Langsung ke konten utama

KEDUDUKAN MADZHAB DI DALAM PEMBINAAN HUKUM ISLAM


 
Disusun oleh:
Lu’lu’ il Hidayah (111-11-004); Siti Asiyah (111-11-014); Achmad Rifai (111-11-028); dan Setya Ayu Ariskha (111-11-029)

A.     Sistematika Hukum Islam
Para ulama fiqh telah membagi dan mengelompokkan hukum islam ke empat kelompok yang besar:
1.       Hukum ibadat
Yaitu ketentuan hukum islam yang mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya.
Seperti: sholat, zakat, puasa, dan lain sebagainya.
2.      Hukum mu’amalat
Yaitu ketentuan hukum islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam masalah sosial ekonomi.

Seperti: jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perburuhan dan lain sebagainya.
3.      Hukum Munakahat/Pernikahan
Yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan manusia didalam bidang pernikahan tatacara dan syarat rukun pernikahan, masalah waris, dan nafkah. Hukum-hukum yang bertalian dengan kehidupan rumah tangga.
4.      Hukum jinayat
Yaitu hukum islam yang mengatur tindak pidana berikut sanksinya.[1]
Empat kelompok hukum tersebut kembali kepada induknya yang asasi ialah al-qur’anul karim.
Didalam al-qur’an masalah tersebut di atas diutarakan secara garis besar saja. Beberapa contoh dapat disebut di sini antara lain:
1.      Hukum sholat dan perintah zakat.
Allah berfirman dalam surah An-nisa ayat 17:

“Dirikanlah sholat dan bayarlah zakat”

2.      Anjuran mengadakan persaksian dikala mengadakan perjanjian hutang piutang dan berwasiat. Allah berfirman dalam surah al-baqoroh ayat 282:

 wahai orang-orang yang beriman jika kamu mengadakan perjanjian hutang piutang maka tulislah dan persaksikanlah piutang itu dengan dua orang saksi laki-laki diantara kamu.”
Al-maidah ayat 106:

 “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah wasiat itu disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu.”
3.      Hukum Pernikahan. Allah berfirman:

“Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senagi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kam miliki.” (An-nisa’ ayat 3).
 “janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baikdari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu….” (Al-baqoroh ayat 221)
Untuk menjelaskan secara terperinci terhadap hukum al-Qur’an yang sifatnya masih umum dan glbal, maka Allah swt telah menyerahkan tugas ini kepada Rasulullah Saw dengan firmanNya:

“Dan kami telah menurunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menjelaskan kepada para manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An-nahl ayat 44)
Dengan firman Allah ini telah menegaskan bahwa tugas dan kewenangan untuk menjelaskan Al-Qur’an yang berisi ketentuan hukum yang sifatnya masih umum dan global tadi diserahkan sepenuhnya kepada Muhammad Rasullah saw sebagai pembawa wahyu Allah itu sendiri yaitu al-qur’an.
Dengan ucapan dan juga perbuatan-perbuatannya maka nabi Muhammad saw menjelaskan Al-Qur’an yang mengandung beberapa ketentuan hukum dan ucapan-ucapan serta perbuatan-perbuatan beliau itulah yang disebut dengan sunah atau hadits.
Dalam masalah sholat misalnya seperti yang tersebut dimuka, nabi kemudian menjelaskan secara terperinci bagaimana melakukan shalat itu dalam praktek dan amaliyah. Setelah beliau memberikan petunjuk pelaksanaannya yang konkrit itu lalu beliau bersabda:
صلوا كما رايتموني اصلي
“Shalatlah sebagaiman kamu sekalian melihat saya shalat.”    
Demikian pula beliau telah memberikan contoh bagaimana cara melaksanakan ibadah haji setelah itu beliau bersabda:
خذوا عني مناسككم
“Ambillah dari saya ibadah hajimu. “yakni contohlah perbuatan saya ini dalam melaksanakan ibadah haji.”
Dengan penjelasan singkat diatas, maka nyatalah bahwa Sunnah atau Hadits mempunyai peranan yang menetukan dalam pembinaan hukum islam. Ia adalah sumber hukum islam yang kedua setelah al-qu’an dan merupakan hujjah bagi kaum muslimin dalam melaksanakan syari’at islam. Tanpa sunnah atau hadits tidak mungkin umat islam melkasanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Swt di dalam Al-qur’an.
Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada segenap kaum muslimin agar menaai semua perintah nabi dan menjauhkan diri dari larangan beliau dan taat kepada nabi itu dianggap sebagai taat kepada Allah.
Firman Allah (Ali imron ayat 32):

