Langsung ke konten utama

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIAH



Disusun Oleh:
M. Sukron Rofiq (111-11-045); Rif’ah Munawaroh (111-11-047);
Fatkhul Wahab (111-11-053: dan Abdul Ckamim (111-11-075)

A.    Pengertian Ikhtilaf
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah: khalafa, yakhlifu, khilafan ختف – يخلف – جلافا )  ).[1] Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatu obyek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk “tidak sama” ataupun “bertentangan secara diametral”. Jadi yang dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum terhadap satu obyek hukum.[2]

Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf dalam pembahasan di sini, adalah perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum Islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum Islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain.

B.     Sebab-sebab Terjadinya Ikhtilaf
Sebab-sebab terjadinya ikhtilaf dalam penetapan hukum Islam adalah sebagai berikut:
1.      Perbedaan Pemahaman Al-Qur’an
Perbedaan para ulama dalam memahami Al-Qur’an, di antaranya disebabkan oleh:
a.       Lafadz Musytarak
Musytarak adalah satu lafadz tetapi mempunyai arti yang banyak dan berbeda-beda. Contoh lafadz musytarak yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an seperti:
Lafal (القرء) dalam firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 228, yang berbunyi:
 “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.” (QS. Al-Baqarah: 228).
Kata quru’ dapat diartikan suci dan haid. Imam Syafi’i mengambil arti suci dan Imam Hanafi mengambil arti haid.[3]
Firman Allah اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَآْءَ /Aulaamastumun Nisa’ (atau kamu menyentuh/bersetubuh dengan perempuan).
Menurut Imam Hanafi,  laamastum artinya bersetubuh, sebab itu tidak batal menyentuh perempuan, meskipun ajnabiyah.
Menurut Imam Syafi’i, Maliki dan Hambali, laamastum artinya menyentuh, sebab itu batal wudhu dengan menyentuh perempuan. Tetapi Syafi’i berpendapat, bahwa yang membatalkan wudhu ialah menyentuh perempuan ajnabiyah (bukan mukhrim). Menyentuh perempuan, seperti ibu atau anak perempuan sendiri tidak membatalkan wudhu. Sedangkan menurut Maliki dan Hambali, menyentuh perempuan membatalkan wudhu kalau disentuh dengan syahwat. Tetapi kalau tidak dengan syahwat, maka tidak batal wudhu itu.
Menurut Adh-Dhohiri (madzab kelima) menyentuh perempuan membatalkan wudhu, meskipun ibu sendiri atau anak sendiri karena mereka termasuk perempuan juga menurut lahirnya lafadz An-Nisa’ (perempuan).[4]
Dengan contoh itu dapatlah kita ketahui bahwa meskipun kelima madzab itu sepakat tentang dalil firman Allah: Aulaamastumun Nisaa’ tetapi mereka itu berlainan pendapat tentang tafsirannya dan mengistimbathkan hukum dari padanya, sehingga terjadi empat pendapat:
1)      Menurut Imam Syafi’i, menyentuh perempuan ajnabiyah membatalkan wudhu, dan menyentuh perempuan mukhrim tidak membatalkan wudhu.
2)      Menurut Maliki dan Hambali, menyentuh perempuan membatalkan wudhu, kalau disentuh dengan syahwat baik mukhrim atau ajnabiyah. Menyentuh perempuan dengan tiada syahwat tidak membatalkan wudhu.
3)      Menurut Imam Zuhri, menyentuh perempuan membatalkan wudhu, baik mukhrim atau ajnabiyah.[5]
b.      Amar dan Nahi
Para ulama juga berbeda pendapat dalam memahami arti amar (perintah) dan nahi (larangan) baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah. Sebagai contohnya di dalam Sabda Rasulullah yang berbunyi:

يَا مَعْشَرَ ااشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَائَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ . (رواه البخار و مسلم عن عبدالله ابن مسعود)

“Wahai para pemuda, barang siapa dari kamu yang kuasa berumah tangga, maka hendaklah kawin.” (HR. Bukhori Muslim dari Abdullah Ibnu Mas’ud).
      Jumhur Ulama memahami makna perintah untuk kawin dalam hadits ini maksudnya adalah sunah, sedangkan Daud Adh-Dhohiri memahaminya wajib.[6]
c.       Makna hakekat dan majaz
Kadang-kadang lafadz itu menerima dua makna, hakekat dan majaz, seperti lafadz ‘am apabila dikehendaki khas, dan lafadz khas apabila dikehendaki ‘am.
Seperti dalam sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:

اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّبِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِاالشَّعِيْرِ وَالتَّمَرُ بِالتَّمَرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مَثَلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ . (رواه مسلم)

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, yang sama dengan yang sama, serupa dengan serupa, tangan dengan tangan.” (HR. Muslim dar Ubaidah bin Samit).
Daud zahiri memahami hadits tersebut khusus, yang artinya dilarang berjual beli riba hanya terbatas pada benda-benda yang disebutkan dalam hadits itu saja, tetapi jumhur Fuqaha memasukkan benda-benda lain lagi yang ada persamaannya dengan benda-benda yang disebutkan dalam hadits tersebut.[7]

2.      Sebab-sebab Khusus Mengenai Sunnah Rasulullah saw.
Sebab-sebab khusus mengenai Sunnah Rasul saw. yang menonjol antara lain: (a) Perbedaan dalam penerimaan hadits; sampai atau tidaknya suatu hadits kepada sebagian sahabat (b) Perbedaan dalam menilai periwayatan hadits (shahih atau tidaknya) (c) Perbedaan mengenai kedudukan Syakhshiyyah Rasul.
a.       Perbedaan dalam penerimaan hadits
Seperti dimaklumi, para sahabat yang menerima dan menyampaikan (meriwayatkan) hadits, kesempatannya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majlis Rasul, tentunya mereka inilah yang banyak menerima hadits sekaligus meriwayatkannya. Tetapi banyak pula di antara mereka yang sibuk dengan urusan-urusan pribadinya, sehingga jarang menghadiri majlis Rasul, padahal biasanya dalam majlis itulah Rasul menjelaskan masalah-masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum sesuatu; memerintah atau melarang dan menganjurkan sesuatu. Contoh mengenai ini adalah sebagai berikut:

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَأْمُرُ النَّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُٶُوْسَهُنَّ

“Ibnu ‘Umar memberi fatwa, bahwa bila wanita mandi junub hendaklah membuka (mengudar) sanggul rambutnya agar air sampai ke akar-akar rambut”, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim. Setelah mendengar fatwa itu, Siti Aisyah ra. Merasa heran dan berkata:

عَجَبًا لاِبْنِ عُمَرَ هٰذَا يَأْمُرُ النَّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُٶُوْسَهُنَّ أَفَلاَ يَاْمُرُ هُنَّ اَنْ يَحْلِقْنَ رُٶُوْسَهُنَّ .

“Sungguh aneh Ibn “Umar ini memerintahkan kaum wanita apabila mereka mandi janabah untuk mengudar sanggul. Jika demikian, apakah tidak lebih baik menyuruh mereka untuk mencukur rambut saja?”
Kemudian Aisyah meriwayatkan hadits mengenai soal itu sebagai berikut:

لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَمَا أَزِيْدُ عَلَى أَنْ أُفْرِغَ عَلَى رَأْسِي ثَلاَثَ إِفْرَاغَاتٍ .

“Sungguh aku pernah mandi bersama Rasulullah saw. dari satu bejana dan aku menyiram rambut kepalaku tidak lebih dari tiga siraman.”[8]
b.      Perbedaan dalam menilai periwayatan hadits
Adakalanya sebagian ulama memandang periwayatan suatu hadits shahih, sedangkan menurut ulama yang lain tidak, misalnya karena tidak memenuhi semua persyaratan yang telah mereka tentunkan. Penilaian ini meliputi segi sanad, maupun matannya.
Contoh dari segi sanad, adalah seperti hadits yang dijadikan dasar oleh Imam Syafi’i tentang wajibnya membaca al-Fatihah bagi ma’mum dalam shalat:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ صَامِتٍ قَالَ: صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الصُّبْحَ فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: إِنِّيْ أَرَاكُمْ تَقْرَٶُوْنَ وَرَاءَ إِمَامِكُمْ. قَالَ٬ قُلْنَا يَا رَسُوْل اللهِ٬ وَاللهِ٬ قَالَ: لاَ تَفْعَلُوْا إِلاَّ بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَإِنَّهُ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا (رواه أبو داود).

