu dibagi menjadi 2 bagian, yakni;
a.       Wajib mu’ayyan /       الوا جب المعين (yang sudah ditentukan)
Yakni kewajiban yang telah ditentukan wujud perbuatannya dengan tidak boleh memilih wujud perbuatan lain yang disukainya. Misalnya kewajiban menjalankan sholat, puasa, zakat, haji.
b.      Wajib mukhayyar      /    الوا جب المخير  (yang boleh dipilih)
Yaitu satu kewajiban yang dituntut oleh syar’i kepada orang mukalaf diantara sekian banyak kewajiban. Dengan kata lain seorang mukalaf telah gugur kewajibannya bila ia telah melakukan satu kewajiban diantara kewajiban-kewajiban yang diminta.
2.      Ditinjau dari segi jumlah yang telah ditentukan atau belum ditentukan dari satu kewajiban, wajib itu dibagi menjadi 2 macam, yakni;
a.       Wajib muhaddad (الواجب المحد د)   / yang telah ditentukan jumlahnya.
Yaitu suatu kewajiban yang telah ditetapkan jumlahnya oleh syar’i, sehingga seorang mukallaf tidak bebas dari tanggungan jika tidak menjalankan seluruh jumlah dari satu kewajiban yang telah ditetapkan oleh syar’i itu.
b.      Wajib ghair muhaddad (الوا جب غير المحد د ) 
Yaitu suatu kewajiban yang tidak ditetapkan jumlahnya oleh syar’i.
3.      Ditinjau dari segi pemberian beban kewajiban itu kepada setiap orang mukallaf atau kepada kelompok orang mukallaf, maka wajib itu dibagi kepada 2 bagian,yaitu;
a.       Wajib ‘aini( الوا جب العيني)
Yaitu kewajiban yang dibebankan oleh syar’i kepada setiap orang mukallaf.
b.      Wajib kifa’i( الوا جب الكفاية)
Yaitu kewajiban yang dibebankan oleh syar’i kepada kelompok orang mukallaf.
4.      Ditinjau dari segi waktu menunaikan kewajiban wajib itu dibagi kepada 2 bagian, yaitu;
a.       Wajib mutlaq ((الوا جب المطلق
Yaitu suatu kewajiban yang dibebankan oleh syar’i kepada orang mukallaf dengan tidak ditentukan waktu mengerjakannya. Misalnya kaffarah wajib bagi orang yang bersumpah untuk tidak menjalankan sesuatu sumpahnya untuk dilanggar sendiri. Membayar kaffarah dalam hal tersebut tidak ditentukan waktunya.
b.      Wajib muaqqat (الوا جب المؤ قت)
Yaitu suatu kewajiban yang dibebankan oleh syar’i kepada orang muallaf dalam waktu yang sudah ditentukan.
  