“Katakanlah: Taatlah kepada allah dan Rasul. Bila kau sekalian berpaling, maka sungguh Allah tidak suka kepada orang-orang kafir.”
Selanjutnya dalam surat Al-Hasyr ayat 7 Allah berfirman:

“apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”
Selanjutnya firman Allah (An-nisa’ Ayat 80)
 “Barang siapa taat kepada Rasul maka berarti ia sungguh taat kepada Allah.  
Dan firman-Nya pula (Al-Ahzab ayat 36)
“dan tidaklah patut bagi seorang muslim lelaki maupun perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan (suatu ketetapan) akanada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia tlah sesat sesesat-sesatnya.”
Tidaklah syah dan ragu-ragu lagi bahwa al-qu’an yang diwahyukan kepada Muhammad Rasulullah Saw mengandung nilai kebenaran yang mutlak dan hakiki, karena ia adalah firman Allah dzat yang maha sempurna dan maha mengetahui. Demikian pula halnya hadits, bahwa nabi Muhammad Saw adalah seorang manusia biasa sebaga mana lazimnya manusia-manusia yang lain, tetapi di dalam masalah tasyri’ (menetapkan hukum-hukum syariat) beliau tidak lepas dari control yang senantiasa dikendalikan oleh Allah Swt. Dengan adanya control ini maka segala ucapan dan perbuatan beliau yang menyangkut masalah tasyri’ senantisasa berdasarkan wahyu yang beliau terima dari Allah swt.[2]

