Langsung ke konten utama

JASA: Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Qardh



Oleh: Yuni Ermawati (111-11-043); Rif’ah Munawaroh (111-11-047);Ulil Maunatul Choiriyah (111-11-143); Fitri Ikhmah (111-11-147)
Kelas F

A.    WAKALAH
1.      Pengertian Wakalah
Secara etimologi, wakalah memiliki beberapa pengertian yang diantaranya adalah: (al-hifzh) yang berarti perlindungan, atau (al-kifayah) yang berarti  pencukupan, atau (al-dhamah) tanggungan, atau (al-tafwidh) berarti  pendelegasian yang diartikan juga dengan memberikan kuasa atau mewakilkan.[1]
Sedangkan secara terminologi, wakalah berarti mewakilkan atau menyerahkan sesuatu pekerjaan atau urusan kepada orang lain agar bertindak atas nama orang yang mewakilkan dalam masalah dan waktu yang ditentukan.[2]


2.      Pendapat Ulama Tentang Wakalah
Para ulama memiliki pendapat yang berbeda menyangkut wakalah, berikut adalah pandangan dari para ulama:
a.       Menurut Ulama Syafi’iah mengatakan bahwa wakalah adalah ungkapan yang mengandung arti pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada  orang lain agar orang lain tersebut melakukan kegiatan yang telah dikuasakan atas nama pemberi kuasa. 
b.      Menurut Ulama Malikiyah, wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk melakukan kegiatan yang merupakan haknya, yang mana kegiatan tersebut tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah pemberi kuasa wafat, sebab jika kegiatan dikaitkan setelah pemberi kuasa wafat maka sudah berbentuk wasiat. 
c.       Menurut Hashbi Ash Shiddieqy, wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan, yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam bertindak (bertasharruf). 
d.      Menurut Sayyid Sabiq, wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.[3]

3.      Dasar Hukum Wakalah
Salah satu dasar dibolehkannya wakalah adalah firman Allah SWT berkenaan dengan kisah Ash-habul Kahfi,
a.      Al- Qur’an
وَكَذٰ فَائِلٌ مِّنْهُمْ كَمْلِكَ بَعَثَنٰهُمْ لِيَتَسآءَلُوْا بَيْنَهُمْ ۗ قاَلَ  لَبِِثْتُمْ ۗ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوْا هِ-رَبُّكُمْ أَعْلَمُْ بِمَا لَبِثْتُمْ ۗ فَابْعَثُوْﺁ أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمْ هٰذ إِلَى المَدِيْنَةِ فَلْيَنْظُرْ أَﻴُّﮭﺂ أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلاَ يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
 “Dan Demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: ‘Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)’. mereka menjawab: ‘Kita berada (disini) sehari atau setengah hari’. Berkata (yang lain lagi): ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik. Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (QS. Al-Kahfi: 19)
      Ayat ini melukiskan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.
      Ayat lain yang menjadi rujukan wakalah adalah kisah tentang Nabi Yusuf as. saat ia berkata kepada raja,
قَالَ زَائِنِ الأَرْضِ ۚ إِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌاجْعَلْنِيْ عَلَٰى ﺧَ

Berkata Yusuf: “Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (QS. Yusuf: 55)
Dalam konteks ayat ini, Nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga “Federal Reserve” negeri Mesir.[4]

b.      Al-Hadits
Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah, di antaranya,
أَنَّ رَ سُو لَ اللهِ صَلَّ لله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعَثَ أَباَ رَ افِعٍ وَ رَ جُلا مِنَ الأَنْصَا رِ فَزَوَّجاَهُ مَيْمُو نَةَ بِنْتَ الْحَارِِ ثِ
“Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti al-Harits.” (Malik no. 678, kitab al-Muwaththa’, bab Haji)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Di antaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dll.[5]

c.       Ijma’
Para ulama bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan disunahkan oleh Rasulullah saw.. 
 Allah berfirman,
...وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ  ۖ وَلاَ تَعَاوَنَوْا عَلَى الإِثْمِ وَالْغعُدْوَٰنِ... “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran…” (QS. Al-Maidah: 2)

Rasulullah saw. bersabda,
وَ اللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.” (HR. Muslim no.4867, kitab az-Zikr)[6]