b)         MANDUB
*        Ta’rif
Mandub atau sunnat adalah perbuatan yang apabila perbuatan itu dikerjakan, maka orang yang mengerjakannya mendapat pahala dan apabila ditinggalkan, orang yang meninggalkannya tidak mendapat siksa.
Shigat yang digunakan oleh syar’i untuk menentukan bahwa perbuatan tersebut sunnat, adakalanya berupa kalimat yang tegas menunjukkan kesunnatannya, seperti kalimat “yusannu kadza” ( disunatkan demikian.......) atau kalimat “yundabu kadza” ( disunntakan berbuat demikian........) dan adakalanya berupa fi’il amr dengan diikuti suatu qarinah (petunjuk) yang menunjukkan arti sunnat. Misalnya dalam firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (al-Baqoroh :282)
Menulis atau mencatat hutang itu tidaklah diharuskan, walaupun dalam firman tersebut dilukiskan dengan fi’il amr, yang pada umumnya fi’il amr itu mengandung perintah wajib, dikarenakan pada perintah tersebut di dapatkan suatu qarinah yang meniunjuk kepada ketidakwajibannya mencatat hutang-piutang. Yakni dalam firman Allah yang berbunyi:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
Artinya: Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).... (al-Baqoroh: 283).
Ayat 283 ini menunjukkan bahwa orang yang menghutangi boleh mempercayai orang yang berhutang itu tanpa mencatat (jumlah) hutangnya. Dengan demikian perintah mencatat hutang dalam ayat 282 dalam surat al-Baqoroh, “faktubu” ( tulislah ) di atas tidak menunjukkan kepada wajib, berdasarkan qarinah dari ayat 283 ini.
*        Pembagian dan hukum mandub
Mandub (sunnah) itu dibagi menjadi 3 bagian, yakni;
1.      Sunnah muakkad     (  السنة الؤ كدة)   
Yaitu suatu tuntutan yang kuat untuk mengerjakan suatu perbuatan. Orang yang dituntut untuk melaksanakan perbuatan itu apabila ia tidak melaksanakan tidak mendapat siksa, tetapi sekedar tercela.
2.      Sunnah zaidah (nafillah)
Yaitu suatu tuntutan serba anjuran untuk mengerjakan suatu perbuatan. Orang yang melaksanakan tuntutan semacam ini akan mendapat pahala dan orang yang meninggalkannya tidak mendapat siksa atau celaan sama sekali.
3.      Mushtahab (fadhillah)
Yaitu suatu perbuatan yang dituntutnya sebagai penambah kesempurnaan amal perbuatan si mukallaf sendiri.
c)         HARAM  ((الحر م
*        Ta’rif
Haram ialah perbuatan yang apabila perbuatan itu ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan apabila perbuatan itu dikerjakan orang yang mengerjakannya akan mendapat siksa.
*        Pembagian haram
Haram itu dibagi menjadi 2 bagian;
1.      Haram lidzatih
Yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keharaman melakukannya sejak semula, dikarenakan ia mengandung kemafsadahan dan kemudharatan. Seperti berdzina, mengawini wanita yang masih muhrimnya.
2.      Haram li ‘aridhih
Yaitu sesuatu yang titak ditetapkan oleh syar’i keharaman melakukannya pda mula pertama, akan tetapi kemudian ada sesuatu yang menyebabkan keharamannya. Contohnya menalak istri diwaktu haidh.
d)        MAKRUH     ((المكروة
*        Ta’rif
Makruh ialah perbuatan yang apabila perbuatan itu ditinggalkan, maka orang yang meninggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan, orang yang mengerjakannya tidak mendapat siksa.
*        Pembagian makruh.
Makruh itu dibagi kepada 3 bagian, yakni;
1.      Makruh tanzih     ((مكرو ه تنج يه
Yaitu suatu perbuatan yang bila ditinggalkan adalah lebih baik dari pada dikerjakan.
2.      Tarkul aula
Yaitu meninggalkan suatu perbuatan yang sebenarnya perbuatan itu lebih baik dikerjakannya.
3.      Makruh tahrim   ((مكروه تحر م
Yaitu suatu perbutan yang dilarang, akan tetapi dalil yang melaranganya adalah dalil zhani bukan dalil qoth’i.
e)         MUBAH      ((المبا ح
Yang dikatakan mubah adalah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan, orang yang mengerjakan tidak mendapat pahala dan bila ditinggalkan orang yang meninggalkannya tidak mendapat siksa.
Imam syaukani memberikan arti: “ sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya atau meninggalkannya”.
2.    HUKUM WADH’I  (الحكم الو ضعي)
a.       Ta’rif
Hukum wadh’i ialah khitab syara; yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu adalah sebagai sebab, syarat atau penghalang sesuatu.
b.      Pembagian hukum wadh’i
1)        SEBAB ((ا لسبب
Sebab ialah sesuatu yang dijadikan pokok pangkal bagi adanya musabbab (hukum).
a)      Macam-macam sebab
Sebab itu terbagi atas dua macam, yakni:
Ø Sebab untuk mewujudkan hukum taklifi, seperti tergelincirnya matahari ke barat oleh syar’i dijadikan sebab wajibnya sembahyang dhuhur.
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ
Artinya: Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.... (al-Isra’:78)
Ø Sebab untuk menetapkan atau menghilangkan hak milik
Misalnya perikatan jual beli adalh sebagai sebab untuk menetapkan hak memiliki
barang yang sudah dibeli oleh pembeli dan sebagai sebab hilangnya hak memiliki harta benda yang diperjual belikan bagi penjual.
2)        SYARAT (الشر ط)
Syarat ialah sesuatu yang tergantung kepada adanya masyrut dan dengan tidak adanya, maka tidak ada masyrut.
*   Macam-macam syarat.
a.       Syarat syar’i (haqiqi)
Yaitu syarat-syarat yang dibuat oleh syar’i untuk menyempurnakan urusan syariat. syarat syar’i ini ada 2 macam yaitu;
1.      Syarat untuk menyempurnakan sebab. Misalnya adanya unsur sengaja dan permusuhan adalah 2 buah syarat bagi pembunuhan yang menjadi sebab wajibnya hukuman qishash.
2.      Syarat untuk menyempurnakan musabab. Misalnya bersuci adalah syarat penyempurnaan sholat yang wajib disebabkan telah masuk waktunya.

