Langsung ke konten utama

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH




Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038)

A.       Al Ahkam
1.         Pengertian
Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf, baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

2. Pembagian al-Ahkam
Sebagian besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum menjadi dua bagian, yakni hukum taklifi dan hukum wadh’i.
a.        Al Ahkam Taklifi
Al Ahkam (hukum) Taklifi adalah khithab Allah Swt., atau sabda Nabi Muhammad Saw., yang mengandung tuntutan, baik perintah melakukan atau larangan. Hukum Taklifi ada lima, yakni:
1)        Ijab, artinya mewajibkan atau khithab yang meminta mengerjakan dengan tuntutan yang pasti.
2)          Nadab (anjuran), artinya menganjurkan atau khithab yang mengandung perintah yang tidak wajib dituruti.
3)        Tahrim (mengharamkan), yaitu khithab yang mengandug larangan yang harus dijauhi.
4)        Karahah (memakruhkan), yaitu khithab yang mengandung larangan, tetapi tidak harus kita jauhi.
5)         Ibahah (membolehkan), yaitu khithab yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau ditinggalkan.
b.       Al Ahkam Wadh’i
Al Ahkam (hukum) Wadh’i merupakan titah Allah SWT. yang berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan hukum-hukum taklifi
Hukum Wadh’i ada 3 yakni:
1.      Sebab, merupakan sesuatu titah yang menjadikan adanya suatu hukum dan dengan tidak adanya sesuatu itu menjadi lenyapnya suatu hukum.
Contoh:“Barang siapa di antara kamu melihat bulan itu, hendaklah ia berpuasa.” (Q.S. Al Baqarah 185)
2.      Syarat, merupakan sesuatu yang karenanya baru ada hukum dan dengan ketiadaanya, tidak akan ada hukum.
Contoh:
“Wudhu adalah syarat sahnya shalat.”
3.      Mani’ (penghalang), yaitu menerangkan bahwa ada hal yang menghalangi berlakunya sesuatu hukum. Misalnya, haid yang menghalangi kewajiban shalat bagi wanita.
3.         Perbedaan antara Al Ahkam Taklifi dengan Al Ahkam wadh.i
Perbedaan keduanya dapat dilihat dari dua hal. Pertama, yang dimaksud dengan hukum Taklifi adalah menuntut perbuatan, mencegahnya, atau membolehkan memilih antara melakukan atau tidak melakukannya. Sedang hukum Wadh’i tidak bermaksud menuntut melarang atau membolehkan memilih, tetapi hanya menerangkan sebab dan syarat atau halangan suatu hukum.
Kedua, hukum Taklifi selalu dalam kesanggupan orang mukallaf, baik untuk mengerjakan maupun untuk meninggalkannya. Adapun hukum Wadh’i kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) mukallaf, kadang-kadang tidak.