B.     Madzhab-Madzhab sebagai Penjaga Kelestarian Hukum Islam
Pada zaman Rasulullah Saw. Madzhab belum dikenal dan digunakan, karena pada zaman itu Rasul masih berada bersama sahabat, jadi jika mereka mendapatkan permasalahan maka Rasul akan menjawab dengan wahyu yang diturunkan kepadanya, tetapi setelah Rasulullah meninggal dunia, para shahabat telah tersebar diseluruh penjuru negeri Islam, sementara itu umat islam dihadirkan dengan berbagai permasalahan yang menuntut para shahabat berfatwa untuk menggantikan kedudukan Rasul, tetapi tidak seluruh shahabat mampu berfatwa dan berijtihad, oleh sebab itulah terkenal dikalangan para sahabat yang berfatwa ditengah sahabat-sahabat Rasul lainnya, sehingga terciptanya Mazhab Abu bakar, Umar, Utsman, Sayyidah 'Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah Bin Umar, Abdullah Bin Mas'ud dan yang lainnya. Mengapa shahabat-sahabat yang lain hanya mengikuti sahabat yang telah sampai derajat mujtahid?, karena tidak semua sahabat mendengar hadits Rasul dengan jumlah yang banyak, dan derajat kefaqihan mereka yang berbeda-beda, sementara Allah telah menyuruh mereka untuk bertanya kepada orang yang Alim di antara mereka. Hendaklah kamu bertanya kepada orang yang mengetahui jika kamu tidak mengetahui Pada zaman Tabi’in timbul pula berbagai macam madzhab yang lebih dikenal dengan madzhab Fuqaha Sab'ah (Madzhab tujuh tokoh Fiqh) di kota Madinah, setalah itu bermunculan madzhab yang lainnya di negeri islam, seperti madzhab Ibrahim an-Nakha'i, asy-Syukbi, sehingga timbulnya madzhab yang masyhur dan diikuti sampai sekarang yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.[3]
Di kalangan umat Islam, sekarang ini ada empat madzhab yang sangat dikenal yaitu; madzhab Hanafi (80-150 H), madzhab Maliki (93-179 H), madzhab Syafi’i (150-204 H), dan madzhab Hambali (164-241 H). Selain empat madzhab itu masih banyak madzhab lain misalnya, madzhab Ja’fari, Syi’ah Imamiah, Syi’ah Zaidiyah Hasan Basyri, as-Tsauri, Daud ad-Dhahiri, dan sebagainya. Masing-masing madzhab mempunyai aturan-aturan dan tata cara hukum tersendiri yang kadang-kadang berbeda dengan madzhab yang lain, terutama mengenai soal-soal furu’iyah.[4]
Berkata imam Dahlawi dalam kitabnya al-insof halaman 53 dan kitab Mujjatul balighoh 1-132, yang artinya:
“Sesungguhnya ummat telah sepakat bahwa empat madzhab yang telah dibukukan secara autentik boleh diikuti sampai sekarang. Dalam mengikuti madzhab-madzhab tersebut jelas ada maslahatnya lebih-lebih pada sekarang ini dimana kemauan sudah menjadi lemah sekalu dan hawa nafsu telah mencampuri jiwa seseorang dan masing-masing orang mengagumi pendapatnya.”
Imam syafi’i, abu hanifah, ahmad dan malik adalah merupakan kelompok para mujtahidin dimana orang-orang awam boleh taklid kepada mereka, sebagaimana orang-orang awam dari pada sahabat taklid kepada mujtahid yang sezaman dengan mereka seperti ibnu abbas, ibnu mas’ud, zaid bin tsabit, dan para khulafaurrasyidin.
Bukanlah semua ulama ahli sejarah dan sejarah perundang-undangan islam telah sepakat, bahwa pada tabi’in ada dua madzhab yang besar yaitu madzhab ahli Ra’yu di Irak. Dan umumnya ahli Hijaz taklid kepada madzhab yang utama bagi mereka, demikian juga ahli irak taklid kepada madzhab yang utama menurut mereka. Baik madzhab ahli hijaz maupun irak masing-masig mempunyai imam-imam.
Kemudian apa yang terjadi dengan menantang kenyataan adanya madzhab empat? tak ada masalah yang terjadi.
Para imam madzhab telah meletakkan dasar-dasar method untuk melakukan istinbath, yang mereka serap dari dalil-dalil kitab dan sunnah. Dengan metode itu mereka membuat batasan-batasan mana qiyas dan ra’yu yang sehat dan mana yang batal, sehingga antara dua nadzhab ahli ra’yu dan madzhab hli hadits ada pendekatan sehingga sedikit demi sedikit masing-masing menuju sasaran yang tidak berlebih-lebihan dan obyektif.
Faktor inilah yang menyebabkan madzhab empat menempati posisi yang tinggi dalam bidang pembahasan ijtihad dan mendapat sambutan dari berbagai golongan dan tingkatan serta diikuti dan diperangi oleh mereka. Bermadzhab dengan arti melaksanakan dan mengamalkan hasil ijtihad para imam mujtahid seperti imam maliki, syafi’i, dan lain-lain hukumnya adalah wajib bagi setiap umat islam yang belum mampu melakukan ijtihad. Sebab madzhab-madzhab yang mereka bina itu adalah merupakan hasil ijtihad yang mereka milki dengan sepenuhnya. Padahal sudah jelas bahwa yang disebut ijtihad ialah semata-mata menggali isi al-qur’an dan hadits untuk mendapatkan sesuatu hukum yang konkrit dan positif. Jadi berijtihad berarti langsung menggunakan pedoman qur’an dan hadits, dan hasil ijtihad yang tersebut orang madzhab itu berarti pula seratus persen berdasarkan al-qur’an dan hadits.
Al-qur’an dan hadits telah mereka kaji dan teliti secermat-cermatnya. Buah pengkajian dan penelitian terhdap dua kitab tersebut telah menghasilakan ratusan bahkan ribuan kitab undang-undnag hukum islam atau ilmu fiqh atau disebut juga kitab-kitab madzhab.
Kitab-kitab madzhab itu sudah dipenuhi ribuan materi hukum islam yang kmplit dan meliputi persoalan hidup manusia yang ada sangkut pautnya dengan urusan agam. Mereka telah mebahas soal-soal ibadah seperti sholat, zakat, puasa, hajji, dll. Juga mereka telahmembahas persoalan masyarakat, masalah keluarga, persoalan politik, persoalan Negara, ekonomi yang kesemuanya ini telah mereka rumuskan dalam kitab-kitab fiqh pada bab-bab ibadah, muamalah, munakahah dan jinayah, sehingga lantaran kitab-kitab fiqh tulah umat islam kemudian dengan mudah dan oraktis dapat melaksanakan segala macam bentuk ibadah dll sesuai dengan garis yang ditetapkan qur’an dan hadits.
Oleh karena itu mengamalkan isi madzhab berarti juga mengamalkan qur’an dan hadits dengan cara yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah agama.
Mamang banyak yang belum menyadari persoalan madzhab ini, sehingga beranggapan bahwa madzhab itu adalah hasil karya manusia semata-mata dan ilmu fiqh adalah kumpulan hukum yang dikarang oleh orang alim, tanpa menyadari bahwa dasar penyusunan madzhab al-qur’an dan al-hadits juga.[5]

