Langsung ke konten utama

Sumber Hukum: Al-Qur’an



Definisi Al-Qur’an
ž  Syaltut, Al-Qur’an: “Lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dinukilkan kepada kita secara mutawatir”.
ž  As-Syaukani, AlQur’an: “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawatir”.
ž  Ibn Subki, Al-Qur’an: “lafaz yang diturunkan Kepada Nabi SAW, mengandung mukzijat setiap surat, dan membacanya ibadah.

ž  Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui perantaraan malaikat Jibril ke dalam  hati Rasulullah dengan lafad yang berbahasa Arab & makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi UU bagi manusia yang mengikuti petunjuknya & menjadikan ibadah bagi yang membacanya.

Hakikat Al-Qur’an
ž  Berbentuk lafadz, disampaikan Jubril dalam bentuk makna dan lafaz. (bedakan dengan hadis qudsi).
ž  Berbahasa Arab. Terjemahan, tafsir bukan Al-Qur’an.
ž  Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Wahyu yang diturnkan sebelum Muhammad bukan Al-Qur’an, kecuali disebutkan dalam Al-Qur’an.
ž  Diturunkan secara mutawatir.

Otensitas Al-Qur’an
ž  Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dan dijaga otensitasnya hingga kini.
ž  Bukti otensitas tersebut dibuktikan dengan kehati-hatian para sahabat dalam mengumpulkan dan membukukannya.
ž  Otensitas tsb juga dijamin oleh Allah (Al-Hijr: 9)

Bacaan Al-Qur’an
ž  Qira’at al-sab’ah, ulama menyepakati mutawatir. Diantaranya adalah:
1.         Qira’at Ibnu Ibnu Katsir, Qari’ Makkah
2.         Qira’at Ibn Amir, Qari’ Syam
3.         Qira’at Nafi’, Qari’ Madinah
4.         Qira’at Ibnu Amru, Qari’ Bashrah
5.         Qira’at Ashim, Qari’ Kufah
6.         Qira’at Hamzah, Qari’ Kufah
7.         Qira’at Al-Kisai, Qari’ Kufah
ž  Qira’at al-syadzdzah, tidak  disepakati kemutawatirannya.  Ibnu Ja’far,Ya’kub, dan Khalafa.
ž  Tidak disepakatinya Qira’at al-Syadzdzah, karena keganjilannya.
ž  Seperti yang terdapat dalam Surat Al-Maidah: 89. Dalam  versi qira’at al-syadzdzah terdapat tambahan “mutatabi’at” (berturut-turut).
ž  Al-Maidah: 38, terdapat perbedaan kata “aidiyahuma” (versi qira’at al-sab’ah) dan “aimanahuma” (versi Ibnu Mas’ud)

Pendapat Ulama tentang Qira’at al-Syadzdzah
ž  Imam Syafi’i menolaknya, karena ayat yang diterima tersebut diriwayatkan secara sendirian. Sementara qari yang lain tidak meriwayatkan yang demikian.
ž  Imam Abu Hanifah menerimanya, karena Hadis Ahad bisa dijadikan hujjah dalam hukum apalagi qira’at al-syadzdzah.
ž  Perbedaan juga terjadi apakah qira’at al-syadzdzah boleh dibaca dalam sholat? Sebgaian membolehkan (berdasarkan Al-Muzamil: 20), sebagian lagi melarang.

Kehujjahan Al-Qur’an
ž  Dalil Al-Qur’an adalah hujjah atas umat manusia & hukum-hukumnya merupakan UU yg wajib diikuti. Hal ini karena Al-Qur’an disampaikan oleh Allah melalui cara yang qath’i (pasti), tdk ada keraguan mengenai kebenarannya (Al-Baqarah: 2).
ž  Bukti bahwa Al-Qur’an dari sisi Allah adalah kemukjizatannya dalam melemahkan umat manusia untuk mendatangkan yang semisal Al-Qur’an.
  1. Surat AL-ISRA’: 88.
  2. Surat Hud: 13 yang menantang manusia untuk mendatangkan 10 surat seperti Al-Qur’an.
  3. Surat Al-Baqarah: 23-24 yang menantang manusia untuk mendatangkan satu surat saja.

Kemukjizatan Al-Qur’an
  1. Keharmonisan struktur redaksinya, makna-maknanya, hukum-hukumnya dan teori-teorinya.
  2. Persesuaian ayat Al-Qur’an dengan teori ilmiah yang dikemukakan ilmu pengetahuan.
  3. Pemberitahuan Al-Qur’an terhadap berbagai peristiwa yang hanya diketahui oleh Allah.
  4. Kefasihan lafad Al-Qur’an, keindahan redaksinya & kuatnya pengaruhnya.