Dari “Ubadah bin Shamid, ia berkata bahwa Rasulullah saw. telah shalat subuh agak panjang bacaannya, maka setelah selesai shalat, Rasulullah berkata, “Aku memperhatikan kalian membaca di belakang imam.” Kami menjawab, “Ya Rasul, demi Allah memang kami membaca.” Rasulullah berkata, “Janganlah kalian membaca, kecuali Ummul Qur’an (al-Fatihah), karena sesungguhnya tidak sah shalat seseorang yang tidak membacanya.” (HR. Abu Dawud).
Menurut Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam kitabnya, al-Mughni menyatakan, bahwa hadits Ubadah ini tidak ada yang meriwayatkan kecuali Ibnu Ishaq dan Nafi’ bin Mahmud bin al-Rabi. Sedangkan Ibnu Ishaq adalah Mudallis. Dan Nafi’ lebih rendah lagi (lebih buruk lagi) keadaannya dari Ibnu Ishaq.
Contoh dari segi matan hadits adalah seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: مَنْ تَرَكَ مَالاً أَوْ حَقًّا فَلِوَرَثَتِهِ وَ مَنْ تَرَكَ كَلاَّ أَوْ عِيَالاً فَإِلَيَّ.

“Barangsiapa meninggalkan harta kekayaan atau hak, maka ia untuk ahli warisnya, dan barangsiapa meninggalkan harta kekayaan tanpa ahli waris (kalalah) atau sebaliknya (meninggalkan ahli waris tanpa harta kekayaan), maka itu adalah tanggunganku.”
Imam Abu Hanifah tidak mengakui adanya kata “hak” (  حقّا) dalam matan hadits tersebut, sehingga beliau tidak memasukkan sebagai tirkah: hak cipta, khiyar, syuf’ah dan sebagainya. Sedang Jumhur Fuqaha’ (Syafi’I, Malik, dan Ahmad bin Hanbal) menetapkan adanya kata “haqqan” dalam hadits tersebut, sehingga mereka memasukkan dalam tirkah: hak cipta, khiyar, syuf’ah dan sebagainya.[9]
c.       Ikhtilaf tentang kedudukan Rasulullah saw.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa Rasul di samping keberadaannya sebagai Rasul, juga sebagai manusia biasa (QS, Al-Kahfi: 110). Kadang-kadang beliau bertindak sebagai panglima perang, sebagai kepala Negara dan sebagainya. Karena itu, tindakan dan ucapan yang dilakukan beliau tidak sama kedudukannya, kalau dikaitkan dengan keberadaan pribadinya ketika melakukannya. Misalnya mengenai hadits berikut ini:

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ (رواه الثلاثة).

“Barangsiapa menggarap tanah mati, maka dialah pemiliknya.”
Mengenai hadits ini ulama berbeda pendapat tentang apakah hal itu dinyatakan oleh Rasul dalam kapasitasnya sebagai kepala Negara. Jika demikian, tidak setiap pemilik tanah yang belum ada pemiliknya itu secara otomatis menjadi miliknya, melainkan harus melalui prosedur yang berlaku pada waktu itu dan pada Negara di mana orang itu hidup. Sebaliknya jumhur fuqaha’ yang memandang hadits itu dinyatakan Rasulullah dalam kedudukannya sebagai Rasul, berpendapat bahwa kepemilikan tanah mati itu tidak lagi harus melalui prosedur-prosedur Negara tertentu, tetapi secara otomatis menjadi milik penggarap.[10]

3.      Perbedaan Mengenai Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id Fiqhiyyah
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul di antaranya adalah mengenai istitsna’ (pengecualian) yakni: apakah istitsna’ yang terdapat sesudah beberapa jumlah yang di’athafkan satu sama lainnya, kembali kepada semuanya ataukah kepada jumlah terakhirnya saja?
Jumhur fuqaha’ berpendapat, bahwa istitsna’ itu kembali kepada keseluruhannya. Sedang menurut Abu Hanifah, istitsna’ itu hanya kembali kepada yang terakhir saja.[11]
Perbedaan kaidah ini jelas sekali pengaruhnya dalam menafsirkan firman Allah SWT.

