Langsung ke konten utama

Beberap Hal Mengenai Shalat dalam Pandangan Empat Madzhab



Disusun oleh:
Zulaikhah S.W (111 11 097); M. Lutfi Aziz (111 11 110); dan Siti Fatimah (111 11 115)

A.      Pengertian Shalat
Shalat menurut bahasa artinya do’a, sedangkan menurut istilah berarti ucapan-ucapan dan perbuatan yang didahului dengan takbirotul ikhram dan diakhiri dengan salam.
Adapun kewajiban Shalat itu sendiri berdasarkan QS. An-Nisa: 103;
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Shalat itu dibagi menjadi dua, yaitu shalat Fardu dan shalat sunnah.[1] Akan tetapi shalat yang paling penting dan wajib dilakukan adalah shalat lima waktu, diantaranya:
1.    Dzuhur, adapun permulaan waktunya yaitu dimulai saat matahari condong kearah barat sampai bayangan menyamai panjang bendan.
2.    Asyar, permulaan waktunya yaitu ketika mulai bayangan menyamai benda ditambah kelebihan waktu condong, sampai bayangan menjadi dua kali lipat benda sampai matahari terbenam.
3.    Maghrib, waktunya hanya mempunyai satu waktu, yaitu mulai matahari terbenam ditambah sekedar waktu untuk beradzan, berwudu, berpakaian, iqamah, dan bersembahyang lima rekaat (tiga shalat maghrib dan dua rekaat shalat sunnah).
4.    Isya, permulaan waktunya mulai mega merah hilang hingga pertiga malam (dalam waktu bebas) dan sampai terbit fajar yang kedua (fajar shidiq).
5.    Subuh, permulaan waktunya mulai terbit fajar sidiq hingga remang-remang, sedangkan dalam waktu jawaz sampai matahari terbit. Hal ini berdasarkan hadis:

عن ابى هريرة رضى الله عنه: انّ رسو ل الله ص.م. قا ل: مَنْ اَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ اَنْ تَطْلُعَ
 الشَّمْسُ فَقَدْ اَدْرَكَ الصُّبْحِ, وَمَنْ اَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ اَنْ تَغْرَبُ الشَّمْسُ فَقَدْ اَدْرَكَ الْعَصْرَ.
 (رواه البخارى وسلم)
Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah bersabda: “ Barangsiapa mendapatkan satu rekaat shalat subuh sebelum matahari terbit berarti telah mendapatkan shalat subuh. Dan barangsiapa mendapatkan satu rekaat shalat asyar sebelum matahari terbenam maka telah mendapatkan shalat asar, (seluruhnya dalam waktu)”. (bukhori: 554/ Muslim: 608)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum bagi orang yang meninggalkan shalat karena malas atau meremehkan, dan ia yakin (iman) bahwa shalat itu wajib. Menurut Syafi’i, Maliki, dan Hambali berpendapat bahwa ia harus dibunuh. Sedangkan dari hanafi berpendapat bahwa ia harus ditahan selam-lamanya atau sampai ia mau shalat. Dan menurut Imamiyah yaitu setiap orang yang meninggalkan yang wajib, seperti shalat, zakat, puasa, haji, maka bagi hakim atau pemerintah yang melihatnya harus mendidiknya kalau ia patuh dan mau mengikutinya, kalau tidak, maka ia harus dididik lagi, dan bila tidak mau lagi, maka hakim atau pemerintah harus mendidiknya lagi. Bila terus-menerus tidak mau maka ia harus dibunuh pada keempat kalinya. (Kasyful ‘Ghitha’, karya Al Syekh Al Kabir, hal. 79)
B.       Masalah menghadap Kiblat
Semua ulama Madzhab sepakat bahwa ka’bah itu adalah Kiblatnya orang yang dekat dan dapat melihatnya. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai Kiblat bagi orang yang jauh dan tidak dapat melihat ka’bah.[2]
1.    Menurut Hanafi, Hanbali, Maliki, dan sebagian kelompok dari Imamiyah berpendapat bahwa kiblatnya orang yang jauh adalah arah di mana letaknya Ka’bah berada, bukan Ka’bah itu sendiri.
2.    Menurut Syafi’i dan sebagian kelompok dari imamiyah yang lain berpendapat bahwa wajib menghadap pada Ka’bah itu sendiri, baik bagi orang yang dekat dengan ka’bah maupun bagi orang yang jauh. Kalau dapat mnegetahui arah kiblat itu sendiri secara tepat, maka ia harus menghadapnya. Tapi bila tidak, maka cukupaha dan berijtihad sampai ia mengetahui dengan perkiraan saja.

