Langsung ke konten utama

Nikah Sirri, Bagaimana Seharusnya Diatur Negara?

Oleh: Sukron Ma’mun*

Nikah sirri sebagaimana fakta-fakta yang terjadi saat ini memiliki banyak pengertian. Ada yang memaknai nikah tanpa catatan sipil, tetapi sesuai prosedur fiqh, nikah tanpa persetujuan dan kehadiran wali, serta nikah yang dirahasiakan dengan persetujuan wali. Tetapi dapat dipastikan bahwa nikah sirri yang berkembang saat ini adalah nikah yang tidak mendapatkan legitimasi hukum yang berlaku di negeri ini, karena memang tidak ada hukum apapun atau catatan sipil yang berlaku. 
Nikah sirri yang seperti ini nampaknya akan terus ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia, selama tidak ada ketentuan baru yang mengaturnya. Karena memang nikah sirri menjadi bagian cara untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan dalam sebuah ‘ikatan’ yang seolah sah dan mendapatkan legitimasi agama [Islam]. Nikah sirri juga dilakukan karena berbagai pertimbangan; etika, kekhawatiran, ekonomi, dan alasan teknis lainnya.
Banyak masyarakat yang melakukan nikah siri dengan alasan menjauhkan dari zina dan perbuatan amoral, karena pernikahan yang ‘sesungguhnya’ masih akan dilakukan beberapa bulan ke depan. Tipe pernikahan yang ini dilakukan untuk menghindarkan pasangan dari perbuatan yang dilarang agama, dan memberikan ikatan yang kuat pada yang bersangkutan. Pernikahan sirri model ini dilakukan dengan cara fiqhiyah, yakni memenuhi syarat dan rukun pernihakan.
Sementara itu ada pula pernikahan sirri yang dilakukan karena pertimbangan ekonomi. Hal ini dilakukan dengan alasan biaya pernikahan yang tidak terjangkau, karena himpitan ekonomi yang membelenggu orang-orang yang bersangkutan. Mahalnya biaya penikahan ‘tidak resmi’ yang harus dibayar untuk mendapatkan surat nikah menjadi kendala, sehingga harus melalukan nikah sirri. Bukti banyaknya kasus ini adalah adanya nikah ‘resmi’ gratis digelar pemerintah, dan dikuti perserta yang rata-rata telah memiliki anak dan tidak jarang cucu.
Ada pula nikah sirri yang dilakukan karena pertimbangan teknis, misalnya belum dapatnya atau sulitnya mendapatkan izin nikah dari istri pertama. Sehingga pernikahan sirri harus dilakukan karena terlanjur memberikan janji kepada calon istri kedua atau telah terjadi hubungan badan. Pernikahan ini kadang dilakukan secara terbuka, namun tidak sedikit yang sembunyikan meskipun dengan syarat dan rukun nikah yang dipenuhi. Bahkan banyak dari pernikahan model ini yang tidak memenuhi syarat dan rukun nikah.
Hampir mirip dengan model di atas, adalah pernikahan yang disembunyikan karena pertimbangan tertentu, namun juga tidak ada catatan sipil resmi. Kadang pernikahan model ini juga menjadi alibi seseorang karena pasangan terlanjur hamil, dsb. Model ini banyak menggejala pada kalangan artis dan bahkan politisi. Berapa banyak berita infotainment yang hampir setiap hari memberitakan kasus ini merupakan bukti bahwa nikah sirri merupakan cara yang tepat untuk berkilah dan berdalih demi kebenaran tindakannya.
Sementara pernikahan sirri yang memang dirahasiakan karena tidak adanya restu dari wali juga banyak terjadi. Di kalangan mahasiswa pada kota-kota besar, dimakan mereka tinggal jauh dari orang tuanya, banyak terjadi kasus-kasus ini. Tentu saja model ini tidak sah secara fiqh, meskipun mereka banyak berkilah juga dengan alasan fiqhiyah.
Tak jauh dari model ini banyak pula yang menjadikan pernikahan sirri menjadi alasan untuk ‘legalkan’ hubungan laki-laki dan perempuan hanya demi memuaskan nafsu biologis semata. Pernikahan ini tentu saja dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, meskipun ada pula yang memenuhi syarat dan rukun nikah. Kasus Aceng Fikri merupakan salah satu model kasus ini. Komentar Aceng Fikri pasca kasusnya terungkap di media menjadi bukti bahwa pernikahan sirri yang dilakukan tidak lebih dari memuaskan nafsu biologisnya. “Fani tidak perawan, mulutnya bau, sudah diberi 200 juta, ..... artis saja tidak semahal itu, dll” (Kompasiana, 27/12/12).
Sintesis Fiqh dan Hukum Negara
Islam menegaskan bahwa pernikahan bukan suatu ikatan sesaat, melainkan ikatan lahir bathin yang kuat (mitsaqan ghalidza). Tujuan pernikahan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an adalah untuk mendapatkan ketenangan lahir bathin kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan (QS. Ar-Rum: 21). Dengan demikian pernikahan bukan hanya sebatas untuk melegalkan hubungan badan, namun lebih dari itu adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir bathin.
