Langsung ke konten utama

PERBANDINGAN MADZHAB DALAM PERSOALAN ARIYAH



Oleh:
Muhammad Imam Hanif (111 11 150); Eva Intan Sari (111 11 153); Izatun Nisa          (111 11 156); dan Nurlaili Uswatun Chasanah (111 11 158)

A.      Latar Belakang
Indonesia memiliki banyak karunia yang besar. Kekayaan alam yang sangat banyak. Potensi SDM yang luar biasa. Ilmu yang berkembang di Indonesia juga sangat banyak dan kompleks. Memerlukan bentuk pemikiran yang luas dan kritis. Indonesia memerlukan pemikiran yang luas dan kritis tersebut.

Fiqh yang berkembang di Indonesia juga berkembang dengan sangat luas. Dengan berbagai cabang fiqh dan pendapat tentangnya maka harus disikapi dengan bijaksana. Maka ilmu perbandingan madzhab sangat diperlukan. Pandangan terhadap persoalan fiqh yang terjadi di Indonesia sangatlah cepat dan luas. Akan menjadikan konflik bila berbagai pandangan fiqh tidak disikapi dengan bijaksana. Perbandingan madzhab menjadi salah satu ilmu yang menjembatani berbagai pandangan fiqh yang ada.
Dalam perbandingan madzhab terdapat banyak cabang yang dibahas termasuk perbandingan muamalah. Telah diketahui muamalah terjadi dikeseharian aktifitas manusia. Kehidupan manusia tidak dapat ditinggalkan dari muamalah. Perlu penjelasan yang detail terhadap muamalah, terutama praktik muamalah yang terjadi di Indonesia.
Penjelasan yang lebih sempit tentang perbandingan muamalah akan dikerucutkan pada bagian ‘ariyah. Menjadi salah satu cabang muamalah yang sering terjadi dikehidupan manusia Indonesia yang sangat bersifat sosial.
B.       Pengertian Muamalah
Muamalah secara etimologi adalah saling berbuat, dan saling mengamalkan. Secara istilah syara’, muamalah adalah kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kemudian, muamalah dibagi menjadi dua macam, yaitu secara luas dan secara sempi.
Dalam arti yang luas, muamalah ialah:
1.      Menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab suksesnya masalah ukhrawi.
2.      Peraturan-peraturan Allah SWT. yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.
3.      Segala peraturan yang diciptakan Allah SWT. untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.
Sedangkan muamalah dalam arti sempit ialah:
1.      Semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya.
2.      Aturan-aturan Allah SWT. yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.
3.      Tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermafaat dengan cara yang telah ditentukan. (Sahrani, 2011: 4-5)
C.       Pengertian ‘Ariyah
Secara etimologi ‘ariyah berarti datang dan pergi. Sedangkan ‘ariyah menurut istilah ada beberapa pendapat, yaitu:
1.       Menurut Hanafiyah
‘Ariyah adalah memiliki manfaat secara cuma-cuma (tanpa imbalan-pen.).
2.      Menurut Malikiyah
‘Ariyah adalah memiliki manfaat dalam waktu tertentu (sementara-pen) dengan tanpa imbalan.
3.      Menurut Syafi’iyah
‘Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya (sukarela-pen), apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
4.      Menurut Hanbaliyah
‘Ariyah adalah kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dan(dari-pen) peminjaman atau yang lainnya. (Sahrani, 2011: 139-140)
Dari berbagai pendapat yang ada, dapat disimpulankan sebagai berikut:
‘Ariyah
Hanafiyah
Malikiyah
Syafi’iyah
Hanbaliyah
Mengambil manfaat
Tanpa imbalan
Tanpa imbalan
Sementara waktu
Tanpa imbalan
Sementara waktu
Barang tetap
Tanpa imbalan