C.     Meninggalkan Madzhab adalah Bid’ah yang Sesat
Gerakan anti madzhab Nampak berhasil dalam menanamkan rasa kebanggaan pada kelompok modern, lebih-lebih bila di kaitkan dengan masalah kebangkitan umat islam.karena berfikir secara bebas, adalah symbol dari kemajuan berfikir, sedangkan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip tradisionil adalah ciri dan watak kemunduran.
Tetapi bila dikaji secara mendalam kemudian dihubungkan dengan perkembangan syariat islam sejak awal mula hingga kini, ternyata gerakan anti madzhab belum melahirkan budaya baru dalam masalah pembinaan hukum islam. Dan masih berputar-putar dalam arena yang sudah dipagari tembok madzhab yang kokoh dan kuat, dan belum mampu menciptakan arena baru yang lepas sama sekali dari kehendak madzhab.
Barang siapa mempelajari fiqh islam atau ilmu hukum islam yang di tulis oleh kelompok anti madzhab, kemudian menekuninya dengan sadar dan insyaf maka akan Nampak tiada satupun masalah fiqih yang lepas dari tilikan madzhab empat. baik yang menyangkut masalah ibadah, muamalah, munakahat, jinayah dll. Kalau masalah itu tidak sesuai dengan madzhab syafi’i maka ia akan sesuai dengan madzhab hanafi. Dan kalau tidak sesuai dengan madzhab hanafi dan syafi’I, maka akan sesuai dengan madzhab maliki atau hambali, demikian akan berputar di kalangan madhab yang empat. dan bila mana tidak sesuai dengan madzhab yang empat. maka ada indikasi yang kuat kalau fiqih itu lepas dari rumpun fiqih ahlusunnah wal jamaah, dan boleh jadi masuk kelompok fiqihnya,kaum syiah atau mu’tazilah atau kaum ekstrimis dhohiriah,seperti ibnu hazm dan ibnu thaimiyah yang fatwanya ganjil-ganjil dan aneh-aneh.
Kelompok anti madzhab khususnya di Indonesia hampir seratus persen di serap dari kitab-kitab madzhab yang ada dengan fariasi,komentar yang bermacam-macam. Sedangkan materi yang di bahas berkisar pada masalah hukum islam yang telah di bahas secara tuntas oleh ulama-ulama madzhab ratusan tahun yang lalu sejauh usaha yang mereka  capai ialah melakukan perbandingan disana-sini kemudian di pilih mana yang paling cocok menurut penilaian si pembahas.inilah yang disebut ilmu baru dalam dunia hukum islam sekarang dan popular dengan sebutan ilmu “maqaranatul madzhab” atau ilmu perbandinagn madzhab.
Kalau kita perhatikan dengan seksama usaha ini sebenarnya adalah merupakan pengembangan dari apa yang dirintis oleh para ulama madzhab dahulu kala, meskipun selalu disebut-sebut bahwa sponsor ilmu ini adalah syekh Al-Maraghi dan Mahmud Syaltout.
Barang siapa menela’ah kitab Al Maa-Majmu syarah Muhazzab (12 jilid besar) karangan imam nawawi yang bermadzhab syafi’I maka dia pasti merasakan bahwa kitab muqaranatul Madzhahib fil fiqhi karangan Prof. Mahmut Syaltout dan Prof. Ali Syais adalah merupakan sebagian kecil saja dari apa yang dikandung oleh kitab Al-Majmu’.[6]
Bermadzhab dengan arti melaksanakan dan mengamalkan hasil ijtihad  para imam-imam mujtahid seperti Imam Maliki, Syafi’i dan lain-lain hukumnya wajib setiap orang islam yang belum mampu melakukan ijtihad. Sebab madzhab yang mereka bina itu adalah hasil ijtihad yang mereka miliki dengan sepenuhnya. Padahal sudah dijelaskan bahwa yang disebut ijtihad adalah semata-mata menggali isi Al-Qur’an dan Hadits untuk mendapatkan sesuatu hukum yang konkrit dan positif. Jadi, berijtihad berarti langsung menggunakan pedoman Al-Qur’an dan Hadits. Hasil ijtihad yang disebut orang madzhab itu berarti berdasarkan Qur’an dan Hadits.