4.      Rukun dan Syarat Wakalah
a.      Rukun Wakalah
1)      Muwakil (orang yang mewakilkan/pemberi kuasa).
2)      Wakil (yang mewakili/penerima kuasa).
3)      Muwakkal fih/taukil (obyek yang diwakilkan/dikuasakan).
4)      Shighat (ijab dan qabul).
b.      Syarat-syarat Wakalah
1)      Orang yang mewakilkan ialah dia pemilik barang atau di bawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut. Jika yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampu, wakalah tersebut batal. Anak kecil yang dapat membedakan baik dan buruk dapat (boleh) mewakilkan tindakan-tindakan yang bermanfaat mahdhah, seperti perwakilan untuk menerima hibah, sedekah, dan wasiat.
2)      Orang yang mewakili hendaknya orang yang sudah baligh dan berakal sehat. Bila seorang wakil itu idiot, gila, atau belum dewasa, maka perwakilan batal. Menurut Hanafiyah, anak kecil yang sudah dapat membedakan yang baik dan buruk sah untuk menjadi wakil, alasannya ialah bahwa Amar bin Sayyidah Ummuh Salah mengawinkan  ibunya kepada Rasulullah saw., saat itu Amar merupakan anak kecil yang masih belum baligh.
3)      Syarat-syarat obyek yang diwakilkan ialah:
a)      Menerima penggantian, maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk mengerjakannya, maka tidaklah sah mewakilkan untuk mengerjakan sholat, puasa, dan membaca ayat al-Qur’an, karena hal ini tidak bisa diwakilkan.
b)      Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil itu, maka batal mewakilkan sesuatu yang akan dibeli.
c)      Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti seseorang berkata: “Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku”.
4)      Shighat diucapkan dari yang berwakil sebagai simbol keridhoannya untuk mewakilkan, dan wakil menerimanya.[7]

5.      Berakhirnya Wakalah
Akad wakalah berakhir jika terjadi salah satu dari hal-hal sebagai berikut:
a.       Matinya salah seorang dari yang berakad karena salah satu syarat sah akad adalah orang yang berakad masih hidup.
b.      Bila salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah akad salah satunya orang yang berakad mempunyai akal.
c.       Dihentikannya pekerjaan yang dimaksud, karena jika telah berhenti, dalam keadaan seperti ini wakalah tidak berfungsi lagi.
d.      Pemutusan oleh yang mewakilkan terhadap wakil meskipun wakil belum mengetahui (pendapat Syafi’i dan Hambali). Menurut Madzab Hanafi wakil wajib mengetahui putusan yang mewakilkan. Sebelum ia mengetahui hal itu, tindakannya itu tak ubah seperti sebelum diputuskan, untuk segala hukumnya.
e.       Wakil memutuskan sendiri, menurut Madzab Hanafi tidak perlu orang yang mewakilkan mengetahui pemutusan dirinya atau tidak perlu kehadirannya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
f.       Keluarnya orang yang mewakilkan dari status kepemilikan.[8]

6.      Skema Wakalah

B.     KAFALAH
1.      Pengertian Kafalah
Secara etimologi, Al-kafalah berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban), za’amah (tanggungan).
Sedangkan secara terminologi, yang dimaksud dengan al-kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.[9]

2.      Pendapat Ulama Tentang Kafalah
Pengertian al-kafalah menurut beberapa ulama adalah sebagai berikut:
a.       Mazhab Hanafi 
1)      Menggabungkan dzimah dengan dzimah yang lain dalam penagihan, dengan jiwa, utang, atau zat benda.
2)      Menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam pokok (asal) utang.
b.      Mahzab Maliki 
“Orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik  menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda.”
c.       Menurut Mahzab Hambali 
“Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak.”
d.      Mahzab Syafi’i
“Akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya.”[10]

3.      Dasar Hukum Kafalah
a.      Al-Qur’an
Dasar hukum yang melandasi al-kafalah adalah QS. Yusuf: 72,
قَالُوْا نَفْقِدُ صُوَاعَ الملِكِ وَلِمَن ﺠَﺂءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَأَنَا۫ بِهِ زَعِيْمٌ
Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”.
Kata za’im yang berarti peminjam dalam surat yusuf tersebut adalah gharim, yaitu orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.[11]

b.      Al-Hadits
Dasar hukum kafalah pada ayat di atas dipertegas dalam hadits Rasulullah,
أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمْ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ ... فَقَالَ هَلْ تَرَكَ شَيْئًا قَالُوْا لاَ قَالَ فَهَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوْا ثَلاَثَةُ دَنَانِيْرَ قَالَ صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ قَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُوْلَ لله وَعَلَيَّ دَيْنُهُ فَصَلَّى عَلَيْهِ
Telah dihadapakan kepada Rasulullah saw. (mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan)… Rasulullah saw. bertanya “apakah dia mempunyai warisan? Para sahabat menjawab, “tidak”. Rasulullah bertanya lagi,”apakah dia mempunyai utang?” sahabat menjawab “ya, sejumlah tiga dinar.” Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi beliau sendiri tidak). Abu Qatadah lalu berkata, “saya menjamin utangnya, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut. (HR. Bukhari no. 2127, kitab al-Hawalah)[12]