D.      Dasar Hukum ‘Ariyah
Salah satu bentuk kasih sayang dalam Islam tertuang dalam konsep ‘ariyah. Islam mengajarkan untuk tidak hidup sendiri, aspek sosial pun diperhatikan oleh Islam. ‘Ariyah yang tergolong dalam fiqh muamalah merupakan ibadah yang disunnahkan serta diberi pahala. Demikian pendapat para imam madzhab. (Ad-Dimasyqi, 2012: 263)
Adapun ‘ariyah termasuk dalam ayat Al-Qur’an berikut:
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah [5]: 2)
Adapun dalil haditsnya, salah satunya sebagai berikut:
اَلْعَارِيَةُ مُؤَدَّاةٌ وَالزَّعِيمُ غَارِمٌ
Artinya: “Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) (Sahrani, 2011: 141)
E.       Hukum-Hukum Terkait
1.    Dari pernyataan dalil tersebut dan arti dari ‘ariyah itu sendiri maka timbul hukum tentang tanggungjawab bila terjadi kerusakan pada barang yang dipinjam. Ada beberapa pendapat tentang hal ini, sebagai berikut:
a.         Madzhab Hanafiyah
Hanafi dan para ulama pengikutnya berpendapat bahwa barang pinjaman merupakan amanah. Tidak dibebankan kepada peminjam jika terjadi kerusakan, kecuali disebabkan oleh kesalahannya. Tentang kerusakan yang diterima adalah pengakuan peminjam.
b.         Madzhab Malikiyah
Menurut Apabila sudah nyata bahwa barang yang dipinjam rusak, tanggungannya tidak dibebankan kepada peminjam, baik yang dipinjam berupa hewan, pakaian, dan perhiasan yang terbungkus maupun perhiasan yang tampak, kecuali jika peminjam berbuat kesalahan.
c.         Madzhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah
Menurut pendapat Syafi’i dan Hanbali tanggungannya dibebankan kepada peminjam, baik disebabkan kesalahannya atau tidak (Ad-Dimasyqi, 2012: 263). Demikian pula menurut Ibnu Abbas, ‘Aisyah, Abu Hurairah, dan Ishaq (Sahrani, 2011: 144).
2.      Apabila seseorang meminjam suatu barang, bolehkah meminjamkannya lagi kepada orang lain? Terdapat beberapa pendapat dari berbagai madzhab, sebagai berikut:

a.       Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah
Hanafi dan Maliki berpendapat boleh, meskipun tidak seizin pemiliknya, selama tidak dipergunakan untuk sesuatu maksud yang tidak bertentangan dengan kegunaan barang tersebut.
b.      Madzhab Syafi’iyah
Syafi’i berpendapat tidak memiliki ketentuan. Namun, menurut pendapat para ulama pengikut Syafi’i terdapat dua pendapat, dan yang paling shahih adalah tidak boleh.(Ad-Dimasyqi, 2012: 263)
c.       Madzhab Hanbaliyah
Hanbali berpendapat peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang (Sahrani, 2011: 144).
3.      Dalam ‘ariyah terdapat pula permasalahan berkaitan dengan permintaan kembali atas barang yang dipinjam oleh pemilik barang. Ulama juga berbeda pendapat dalam hal ini, yaitu:
a.       Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat boleh meminta kembali barangnya kapan saja, meskipun sudah diserahkan dan belum dipergunakan oleh peminjamnya.
b.      Madzhab Malikiyah berpendapat jika meminjamnya untuk suatu masa tertentu, tidak boleh diminta sebelum masa peminjamannya habis. (Ad-Dimasyqi, 2012: 264)
F.        KESIMPULAN
Muamalah secara etimologi adalah saling berbuat, dan saling mengamalkan. Secara istilah syara’, muamalah adalah kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
‘Ariyah dalam arti yang singkat adalah meminjam dalam hal memanfaatkan fungsi barang pinjaman. Hukum ‘ariyah adalah termasuk ibadah sunnah.

DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dimasyqi, Syeikh Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman. 2012. Fiqh Empat Mazhab Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah. Bandung: Hasyimi.
Sahrani, Sohari dkk. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.