è  Orang yang tidak mengetahui Kiblat
Orang yang tidak mengetahui arah kiblat, maka ia wajib menyelidiki, berusaha dan berijtihad sampai ia mengetahuinya atau memperkirakan bahwa kiblat ada di satu arah tertentu. tapi apabila juga tidak bisa mengetahuinya maka menurut empat Madzhab dan sebagian kelompok imamiyah: ia shalat ke mana saja yang disukainya, dan sah shalatnya, dan tidak wajib mengulanginya lagi, menurut Syafi’i.
Akan tetapi setelah ia shalat tidak mengetahui kiblatnya, kemudian ia dapat mengetahuinya bahwa arahnya waktu itu slah, maka terdapat beberapa pendapat dalam hal ini:
a.    Imamiyah: kalau kesalahannya itu diketahui ketika sedang shalat, dan ia miring dari kiblat, maka ia harus melanjutkan shalatnya yang telah dilakukan, tetapi sisanya harus diluruskan ke arah kiblat.
b.    Sebagian kelompok Imamiyah: tidak usah mengulangi lagi pada waktu tersebut dan tidak pula di luarnya kalau ia meleset sedikit dari arah kiblat.
c.    Hanafi dan Hanbali: kalau ia berusaha dan berijtihad untuk mencari arah kiblat, tetapi tidak ada satu arahpun dari beberapa arah yang lebih kuat untuk dijadikan standar arah kiblat, maka ia boleh shalat mengahadap ke mana saja, tapi kemudian bahwa ia tahu bahwa ia salah arah, maka kalau ia masih dipertengahan ia harus berubah ke arah yang diyakininya atau arah yang paling kuat. Tapi bila nampak tahu bahwa ia salah setelah selesai shalat, maka sah shalatnya dan tidak wajib untuk diulang.
d.   Syafi’i: kalau ia tahu bahwa ia salah dengan cara yang meyakinkan maka ia wajib mengulanginya lagi. Tetapi bila hanya mengetahui dengan cara perkiraan saja, maka shalatnya sah dan tidak ada bedanya, baik ketika sedang shalat maupun sesudahnya.
Jadi, pada dasarnya shalat itu adalah dilakukan dengan menghadap ke kiblat bagi mereka yang sudah mengetahui arah kiblat tersebut, akan tetapi bagi orang yang tidak mengetahui kiblat itu padahal ia sudah berusaha dan berijtihad, maka ia boleh melakukan shalat ke arah di mana ia yakin shalat ke arah yang dituju tersebut, dan apabila setelah selesai shalat ia mengetahui arah yang sesungguhnya dan arah yang ia tuju tadi salah, maka baginya boleh mengulanginya atau tidak, dan shalatnya tetap sah.
     
C.       Masalah membaca Basmalah
Para fuqaha sependapat bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari surat An-Nahl, tetapi timbul perbedaan pendapat tentang hukum membaca basmalah pada awal surat Fatihah. Dan dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat diantara para fuqaha, Adapun perbedaan pendapat itu karena terdapat beberapa buah Hadis yang saling bertentangan, sehingga timbul pertanyaan, apakah Basmalah itu sebagian dari ayat Fatihah atau tidak? Diantara pendapat-pendapat tersebut yaitu:[3]
1.    Madzhab Syafi’i, Syiah dan salah satu riwayat dari Madzhab Hanbali dan dari kalangan tabi’in yang berpendapat “di antara thaus, Atha’, Makhul, Zahri, Ibnu Jubair, dan ibnu Munzir yang diriwayatkan dari para sahabat di antaranya Ali bin Abi thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Jubair dan Abi Hurairah yang berpendapat bahwa bacaan Basmalah adalah salah satu ayat surat Fatihah, hanya disunahkan membacanya pada awal membaca fatihah”. Hal ini berdasarkan hadis Nabi,

اَنَّ الْنَّبِيَّ ص.م : قَرَأَبِسْمِ الله الرّحْمنِ الّرَّحِيْم فِيْ اَوَّلِ الفَا تِحَتِ فِي الصّلاَةِ وَعَدَ

 هَاايِهِ....الحديت..
Artinya: “Nabi saw. membaca Basmalah pada awal Fatihah dalam shalat dan menghitungnya salah satu ayatnya”. (HR. Baihaqi, Ibnu Huzaimah, Daraqutni dan Hakim dari Ummu Salamah)

2.    Madzhab hanafi, Sofyan Sauri, Zahiri dan salah satu pendapat dalam Madzhab hanbali yang berpendapat basmalah bukan termasuk salah satu ayat fatihah, hanya disunahkan membacanya pada awal Fatihah. Hal ini dikuatkan dengan dalil;

صَلَيْتُ خَلْفَ رسول الله ص.م: وَاَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وعُثْمَا نَ فَكَا نُوْا يَسِيْرُوْنَ بسم الله الرحمن

الرحيم...الحديث..
Artinya: “Aku Shalat dibelakang Rasulullah saw, di belakang Abu Bakar, Umar dan Usman, mereka membaca perlahan Basmalah”. (HR Tabrani dan Ibnu Huzaimah dari Anas bin Malik)

Pendapat ini mengatakan bahwa membaca Basmalah hukumnya sunnah. Hal ini dikarenakan sebuah hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah membaca Basmalah dan pada sebagian hadis lagi menerangkan Rasulullah tidak membacanya.