D.    Kesimpulan
Sistematika hukum Islam dibagi menjadi empat kelompok besar, antara lain: (1) Hukum ibadat, Yaitu ketentuan hukum islam yang mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya. Seperti: sholat, zakat, puasa, dan lain sebagainya. (2) Hukum mu’amalat, Yaitu ketentuan hukum islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam masalah sosial ekonomi. Seperti: jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perburuhan dan lain sebagainya. (3) Hukum Munakahat (Pernikahan), Yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan manusia didalam bidang pernikahan tatacara dan syarat rukun pernikahan, masalah waris, dan nafkah. Hukum-hukum yang bertalian dengan kehidupan rumah tangga. (4) Hukum jinayat, Yaitu hukum islam yang mengatur tindak pidana berikut sanksinya.
Peran dan kedudukan madzhab dalam pembinaan hukum islam memiliki peran yang sangat tinggi, seperti keempat madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali  menempati posisi yang tinggi dalam bidang pembahasan ijtihad dan mendapat sambutan dari berbagai golongan dan tingkatan serta diikuti dan diperangi oleh mereka.
Bermadzhab dengan arti melaksanakan dan mengamalkan hasil ijtihad para imam mujtahid seperti imam maliki, syafi’i, dan lain-lain hukumnya adalah wajib bagi setiap umat islam yang belum mampu melakukan ijtihad. Sebab madzhab-madzhab yang mereka bina itu adalah merupakan hasil ijtihad yang mereka miliki dengan sepenuhnya. Padahal sudah jelas bahwa yang disebut ijtihad ialah semata-mata menggali isi al-qur’an dan hadits untuk mendapatkan sesuatu hukum yang konkrit dan positif. Jadi, barang siapa yang meninggalkan madzhab sedangkan ia belum mampu melakukan ijtihad, maka termasuk bid’ah yang sesat.

DAFTAR PUSTAKA
                                                                                                            
Yusuf, M. Hamdani. 1986. Perbandingan Madz-Hab. Semarang: Aksara Indah.


http://www.ummatonline.net/2014/04/21/kedudukan-mazhab-dalam-islam/


[1] Drs. M. Hamdani Yusuf, 1986, Perbandingan Madz-Hab, Semarang: Aksara Indah, hlm. 20.
[2] Ibid., hlm. 21-24.
[3] http://sofyanmasuku.blogspot.com/2014/04/21/kedudukan-mazhab-dalam-pembinaan-hukum.html/
[4] http://www.ummatonline.net/2014/04/21/kedudukan-mazhab-dalam-islam/
[5] Drs. M. Hamdani Yusuf, loc. cit. Hlm 24-27.
[6] Ibid., hlm. 27-29.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.