4.      Rukun dan Syarat Kafalah
Menurut Madzhab Hanafi, rukun kafalah yaitu, ijab dan kabul. Sedangkan menurut para ulama yang lain, rukun dan syarat kafalah adalah sebagai berikut:
a.       Dhamin, kafil, atau za’im, yaitu orang yang menjamin, syaratnya ialah sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya (mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
b.      madmun lah disebut juga mafkul lah,  yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah dikenal oleh peminjam karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, hal ini dilakukan demi kemudahan dan kedisiplinan.
c.       Madmun ‘anhu  atau mafkul ‘anhu adalah orang yang berutang.
d.      Madmun bih atau mafkul bih adalah utang, barang atau orang. Disyaratkan mafkul dapat diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah tetap maupun akan tetap.
e.       Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.[13]

5.      Jenis Kafalah
Kafalah dapat di golongkan menjadi 2 golongan besar yaitu :
a.       Kafalah dengan jiwa, dikenal dengan  kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya keharusan pada pihak penjamin (al-kafil, al-dhamin atau  al-za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan.  
b.      Kafalah dengan harta, yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta.[14]
 Dari kedua golongan besar di atas pada prakteknya dapat dibagi menjadi beberapa jenis :
1)      Kafalah bin-Nafs, merupakan akad memberikan jaminan atas diri. Sebagai contoh, dalam praktik perbankan untuk bentuk kafalah bin-nafs adalah seorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat.
2)      Kafalah bil-Mal: jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang.
Contohnya kasus hadits Rosul riwayat Bukhari di mana  Qatadah menjamin hutang seorang sahabat.
3)      Kafalah bit-Taslim: jaminan yang diberikan dalam rangka menjamin  penyerahan atas barang yang disewa pada saat berakhirnya masa sewa
4)      Kafalah al-Munjazah: jaminan yang diberikan secara mutlak tanpa adanya pembatasan waktu tertentu.
5)      Kafalah Muqayyadah/muallaqah, yaitu kafalah yang dibatasi waktunya, sebulan, setahun, dsb.[15]

6.      Pelaksanaan Kafalah
Kafalah dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk:
a)      Munjaz (tanjiz) ialah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang berkata “ saya tanggung si fulan dan saya jamin si fulan sekarang”.
b)      Mu’allaq (ta’liq) adalah menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu,  seperti seseorang berkata, “jika kamu mengutangkan pada anakku, maka aku yang akan membayarnya”.
c)      Mu’aqqat (taukit) adalah tanggapan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu, seperti ucapan seseorang, “bila ditagih pada bulan Ramadhan, maka aku yang menanggung utangmu”.[16]

7.      Skema Kafalah

 
C.    HAWALAH
1.      Pengertian Hawalah
Secara etimologi, yang dimaksud dengan hawalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hawalah secara etimologi ialah:
أَلنَّقْلُ مِنْ مَحَلٍّ إِلَى مَحَلِّ
 “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.”[17]
Sedangkan secara terminologi, pengertian hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Misalnya: A memberi pinjaman kepada B, sedangkan B masih mempunyai piutang kepada C. Begitu B tidak mampu membayar utangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban utang tersebut pada C. Dengan demikian, C  yang harus bayar utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap selesai.[18]

2.      Pendapat Ulama Tentang Hawalah
a.       Menurut Hanafiyah, yang dimaksud dengan hawalah adalah pemindahan kewajiban membayar  hutang dari orang yang berhutang (al-muhil) kepada orang yang berhutang lainnya (al-muhal’alaih).
b.      Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, hawalah adalah pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak lain.
c.       Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hawalah ialah pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal ‘alaih.[19]