3.    Pendapat yang masyhur dalam kalangan Madzhab Maliki dan Auzai yang mengatakan membaca basmalah tidak wajib pada awal Surah Fatihah, baik dalam shalat fardhu atau lainnya. Hal ini diperkuat dengan dalil Hadis rasulullah;

اَنَّ النّبِيَّ ص.م: كَا نَ يَفْتَتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ وَاْلقِرَاءَ ةِ بِالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَا لَمِينَ... الحديث..

Artinya: “Nabi saw. memulai shalat dengan takbir dan bacaan alhamdulillahi
Rabbil Alamin”.

Akan tetapi dari beberapa pendapat diatas, pendapat pertama adalah pendapat yang terkuat ialah Basmalah adalah salah satu ayat Surat Fatihah yang wajib dibaca dalam Shalat.[4]

D.      Bacaan Makmum (Fatihah) dalam Shalat Berjamaah
Para ulama telah ijma’ (bersepakat) bahwa imam tidaklah menanggung bacaan makmum dalam shalat fardhu, kecuali bacaan Fatihah. Adapun mengenai bacaan Fatihah, dalam hal ini ulama berbeda pendapat.
Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewajiban membaca Fatihah adalah gugur bagi makmum, baik shalat yang bacaannya Sir maupun Jahar, apabila seorang makmum membacanya juga, hukumnya adalah makruh tahrim.
Asy-Syarhasi berkata, “Apabila makmum membacanya, rusaklah shalatnya menurut pendapat sahabat, di antaranya yaitu Zaid bin Tsabit dan Sa’ad bin Abi Waqash”.
Diriwayatkan di dalam kitab Syarah Al-Hidayah bahwa Muhammad berpendapat bahwa makmum lebih baik membaca Fatihah untuk ihtiyat (hati-hati). Akan tetapi, menurut pengarang kitab Al-Fathi, “yang benar adalah pendapat Muhammad sama seperti pendapat dua sahabat Nabi SAW di atas. Dan telah dinukilkan dari kitab-kitab susunan Muhammad mengenai ketegasannya bahwa ia melarang makmum membaca Fatihah”.
Kemudian pengarang Al-Fathi berkata, “tidaklah samar bahwa ihttidaklah samar bahwa ihtiyat adalah tidak membaca di belakang imam. karena ihtiyat ialah beramal dengan cara mengamalkan dalil yang lebih kuat di antara dua dalil, sedangkan yang lebih kuat adalah yang tidak membaca, bukan yang membaca”.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa makmum diwajibkan membaca fatihah, baik shalat jahar mauun shalat sir. Sementara itu, ulama Malikiyyah dan ulama Hanabillah berpendapat bahwa membaca Fatihah itu tidak wajib atas makmum mutlak. Hanya saja ulama Malikiyyah yang mengatakan bahwa makmum disunnahkan membacanya –pada shalat sirriyah walaupun imam membacanya secara keras, dan makruh membacanya pada shalat jahriyah, walaupun ia tidak dapat mendengar bacaan imam. Demikian ulama Hanabillah mengatakan bahwa makmum disunahkan membacanya tatkala imam diam dan pada saat-saat tidak dapat mendengar bacaan imam, baik karena sebab bacaannya sir atau pun karena jauhnya.[5]
Jadi berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat diambil kesimpulan yaitu,
a.         Ulama Hanafiyyah melarang makmum membaca Fatihah secara mutlaq.
Ulama Hanafiyyah berhujjah pada Nash Al-Qur’an, dan Al-Hadist.
Adapun nash Al-Qur’an yaitu firman Allah SWT QS. Al-A’raf: 204;

وَاِذَا قُرِىءَالْقُرْانُ فَا سْتَمِعُوْا لَهُ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكَمْ تُرْحَمُوْنَ.

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikan dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”

Adapun Al-Hadis yang menjadi hujjah yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dari Abdullah bin Syaddaad dari jabir bin Abdullah r.a, bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ صَلَّى خَلْفَ اِمَا مٍ فَاِنّ قِرَا ءَةَاْلاِمَا م لَهُ قِرَاءَةٌ
“ Barangsiapa yang mengerjakan shalat di belakang imam, maka sesungguhnya bacaan imam adalah menjadi bacaannya ”

b.        Ulama Syafi’iyyah mewajibkan secara mutlaq
Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa membaca Fatihah itu merupakan salah satu rukun shalat, maka ia tidak dapat gugur dari makmum sebagaimana rukun-rukun lainnya.
Mengenai pendapatnya, Ulama Syafi’iyyah berpegang dengan hadis Abu Hurairah r.a, yaitu:

مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيْهَا بِأُمِّ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ غَيْرُ تَمَامٍ
Barangsiapa yang shalat, yang di dalamnya tanpa membaca ummul kitab (Fatihah), maka shalat itu kurang, tegasnya tidak sempurna”

c.         Ulama Malikiyyah tidak mewajibkan dan juga tidak melarang dalam membaca Fatihah, tetapi hanya pada saat sir disunnatkan membacanya.
d.        Ulama hanabillah tidak mewajibkan dan tidak melarang pada saat tidak terdengar bacaan imam, maka sunat membacanya bagi makmum.