B.     AL HAKIM ( PEMBUAT HUKUM )

Pembuat hukum dalam pengertian islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia diatas bumi ini dan Dia pula yang menetepkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup dunia maupun untuk kepentingan hidup akhirat, baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan alam sekitarnya.
Sebagaimana ditegaskan dakam firman Allah dalam surat al-An’am ayat 57
 إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ للهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
 Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik
Tentang kedudukan Allah sebagai sAtu-satunya pembuat hukum dalam pandangan islam tidak ada perbedaan pendapat dikalangan umat islam. Apakah manusia sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah atau hanya dapat mengenalnya melalui perantara yang ditetapkan Allah dalam hal ini adala Rasul.mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
1.      Pendapat mayoritas ulama ahlussunnah ."mengatakan bahwa satu-satunya yang dapat mengenalkan hukum Allah kepada manusia adalah Rasul atau utusan Allah melalui wahyu yang diturunkan Allah. Sebagai kelanjutannya bahwa bila tidak ada Rasul yang membawa wahyu maka tidak ada hukum Allah dan manusia pun tidak akan mengetahuianya.
2.      Kalangan ulama mu’tazilah berpendapat bahwa memang Rasul adalah manusia satu-satunya yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia. Meski demikian seandainya Rasul belum datang mengenalkan hukum Allah tetapi melalui akal yang di berikan Allah kepada manusia. Ia mempunyai kemampuan mengenalkan hukum Allah
Kedua pendapat ini sepakat dalam menempatkan Rasul sebagai pembawa hukum Allah dan Rasul sebagai orang yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia.
Bahwa perbedaan dua kelompok tersebut ada dua hal
1.      Nilai baik dan buruk dalam suatu perbuatan
2.      Nilai baik dan buruk itu mendorong manusia untuk berbuat atau tidak berbuat.
Dalam memahami dua hal tersebut terdapat tiga kelompok ulama’
1.      Kelompok Asy’ariyah berpendapat bahwa suatu perbuatan dari segi perbuatan itu sendiri tidak dapat di nilai baik atau buruk, oleh karena akal manusia tidak dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan baik dan buruknya suatu perbuatan itu tergantung di perintah atau di larangnya perbuatan itu  oleh Allah melalui wahyunya.
2.      Kelompok mu’tazilah.berpendapat bahwa sesuatu perbuatan dari materi perbuatan itu sendiri mengandung nilai baik atau buruk. Bila akal dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan, maka akal memahami bahwa suatu perbuatan yang baik harus dilakukan dan sesuatu perbuatan buruk harus di tinggalkan.alasannya bahwa akal manusia dapat memahami berdasarkan kenyakinannya akan keadilan Allah. Dengan demikian keharusan berbuat atau tidak berbuat sudah ada meskipun wahyu belum diturunkan oleh Allah.
3.      Kelompok maturidiyah berpendapat bahwa suatu perbuatan dengan semata melihat pada materi perbuatan itu mempunyai nilai  baik dan buruk.bahwa Allah tidak akan membiarkan manusia melakukan suatu perbuatan buruk dan tidak akan mencegah manusia melakukan perbuatan baik.dalam hal ini kelompok maturidiyah sependapat dengan kelompok mu’tazilah
Di kalangan ulama’ fiqh kelompok ahlussunnah Hanafiyah mengikuti aliran maturidiyah dalam hal penilaian baik dan buruk juga dalam hal taklif. Berdasarkan pendapat ini ,aslahat dan mafsadat  dapat di jadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Namun penetapan itu baru berlaku secara efektif bila mendapat pengakuan dari wahyu.


          C .MAHKUM FIH ( OBJEK HUKUM )
Mahkum fih  adalah Perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara’. Dalam ulama’ ushul fiqh yang disebut mahkum fih atau obyek hukum yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’obyek hukum adalah perbuatan itu sendiri.
Hukum syara’ terdiri atas dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukallaf, seperti:
.              1.       Yang berhubungan dengan ijab, dinamai wajib;
2.         Yang berhubungan dengan nadb, dinamai mandub/sunnah;
3.         Yang berhubungan dengan tahrim, dinamai haram;
4.         Yang berhubungan dengan karahah, dinamai makruh;
5.         Yang berhubungan dengan ibahah, dinamai mubah.
Sedangkan sebagian hukum wadh;i ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf seperti tergelincirnya untuk masuknya kewajiban shalat dzuhur, tergelincirnya matahari itu sebagai sebab hukum wadh;i dan karena ia tidak menyangkut perbuatan mukallaf, maka ia tidak termasuk obyek hukum.Para ahli ushul fiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai obyek hukum yaitu:
1.      Perbuatan itu sah dan jelas adanya tidak memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin.
2.      Perbuatan itu tertentu dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan. Tidak mungkin berlaku taklif terhadap suatu perbuatan yang tidak jelas.
3.      Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya.
4.      perbuatan itu berada dalam batas kemampuan mukallaf. Seorang hamba tidak akan dituntut melakukan sesuatu yang tidak mungkin melakukannya yang menjadi dasar ketentuan ini adalah firman Allah.