3.      Dasar Hukum Hawalah
Hawalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma.
a.      Sunnah
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ فَاِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ
“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman. Dan, jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hawalah-kan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah hawalah itu.”
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang mengutangkan, jika orang yang berutang meng-hawalah-kan kepada orang yang mampu/kaya, hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang di-hawalah-kan. Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.

b.      Ijma
Ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang/benda karena hawalah adalah pemindahan utang. Oleh sebab itu, harus pada uang atau kewajiban finansial.[20]

4.      Rukun dan Syarat Hawalah
a.      Rukun Hawalah
1)      Muhil (orang yang memindahkan tanggungan hutangnya).
2)      Muhal alaih (pihak yang dibebani pemindahan tanggungan utang atau dibebani membayar hutang oleh muhil).
3)      Muhtal (orang yang piutangnya dipindahkan).
4)      Hutang muhil kepada muhtal.
5)      Hutang muhal alaih kepada muhil.
6)      Sighat (lafadh Aqad).[21]
b.      Syarat Hawalah
1)      Orang yang menanggung harus memberitahukan kepada orang yang menghutangi (berpiutang).
2)      Waktu menanggungnya harus positif.
3)      Hutang yang lazim.[22]
4)      Kerelaan muhil.
5)      Menerimanya muhtal untuk dipindahkan pembayaran utangnya kepadanya ke orang lain.
6)      Persesuaian tanggungan muhil dan tanggungan muhal alaih, dalam jenis, macam dan batas waktu pembayaran.[23]

5.      Beban Muhil Setelah Hawalah
Apabila hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi pada muhil.
Menurut imam Malik, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali pada muhil.
Abu Hanifah, Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang mengutang (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.[24]

6.      Aplikasi Hawalah dalam Perbankan
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:
a.       Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b.      Post-date check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
c.       Bill discounting, secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee. Sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hawalah.[25]

7.      Manfaat Hawalah
Seperti diuraikan di atas, akad hawalah dapat memberikan banyak sekali manfaat dan keuntungan, diantaranya:
a.       Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
b.      Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
c.       Dapat menjadi salah satu fee-based income/ sumber pendapatan nonpembiayaan bagi bank syariah.[26]

8.      Skema Hawalah

D.    RAHN
1.      Pengertian Rahn
Secara etimologi, gadai (al-rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan.[27]
Sedangkan secara terminologi, al-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.[28]

2.      Pendapat Ulama Tentang Rahn
Beberapa  pandangan atau pendapat ulama fiqh mengenai pengertian gadai (ar-rahn) di antaranya adalah:
a.       Ulama Syafi’iyah: “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang.”
b.      Ulama Malikiyah: “Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.”  
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi penyerahannya boleh juga secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya (sertifikat sawah).
c.       Ulama Hanabilah: “Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.”
d.      Ulama Hanafiyah: “Menjadikan sesuatu (barang) sebagai  jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya.” [29]

3.      Dasar Hukum Rahn
a.      Al-Qur’an

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْ ضَةٌ ۗ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ...
 “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)....(QS. al-Baqarah: 283)
Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan “barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan bisa dikenal sebgai jaminan (collateral) atau objek pegadaian.[30]

b.      Al-Hadits
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامَا مِنْ يَهُودِيِّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi.” (HR. Bukhari no. 1926, kitab al-Bayu, dan Muslim)
عَنْ أَبِي هُريْرَةَ رَضِي الله عَنْه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الرَّ هْنُ يُرْ كَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَ لَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَ عَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَ يَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarka biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, ia harus mengeluarkan biaya perawatannya.(HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i, Bukhari no. 2329, kitab ar-Rahn)[31]

4.      Rukun dan Syarat Rahn
a.      Rukun Rahn
1)      Pelaku akad, yaitu rahin (yang menyerahkan barang), dan murtahin (penerima barang);
2)      Objek akad, yaitu marhun (barang jaminan) dan marhun bih (pembiayaan); dan
3)      Shighat, yaitu ijab dan qabul.[32]
b.      Syarat Rahn
1)      Kedua belah pihak adalah orang yang sah melakukan tindakan hukum seperti dalam jual beli. Dengan demikian, tidak sah orang gila atau anak kecil melakukan peggadaian.
2)      Barang yang digadaikan adalah sesuatu yang segera dapat diterima/dikuasai oleh yang menerima gadai, bukan barang yang masih dalam penguasaan orang lain.
3)      Memenuhi ketentuan administrasi apabila aqad dilakukan dengan pegadaian yang dikelola oleh pemerintah.[33]