Adapun untuk Ulama Malikiyyah dan ulama Hanabillah mengambil dalil mengenai tidak wajibnya makmum membaca Fatihah, yaitu dengan dalil-dalil sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama Hanafiyyah. Mereka mengatakan dalil-dalil itu telah menunjukkan ketidakwajibannya, bukan larangan yang menunjukkan keharaman.
Mereka mengambil hujjah dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Darda r.a, ia berkata, “ Baginda Nabi SAW pernah ditanya, apakah pada masing-masing shalat itu terdapat bacaan? Beliau menjawab, “Ya”. Maka berkatalah salah seorang laki-laki dari golongan anshar, sudah wajib? Maka Baginda rasulullah bersabda kepadaku, sedang aku adalah orang yang paling dekat kepada beliau:

مَنْ صَلَّى صَلاَةً لاَيَقْرَأُفِيْهَا بِأُمِّ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ اِلاَّاَنْ يَكُوْنَ وَرَاءَاْلاِمَامِ

“Barangsiapa shalat yang di dalamnya tanpa membaca ummul kitab (Fatihah), maka shalat itu kurang, kecuali ia yang berada di belakang imam”.[6]

E.       Meng-qadha Shalat dengan bersengaja
Para Fuqaha sependapat bahwa orang yang terlupa atau tertidur, sehingga shalatnya tertinggal maka diwajibkan atasnya mengqadha shalatnya. Pendapat ini berdasarkan hadis Nabi,

اِذَا نَسِيَ اَحَدُكُمْ صَلاَةً اَوْنَا مَ عَنْهَا فَلْيُصَلّهَا اِذَا ذَ كَرَهَا...الحديث..

Artinya: “Apabila salah seorang kamu lupa akan shalatnya atau tertidur, maka hendaklah dia shalat dikala dia ingat”.

Tetapi timbul perbedaan mengenai orang yang sengaja meninggalkan shalat, apakah mereka wajib mengqadha shalat yang tetinggal itu atau tidak?
1.    Pendapat kalangan Madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi yaitu orang yang sengaja meninggalkan shalatnya maka wajib mengqadha shalatnya.  Hal ini diperkuat dengan dalil hadis yang artinya: “ mereka menceritakan kepada Nabi, tentang shalat yang mereka (tertinggal) karena tertidur. Beliau menjawab, bahwa tidak ada kesengajaan yang tertidur, hanya sebuah kelalaian (kesengajaaan) itu bagi orang yang bangun, maka apabila salah seorang diantara kamu lupa atau karena lupa atau tertidur akan sesuatu shalatnya hendaklah dikerjakan apabila ia ingat ”. (HR Bukhari, Abu Daud, dan Tirmuzi dari Abi Qatadah)
2.    Pendapat Madzhab Zahiri, Ibnu Hamzin, dan salah satu riwayat dari kasim dan wazir dari madzhab syi’ah yaitu orang yang meninggalkan shalatnya dengan sengaja tidak wajib mengqadha shalatnya yang tertinggal itu dan kalaupun juga mereka mengqadha shalatnya maka shalatnya dianggap tidak sah. hal ini dikuatkan dengan Firman Allah, QS. Al-Maun: 4-5;

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (4), (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnyan(5)”.

Pada dasarnya shalat yang tertinggal itu bagaikan hutang, dimana setiap hutang itu harus dibayar. Jadi, bagi orang yang tertinggal akan shalatnya maka ia wajib mengantinya atau mengqadhanya.

F.        Masalah qadha Shalat bagi orang pingsan
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara para Fuqaha, yaitu:
1.    Dari Jumhurul Fuqaha di antaranya madzhab Maliki, Syafi’i, Zahiri, dan Syi’ah yang berpendapat bahwa orang-orang yang pingsan tidak wajib mengqadha shalatnya yang tertinggal, melainkan kalau masih ada waktu untuk mengerjakannya setelah sadar.
Adapun dasar yang digunakan yaitu menggunakan qias, yaitu mengkiaskan orang yang pingsan dengan orang gila yang keduanya sama-sama kehilangan akal mereka. Karena para Fuqaha sepakat bahwa orang gila tidak wajib mengqadha shalatnya begitu juga dengan orang pingsan.
2.    Pendapat Madzhab Hanbaliyang mengatakan bagi mereka wajib mengqadha Shalatnya yang tertinggal di waktu pingsan. Dasar yang digunakan yaitu lebih menggunakan Ratio, ialah kewajiban-kewajiban agama hanyalah dibebankan kepada orang yang berakal, karena itu orang yang pingsan termasuk orang yang hilnag akal, dengan sendirinya mereka tidak dibebankan sesuatu beban dalam agama, dan karena itu tidaklah wajib mengqadha beban yang tertinggal di saat kehilangan akal.
3.    Pendapat Madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa orang yang pingsan, yang waktu pingsannya tidak melebihi lima kali shalat maka wajib mereka mengqadhanya, tetapi apabila ia lebih dari itu maka tidak wajib mengqadha. Hal ini diperkuat dengan dalil yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib yang telah pingsan selama empat kali sembahyang, kemudian sesudah beliau sadar beliau mengqadha shalatnya tersebut.