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا 
Allah tidak membebani seseorang kecuali semampunya
Dengan penjelasan ayat tersebut dapat di pahami bahwa tuhan tidak menginginkan manusia dalam kesulitan.atau masyaqqah dalam hubungannya dengan obyek hukum.dalam hal ini ulama’ membagi kesulitan atau masyaqah itu pada dua tingkatan:
1.Masyaqqah yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam melaksanakannya.seperti puasa dan haji.
2. Masyaqqah yang tidak mungkin seseorang melakukannya secara berketerusan atau btidak mungkin dilakukan kecuali  dengan pengerahan tenaga yang maksimal. Seperti berperang dalam jihad dijalan Allah.
Macam-macam Mahkum Fih
Perbuatan yang dihukumkan (Mahkum Fih) itu adalah:
1.         Wajib
Perbuatan wajib, yaitu sesuatu perbuatan yang diberikan pahala bila dikerjakan dan diberi siksa bila ditinggalkan
Contoh Wajib :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ اْلأَنْعَام   Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad  itu…… (Surat Al-Maidah, ayat 1).
Ijaab yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi aqad yang hukumnya wajib.
2.         Mandub
Mandub (sunnah) yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa atau dosa.
Contoh Mandub:
(البقرة ۲۸۲)                                                                                     يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِب
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.... (Surat Al-Baqarah, ayat 282) .
Nadab yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menulis hutang yang hukumnya mandub (sunat).
3.         Haram
Haram ialah larangan keras, jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
Contoh Haram:

الاۤية (الانعام ۱۵۱وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَمُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa ... (Surat Al-An’am, ayat 151).
Tahrim yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwa yang hukumnya haram.
4.         Makruh
Makruh ialah larangan yang tidak keras, jika dilanggar tidak berdosa, tetapi kalau tidak dikerjakan mendapat pahala.
Contoh Makruh:         
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيم
 الاۤية (البقرة ۲٦٧)                                                                                                    
Artinya: Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya… (Surat Al-Baqarah, ayat 267).
Karahah yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menafkahkan harta yang buruk yang hukumnya makruh.
5.         Mubah
Mubah ialah sesuatu yang boleh/tidak dikerjakan. Kalau dikerjakan/ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa, misalnya makan yang halal, berpakaian bagus, tidur, dan sebagainya
Contoh Mubah:
أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ  (البقرة ۱۸٤)
Artinya: Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain... (Surat Al-Baqarah, ayat 184).
Ibahah yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu berbuka puasa dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, yang hukumnya mubah
D.MAHKUM ‘ALAIHI
Pengertian Mahkum ‘Alaihi
Mahkum ‘alaihi (مَحْكُوْمٌ عَلَيْهِ) = Sobyek hukum ialah: orang-orang mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.dalam istilah ushul fiqh subyek hukum itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebani hukum yaitu orang-orang kepadanya diperlakukan hukum.
Bahwa ada dua hal yang harus terpenuhi pada seorang yang dapat disebut mukallaf ( subyek hukum ) yaitu bahwa ia mengetahui tuntutan Allah dan ia mampu melaksanakan tuntutan tersebut.
Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif (tuntutan), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيْقُ. (روه ابوداود والنسائ)
“Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat) amal perbuatan tiga orang: (1) orang yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak hingga ia dewasa, dan (3) orang gila hingga sembuh kembali”.
Demikianlah orang yang terlupa disamakan dengan orang yang tidur dan yang tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan.
Dua hal merupakan syarat taklif atas subyek hukum.
1.      Ia memahami titah Allah yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham dan tahu itu sangat berkaitan dengan akal. karena akal itu adalah alat untuk mengetahui dan memahami. Sesuai dengan sabda Nabi.
Agama itu didasarkan pada akal tidak ada arti agama bagi orang yang tidak berakal.
Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa subyek hukum yang pertama adalah “ Baligh dan berakal “
2.      Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul disebut ahlun li al taklif kecakapan menerima taklif disebit ahliyah atau kepantasan menerima taklif. Kepantasan itu ada dua yaitu kepantasan untuk dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.
1.      Kecakapan untuk dikenai hukum atau yang disebut ahliyah al wujud yaitu kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Para ahli Ushul fiqh membagi ahliyah alwujud menjadi dua tingkatan.
a.          Ahliyah al wujud naqish atau kecakapan dikenai hukun secara lemah, yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak tetapi tidak menerima kewajiban.
Contoh : bayi dalam kandungan ibunya. Bayi atu janin itu telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisa atau wasiat, meskipun ia belum lahir. Bayi dalam kandungan itu tidak dibebeni kewajiban apa-apa karena secara jelas ia belum bernama manusia.
b.      Ahliyah al wujud kamilah atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak.
Contoh : anak yang baru lahir, di samping ia berhak menerima warisan ia juga telah dikenai kewajiban zakat fitrah.
2.      Kecakapan untuk menjalankan hukum atau yang disebut Ahliyah al-ada’ yaitu kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum.
Kecakapan berbuat hukum terdiri dari tiga tingkat, setiap tingkat dikaitkan kepada batas umur seseorang manusia.yaitu:
1.      Adim al-ahliyah atau tidak cakap sama sekali yaitu semenjak lahir sampai mencapai umur tamyis sekitar umur 7 tahun.
2.      Ahliyah al-ada naqishah atau cakap berbuat hukum secara lemah yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyis sekitar 7 tahun sampai batas dewasa.
3.kecakapan berbuat hukum secara sempurna atau yang disebut Ahliyah al-ada’ kamilah     yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.

