Langsung ke konten utama

MASALAH KHILAFIYAH DAN SEJARAHNYA



Disusun Oleh:
Diantina Basiroh (111-11-064); Galih Aji Pratomo (111-11-066); dan Usriya Hidayati (111-11-068)
           
A.    Pengertian Ikhtilaf
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah khalafa-yakhlifu-khilafan (خلف – يخلف – خلافا). Manusia yang sedang berdebat (berbeda pendapat) sering kali berkobar api amarah didadanya. Mereka saling berbantah dan debat kusir yang biasa disebut perang mulut. Terhadap perkara ini Allah menegaskan dalam firman-Nya:
فَا خْتَلَفَ الْأَ حْزَا بُ مِنْ بَيْنِهِمْ, فَوَيْلٌ لِلَّذِ يْنَ كَفَرُوْا مِنْ مَشْهَدِ يَوْمٍ عَظِيْمٍ (مريم :37)
Artinya:

“Maka berselisihlah golongan-golongan (yang ada) diantara mereka, maka kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar”. (Q.S. Maryam: 37)
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّا سَ أُ مَةً وَا حِدَةً وَلاَ يَزَ الُوْ نَ مُخْتَلَفِيْنَ (هود: 118)
Artinya:
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Q.S. Hud: 118)
إِنَّكُمْ لَفِيْ قَوْلٍ مُهْتَلِفٍ (الذاريات: 8 )
Artinya:
“Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat”. (Q.S. Al-Zariyat: 8)
إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِيْ بَيْنَهُمْ يَوْ مَ الْقِيَا مَةِ فِيْمَا كَا نُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ (يو نس: 93)