Dari pendapat-pendapat diatas, seperti yang kita ketahui atau bahkan berlaku sampai sekarang yaitu pendapat pertama, yang mengatakan bahwa orang yang pingsan tidak wajib mengqadha shalatnya, walaupun pingsannya sebentar ataupun lama.

G.      Masalah berkata-kata dalam Shalat
Para Fuqaha sependapat bahwa berkata-kata dalam Shalat dan disengaja yang bukan bertujuan untuk memperbaiki shalatnya maka shalatnya batal. Tetapi mengenai berkata-kata dalam bentuk lain terdapat perbedaan, yaitu:[7]
1.    Kalangan madzhab Maliki, Auzai, dan salah satu riwayat dalam Madzhab Hanbali yang mengatakan bahwa berkata-kata dalam sembahyang apabila terlupa atau tidak tahu tentang hukumnya, atau sengaja untuk memperbaiki shalatnya dengan perkataan yang sedikit tidaklah membatalkan shalat. Hal ini diperkuat dengan dalil hadis yang berbunyi: “ rasulullah saw bersembahyang bersama kami akan sembahyang zuhur dan asar, beliau memberi salam dari dua rekaat. Berkata kepada Zul Yadain, apakah kau pendekkan (qashar) sembahyang atau kau lupa hai Rasulullah? Rasulullah menjawab: Aku tidak lupa dan tidak pula mengqashar. Kemudian berkata lagi Zul Yadain: bahkan kau telah terlupa. Jawab Rasulullah: Apakah seperti yang dikatakan Zul Yadain! Mereka berkata: Ya! Kemudian beliau sembahyang lagi apa yang tertinggal dan kemudian memberi salam”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
2.    Madzhab Syafi’i dan salah satu riwayat dari madzhab Hanbali yang mengatakan berkata-kata karena terlupa atau karena tidak tahu hukumnya, selama perkataan itu tidak banyak, tidaklah membatalkan shalat. Tetapi apabila berkata-kata dengan sengaja, sekalipun untuk memperbaiki shalatnya maka shalatnya batal.
3.    Madzhab hanafi, dan Jumhurur Syi’ah dan salah satu riwayat dalam madzhab Hanbali, yang mengatakan berkata-kata dalam shalat untuk sesuatu tujuan apa saja, sedikit atau banyak, selain dari menjawab salam karena lupa, maka membatalkan shalatnya. Hal ini diperkuat dengan dalil hadis yang berbunyi: “kami berkata-kata dalam shalat, seorang laki-laki dari kami berbicara dengan temannya, dan dia (temannya) berada di sampingnya dalam keadaan shalat, sampai turun ayat yang berbunyi ‘ Qumu lillahi qanitin’, kami diperintahkan agar dian dan kami dilarang berkata-kata”. (HR. Bukhari, Muslim, Tabrani, Baihaqi, Abu Daud, dan Nasa’i dari Zaid bin Arqam)

H.      Masalah orang yang shalat Fardhu mengikuti (jama’ah) orang yang Shalat Sunnah
Para Fuqaha berbeda pendapat mengenai sah tidaknya bagi orang yang shalat Fardhu mengikuti orang yang shalat Sunnah, di antaranya:[8]
1.    Pendapat madzhab Syafi’i, Zahiri, Syi’ah Imamiyah dan salah satu riwayat dari madzhab Hanbali, yang diriwayatkan dari Tabiin (Thaus, Atha’, Auzai, dan Abi Tsaur), yang berpendapat bahwa orang yang shalat Fardhu dapat mengikuti imam yang shalat Sunnah, dan shalatnya diangap sah. hal ini diperkuat dengan dalil yang berbunyi: “ Nabi saw. shalat dalam shalat khauf dengan suatu kelompok  dua rekaat kemudian memberi salam, kemudian shalat lagi dengan kelompok lain dua rekaat kemudian salam”. (HR. Syafi’i, Nasai, dan Ibnu Majah dari Hasan dari Jabir )
2.    Madzhab Hanafi, Maliki, Itrah, Zaidiyah, Sofyan Sauri dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal yang diriwayatkan dari Yahya bin Said, Al Anshari, hasan Bisri, Zahri dan Rabi’ah dari golongan Tabiin, yang berpendapat tidak sah yang mengerjakan shalat Fardhu mengikuti orang yang shalat sunnah. Hal ini berdasarkan dalil yang berbunyi: “ Sesungguhnya dijadikan imam agar diikuti, maka jangan lah kamu menyalahinya. Apabila dia bertakbir maka bertakbirlah kamu, dan apabila dia ruku’ maka ruku’lah kamu”. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad dari Abi Hurairah)

Dari pendapat diatas, pendapat pertamalah yang dijadikan pengetahuan orang-orang, bahwa sah bagi orang yang shalat fardhu mengikuti imam yang shalat sunnah.