Ketenangan dan kebahagiaan lahir bathin tersebut akan tercapai jika sebuah pernikahan mendapatkan legitimasi yang kuat secara sosial dan hukum yang berlaku. Karena pada kenyataannya, banyak pasangan yang menikah sirri mengalami tekanan batin sebagai akibat merasa didiskriminasi atau distigma negatif oleh masyarakat, rasa khawatir akan kerentanan hukum, dll. Jika terjadi perceraian, maka tidak ada kekuatan hukum untuk menuntut hak waris atau harta gono gini, serta hak nafkah anak.
Fiqh Islam mengatur persoalan hukum mengenai legalitas sebuah penikahan dalam tinjauan agama dan sunnah Rasulullah, sementara negara mengatur hukum yang terkait dengan sebab akibat yang akan menimba pada subjek hukum sebagai anggota masyarakat negara. Keduanya dapat dipertemukan dan diselaraskan, demi tegaknya sebuah tujuan dan kemasalahatan bersama.
Inilah yang harus dipahami, bukan diletakkan secara independent, sehingga hukum nikah sirri selalu memiliki pemaknaan ganda. Sah secara agama, tetapi tidak sah berdasarkan aturan [hukum] negara. Pernikahan sirri, selalu dipandang sebagai pernikahan yang sah secara agama jika telah memenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh. Sementara hukum negara mewajibkan adanya kewajiban dicatat oleh pihak berwenang.
Persoalannya adalah tidak ada hukum yang mampu memaksa untuk menikah secara legal atau tidak ada hukum yang menjerat seseorang yang melakukan pernikahan tanpa catatan negara. Sehingga banyak pernikahan sirri (tanpa catatan sipil), dengan berbagai alasan termasuk alasan yang sebenarnya tidak jauh dari persoalan nafsu biologis. Kasus-kasus yang mendera sejumlah pejabat publik dan kalangan artis menjadi bukti dalam hal ini.
Di sinilah para agamawan dan birokrat pemerintah hendaknya mencarikan solusi atas persoalan ini. Dalam konteks ini adalah memperkuat aturan atau hukum yang berlaku mengenai sistem pernikahan, yakni revisi Undang-Undang perkawinan (UUP) No. 1 tahun 1974.  Misalnya adanya klausul wajib dicatatkan atau bisa juga memberikan sanksi bagi pihak-pihak yang menyelengarakan pernikahan tanpa catatan. Meskipun hal ini akan menemui kendala dan persoalan sosial-agama. Sehingga kajian hukum, sosial, agama dan budaya mengenai revisi ini mutlak diperlukan.
Spirit Sunnah Rasul
Mencatatkan pernikahan memang tidak pernah diajurkan atau diwajibkan oleh Rasulullah dan juga dalam Al-Qur’an. Namun mengumumkan sebuah pernikahan merupakan kesunahan yang sangat dianjurkan. Kenyataan bahwa tidak adanya anjuran pencatatan pernihakan memang kondisi sosial budaya masyarakat kala masa Rasulullah belum pada tataran hal tersebut. Namun yang perlu diingat adanya anjuran Rasulullah untuk melakukan walimah dapat dimaknai sebagai upaya memberikan legitimasi hukum sosial pada orang yang melakukan pernikahan, bahwa keduanya telah memiliki ikatan.
 Hal ini juga yang ditekankan dalam kitab Fath al-Qarib, syekh Syamsuddin ibn Abdullah Muhammad ibn Qasim Al-Ghazi, dengan mengutip pendapatnya Imam Syafi’i bahwa walimah al-urs sangat dianjurkan. Maksud dari anjuran walimah al-urs adalah adanya kabar gembira yang disiarkan kepada khalayak (public), yang kemudian menjadi memori kolektif masyarakat bahwa ada kewajiban suami istri diantara kedua pasangan pernikahan tersebut.
Memori kolektif masyarakat inilah yang menjadi catatan hukum bersama sehingga mampu memberikan ikatan sosial budaya pada orang yang melakukan pernikahan. Jika ada persoalan yang membelenggu keduanya, karena meninggal atau terjadi perceraian makan hukum fiqh juga akan berlaku sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh. Bahkan nikah sirri dalam makna literal, yakni nikah yang disembunyikan sangat ditentang atau hukumnya haram. karena model nikah yang disembunyikan menyimpan persoalan, lepasnya hukum dan tidak adanya pengawasan sosial dari masyarakat.
Dalam konteks kekinian dimana masyarakat telah berkembang sedemikian rupa, mustahil sebuah pernikahan akan dapat dilakukan pengawasan hukum jika tidak ada bukti hukum yang mengikatnya. Maka ikatan sosial yang dulu hanya digambarkan dengan memberi kabar pada publik melalui walimah al-urs, kini harus terartikulasi dalam bentuk hukum tertulis. Di sinilah rumusan ushl al-fiqh, sadd al-dariah dan juga maqasid al-syar’iyah diberlakukan. Menutup pintu adanya tindakan hukum yang menyimpang, karena tujuan hukum adalah untuk kemasalahan umat. Demikian pula dalam ungkapan kaidah fiqhiyah daf’u mafasid muqadamun, menolak kerusakan harus didahulukan. Wallahu a’lam bi shawab.

Tulisan ini pernah dimuat di bulletin ASWAJA NU Salatiga, tanggal 11 Januari 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.