Langsung ke konten utama

Obyek & Sejarah Ushul Fiqh



Obyek Pembahasan Ushul Fiqh
  Obyek Ushul Fiqh berbeda dengan obyek fiqh, karena perbedaan sebagaiaman dibahas sebelumnya.
  Obyek Fiqh adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci
  Adapun obyek Ushul Fiqh adala mengenai metodologi penetapan hukum-hukum tsb.

  Kedua disiplin ilmu tsb sama-sama membahas dalil-dalil syara’ tetapi tinjauannya berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tsb untuk mentapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Sedangkan Ushul Fiqh meninjau dari segi metode penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatarbelakangi dalil-dalil tsb.
  Dengan demikian, obyek Ushul Fiqh adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan metodologi sehingga ia tidak keluar dari jalur yg benar.

Perbedaan antara Qawaid Fiqhiyyah dengan Ushul Fiqh
  Ushul Fiqh adalah kaidah/metode yang dipergunakan oleh fuqaha dalam menggali hukum syara’, sedangkan Qawaid Fiqhiyyah adalah himpunan hukum-hukum syara’ yg serupa (sejenis) lantaran ada titik persamaan, atau adanya ketetapan Fiqh yang merangkaikan kaidah tsb.
  Kitab-kitab QF: qawaidul ahkam karya Izzuddin ibn Abdis Salam Asy-Syafi’i , al-furuq karya al-Qarafi al-Maliki, al-Asybah wan Nazha’ir karya Ibn Nujain al-Hanafi, al-Qawanin karya Ibn Jizi al-Maliki.
  Ruang lingkup pembahasan Qawaid Fiqhiyyah adalah masalah-masalah fiqh, bukan Ushul Fiqh yang didasarkan pada himpunan masalah-masalah fiqh yang memiliki titik persamaan.
  Dengan demikian, Ushul Fiqh adala dasar untuk menggali hukum-hukum Fiqh yang bermacam-macam & dapat dihubungkan antara yang satu dengan yang lain, maka diterapkan suatu kaidah umum yang menghimpun hukum-hukum tsb yang disebut teori/kaidah fiqh.

Sejarah Ushul Fiqh
  Ushul Fiqh praktis tumbuh pasca wafatnya Rasulullah.
  Pada masa Sahabat meskipun belum terumuskan secara sistematis, Ushul Fiqh sudah diterapkan oleh para sahabat.
  Contohnya; menetapkan hukuman cambuk 80 kali bagi para pemabuk, sama dengan pezina.
  Alasannya, bila ia mabuk bisa menuduh orang zina tanpa alasan yang benar (karena ia akan dikenai sanksi tuduhan berzina) atau bahkan berzina.
  Hukuman cambuk 80 kali dimaksudkan agar tidak terjadi (mencegah) penuduhan tersebut atau berbuat zina.
  Dalam haidah fiqhiyyah dikenal dengan sad al-dzari’ah (menutup pintu kejahatan yang akan timbul)
Contoh lain:
Ibn Mas’ud memberi fatwa bahwa iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suami sementara ia sedang hamil adalah sampai melahirkan, berdasaQS at-Thalaq : 4 atau bertentangan dengan QS Al-Baqarah: 234. Dia memberikn fatwa demikian, asumsinya bahw Thalaq: 4  turun setelah al-Baqarah: 234. Cara ini mengisyaratkan pada satu kaidah bahwa ayat yang turun kemudian menasakh ayat yg turun lebih awal atau mentakhsisnya (Naskh-Mansukh).


Ushul Fiqh pada Masa Tabi’in
  Penggalian hukum syara’ semakin meluas, karena banyak permasalahan yg terjadi. Banyak para ulama tabiin yg memberikan fatwa, seperti Said ibn Musayab di Madinah, Alqamah & Ibrahim An-Nakhai di Irak.
  Dasar penetapan fatwa (hukum) bersandar pada Al-Qur’an, Hadis & fatwa sahabat (ijma). Jika tidak ada nash, menggunakan dasar maslahat, ada pula dengan qiyas.
  Pada periode ini, mulai terdapat aliran fiqh yang memiliki metode penetapan hukum yang berbeda dengan lainnya.

Imam Madzhab
  Setelah periode tabiin, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, metode penetapan hukum syara’ bertambah banyak corak & ragamnya, maka semakin banyak pula kaidah-kaidah istinbath.
  Mulai muncul imam-imam madzhab, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali.
  Imam Abu Hanifah misalnya membatasi dasar ijtihadnya dengan menggunakan Al-Qur’an, Hadist & fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati. Sedang fatwa-fatwa yang masih diperselisihkan, dia bebas memilih & tidak keluar dari fatwa tsb.
  Imam Maliki memiliki metode ijtihad yang jelas dengan berlandaskan pada tradisi penduduk Madinah.
  Imam Malik juga banyak menggunakan hadis dalam penetapan hukum, dibandingkan, misalnya, Abu Hanifah (Iraq).
  Menetapkan syarat yang berat dalam penggunaan qiyas. Maslahah mursalah sebagai imbangan istihsan yang banyak digunakan Abu Hanifah.
  Imam Malik representasi ulama fiqh Hijaz.