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nûr: 4).
Dari ayat di atas, dapat disimpulkan, bahwa hukuman bagi orang yang menuduh zina tanpa membuktikan dengan empat orang saksi, adalah sebagai berikut:
a.       Dera delapan puluh kali
b.      Dicabut haknya untuk menjadi saksi apapun
c.       Orang itu dinyatakan fasik
Kemudian datang istitsna’ bagi orang-orang yang bertaubat, yaitu pada ayat berikutnya:
 “Di hari itu, Allah akan memberi mereka Balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya).” (QS. An-Nûr: 25).
Bagi yang berpendapat bahwa istitsna’ itu kembali kepada jumlah terakhir saja, maka bila orang itu telah bertaubat, tidak lagi dinyatakan fasik, dan tetap harus dikenakan dera serta belum bisa dijadikan saksi. Adapun pendapat kedua, yang menyatakan istitsna’ kembali kepada semuanya, orang yang sudah bertaubat itu tidak lagi dinyatakan fasik, dan juga dikembalikan haknya untuk menjadi saksi, tetapi masih tetap dihukum dera, kerena hukuman dera ini menyangkut hak ‘adami (manusia) yang tidak bisa digugurkan dengan taubat.[12]
Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang berkaitan dengan kaidah-kaidah fiqhiyah contohnya antara lain sebagai berikut:
Madzab Syafi’i menggunakan kaidah:

الأَصْلُ فِيْ الأَشْيَاءِ لإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ

Hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya.
Sedangkan menurut kaidah dalam madzab Hanafi adalah:

الأَصْلُ فِيْ الأَشْيَاءِ التَّحْرِيْمُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى لإِبَاحَةِ

Hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah haram, sehingga ada dalil yang menunjukkan kebolehannya.
Jadi menurut madzab Syafi’i, asal hukum sesuatu adalah dibolehkan mengerjakannya, sehingga ada dalil yang mengharamkannya atas dasar bahwa Allah SWT telah berfirman:

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِيْ الأَرْضِ جَمِيْعًا

“Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 49).
Dan Sabda Nabi saw.:

عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: مَا أَحَلَّ اللهُ فَهُوَ حَلَالٌ وَ مَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَ مَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ يَنْسَى شَيْئًا (أخرجه البزار والطبر اني) 

“Apa yang telah dihalalkan oleh Allah adalah halal dan apa yang telah diharamkan Allah adalah haram serta apa yang didiamkan oleh Allah adalah dimaafkan, maka terimalah kemaafan dari Allah itu, sesungguhnya Allah tidak akan lupa pada sesuatu.”
Sedangkan madzab Hanafi berpendapat bahwa asal hukum sesuatu adalah haram, sehingga ada dalil yang membolehkannya, kebalikan dari pendapat madzab Syafi’i bahwa asal sesuatu adalah boleh, sehingga ada dalil yang mengharamkannya. Hal seperti ini dapat menimbulkan perbedaan dalam menetapkan hukum.[13]

4.      Hal-hal Yang Kembali Kepada Ta’arudl
Inilah sebab yang paling banyak menimbulkan perbedaan dalam bidang hukum. Ta’arudl menurut bahasa adalah taqabul dan tamanu, pertentangan satu sama lain dan tidak dapat dipertemukan. Sedangkan menurut istilah, ta’arudl adalah dua dalil yang masing-masing menafikan apa yang ditunjuki oleh dalil yang lain.[14]
Misalnya, suatu dalil menghendaki keharaman sesuatu, sedangkan dalil yang lain menghendaki kebalikannya, seperti hadits yang melarang kita mengambil manfaat dari bangkai. Hadits itu menunjukkan keharaman bangkai. Tetapi ada pula hadits yang membolehkan kita mengambil manfaat dari kulit bangkai binatang, sesudah disamak. Hal ini menunjukkan kepada kemubahannya.
Dan sebagaimana terdapat dalam firman Allah:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرَا انِالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِيْنَ

“Telah difardlukan atas kamu apabila seseorang kamu menghendaki kematian supaya berwasiat untuk kedua orangtua dan kerabat terdekat.”
Firman Allah ini menunjukkan kepada wajibnya membuat wasiat untuk orang tua, kerabat dekat, dll. Tetapi ayat ini dilawani oleh hadits Nabi:

لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Tak ada wasiat untuk waris.”