5.      Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat, di antaranya jumhur fuqaha dan Ahmad.
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasul bersabda:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّمَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
Setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba.”(Riwayat Harits bin Abi Usamah)
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Rasul bersabda:
اَلظَّهْرُ يَرْكَبُ بِنَفَقَت اِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا وَ لَبْنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ اِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا وَ عَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَ يَشْرَبُ النَّفَقَةَ
“Binatang tunggangan yang tergadai boleh ditunggangi karena pembiayaannya, dan suatu binatang yang tergadai boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya, bagi orang yang menunggang dan meminum susunya wajib memberikan biaya.” (HR. Bukhori, Abu Daud)
Dari dua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang gadai memegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi, yang dibolehkan di sini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.[34]

6.      Resiko Kerusakan Marhun (Barang Jaminan)
Bila marhun hilang di bawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan, umpamanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tak dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri orang.
Pokoknya murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.[35]

7.      Penyelesaian Gadai
Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut.
Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.[36]

8.      Riba dan Gadai
Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya atau ketika akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
Bila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin, maka di sini juga telah berlaku riba.[37]

9.      Manfaat Rahn
Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip rahn adalah sebagai berikut:
a.       Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
b.      Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
c.       Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.[38]

10.  Skema Rahn

E.     QARDH
1.      Pengertian Qardh
Qardh secara etimologi adalah pinjaman. Secara terminologi muamalah adalah memiliki sesuatu (hasil pinjaman) yang dikembalikan (pinjaman tersebut) sebagai penggantinya dengan nilai yang sama. Secara teknis qardh adalah akad pemberian pinjaman dari seseorang/lembaga keuangan syariah kepada orang lain/nasabah yang dipergunakan untuk keperluan mendesak. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jumlah yang sama dan dalam jangka waktu tertentu (sesuai kesepakatan besama) dan pembayarannya bisa dilakukan secara angsuran atau sekaligus.[39]

2.      Pendapat Ulama Tentang Qardh
Pengertian-pengertian Qardh menurut para ulama’:
a.       Hanafiah: harta yang diberikan kepada orang lain dari maal mitslii untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (maal mitslii) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.
b.      Sayid Sabiq: harta yang diberikan oleh pemberi utang (muqridh) kepada penerima utang (muqtaridh) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.
c.       Hanabilah: memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.
d.      Syafi’iyah: sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).[40]

3.      Dasar Hukum Qardh
a.      Al-Qur’an

مَنْ ذَا الَّذيْ يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهُ لَهُ وَ لَهُ أَجْرٌ كَرِيْمٌ
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadiid: 11)
Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru untuk “meminjamkan kepada Allah”, artinya untuk membelanjakan harta di jalan Allah.
Selaras dengan meminjamkan kepada Allah, kita juga diseru untuk “meminjamkan kepada sesama manusia”, sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat (civil society).[41]

b.      Al-Hadits
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi saw. berkata, “Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah.” (HR Ibnu Majah no. 2421, kitab al-Ahkam; Ibnu Hibban dan Baihaqi)
عَنْ أَنَسِ بْنِ ماَلِكِ قاَلَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِ يَ بِي عَلَى بَابِ الْحَنَّةِ مَكْتُوبًا الصَّدَقَةُ بِعَشْرِ أَمثَالِهَا وَالْقَرْضُ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ فَقُلْتُ يَاجِِبْرِيْلَ مَا بَالُ القَرْضِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّدَقَةِ قَالَ لأَنَّ السَّائِلَ يَسْأَلُ وَ عِنْدَهُ وَ المُسْتَقْرِضُ لاَ يَسْتَقْرِضُ إِلاَّ مِنْْ حَاجَةٍ
Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah berkata, “Aku melihat pada waktu malam di-isra’-kan, pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya, ‘Wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama dari sedekah?’ Ia menjawab, ‘Karena peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan’.” (HR Ibnu Majah no.2422, kitab al-Ahkam, dan Baihaqi)[42]

c.       Ijma
Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu,  pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan didunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.[43]