Fungsi dan Tujuan Turun Al-Qur’an
ž  Sebagai hudan (petunjuk). Al-Baqarah: 2.
ž  Sebagai rahmat (kasih sayang Allah). Lukman: 2-3.
ž  Sebagai furqan (pembeda). Al-Baqarah: 185.
ž  Sebagai mau’izah (pembimbing). Al-A’raf: 145.
ž  Sebagai hakim (sumber kebijaksanaan). Lukman: 2.
ž  Sebagai busyra (kabar gembira).  Al-Naml: 1-2.
ž  Sebagai tibyan (penjelas). Al-Nahl: 89.
ž  Sebagai mushaddiq (pembenar). Ali Imran: 3.
ž  Sebagai nur (cahaya penerang). Al-Maidah: 46.
ž  Sebagai syifa’u al-shudur (obah ruhani). Al-Isra: 82.
ž  Sebagai tafsil (perinci). Yusuf: 111.

Macam-Macam Hukum dalam Al-Qur’an
ž  Ada 3 macam hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an
  1. Hukum-hukum I’tiqadiyah
  2. Hukum moralitas
  3. Hukum amaliyah
ž  Hukum-hukum amaliyah terdiri dari 2 macam:
  1. Hukum ibadah: salat, puasa, zakat, haji yang dimaksudkan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya
  2. Hukum muamalat: akad, pembelanjaan, hukuman, pidana yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan sesama mukalaf, baik sebagai individu, bangsa/kelompok.
ž  Menuret istilah modern, hukum muamalat terbagi menjadi:
  1. Hukum Keluarga; hukum yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan suami-istri & kerabat satu sama lainnya, Sekitar 70 ayat
  2. Hukum perdata; bertalian antara individu-individu & pertukaran mereka, jual beli, penggadaian, utang piutang, jaminan, pesekutuan. Sekitar 70 ayat
  3. Hukum pidana, berjumlah kira-kira 30 ayat
  4. Hukum acara; hukum yang berkaitan dengan pengadilan, kesaksian & sumpah. Berjumlah sekitar 13 ayat
  5. Hukum perundang-undangan; hukum yang berhubungan dengan pemerintahan & pokok-pokoknya. Berjumlah sekitar 10 ayat
  6. Hukum Tata negara; Hukum yang bersangkutan dengan hububungan antara negara Islam dengan negara lainnya. Berjumlah sktr 25 ayat
  7. Hukum ekonomi & keuangan; Hukum yang berhubungan dengan orang miskin, berkenaan dengan harta orang kaya, dan pengaturan berbagai sumber & perbankan. Berjumlah sekitar 10 ayat.

Qath’i dan Zhanni
ž  Dari segi kehadirannya & ketetapannya, Al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i (pasti). Maksudnya, dapat dipastikan bahwa setiap nash Al-Qur’an yang kita baca itu adalah hakekatnya nash Al-Qur’an yg diturunkan Allah kepada Rasul-NYa.
ž  Adapun dari segi dalalah-nya (penunjukan) terhadap hukum-hukum yang dikandungnya maka ia terbagi menjadi dua:
  1. Nash yang qath’i terhadap hukumnya,yaitu nash yang menunjukan kepada makna yang pemahaman makna itu dari nash tsb telah tertentu & tidak mengandung takwil serta tidak ada peluang untuk memahami makna lainnya dari nash itu, seperti surat AN-NUR: 2.
  2. Nash yang zhanni terhadap hukumnya, yaitu nash yang menunjukan atas suatu makna, akan tetapi masih memungkinkan untuk ditakwilkan/dipalingkan dari makna satu ke makna lainnya yang dimaksudkan darinya, stp surat al-Baqarah: 228.

Redifinisi dalalah qath’i dan zhanni
ž  Ulama kontemporer termasuk Masdar mas’udi mendefinisikan dalalah qath’i adalah nash yang mengandung nilai-nilai universal (ideal moral) yang menunjukkan makna tertentu & tidak bisa dipahami dengan pemahaman yang selainnya seperti perintah berbuat adil, berbakti kepada orang tua, menyayangi semua umat manusia dll.
ž  Sedangkan dalalah zhanni diartikan sebagai nash yang berupa legal formal yang menunjukan teknik (cara) untuk mewujudkan nilai-nlai universal, seperti nash yang menetapkan pembagian waris anak perempuan setengah bagian dari anak laki-laki. (menurut definisi konvensional ayat pembagian waris merupakan bagian dari dalil qath’i)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.