Oleh karena ta’arudl yang hakiki, ta’arudl yang tidak bisa dipertemukan, tidak mungkin terjadi di antara dalil-dalil syara’ karena yang demikian itu membawa pertentangan satu sama lain, sedang hal itu suatu kemustahilan. Sebagaimana diisyaratkan oleh Firman Allah, maka sesungguhnya pertentangan-pertentangan yang tampak pada dalil-dalil syara’ ini hanyalah menurut dhohirnya saja, menurut yang ditanggapi oleh seseorang yang memperhatikan dalil itu.[15]
Para ulama dalam melepaskan diri dari pertentangan menempuh dua jalan, yaitu:
Pertama:
Jalan Hanafiyah dan ulama-ulama yang sependapat dengan mereka, yaitu membahas suatu pentarjih bagi salah satu dari dua dalil yang bertentangan itu. Umpamanya mereka mentarjihkan pengalaman dengan umum hadits istanzihul minal bauli atas hadits Nabi yang menyuruh golongan Uraniyyin meminum kemih-kemih unta. Mereka berpendapat bahwa segala air kemih wajib kita bersihkan daripadanya, baik kemih binatang yang dimakan dagingnya, maupun bukan.
Mereka menguatkan hadits yang mengharamkan daripada yang membolehkan. Padahal antara dua hadits ini dapat kita pertemukan, yaitu dengan menerapkan hadits istinzah kepada kemih binatang yang tidak dimakan dagingnya.
Kedua:
Jalan Jumhur Ulama yaitu: mendahulukan pengkompromian antara dua dalil yang dapat dikompromikan. Dan dengan mengkompromikan antara dua dalil kita mengamalkan kedua-duanya. Dalam menguatkan salah satunya, berarti melemahkan hadits yang satunya lagi. Karenanya, Jumhur Ulama berpendapat bahwa kemih binatng yang halal dagingnya adalah suci.
Mereka khususkan keumuman hadits istilah itu dengan hadits yang menerangkan bahwa orang-orang Uraniyyin meminum kemih-kemih unta. Mereka mengumpulkan antara dua dalil itu.[16]
Terdapat perbedaan pendapat dalam cara melepaskan diri dari pertentangan, menyebabkan pula perbedaan pendapat dalam banyak hukum.  Dalam mengumpulkan antara dua dalil atau dua hadits itu timbul pula berbagai pendapat. Pada akhirnya terdapat 6 macam ta’arudl, yaitu sebagai berikut:
a.       Contoh ta’arudl antara dua nash Al-Qur’an
Firman Allah Surah Al-Maidah ayat 6:
 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
      Dalam suatu qira’ah dikatakan “wa arjulakum” sedangkan dalam qira’ah yang lain dikatakan “wa arjulikum”. Kalau kita baca wa arjulakum, maka akibatnya kaki wajib dibasuh dalam berwudhu, sedangkan kalau kita baca wa arjulikum, maka kaki itu cukup disapu saja.[17]
b.      Contoh ta’arudl antara dua Hadits
Hadits dari Ibnu Abbas tentang sabda Nabi saw. mengenai mani. Nabi menjawab:

اِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ المُخَاطِ وَالْبُصَاقِ

“Mani itu hukumnya sama dengan lendir hidung dan air liur.”
Hadits ini menerangkan bahwa mani itu suci, karena Nabi menyerupakannya dengan barang suci. Tetapi hadits ini ditentang oleh hadits Ammar Ibn Yasir.
Dalam hadits ini Nabi bersabda:

إِنَّمَا يُغْسَلُ الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ مِنَ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَالدَّمِ وَالْقَىءِ وَالْمَنِىِّ

“Kain itu dibasuh dari lima hal (perkara): dari kencing, kotoran, darah, muntah dan mani.”
Menurut hadits ini mani itu najis, sebab termasuk ke dalam benda-benda yang disebutkan dalam golongan najis.
Di antaranya lagi hadits dari Salim dari ayahnya, bahwa Rasulullah mengangkat kedua tangannya serentang kedua pundaknya apabila beliau memulai sembahyang, dan apabila bertakbir untuk ruku’ dan apabila mengangkat kepalanya ketika bangun dari ruku’.
Hadits ini berlawanan dengan Hadits dari Abdullah Ibn Mas’ud, yang mengatakan:
“Rasulullah tidak mengangkat kedua tangan beliau kecuali ketika memulai shalat (takbiratul ihram) saja.”
Hadits pertama, menerangkan bahwa mengangkat kedua tangan disunatkan ketika ruku’, sedangkan hadits kedua tidak menyunatkan kita mengangkat tangan ketika ruku’ dan i’tidal.[18]
c.       Contoh ta’arudl antara nash Al-Qur’an dengan Hadits
Firman Allah:

فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Bacalah apa yang mudah daripadanya.”