Artinya:
“Sesungguhnya tuhan kamu akan memutuskan antara mereka dihari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan itu”. (Q.S. Yunus: 93)
Pernyataan Allah dalam beberapa ayat diatas sering terjadi pada diri manusia, karena ikhtilaf memang bisa menimbulkan perbedaan total, baik dalam ucapan, pendapat, sikap maupun pendirian.
Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua orang atau beberapa orang terhadap suatu objek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk “tidak sama” ataupun “bertenntangan secara diametral”.
Jadi yang dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atu bertentangannya penilainan (ketentuan) hukum terhadap suatu objek hukum.
Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf dalam pembahasan ini adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam (fuqaha’) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalh dan lain-lain. Misalnya, perbedaan pendapat fuqoha’ tentang hukum wudhu seorang lelaki yang menyentuh perempuan dan hukum membaca surah al-fatihah bagi ma’mum dalam shalat dan lain-lain.[1]
B.       Sejarah Khilafiyah
Timbulnya perbedaan pendapat dalam masalah hukum syariah dimulai seiring dengan umur ijtihad itu sendiri. Praktik ijtihad pada saat Rasulullah hidup masih sangat sedikit, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu karena ketika itu kaum muslimin masih berada dalam fase turunya wahyu.
Kebutuhan kaum muslimin akan ijtihad mulai tampak setelah wafat Rasulullah dan berpencarnya para sahabat ke berbagai penjuru daerah kaum muslimin.
Jika kita cermati secara mendalam, semua perbedaan pendapat yang terjadi selama ini terkait dengan dua hal berikut:
1.      Keberadaan dalil.
2.      Pemahaman terhadap dalil
Ada hikmah dari diturunkannya syariah yaitu banyaknya dalil dalam al-Qur’an dan sunnah yang mengandung banyak arti (dapat dipahami dengan beragam makna). Ini karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan kemungkinan banyaknya makna dalam sebuah lafadz bahasa Arab adalah hal yang lazim. Hal ini juga merupakan salah satu keiistimewaannya.
Hikmah Allah Swt juga terdapat dalam penciptaan dimana manusia diciptakan secara beragam. Allah Swt menjadikan akal dan kemampuan manusia berbeda-beda. Orang berakal pasti meyakini bahwa kedua contoh diatas menimbulkan aksioma, yakni adanya perbedaan dalam pendapat dan hukum. Mari kita lihat dengan perbandingan matematis sebagai berikut:
1.      Nash dalil yang mengandung kemungkinan makna lebih dari satu ditambah dengan pemahaman yang beragam, maka akan menghasilkan pendapat yang berbeda.
2.      Nash dalil yang bersifat qath’i (menunjukan hanya satu makna) ditambah dengan pemahaman ynag sama, maka akan menghasilkan pendapat yang sama.
Orang-orang yang mengajak kepada penyatuan madzhab dan pemikiran tersebut tidak memahami hikmah Allah dalam penciptaan manusia, bahwa jika Dia mau, Dia akan menjadikan manusia menjadi satu dalam pemikiran dan pemahaman. Jika itu yang dikehendaki, maka Allah akan menurunkan sebuah kitab suci yang menerangkan seluruh persoalan manusia secara terperinci tanpa ada kemungkinan untuk dipahami dengan makna berbeda oleh manusia sampai hari kiamat. Seandainya Allah menghendaki penyatuan pemikiran dan pemahaman manusia terhadap hukum-hukum agamanya, niscaya Dia akan mengubah sifat nash-nash dalil itu dan menyatukan pemahaman manusia. Namun, Allah Swt berkehendak lain.[2]
Diantara hal yang menguatkan hikmah Allah Swt dalam memberikan pilihan ini adalah bahwa kebanyakan dalil syar’i, dilalahnya bersifat zhanni (satu lafadz mempunyai lebih dari satu makna). Dengandipilihnya redaksi yang sedemikian itu, maka seakan-akan Allah Swt menghendaki timbulnya banyak pemahaman terhadap makna yang dikandung oleh lafadz tersebut. Dengan begitu, Allah memberi lapangan bagi akal untuk menelaah, mencermati, memikirkan dan menggali hukum dari firman-Nya dan perkataann Rasul-Nya.
Ketika maslahat ijtihad lebih besar dari mafsadat yang timbul dari perbedaan pendapat, maka sangatlah wajar jika nash-nash dalil dalam masalah itu menggunakan ungkapan-ungkapan yang bersifat zhanni, yang mempunyai kemungkinan untuk dipahami lebih dari satu makna.[3]
C.      Masalah Khilafiyah
1.      Kejadian Pada Massa Rasulullah Saw
Sebuah hadist masyur sudah banyak diketahui oleh umum umat islam.
اِخْتِلاَفُ أُمَّتِىْ رَحْمَةٌ
Artinya:
“Perbedaan pendapat umatku, hendaknya menjadi rahmat.” (HR. Baihaqy, Hulaimy dan Nashir Naqdas)
Apa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw, sungguh merupakan contoh yang baik, seperti tersebut didalam hadist dibawah ini:
عَنْ أَبِىْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِىِّ قَالَ: خَرَجَ رَجُلآَنِ فِىْ سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ وَلَيْسَ مَعَهْمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيْدًا طَيِّبَا فَصَلَّيَا. ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِى الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُ هُمَا الصَّلاَةَ ,َالْوُضُوْءَ وَلَمْ يُعِدِ الْاَخَرُ. ثُمَّ اَتَيَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَ كَرَا ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ لِلَّذِى لَمْ يُعِدْ أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَاَتْكَ صَلَا تُكَ. وَقَالَ لِلْاَ خَرِ لَكَ الأَجْرُ مَرَّ تَيْنِ. (راودأبوراوروالنسانى)
Artinya:
“Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata: keluar dua orang pada suatu perjalanan sedang waktu shalat telah tiba, kedua orang itu tidak menemukan air untuk berwudhu, maka bertayamum kedua orang itu dengan debu yang bersih, lalu mereka shalat. Setelah mereka shalat mereka dapati air ditempat itu juga, maka seorang dari mereka mengulangi shalatnya dengan wudhu, sedang yang lain tidak mengulangi. Kemudian mereka berdua menghubungi Rasulullah dan menanyakan persoalan tersebut bagaimana hukumnya. Maka Rasul menjawab kepada yang tidak mengulang: Engkau telah kerjakan menurut sunnah dan cukup buatmu sembahyang dan cukup buatmu shalatmu, dan sabdanya kepada yang lain: Engkau dapat ganjaran dua kali.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
      Segolongan sahabat Nabi sedang didalam perjalanan diantara mereka terdapat Umar dan Muadz. Mereka memerlukan mandi wajib sedang mereka tidak menemukan air untuk mandi. Lalumasing-masing melakukann ijtihadnya. Muadz berijtihad bahwa tanah itu seperti halnya air, dalam fungsinya seperti air sebagai alat bersuci (thaharah). Kemudian ia berguling/melumurkan badannya dengan tanah itu dan terus shalat.
Tetapi ijtihad Umar bersabda, yakni menundakan sembahyang. Ketika persoalan inni diajukan kepada Nabi ternyata keduanya menyalahi dalil.
Nabi memberi contoh melalui al-Qur’an dan Hadist:
فَا مُسَحُوْا بِوُجُوْ هِكُمْ وَاَيْدِ يْكُمْ مِنْهُ. (الماءدة: 25)
      Artinya:
“Maka sapulah mukamu dan tapak tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 25)

