Langsung ke konten utama

IJTIHAD, TAKLID, TALFIQ, DAN ITTIBA’



Disusun oleh:
Setya Utami (11111044); Ika Khusnul Fadhilah (11111049);  Khosidatul Hikmah (11111061); dan Wulan Budi Utomo (111110)
                                                     
A. IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari akar kata dalam bahasa Arab jahada, yang bentuk mashdarnya ada dua bentuk, yaitu al-jahd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan al-juhd, yang berarti al-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Arti ijtihad secara terminologi yaitu mencurahkan fikiran untuk menemukan hukum agama melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil syara’ dan tanpa tata cara tertentu tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri. (Suhartini, 2012: 124)


2. Dasar Hukum dan Hukum Ijtihad
Ijtihad dapat dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam, yang menjadi landasan dilakukannya ijtihad,  firman Allah surat An-Nisa ayat 105:
Artinya, “Sesungguhnya Kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di anatra manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu”.
Hadits yang diriwayatkan oleh Umar menyatakan bahwa:
Artinya, “Rasulullah saw. bertanya, “Dengan apa kamu menghukumi?” Ia menjawab: “Dengan apa yang ada dalam kitab Allah”. Bertanya Rasulullah, “Jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah?” Dia menjawab: “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah”. Rasul bertanya lagi, “Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan rasulullah?” Berkata Mu’adz, “Aku berijtihad dengan pendapatku”. Rasulullah bersabda, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari rasul-Nya”.
Hal ini telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika menemukan masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hukum berijtihad dapat dilihat dari tiga segi.
1.      Dari hasil ijtihadnya, itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri; seperti menetukan arah kiblat pada waktu akan melakukan shalat.
2.      Dari segi bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh umat atau pengikutnya.
3.      Hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari segi prinsip umum dalam menetapkan hukum, tanpa memandang kepada keadaan dan kondisi apapun, atau dengan melihat kepada keadaan dan kondisi tertentu.
Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib bagi seorang faqih yang sudah mencapai tingkat faqih. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu dapat dipahami dari firman Allah dalam al-Quran surat al-Hasyr ayat 2:
Artinya, “Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”.
Ijtihad dapat berlaku pada (Yusuf, 1986: 32):
1.      Nash yang bersifat zaniyah, ialah untuk mencari pengertian yang lebih tepat dan lebih kuat menurut pendapat Imam Mujtahid, namun pengertian yang dimaksud tidak keluar dari kandungan nash itu juga.
2.      Pada yang tidak ada nash sama sekali, maka mujtahid berusaha mencari dan meneliti korinah (tanda-tanda) yang menunjukkan bahwa itulah yang dikehendaki syara’.
3.      Dengan mempergunakan kaidah-kaidah Fiqih dan ini dapat dipergunakan oleh Mujtahid selama belum lagi hukumnya ditetapkan oleh ijma’ dan qiyas.
Mujtahid dimaksud di atas dapat dibagi menjadi dua macam (Syukur, 1994: 22-23)
1.      Mujtahid Mutlak
Bagi Mujtahid ini disyaratkan mempunyai atau memiliki kemampuan berfikir yang cukup atau tinggi, baligh dan adil, memiliki pengetahuan yang luas tentang Al Qur’an, Sunnah, kaidah Umum yang ditetapkan Syara’. Di samping itu mengetahui hokum yang disepakati dan yang diperselisihkan, mengetahui sebab timbulnya suatu hukum dan cara-cara pengambilan hukum dari sumbernya dan pengertiannya, serta memiliki pengetahuan yang cukup mendalam di dalam bidang bahasa Arab, dan dengan demikian mereka dapat memahami nash-nash itu dengan baik. Syarat ini didapati pada Syafi’i, Maliki, Abu Hanifah, dan sebagainya.
2.      Mujtahid Muqayah
Ialah mujtahid yang berusaha untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum Islam dalam masalah tertentu. Bagi mereka ini hanya disyaratkan mempunyai ilmu di dalam bidang keahliannya tidak mencakup seluruh ilmu-ilmu yang harus dimiliki oleh mujtahid muqayah. Mahmout Syaltout menerangkan:
“Adapun orang yang memiliki kemampuan berfikir dan meleksanakan hasil pikirannya itu, tidaklah harus menghimpun syarat-syarat ijtihad bagi oaring-orang yang berkecimpung dalam semua bab Fiqih, tetapi cukup bagi yang berijtihad pada masalah tertentu hanya memenuhi syarat ijtihad pada masalah itu saja.”
3.      Macam-macam ijtihad dan ruang lingkupnya
Dikutip dari Yanggo (1997: 6):
1.      Ijtihad Mutlaq Mustaqil
Adalah ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan norma-norma hukum dan kaidah istinbath yang menjadi sistem bagi setiap orang yang hendak berijtihad.
2.      Ijtihad Muthlaq Muntasib
Adalah ijtihad yang dilakukan dengan menggunakan metode istinbath yang dibuat oleh Mujtahid Mutlaq Mustaqil.
3.      Ijtihad Tarjih
Adalah ijtihad seseorang dalam memberikan fatwa atau keputusan hukum tentang suatu masalah dengan menyandarkannya pada salah satu dari madzhab-madzhab besar ortodoks (klasik).