Hadits Nabi:

لاَصَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْكِتَابِ

“Tak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah.”
Firman Allah فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ   tidak mengharuskan membaca Al-Fatihah dalam sembahyang, artinya boleh juga membaca ayat-ayat yang lain. Tetapi hadits menghendaki bahwa yang harus dibaca adalah Al-Fatihah.
Segolongan ulama seperti golongan Hanafiyah berpegang kepada umumnya ayat, sehingga mereka memandang sudah mencukupi apabila dibaca Al-Qur’an untuk sahnya sembahyang, baik Al-Fatihah atau selainnya. Pendapat ini berdasarkan qaidah mereka sendiri, yaitu mendahulukan tarjih di atas mengkompromikan dalil-dalil itu.
Sedangkan Jumhur Ulama mengambil hadits, mereka menjadikannya mukhoshshish bagi keumuman ayat. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa membaca Al-Fatihah itu adalah fardhu dalam sembahyang. Mereka berpegang kepada qaidah mendahulukan pengkompromian atas tarjih.[19]
d.      Contoh ta’arudl antara dua qiyas
Contoh ta’arudl antara dua qiyas adalah qiyas wudhu atas tayammum tentang wajibnya niat dan qiyas wudhu kepada menghilangkan najis tentang tidak wajibnya niat.[20]
e.       Contoh ta’arudl antara qiyas dengan nash
Contoh ta’arudl antara qiyas dengan nash yang terdapat dalam madzab Hanafiyah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:

لاَ تَصِيْرُ الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ فَمَنِ ابْتَاعَهَا فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظْرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلِيَهَا إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ وَ إِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَ صَاعًا مِنْ تَمَرٍ

“Janganlah kamu melakukan tasriyah (mengikat kantong susu) unta dan kambing. Barangsiapa membelinya, maka dia dibolehkan memilih mana yang baik setara dua hal ini sesudah diperasnya, yaitu jika dia mau, dia tahan binatang itu dan jika dia mau, dia kembalikan bersama satu sha’tamar kurma.”
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tashriyah tidak membolehkan kita mengembalikan apa yang sudah kita beli, dan tidak pula ada hak khiyar. Mereka tidak mengamalkan hadits ini karena hadist ini bertentangan dengan qiyas. Menurut qiyas, harus kita bayar harganya, atau kita kembalikan.
Mengembalikan segantang tamar sebagai ganti susu berlawanan dengan qiyas, karena tidak ada persamaan antara susu dan kurma, dan juga tidak dapat diketahui berapa ukuran susu yang telah diperas, maka ganti itu dikhususkan dengan makanan, bukan dengan yang lain.
Ulama-ulama yang lain berpendapat, bahwa tashriyah itu memberikan hak khiyar kepada pembeli. Qiyas dalam hal ini tidak dapat dipergunakan, karena menyalahi nash.[21]
f.       Contoh ta’arudl antara Hadits dengan qaidah-qaidah yang dipegang sebagian Ulama
Hadits yang diriwayatkan Bukhari Muslim, bahwa Rasulullah bersabda:

لاَ يَحِلُّ دَمُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ اَثَّيِّبُ الزَّانِى وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

“Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena tiga hal: janda yang berzina, membunuh dan orang yang meninggalkan agamanya lagi menantangi jama’ah Muslimin.”
Hadits ini menghendaki bahwa seorang Muslim tidak boleh dibunuh kecuali dengan salah satu dari tiga sebab ini saja. Imam Malik dalam hal itu membolehkan kita membunuh orang Muslim bila mereka dijadikan perisai orang kafir dalam peperangan, sebagaimana Imam Malik membolehkan kita melempar sebagian isi kapal ke dalam laut bila yang demikian itu menjadi jalan bagi keselamatan isi kapal yang lain.
Imam Malik tidak mengamalkan hadits apabila menghadapi kasus yang berlawanan dengan masalah yang harus kita pergunakan di waktu dharurat.[22]