إِنَّمَا يَكْفِيْكَ أَنْ تَقُوْلَ بِيَدَيْكَ هَكَذَا ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى الْيَمِيْنِ وَظَا هِرَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ. (روادالبخارىومسلم)
      Artinya:
“Hanya saja cukup bagimu demikian, dan Nabi memukulkan kedua tangannya ke tanah dan ditiup dikedua tapak tangannya, kemudian menyapu dengan kedua tangannya akan muka dan kedua tapak tangannya.” (HR. Bukhori Muslim)
      Khilafiyah pada zaman Nabi Muhammad saw pada waktu itu memeng sudah ada. Hanya masalahnya khilafiyah pada waktu itu belum meluas, sedang Nabi sendiri masih ada. Jadi apabila menjumpai sesuatu persoalan akan lebih mudah untuk segera dipecahkan. Mudah untuk dinetralisir.




2.      Khilafiyah Pada Zaman Khulafaurrasyidin
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, maka semua masalah agama dan urusan pemerintah ditangani langsung para sahabat-sahabat besar. Beberapa kejadian penting di dalam masalah khilafiyah antara lain:
a.       setelah meninggalnya Rasul banyak orang-orang kaya muslim yang ingkar untuk membayarzakat. Sedang mereka tetap muslim dan mendirikan shalat. Tindakan apakah yang harus dikenakan kepada mereka, sedang masalah ini belum pernah diselesaikan pada zaman Nabi.
b.      Ketika menghadapi penulisan atau pembukuan al-Qur’an, semula para sahabat mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Sebagian setuju, sebagian menolak.[4]
c.       Perbedaan pendapat mengenai bagian dari seorang kakek dari warisan. Dalam masalah ini, Ibnu Abbas berpendapat bahwa kakek menjadi penghalang bagi saudara mayit untuk mendapat warisan. Sementara sahabat lain, seperti Umar, Ali dan Zaid berpendapat bahwa saudara mayit baik sekandung maupun seayah, sama-sama mendapat bagian seperti halnya si kakek.[5]
d.      Dalam masalah mandi junub wanita. Dari Ibnu menfatwakan bahwa wanita yang mandi junub harus membuka semua sanggulnya sehingga air dapat merata ke seluruh pori-pori kulit kepala. Waktu fatwa ini sampai ke telinga ‘Aisyah (istri Nabi), beliau memberi reaksi yang nadanya tidak menyetujui pendapat tersebut sambil mengeluarkan pertanyyan. Mengapa Ibnu Umar tidak menfatwakan saja supaya wanita mencukur semua rambut kepala? Beliau mengatakan, beliau pernah mandi bersama dengan Nabi dalam satu bejana sambil berkata:

وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أَلإْرَأَغَ عَلَى رَأْسِىْ ثَلاَثَ فَرَاغَاتٍ.
      Artinya:
“Aku tidak menambah siraman ke kepalaku waktu mandi junub, hanya tiga kali siraman.”
Dengan demikian hadist tersebut memberi kejelasan bahwa wanita yang mandi junub itu tidak perlu harus membuka semua sanggulnya.