I.         Qashar Shalat dalam Perjalanan
Para imam telah ijma’ (sepakat) bahwa musafir (orang yang bepergian) boleh mengqashar shalat yang empat rekaat menjadi dua rekaat. Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai hukum qashar itu.
Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa qashar itu wajib ‘ain atas tiap-tiap musafir. Dengan demikian, yang difardhukan hanyalah dua rekaat saja. Jadi, apabila ia berniat shalat empat rekaat dan tidak duduk setelah dua rekaat yang pertama, batallah shalatnya karena ia telah meninggalkan fardhu duduk yang akhir.
Sebaliknya apabila ia duduk setelah dua rekaat pertama, sah-lah fardhunya dan dua rekaat yang akhir itu dianggap sunnah. Begitu pula menurut pendapat Hadawiyyah. [9]
Al-Khaththabi dalam kitab Ma’alimus Sunan berkata, “Adapun kebanyakan ulama salaf dan fuqaha beberapa kota menyatakan bahwa qashar shalat dalam perjalanan itu adalah wajib hukumnya, dan itulah pendapat sayyidina Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Qatadah, dan Al-Hasan ”.
Adapun tiga Imam, yaitu Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa qashar shalat itu bukan wajib ain, melainkan hanya rukshah (keringanan). Ketiga imam tersebut mengambil dalil dengan Nash AlQur’an, Al-Hadis, dan Qiyas.
a.    Nash Al-Qur’an ialah firman Allah SWT, QS. An-Nisa’: 101;
 “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
b.    Hadis Rasulullah SAW mengenai shalat qashar sebagai rukhshah, beliau bersabda:

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ الّلهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ

“Hal itu merupakan sedekah yang telah di berikan oleh Allah kepada kalian. Maka terimalah shadaqah itu ”
c.    Sedangkan Qiyas dalam hal ini, ada dua alasan:
a)        Para ulama telah sepakat mengenai sahnya orang yang bepergian (musafir) mengikuti fardhunya orang yang mukim, yaitu menyempurnakan shalat. Seandainya qashar itu fardhu, tentulah tidak boleh kepada orang yang mukim, misalnya dalam shalat subuh, karena fardhunya dua rekaat, ia tidak berubah dengan sebab orang shalat dzuhur.
b)        Qashar itu merupakan suatu rukhshah yang diberikan kepada orang-orang yang bepergian sebagaimana juga mengusap muzah (sepatu) dan berbuka pada siang hari bulan Ramadhan. Semua Rukhshah termasuk perkara yang boleh ditinggalkan atas kesepakatan para ulama. Demikian juga masalah qashar dalam shalat. Adapun dalil yang dijadikan hujjah yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, ia berkata, “ Rasulullah SAW datang kepada kami ketika kami dalam keadaan sesat, lalu membimbing kami dan beliau memerintahkan kepada kami untuk shalat dua rekaat dalam perjalanan”. (HR. An-Nasa’i)
Akan tetapi, mengenai hukum dari shalat qashar itu sendiri mereka berbeda pendapat, yaitu:
a.    Ulama Malikiyah berpendapat bahwa qashar hukumnya sunnah muakad yang apabila ditinggalkan dengan sengaja wajib i’adah pada waktunya, dan ketinggalan karena lupa maka wajib sujud sahwi.
b.    Ulama hanabilah berpendapat bahwa qashar itu lebih utama. Dan  itu yang mashur dari Madzhab Syafi’i apabila perjalanan itu 3 hari, dan apabila kurang dari 3, dan apabila kurang dari 3 hari maka menyempurnakan itu jauh lebih utama.


J.         Jama’ shalat antara dua waktu shalat
Para imam mujtahid tidak berbeda pendapat bahwa jama’ shalat yang dikerjakan pada waktu dzuhur dan ashar sebagai jama’ taqdim yang dikerjakan pada waktu dzuhur di arafah, juga antara magrib dan isya’ sebagai jama’ ta’khir yang dikerjakan pada waktu isya’ di Muzdalifah adalah sunnat bagi orang yang sedang melaksanakan ihram haji. Ulama Hanafiyyah berpendapat, hanya di situlah (di Muzdalifah dan ketika ihram haji) dibolehkan menjama’. Begitu pula pendapat Al-Hasan, dan An-Nakha’i.
Adapun imam-imam yang lain membolehkan jama’ pada tempat lain, di antaranya:[10]
1.    Ulama Syafi’iyah membolehkan jama’ antara dua dzuhur (dzuhur dan ashar) serta dua isya’(magrib dan isya’), baik dikerjakannya secara jama’ taqdim maupun jama’ takhir bagi musafir (orang dalam perjalanan) yang mempunyai rukhshah qashar. Mereka pun membolehkan orang yang mukim mengerjakan jama’ taqdim saja dalam shalat-shalat tersebut dengan sebab hujan yang membasahi pakaiannya.
2.    Ulama Malikiyyah membolehkan jama’ taqdim pada waktu dzuhur dengan ashar serta magrib dengan isya’, baik bagi orang safar walaupun dekat (bersifat mubah), atau orang muqim jika takut terjadi halangan yang dapat mencegah shalat ketika masuk shalat yang kedua (ashar atau isya’).
3.    Ulama Hanabillah membolehkan jama’ taqdim dan jama’ ta’khir antara dua dzuhur (dzuhur dan ashar) serta dua isya’ (magrib dan isya’) bagi musafir yang berada dalam keadaan dibolehkan qashar, orang sakit yang akan mengalami kesulitan jika tidak menjama’, orang yang sudah udzur, orang yang lemah untuk mengerjakan wudu setiap kali shalat.