5.      Hal-hal Yang Kembali Kepada ‘Urf/Adat Kebiasaan
Para Mujtahid tidak semuanya menetap di suatu kota, sebagaimana diketahui dari sejarah. Imam Abu Hanifah berdiam di Irak, Imam Malik berdiam di Hijaz, Imam Syafi’i berdiam dibeberapa kota, mula-mula di Hijaz, kemudian di Irak, dan akhirnya di Mesir.
Demikian pula para Fuqaha yang lain. Masing-masing kota itu mempunyai adat istiadat yang menyebabkan masing-masing Imam itu memelihara ‘urf negerinya dalam hal-hal yang tidak diperoleh dalam nash, walaupun ‘urf-nya tersebut menyalahi ‘urf negeri yang lain.[23]
Contohnya, sebagian ulama membolehkan menjual kebun apabila sebagian buahnya telah baik. Hal yang demikian itu ditentang oleh sebagian ulama yang lain, berdasar kepada ‘urf yang berlaku di daerahnya.[24]

6.      Perbedaan Penggunaan Dalil di Luar Al-Qur’an dan Sunnah
Ulama terkadang berbeda pendapat pula mengenai fiqh, disebabkan perbedaan penggunaan dalil di luar Al-Qur’an dan Sunnah. Seperti perbedaan dalam penggunaan ijma’, qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, sad al-dzari’ah, istishab, ‘urf, dan sebagainya, yang oleh sebagian ulama dijadikan dasar, sedang sebagian ulama lain tidak menjadikannya dasar dalam mengistimbathkan hukum, sekalipun sebenarnya perbedaan itu hanyalah dalam tingkat penggunaannya saja.[25]

C.    Tujuan Mengetahui Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para Imam Madzab dan para ulama fiqh, sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari taklid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang diperselisihkan, meneliti sistem dan cara yang lebih baik serta tepat dalam mengistimbathkan hukum, juga dapat mengembangkan kemampuan dalam hukum fiqh, bahkan akan terbuka kemungkinan untuk menjadi mujtahid.[26]

D.      Kesimpulan
1.      Ikhtilaf adalah perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum Islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum Islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain.
2.      Sebab-sebab terjadinya ikhtilaf di antaranya karena: (1) perbedaan penafsiran Al-Qur’an, (2) sebab-sebab khusus mengenai Sunnah Rasulullah saw., (3) perbedaan mengenai qawa’id ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah, (4) perbedaan penggunaan dalil di luar Al-Qur’an dan Sunnah, (5) hal-hal yang kembali kepada ta’arudl, (6) hal-hal yang kembali kepada ‘urf/adat kebiasaan.
3.      Tujuan mengetahui sebab terjadinya ikhtilaf yaitu sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari taklid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang ulama pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu masalah. Di samping itu, apabila diketahui bahwa sebab yang menimbulkan perbedaan tersebut kurang tepat dijadikan alasan, maka akan diusahakan untuk mendudukkannya pada proporsi yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Madzab. Jakarta: Logos.
Yusuf, M. Hamdani. t.t. Perbandingan Madz-Hab. terj. A. Zarkasyi Chumaidy. Semarang: Aksara Indah.




[1] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzab, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 47.
[2] Ibid., hlm. 48.
[3] M. Hamdani Yusuf, Perbandingan Madz-hab, (Semarang, Aksara Indah, t.t), hlm. 64.
[4] Ibid., hlm. 63.
[5] M. Hamdani Yusuf, loc.cit.
[6] Ibid., hlm. 65.
[7] Ibid., hlm. 66.
[8] Huzaemah Tahido Yanggo, op.cit., hlm. 55.
[9] Ibid., hlm. 58.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 59.
[12] Ibid., hlm. 60.
[13] Ibid., hlm. 61.
[14] M. Hamdani Yusuf., hlm. 68.
[15] Ibid., hlm. 69
[16] Ibid., hlm. 70.
[17] Ibid., hlm. 71.
[18] Ibid., hlm. 72.
[19] Ibid., hlm. 73.
[20] ibid.
[21] Ibid., hlm. 74.
[22] Ibid., hlm. 75.
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 76.
[25] Huzaemah Tahido Yanggo, op.cit., hlm. 62.
[26] Ibid., hlm. 68.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.