3.     Masalah Khilafiyah Pada Masa Imam Mujtahid
Latar belakang khilafah pada masa Mujtahid ini didahului dengan pecahnya umat Islam menjadi tiga golongan yakni Khawarij, Syi’ah dan Jumhur Muslimin.
Pengelompokan tersebut membawa akibat yang sangat luas didalam pertumbuhan hukum Islam. Terutama didalam masalah fiqih yang diwarnai golongan-golongan tersebut. Masing-masing kelompok membuat gaya fiqih sendiri untuk mempertahankan pendapatnya.
Misalnya golongan Khawarij berpendapat:
a.       Pemerintah yang diakui oleh mereka ialah yang dipilih kaum muslimin, walaupun bukan dari golongan Quraisy. Apabila pilihan ini jatuh pada seseorang maka wajib menerimanya. Kalau ternyata dia bertindak dhalim wajiblah dipecat.
b.      Amal ibadah berupa shalat, puasa, zakat dan haji adalah salah satu rukun islam. Oleh karena itu tidak dianggap iman seseorang yang hanya dengan tasdik di hati  dan ikrar di lidah jika tidak disertai amal perbuata.
Golongan Syi’ah juga mengeluarkan pendapat, antara lain:
a.       Tafsiran al-Qur’an yang dijadikan pegangan mereka ialah apa-apa yang sudah disetujui atau dibenarkan oleh imam-imam mereka. Karena menurut mereka al-Qur’an itu mempunyai arti dhahir dan bathin. Yang diketahui oleh umum adalah arti yang dhahir. Sedangkan arti batin hanya dapat diketahui oleh imam-imam mereka.
b.      Hadist-hadist yang dipandang sah ialah hadist-hadist yang diriwayatkan oleh imam-imam mereka.
c.       Masalah ijma’, mereka bersedia memakainya dengan syarat imam mereka ikut didalamnya.tanpa ikut sertanya imam mereka ijma’ tidak dianggap hujjah oleh mereka, karena pendapat orang banyak sama saja dengan pendapat perseorangan.
d.      Mereka memandang bahwa nikah mut’ah itu halal dalam agama islam sampai hari kiamat. Bahkan mereka memandang bahwa nikah itu adalah suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
e.       Mereka memandang tidak syah perkawinan seorang muslim dengan perempuan kafir kitabi.
Sedangakn dari kelompok jumhur kaum muslimin didalam melahirkan hukum islam itu terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
a.       Golongan yang terpengaruh kepada cara berfikir ulama’ Hijaz.
Ulama’ Hijaz didalam berfatwa terpengaruh cara berfikir Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ynag keduanya adalah sahabat Nabi yang sangat berpegang kepada nash dan jika terpaksa sekali baru mau menggunakan ra’yu atau ma’qul nash (ketika menghadapi suatu perkara yang sudah terjadi yang tidak ada nashnya).
b.      Golongan yang terpengaruh cara berfikir ulama’ Irak.
Adapun golongan ulama’ Irak dalam memberikan fatwa mereka adalah sangat terpengaruh oleh cara berfikir Syayidina Umar, Syayidina Ali dan Ibnu Mas’ud. Mereka ini adalah sahabat Nabi yang terkenal terlalu banyak menggunakan ra’yu.
Sesuai denagn perkembangan situasi pada saat imam-imam Mujtahid ini maka masalah khilafiyah lebih meluas dan mencakup masalah Ushul (dasar hukum).
D.      Kesimpulan
Ikhtilaf adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam (fuqaha’) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalh dan lain-lain.
Jika kita cermati secara mendalam, semua perbedaan pendapat yang terjadi selama ini terkait dengan dua hal yaitu: keberadaan dalil dan pemahaman terhadap dalil
Masalah khilafiyah ada tiga macam yaitu:
1.      Khilafiyah pada masa Rasulullah
2.      Khilafiyah pada masa Khulafaurrasyiddin
3.      Khilafiyah pada masa Imam Mujtahid

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bayanuni, Muhammad Abu Al-Fatah. Islam Warna-Warni Cetakan Pertama. Hikmah.
Jakarta:  2003.
Tahido Yanggo, Huzaimah. Pengantar Perbandingan Madzhab Cetakan Pertama. Logos.
Jakarta: 1997.                
Yusuf, M.Hamdani. Perbandingan Madzhab. Aksara Indah. Semarang: 1986.



[1]DR. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab Cetakan Pertama, Jakarta: Logos, 1997, Hlm.,47-49.
[2]Dr. Muhammad Abu Al-Fatah Al-Bayanuni, Islam Warna-Warni Cetakan Pertama, Jakarta: Hikmah, 2003, Hlm., 7-9.
[3]Ibid, Hlm., 12-13.
[4]Drs. M. Hamdani Yusuf, Perbandingan Madzhab, Semarang: Aksara Indah, 1986, Hlm., 43-45.
[5]Dr. Muhammad Abu Al-Fatah Al-Bayanuni, Op.Cit., Hlm., 16.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.