Kemampuan manusia berbeda-beda, ada yang cerdas dan ada pula yang tidak cerdas. Sedang masalah ijtihad itu adalah masalah yang memerlukan kecerdasan dan persyaratan-persyaratan ilmiah yang sangat luas bidangnya. Oleh karena itu, Allah memberikan beban kepada manusia sesuai dengan kemampuannya, maka hukum ijtihad itu dicukupkan kepada fardlu kifayah saja. Kalau seandainya seluruh ummat manusia diwajibkan untuk berusaha menjadi seorang mujtahid, niscaya akan terbengkalai kepentingan dunia. Sedang Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (Q.S. )
B. TAKLID
Taklid dan Tingkatannya:
            Arti taklid ialah menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui hujjah (dalil) yang menunjukkan kebenaran pendapat tersebut. (Yusuf, 1986: 32)
            Imam Ghazali berkata di dalam kitabnya Al Mustafa pada bab taklid dan istifa’ menyatakan sebagai berikut:
“Dalilnya orang awam taklid ialah ijma’ sahabat. Memberikan fatwa kepada yang awam dan para sahabat tidak memerintahkan pada awam untuk mencapai derajat ijtihad. Hal ini dapat diketahui dengan pasti dan dengan cara mutawatir baik kalangan ‘ulama maupun para awam.”
Syekh Abdullah Darros berkata sebagai berikut:
“Dalil taklid dari segi pikiran ialah, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk ijtihad, bila terjadi padanya suatu masalah hokum maka ada dua kemungkinan. Dia tidak terkena kewajiban melakukan apa-apa sama sekali (tidak wajib beribadah), maka hal ini adalah menyalahi ijma’.”
            Dia terkena kewajiban melakukan ibadah. Berarti dia harus meneliti dalil yang menetapkan suatu hukum, atau ia harus taklid. Untuk yang pertama jelas tidak mungkin. Sebab dengan melakukan penelitian itu berarti ia harus meneliti dalil semua masalah sehingga harus meninggalkan semua pekerjaan yang ada, yang akhirnya akan menimbulkan kekacauan. Oleh karena itu maka tidak ada kemungkinan lain selain taklid dan inilah kewajiban dia pada saat ia menemui masalah yang memerlukan pemecahan hokum.
            Karenanya setelah para ‘ulama melihat dalil-dalil yang cukup sempurna dari kitab dan Sunnah dan dalil akal yang menegaskan bahwa bagi orang awam dan orang alim yang belum sampai ke tingkatan mampu melakukan istimbath dan ijtihad harus taklid kepada mujtahid, maka mereka menyatakan bahwa kedudukan fatwa mujtahid terhadap orang awam adalah seperti dalil kitab dan sunnah bagi seorang mujtahid. Karena Al Qur’an telah mewajibkan orang yang alim agar berpegangan dengan dalil dan keterangan Al Qur’an, juga mewajibkan kepada orang bodoh berpegangan kepada fatwanya orang alim dan ijtihadnya.
            Untuk memperjelas masalah ini lebih lanjut maka Imam Syathibin berkata sebagai berikut:
“Fatwa-fatwa para mujtahid itu bagi para awam adalah seperti dalil syari’at bagi para mujtahididin. Adapun alasannya ialah bahwa adanya dalil atau tidak bagi orang yang taqlid itu adalah sama saja karena mereka sedikit pun tak mampu mengambil faedah dari padanya. Jadi masalah meneliti dalil dan istimbath bukanlah urusan mereka dan mereka tidak diperkenankan melakukan hal tersebut. Allah berfirman:
“Bertanyalah kepada ahli ilmu bila kamu sekalian tidak mengerti.”
Orang yang taqlid itu bukanlah orang yang alim, karenanya tidak sah baginya selain bertanya kepada ahli ilmu dan para ahli itulah tempat kembali baginya dalam urusan hukum Agama secara mutlak. Jadi kedudukan mereka bagi orang yang taqlid seta ucapannya adalah seperti syari’at.
Jadi orang bertaklid itu bertingkat-tingkat seperti tersebut di bawah mengingat pintar tidaknya si muqollid (Yusuf, 1986: 34-35):
1.      Al-Muntasib: Ia tidak merancang sendiri seperti Mujtahid Mustakil. Misalnya Abu Yusuf bin Ibrahim An-Ahshari (113-183 H). Abdul Abbas Akhmad bin Umar bin Suraij Al Baghdadi (136 H)dari kalangan Syafi’I, dan lain-lain. Imam-imam besar yang meluaskan sesuatu masalah di dalam batas-batas pokok dan kaidah (Undang-undang pokok, undang-undang umum Imannya).
2.      Akhabul Wujuh: Hukum-hukum yang mereka buat bercabang dan mereka luaskan itu sungguh pun tidak diucapkan oleh Imamnya, akan tetapi tidak keluar dari undang-undang umum Imam itu sendiri.
Ulama-ulama besar yang mempunyai kecerdasan cukup dan pengetahuan luas, akan tetapi tidak secerdas dan seluas pengetahuannya askhabul wujuh.
3.      Ahlut-Tarjih: mereka cukup mempunyai kecerdasan hafal akan madzhab Imamnya, mempunyai kemampuan menyusun dan menetapkan mengesampingkan soal yang jauh dari pada dalil Imamnya (mentakhrij).
Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
a.       Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
b.      Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.
c.       Imam asy Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
d.      Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.