E.Dasar Taklif
Sebagai kebijaksanaan Allah SWT., perintah dan larangan (taklif = pertanggungan jawab, selanjutnya taklifi, selalu disesuaikan dengan kemampuan (ahliyyah) manusia. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada orang yang mempunyai kemampuan, karena itu, kemampuan ini menjadi dasar adanya taklif.
Halangan Ahliyyah
Hal-hal yang menggugurkan taklif dalam Ilmu Ushul Fikih disebut :       عَوَارِضُ الأَهْلِيَّةِ(hal-hal yang menghilangkan Keahlian), yang terbagi ke dalam dua macam, yaitu:
1.     سَمَاوِيَّةُعَوَرِضُ = hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya diluar usaha dan kehendak manusia. Seperti gila, agak kurang waras akalnya, dan lupa.
2.     كَسْبِيَةٌعَوَرِضُ = hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak manusia. Seperti mabuk, bodoh, dan hutang.
Taklif  terhadap orang kafir.
       Apakah islam merupakan syarat untuk dikenai tuntutan hukum. Dengan kata lain :  apakah non muslim dengan kekafirannya itu dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak ?
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’
Pertama, bahwa tidak ada hubungan antara persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i adalah imam asyafi’i, hanafi dan mayoritas ulama’ mu’tazilah berpendapat bahwa orang-orang kafir dikenai beben hukum untuk melaksanakan syari’at.
       Ayat-ayat Al quran yang memerintahkan ibadat secara umum juga menjangkau orang kafir.diantaranya surat al baqarah ayat 21.
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُم.......                                               
Artinya : hai umat mnusia sembahlah tuhanmu.
Kedua pendapat dari sebagian ulama’ syafi’iyah dan sebagian mu’tazilah. Bahwa orang kafir itu tidak dibebani tklif untuk melaksanakan ibadah.
Ketiga kelompok ulama’ yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan, karena untuk melakukan perbuatan yang disuruh diperlukan niat, sedangkan untuk meninggalkan larangan cukup dengan jalan tidak berbuat apa-apa. Untuk tidak berbuat tidak diperlukan niat.



Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf, baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.,
Al hakim :Pembuat hukum dalam pengertian islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia diatas bumi ini dan Dia pula yang menetepkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia.
mahkum fih atau obyek hukum yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’obyek hukum adalah perbuatan itu sendiri. Sedangkan Mahkum ‘alaihi Sobyek hukum ialah: orang-orang mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.


           




             









DAFTAR PUSTAKA
Prof Dr H Syarifudin Amir, Ushul fiqh jilid 1 Jakarta Logos Wacana 1997
H.A. Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Cv Pustaka Setia (Bandung:1997)
Khairul Umam, Ushul Fiqih 1, CV Pustaka Setia, (Bandung: 2000)
www.abdulhelim.com/2012/04/mahkum-fih-dan-mahkum-alaih.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.