K.      Jama’ Taqdim dan Jama’ Ta’khir[11]
1)   Madzhab Hanafi
Menurut ulama Hanafillah, tidak membolehkan jama’ antara dua macam shalat dalam satu waktu, baik dalam keadaan bepergian (safar) maupun di rumah dengan udzur apapun juga. Mereka hanya membedakan jama’ dalam dua macam kondisi, yaitu:
a.         Diperbolehkannya menjama’ shalat dzuhur dan ashar pada waktu dzuhur (jama’ taqdim) dengan empat syarat:
a)   Dilakukan pada saat wukuf di Arafah.
b)   Yang melakukan jama’ shalat tersebut sedang mengerjakan ihram haji.
c)   Mengerjakannya di belakang imam kaum muslimin atau wakilnya.
d)  Shalat dzuhur yang dilakukannya itu sah. Maka jika shalat dzuhur jelas batalnya, wajib i’adah (diulang). Dalam keadaan ini, seseorang tidak boleh menjama’ dengan shalat ashar, tetapi ia wajib mengerjakan shalat itu bila waktunya telah tiba.
b.        Dibolehkan menjama’ shalat magrib dan isya’ pada waktu isya’ (jama takhir) dengan syarat:
a)   Dikerjakan di Muzdalifah.
b)   Hendaknya orang yang mengerjakan shalat jama’ sedang ber-ihram haji.

2)   Madzhab Maliki
Menurut Madzhab Maliki, sebab-sebab menjama’ shalat sebagai berikut:
a.    Bepergian secara mutlaq, baik safar yang diperbolehkan qashar ataupun tidak. Orang itu dibolehkan menjama’ shalat dzuhur dan ashar dengan cara jama’ taqdim dengan dua syarat, yaitu:
a)   Matahari telah tergelincir ketika ia tiba di tempat yang akan dijadikan peristirahatan.
b)   Ia melakukan perjalanan sebelum waktu ashar tiba dan berhenti untuk istirahat setelah terbenam matahari.

b.    Sakit
Barang siapa yang sakit sehingga ia tidak mampu mengerjakan setiap shalat atau wudu, maka ia boleh menjama’ antara shalat dzuhur dengan ashar dan antara magrib dan isya’.

c.    Hujan dan tanah becek serta gelap
Apabila turun hujan yang deras yang menghendaki manusia untuk menutup kepala mereka ataupun melepaskan sepatunya, sedang keadaan saat itu sangat gelap gulita, maka bolehlah menjama’ shalat isya’ dengan magrib secara jama’ taqdim, demi memelihara shalat isya’ dalam keadaan berjamaah tanpa adanya kesulitan.
d.   Berada di Arafah, baik ia berkedudukan sebagai penduduknya maupun bukan.
e.    Berada di Muzdalifah
Disunahkan bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji setelah bertolak dari Arafah untuk mengakhiri shalat magrib sehingga ia tiba di Muzdalifah. Ia mengerjakannya bersama shalat isya’ dengan cara jama’ takhir. Jama’ tersebut disunahkan bagi orang yang wukuf bersama imam di Arafah.
3)   Madzhab Asy-Syafi’i
Diperbolehkannya menjama’ antara magrib dan isya’ secara jama’ taqdim maupun jama’ takhir bagi orang yang melakukan safar sejauh jarak yang dibolehkan mengqashar shalat.
Dalam melaksanakan jama’ takhir disyaratkan bermacam-macam syarat, yaitu:
a.       Tartib, mendahulukan shalat yang berada pada waktunya. Misalnya, ia berada pada waktu dzuhur, dan ia berkehendak melakukan jama’ taqdim dengan shalat ashar, maka wajib ia memulainya dengan shalat dzuhur bukan sebaliknya.
b.      Niat menjama’ dengan shalat yang pertama.
c.       Berturut-turut antara dua macam shalat, yaitu sekiranya tidak dipisah antara keduannya dengan suatu perbuatan yang cukup untuk menunaikan shalat dua rekaat yang ringan.
d.      Masih tetap berlangsungnya safar sampai ia memulai dalam shalat kedua dengan takbirotul ihram.
e.       Waktu shalat yang pertama masih memungkinkan terselenggaranya shalat yang kedua.
Sedangkan untuk jama’ takhir terdapat dua macam syarat, yaitu:
a.       Niat mengakhirkan pada waktu shalat yang pertama selama waktunya masih mencukupi untuk shalat secara sempurna atau di-qashar.
b.      Safar masih berlangsung sampai dua shalat selesai dengan sempurna. Apabila musafir menjadi muqimin (orang yang bermukim) sebelum itu, maka shalat yang diniatkan untuk diakhitkan menjadi shalat qadha.
Sedangkan hukum tartib dan berturut-turut antara dua shalat dalam jama’ ta’khir adalah hukumnya sunnah.
4)   Madzhab Hambali
Diperbolehkan mengerjakan shalat jama’ antara shalat dzuhur dan ashar maupun shalat  magrib dan isya’, baik secara jama’ taqdim ataupun jama’ ta’khir. Akan tetapi, meninggalkan menjama’ shalat adalah lebih utama.
Sunnah hukumnya menjama’ taqdim antara shalat dzuhur dan ashar di Arafah serta menjama’ ta’khir antara shalat magrib dan isya’ di Muzdalifah. Akan tetapi, kebolehan menjama’ ini adalah bagi orang musafir yang dibolehkan mengqashar shalat, atau orang yang sakit yang mengalami kesulitan jika meninggalkan jama’ atau wanita yang sedang menyusui.
Adapun yang lebih utama adalah memilih jama’ yang mana lebih meringankan antara jama’ taqdim atau jama’ ta’khir.