C. TALFIQ
Secara kebahasaan talfiq berasal dari kata lakaf yalfiku yang artinya bertemu dua tepi. Namun secara istilah diartikan mengamalkan furu’ yang zhanny menurut ketentuan dua madzhab atau lebih. (Yusuf, 1986: 38)
Ini hubungannnya bila seseorang meminta fatwa hukum pada seorang mujtahid, kemudian menanya lagi kepada mujtahid lain, masing-masing mujtahid kemudian menfatwa yang berbeda, kemudian kedua hasil ijtihad diamalkan. Lebih-lebih kalau dasar hukum itu bertentangan satu sama lain, misalnya yang satu mengatakan batal hukumnya dan yang satu mengatkan sah. Contoh, dia bertanya kepada ulama malikiyah tentang batal wudhu dengan sebab keluar darah maka ulama itu mengatakan tidak batal, kemudian bertanya kepada ulama hanafiyah tetntang batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan, maka ulama itu menyatakan wudhunya tidak batal. Apabila mengamalkan fatwa itu dalam wudhunya inilah yang dinamakan talfik, karena wudhunya tidak sah menurut ulama malikiyah lantaran menyentuh kemaluan dan tidak sah menurut ulama hanafiyah lantaran mengeluarkan darah.
Penyelesaian dari masalah talfik (Yusuf, 1986: 38-39):
1.      Mengharamkan talfik secara mutlak dalam amalan hukum baik yang sejalan atau tidak.
2.      Mengharamkan tetapi tidak mutlak. Berarti membolehkan talfik pada persoalan-persoalan hukum yang sejalan dan terpisah seperti solat menurut madzhab Hanafi, berzakat menurut Syafi’i, tetapi tidak boleh kharam dalam persolan hukum yang sejalan. Seperti berwudhu wajibnya menurut Hanafi, sedangakan batalnya menurut Syafi’i.
3.      Membolehkan talfik secara mutlak baik dalam amalan hukum yang sejalan atau terpisah, berarti boleh beramal pada suatu masalah hukum atas dasar banyak madzhab dan memilih mana yang lebih mudah untuk dilaksanakan.