b.      Syarat ja’li
Yaitu syarat-syarat yang dibuat oleh orang yang mengadakan perikatan dan dijadikan tempat tergantung dan terwujudnya perikatan. Misalnya seorang pembeli membuat syarat bahwa dia mau membeli sesuatu barang dari penjual degan syarat boleh mengangsur. Kalau syarat ini ditrima oleh penjual, maka jual beli tersebut dapat dilaksanakan.
3)        MANI’( الما نع) / Penghalang
Yang disebut mani’ialah sesuatu yang karena adanya tidak ada hukum atau membatalkan sebab hukum.
*   Macam-macam mani’
1.      Mani’ terhadap hukum.
Misalnya perbedaan agama antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi adalah suatu mani’ (penghalang) hukum pusaka mempusakai biarpun sebab untuk mempusakai yaitu perkawinan atau hubungan darah sudah ada.
2.      Mani’ terhadap sebab hukum.
Misalnya seorang telah berkewajiban membayar zakat, akan tetapi dia mempunyai hutang yang sampai mengurangi nisab zakat, maka dia tidak wajib membayar zakat, karena harta miliknya tidak sampai senisab lagi. Memiliki harta benda satu nisab itu adalah menjadi sebab wajibnya zakat.
4)        RUKHSHAH (kemurahan) dan A’ZIMAH (hukum ashli)
Rukhshah ialah ketentuan yang disyari’atkan oleh Allah sebagai peringatan terhadap orang-orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus.
Sedang azimah ialah peraturan syara’ yang asli yang berlaku umum. Artinya ia disyari’atkan agar menjadi peraturan yang umum bagi seluruh orang mukallaf dalam keadaan biasa.
*   Macam-macam rukhshah
1.      Membolehkan hal-hal yang diharamkan disebabkan karena darurat.
2.      Membolehkan meninggalkan sesuatu yang wajib karena ada udzur. Misalnya diperbolehkan tidak berpuasa dibulan ramadhan karena ada suatu udzur misalnya sakit.
3.      Memberikan pengecualian sebagian perikatan-perikatan karena dihajatkan dalam lalu lintas mu’amalah. Misalnya jual beli salam.
4.      Menghilangkan beban yang berat yang berlaku pada syariat yang terdahulu. Misalnya mencuci pakaian yang kena najis dengan air yang suci sebagai rukhsah terhadap tata cara mensucikan pakaian yang kena najis menurut syariat sebelum islam yakni dengan memotong bagian pakaian yang kena najis itu.
5)        SHIHAH ( sah ) dan BUTHLAN ( batal )
Pengertian sah menurut syara’ ialah bahwa perbuatan itu mempunyai akibat hukum. Misalnya bila seorang mukallaf dalam menjalankan suatu kewajiban seperti shalat, puasa, dan membayar zakat sudah memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka terpenuhilah olehnya kewajiban tersebutdan dia bebas dari tanggungan bebas pula dari hukuman didunia serta berhak mendapat pahala di akhirat.
Adapun pengertian batalnya suatu perbuatan ialah bahwa bahwa perbuatan itu tidak mempunyai akibat hukum. Misal jika perbuatan yang dikerjakan orang mukallaf itu berupa suatu kewajiban, maka perbuatan yang dikerjakan itu tidak dapat menggugurkan kewajiban dan tidak dapat membebaskan tanggungan serta ia tidak berhak mendapat pahala di akhirat.
Suatu perikatan dikatakan shahih, apabil semua syarat rukunnya telah terpenuhi. Perikatan yang shahih ini mempunyai semua akibat hukum.
Suatu perikatan dikatakan batil, bila terdapat cacat pada pokok perikatan, yakni rukunnya, misalnya pada shighat perikatan, atau terdapat cacat pada orang yang mengadakan perikatan atau pada barang yang diperikatkan. 

C.      PERBEDAAN HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I
Adapun perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’i adalah sebagai berikut:
1)      Ditinjau dari segi tujuan, maka hukum taklifi adalah untuk menuntut, mencegah atau memberikan pilihan antara melakukan dan meninggalkan perbuatan. Sedang tujuan hukum wadh’i adalah untuk menerangkan bahwa sesuatu itu menjadi sebab bagi musabab, syarat bagi musyiruth atau penghalang bagi suatu hukum.
2)      Ditinjau dari segi hubungannya dengan keanggupan orang mukallaf, maka hukum taklifi selalu dihubungkan dengan kesanggupan orang mukallaf. Sedang hukum wadh’i itu adakalanya dihubungkan dengan kesanggupan orang mukallaf.

D.      SIMPULAN
Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.
elemen-elemen yang terdapat dalam ta’rif tersebut membedakan hukum kepada dua macam, yakni: hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi ialah khitab syar’i yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh para mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara dikerjakan dan ditinggalkannya. Sedangkan pengertian dari hukum wadh’i ialah khitab syara; yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu adalah sebagai sebab, syarat atau penghalang sesuatu.
Hukum  taklifi itu dibagi menjadi: wajib, mandub (sunnah), haram, makruh, dan mubah. Sedangkan hukum wadh”i dibagi menjadi: sebab, syarat, mani’ shah dan bhutlan.

DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. (1997). Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Yahya Muhtar, dan Rahman Fatchur. (1997). Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung: Alma’arif.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.