Imam Syafi’i
  Ia belajar dari Imam Malik dan juga pernah menimba ilmu dari Muhammad Ibn Hasan Al-Syaibani (murid Abu Hanifah).
  Selian itu ia belajar dari ulama-ulama Makkah (tempat kelahiarannya).
  Imam Syafi’i dikenal sebagai penyusun Ilmu Ushul Fiqh yang pertama kali.
  Orientalis Inggris, NJ Coulson menyebutnya sebagai Arsitek Ilmu Fiqh.
Kualifikasi Imam Syafi’i     
  Dikenal sebagai ahli lisan al-arabi, karena pernah tinggal lama di pedesaan Makkah.
  Memahami ilmu Al-Qur’an dan sangat mengenal nasikh mansukh, karena pernah belajar pada Abdullah Ibn Abbas.
  Pengetahuan Hadis yang sangat luar biasa.
  Menguasai Fiqh aliran tradisional (Hijaz/Maliki) dan aliran rasional (Iraq/Hanafi).

Pasca Madzhab
  Perkembangan Ushul Fiqh sangat pesat.
  Ulama Ushul Fiqh mensyarah dan merinci pemikiran ushul fiqh Imam Syafi’i.
  Dua kelompok ulama Ushul Fiqh;
1) Ulama Maliki => menggunakan dasar-dasar ushul fiqh Syafi’i; menguatkan maslahah mursalah dan sad al-dzara’i, namun tidak menggunakan pendapat Syafi’i tentang penolakan Ijma’ ulama Madinah.
2) Ulama Hanafi => menggunakan dasar ushul Syafi’i; menguatkan pemikiran istihsan dan ‘urf.

Taqlid
  Perkembangan Ushul Fiqh mengarah pada dua model;
1)      Pemikiran murni; tidak terpengaruh pada furu’ madzhab, namun pemikiran terkait pada kaidah (teori) dan menguatkan, tanpa terikat pada amal yang berkembang.

 Aliran ini berkembang menjadi dua; Aliran Ushul Fiqh Syafi’iyah dan Ushul Fiqh Mutakalimin.
      Al-Mu’tamad karya Hasan al-Basri (mu’tazilah)
      Al-Burhan karya Imam al-Haramain
      Al-Mustasyfa karya Imam Ghazali).
  Ulama periode berikutnya meringkas ketiga kitab tsb & membuat resum. Akhirnya kitab-kitab yang ringkas tsb memerlukan penjelasan lebih lanjut sehingga menyebabkan para ulama banyak mengarang kitab-kitab syarah tsb.
  Di antra ulama yg meringkas & memberikan komentar terhadap kitab tsb adalah:
  1. Fahrudin ar-Razi, al-Mahshul
  2. Al-Amidi, Al-Ihkam fi-Ushulil Ahkam
  Kedua kitab tsb telah banyak diringkas oleh para ulama yang terkadang terlalu ringkas, sehingga hampir-hampir hanya merupakan rumus yang kemudian memerlukan penjelasan lagi.
  2) Pemikiran yang bertumpu pada furu’. Terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikan bagi kepentingan furu’.
  Aliran ini dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang. Ulama yang mengkaji aliran ini mengacu pada kaidah-kaidah Ushul Fiqh untuk mengqiyaskan & melegalisir masalah-masalah cabang mazhabnya. Dengan demikian ulama aliran ini menjadikan kaidah-kaidah ini sebagai alat legitimasi bagi istinbathnya & sebagao bahan untuk argumentasi.
  Kitab-kitab yang disusun menurrt aliran ini adalah:
  1. Abil Hasan al-Kharki (w 340H), Al-Ushul.
  2. Abu Bakar ar-Razi (380 H), Ushulul Fiqh.
  3. Ad-Dabusi (430 H), Ta’sisun Nazhar.
  4. Al-Bazdawi (483), Usul Al-Bazdawi.

Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh
  Tujuan utama adalah dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai pada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali, sesuai dengan maksud dalil tersebut.
  Manfaatnya:
1)      Menjadi bahan analisa masalah fiqhiyyah yang belum ditemukan ulama;
2)      Melakukan kajian ulang atas hasil ijtihad ulama, jika terdapat persoalan yang sama namun berbeda situasi, kondisi dan waktunya.

Pokok bahasan Ushul Fiqh
  Dalil-dalil atau sumber hukum Syara’;
  Hukum syara yang terkandung dalam dalil tersebut;
  Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari sumbernya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.