4.      Rukun dan Syarat Qardh
a.      Rukun Qardh
1)      Pelaku akad, yaitu muqridh (pemberi pinjaman), pihak yang memiliki dana, dan muqtaridh (peminjam), pihak yang membutuhkan dana;
2)      Objek akad, yaitu qardh (dana);
3)      Tujuan, yaitu ‘iwad atau countervalue berupa pinjaman tanpa imbalan (pinjaman Rp X,- dikembalikan Rp X,-); dan
4)      Shighat, yaitu ijab dan qabul.[44]
b.      Syarat Qardh
1)      Syarat Muqrid
a)      Muqridh harus seorang Ahliyat at-Tabarru’ (layak bersosial), maksudnya orang yang mempunyai kecakapan dalam menggunakan hartanya secara mutlak menurut pandangan syariat.
b)      Tidak adanya paksaan (Ikhtiyar), seorang muqridh dalam memberikan bantuan hutang harus didasarkan atas keinginannya sendiri dan tidak ada paksaan dari pihak lain.
2)      Muqtaridh haruslah orang yang Ahliyah mu’amalah, artinya orang tersebut harus baligh, berakal waras, dan tidak mahjur (bukan orang yang oleh syariat tidak diperkenankan mengatur sendiri hartanya karena faktor-faktor tertentu).
3)      Objek akad adalah setiap barang yang boleh dijadikan obyek jual beli, boleh pula dijadikan obyek akad qardh.
4)       Shighat berupa ucapan serah terima harus jelas dan bisa dimengerti oleh kedua belah pihak, sehingga tidak menimbulkan kesalah pahaman dikemudian hari.[45]

5.      Aplikasi Qardh dalam Perbankan
a.       Sebagai produk pelengkap nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya, yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang dipinjamnya itu.
b.      Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat, sedangkan ia tidak bisa menarik dananya karena, misalnya, tersimpan dalam bentuk deposito.
c.       Sebagai produk untuk menyumbang usaha kecil/mikro atau membantu sektor sosial. Guna memenuhi skema khusus ini telah dikenal suatu produk khusus yaitu al-qardh al-hasan.[46]

6.      Manfaat Qardh
a.       Memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapat talangan jangka pendek.
b.      al-qardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri pembeda antara bank syari’ah dan bank konvensional yang di dalamnya terkandung misi sosial, di samping misi komersial.
c.       Adanya misi sosial-kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap bank syariah.[47]

7.      Skema Qardh



[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), hlm. 231.
[2] Moh. Saifulloh Al Aziz S., Fiqh Islam Lengkap, (Surabaya: Terbit Terang, 2005), hlm. 412.
[3] Hendi Suhendi, op.cit., hlm. 231-233.
[4] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), Cetakan 1, hlm. 121
[5] Ibid., hlm. 122.
[6] Ibid.
[7] Hendi Suhendi, op.cit., hlm. 234-235.
[8] Ibid., hlm. 237.
[9] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit., hlm. 123.
[10] Hendi Suhendi, op.cit., hlm. 187-189.
[11] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit., hlm. 124.
[12] Ibid.
[13] Hendi Suhendi, op.cit., hlm. 191.
[14] Ibid., hlm. 191-193.
[15] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit. hlm. 124-125.
[16] Hendi Suhendi, op.cit., hlm. 194-195.
[17] Ibid., hlm. 99.
[18] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit. hlm. 126.
[19] Hendi Suhendi, op.cit., hlm. 99-101.
[20] Ibid., hlm. 126-127.
[21] Moh. Saifulloh Al-Aziz S., op.cit. hlm. 386.
[22] Ibid., hlm. 386.
[23] Mustafa Diibu Bhigha, Fiqh Menurut Madzab Syafi’i. (Semarang: Cahaya Indah, 1986), terj. Moh. Rifa’i dan Baghawi Mas’udi, hlm. 196.
[24] Hendi Suhendi, op.cit., hlm. 103.
[25] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit. hlm. 127.
[26] Ibid.
[27] Hendi Suhendi, op.cit., hlm. 105.
[28] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit., hlm. 128.
[30] Muhammad Syafi’i Antonio, loc.cit.
[31] Ibid., hlm. 129.
[32] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Cetakan 3, hlm. 108.
[33] Mustafa Diibu Bhigha, op.cit. hlm. 388.
[34] Hendi Suhendi, op.cit., hlm. 108-109.
[35] Ibid., hlm. 109.
[36] Ibid., hlm. 110.
[37] Ibid., hlm. 111.
[38] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit., hlm. 130.
[40] Ibid.
[41] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit., hlm. 132.
[42] Ibid.
[43] Ibid.
[44] Ascarya, op.cit., hlm. 48.
[46] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit., hlm. 133.
[47] Ibid., hlm. 134.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.