L.       Penutup
Shalat menurut bahasa artinya do’a, sedangkan menurut istilah berarti ucapan-ucapan dan perbuatan yang didahului dengan takbirotul ikhram dan diakhiri dengan salam.
pada dasarnya shalat itu adalah dilakukan dengan menghadap ke kiblat bagi mereka yang sudah mengetahui arah kiblat tersebut, akan tetapi bagi orang yang tidak mengetahui kiblat itu padahal ia sudah berusaha dan berijtihad, maka ia boleh melakukan shalat ke arah di mana ia yakin shalat ke arah yang dituju tersebut, dan apabila setelah selesai shalat ia mengetahui arah yang sesungguhnya dan arah yang ia tuju tadi salah, maka baginya boleh mengulanginya atau tidak, dan shalatnya tetap sah.
Bacaan Basmalah adalah salah satu ayat surat Fatihah, hanya disunahkan membacanya pada awal membaca fatihah”. Hal ini berdasarkan hadis Nabi,

اَنَّ الْنَّبِيَّ ص.م : قَرَأَبِسْمِ الله الرّحْمنِ الّرَّحِيْم فِيْ اَوَّلِ الفَا تِحَتِ فِي الصّلاَةِ وَعَدَ

 هَاايِهِ....الحديت..
Artinya: “Nabi saw. membaca Basmalah pada awal Fatihah dalam shalat dan menghitungnya salah satu ayatnya”. (HR. Baihaqi, Ibnu Huzaimah, Daraqutni dan Hakim dari Ummu Salamah)

Para Fuqaha sependapat bahwa orang yang terlupa atau tertidur, sehingga shalatnya tertinggal maka diwajibkan atasnya mengqadha shalatnya. Pendapat ini berdasarkan hadis Nabi,

اِذَا نَسِيَ اَحَدُكُمْ صَلاَةً اَوْنَا مَ عَنْهَا فَلْيُصَلّهَا اِذَا ذَ كَرَهَا...الحديث..

Artinya: “Apabila salah seorang kamu lupa akan shalatnya atau tertidur, maka hendaklah dia shalat dikala dia ingat”.

Adapun yang lebih utama dalam menjama’ shalat adalah memilih jama’ yang mana lebih meringankan antara jama’ taqdim atau jama’ ta’khir

DAFTAR PUSTAKA

 Jawad Muhammad,  Fiqh Lima Madzhab, cet.1, (Jakarta: Basrie Press, 1991),
Syukur Asywadie, Perbandingan Madzhab, cet ke-2, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1982),
Syalthut Mahmud, Fiqih-Tujuh Madzhab, Cet-1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),.
Syaltout mahmod syeikh, dkk, Perbandingan Madzhab  (dalam masalah Fiqh), Cet ke-4, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987.



[1] Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab, cet.1, (Jakarta: Basrie Press, 1991), hlm. 109.
[2] Ibid, hlm. 114-116.
[3] H.M. Asywadie Syukur, Perbandingan Madzhab, cet ke-2, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1982), hlm. 228.
[4] Ibid..hlm. 235.
[5] Prof. Dr. Mahmud Syalthut, Fiqih-Tujuh Madzhab, Cet-1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),.hlm, 62.
[6] Ibid..hlm, 68.
[7] H.M. Asywadie Syukur, Perbandingan Madzhab. Op.cit. hlm. 257-263.
[8] Ibid...hlm. 264-268.
[9] Prof. Syaikh mahmod Syaltout, dkk, Perbandingan Madzhab  (dalam masalah Fiqh), Cet ke-4, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987, hlm. 63.
[10] H.M. Asywadie Syukur, op.cit. hlm. 79.
[11] Prof. Dr. Mahmud Syalthut, Fiqih-Tujuh Madzhab, op.cit. hlm.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.