D. ITTIBA’
Pengertian Ittiba’ ini ada dua pendapat (Yusuf, 1986: 35-36):
1.      Searti dengan taklid:
Baik menurut istilah maupun menurut pengertian bahasa, tidak ada perbedaan makna antara kata-kata ”ithiba” dan kata “taqlid”. Keduanya artinya adalah sama yaitu mengikuti.
Baik ikut dalam urusan yang benar maupun ikut dalam urusan yang salah, atau mengikuti sesuatu yang terpuji dan tercela, dengan dalil atau tanpa dalil.
Kalau ada yang membedakan pengertian antara taqlid dan ittiba’, di mana dikatakan ittiba’ di dalam Al Qur’an.
Di dalam Al Qur’an kata-kata ittiba’ digunakan untuk pengertian “ikut kepada kebenaran” dan juga “tidak benar.” Allah berfirman di dalam Al Qur’an surat Muhammad ayat 3:
Artinya: “ Demikianlah, karena orang-orang kafir itu mengikuti perkara yang bathil, sedangkan orang-orang yang beriman mengikuti kebenaran dari Tuhan mereka.”
2.      Kebalikan dari taklid
Ittiba’ menurut ahli ushul fiqh adalah mengerjakan agama dengan menurut apa-apa yang pernah diterangkan atau dicontohkan Nabi, baik yang berupa perintah maupun larangan. Orang yang mengerjakan itu disebut muttabi. Kata ittiba’ merupakan kebalikan dari kata taqlid.

E. KESIMPULAN
Ijtihad secara yaitu mencurahkan fikiran untuk menemukan hukum agama melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu. Dasar hukum wajibnya ijtihad tertuang dalam surat An-Nisa ayat 105. Macam dan ruang lingkup ijtihad yaitu ijtihad mutlaq mustaqil, ijtihad muthlaq muntasib, ijtihad tarjih. Taklid ialah menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui hujjah (dalil) yang menunjukkan kebenaran pendapat tersebut. Hukum taklid, bagi orang awam dan orang alim yang belum sampai ke tingkatan mampu melakukan istimbath dan ijtihad harus taklid kepada mujtahid. Tingkatan taklid yaitu Al-Muntasib, Akhabul Wujuh, Ahlut-Tarjih. Talfiq diartikan mengamalkan furu’ yang zhanny menurut ketentuan dua madzhab atau lebih. Ittiba’ menurut ahli ushul fiqh adalah mengerjakan agama dengan menurut apa-apa yang pernah diterangkan atau dicontohkan Nabi.

Daftar Pustaka

Suhartini, Andewi. 2012. Ushul Fiqih. Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kementrian
Agama. Jakarta.
Syukur, Asywadie. 1994. Perbandingan Madzhab. PT Bina Ilmu: Surabaya.
Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Madzhab. Logos Wacana Ilmu:
Ciputat.
Yusuf, M Hamdani, 1986. Perbandingan Madz-hab. Aksara Indah: Semarang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.