Langsung ke konten utama

HUKUM JUAL BELI


Oleh: Ahmad Noor Muhib H (111-11-069); Fenny Rizkya    (111-11-112); Misbakhul Munir (111-11-154); Aulia Sofiana (111-11-229)

A.    DEFINISI JUAL BELI DAN DASAR HUKUMNYA

1.      Pengertian jual beli
Jual beli dalam bahasa Arab al-bai’ menurut etimologi adalah :

مُقَا بَلَةُ شَيْءٍ بِشَيْءٍ      

Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain
Sayid sabig mengartika jual beli (al-bai’) menurut bahasa sebagai berikut.
اَلْبَيْعُ مَعْنَا هُ لُغَةً مُطْلَقَ الْمُبَا دَلَةَ

Pengertian jual beli menurut bahasa adalah tukar menukar secara mutlak.


      Dari pengertian tersebut dapat difahami bahwa jual beli menurut bahsa adalah tukar menukar apa saja, baik antara barang dengan barang, barang dengan uang, atau uang dangan uang. Pengertian ini diambil dari firman Allah SWT dalam surah Al-baqarah ( 2 ) ayat : 16
أُلَىكَ الْذِ يْنَ اشْتَرَوُا الضَّلَلَةَ بِا لْهُدَ ى فَمَا رَ بَحَتِ تِّجَرَ تُهُمْ وَمَا كَا نُوْا مُهْتَدِ يْنَ

Mareka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka  mendapat petunjuk.

      Dalam pengertian istilah syara’ terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama mazhab .
a.       Hanafiah , sebagaimana dikemukakan oleh Ali Fikri, menyatakan bahwa jual beli memiliki dua pengertian :
1)      Arti khusus, yaitu
وَهُوَ بَيْعُ الْعَيْنِ بِا لنَّقْدَ يْنِ ( اَلذَّ هَبِ وَاَلْفِضَّةِ ) وَنَحْوِ هِمَا , أُوْ مُبَا دَلَةُ السِّلْعَةِ بِا لنَّدِ أُوْ تَحْوِءِ عَلَى وَجْهِ مَخْصُوْ صٍ

Jual beli adalah menukar benda dengan dua mata uang ( Emas dan perak ) dan semacamnya, atau tukar menukar barang dengan uang atau semacamnya menurut cara  yang khusus.
2)      Arti Umum, yaitu
وَهُوَ مُبَا دَ لَةُ الْمَا لِ عَلَى وَجْهِ مَخْصُوْ صٍ , فَا لْمَا لُ يَشْمَلُ مَا كَا نَ ذَ تًا أَوْ نَقْدًا

Jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta menurut cara yang khusus, harta mencangkup zat ( barang ) atau uang.
b.      Malikiah, seperti halnya hanafiah, menyatakan bahwa jula beli mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan arti khusus. Pengertian jual beli yang umum adalah sebagai berikut :

فَهُوَ عَقْدُ مُعَا وَضَةٍ عَلَى غَيْرِ مَنَا فِعَ وَلاَ مُتْعَةِ لَذَّةٍ

Jual beli adalah akad mu’awadhah ( timbal balik ) atas selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan.[1]

Dasar-Dasar Hukum Sunnah Jual Beli :
 Adapun dasar hukum jual beli  yang telah disahkan oleh al Qur’an, firman Allah:
وَ أَحَلَّ ا للَّهُ الْبَيْعَ وَ حَرَّ مَ الرِّ بَوأ

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.(QS. Al Baqarah(2):275).[2]
                      
1.      Hadis Rifa’ah ibnu rafi’ :

عَنْ رِفَا عَةَ بْنِ رَا فِعٍ أَ نَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُىلَ أَ يُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ قَا لَ : عَمَلُ الرَّ جُلِ بِيَدِ هِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُ وْ رٍ.

Dari fira’ah ibnu rafi’ bahwa Nabi s. a.w ditanya usaha apakah yang paling baik ? Nabi menjawab : Usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur. ( Diriwayatkan oleh Al- bazzar dan dishahihkan oleh Al-Hakim).
2.      Hadis Ibnu ‘Umar
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَا لَ رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : اَلتَّا جِرُ الصَّدُ وْ قُ الأَ مِيْنُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ.

Dari Ibnu ‘Umar r.a berkata : Telah bersabda Rasulullah s. a. w: Pedagang yang benar ( jujur ), dapat dipercaya dan muslim, beserta para syuhada pada hari kiamat. ( H.R. Ibnu Majah )

Dari Hadis-hadis yang dikemukakan di atas dapat difahami bahwa jual beli merupakan pekerjaan yang khalal dan mulia. Apabila pelakunya jujur, maka kedudukannya di akhirat nanti setara dengan nabi, syuhada, dan siddiqin.[3]

B.     RUKUN JUAL BELI

Arkan adalah bentuk jamak dari rukun. Rukun  berarti sesuatu sisinya yang paling kaut, sedangkan Arkan berarti hal-hal yang harus ada untuk terwujudnya satu akad dari sisi luar.
            Rukun jual beli ada tiga : 1. Kedua belah pihak yang berakad ( ‘Aqadan ), 2. Yang diakadkan ( ma;qud alaih ), dan 3. Shighat ( lafal ). Oleh sebab itu, penamaan pihak yang berakad sebagai rukun bukan secara hakiki tetapi secara istilah saja,  karena itu bukan bagian dari barang yang dijualbelikan yang didapatkan diluar, sebab akad akan terjadi dari luar jika terpenuhi dua hal : yaitu ijab dan qabul ( Shighat ).

1.      Shighat
Shighat adalah ijab dan qabul, dan ijab seperti yang diketahui sebelumnya, diambil dari kata aujaban yang artinya meletakkan, dari pihak penjual yaitu pemberian hak milik, dan qabul yaitu orang yang menerima hak milik. Jika penjual berkata : “bi’tuka” (saya jual kepadamu ) buku ini denagn ini, maka inllah ijab, dan ketika pihak lain berkata: “ Qabiltu “ ( saya terima ), maka inilah Qabul. Dan jika pembeli berkata: “ Juallah kepadaku kitab ini dengan harga begini “ lalu penjual berkata : “ Saya jual kepadamu “, maka yang pertama adalah Qabul dan yang kedua adalah  ijab. Jadi dalam akad jual beli, penjual selalu menjadi yang ber-ijab dan pembeli menjadi penerima baik diawalkan atau diakhirkan lafalnya.

a.      Syarat-Syarat Shighat

Agar Ijab dan Qabul menghasilkan pengaruh dan akad mempunyai keberadaan yang diakui secara syar’i, maka wajib terpenuhi syarat di bawah ini :
1.      Qabul  harus sesuai dengan ijab dalam arti kata sama baik jenia, sifat, ukuran, dan jatuh temponya dan penundaan, jika ini terjadi maka barulah dua keinginan akan bertemu dan saling becocokan.
2.      Tidak diselingi dengan ucapan yang asing dalam akad. Perkataan yang asing dalam akad adalah ucapan yang  tidak ada hubungannya dengan akad , seperti menerima bunga yang ada aib, dan tidak termasuk maslahat bagi dia  dengan memberikan syarat khiyar.
3.      Tidak ada jeda diam yang panjang antara ijab dan qabul, yaitu jeda yang bisa menggambarkan sikap penolakan terhadap qabul.
4.      Orang memulai dengan ijab dan qabul bersikukuh dengan ucapannya, melafalkan shighat yang bisa didengar oleh orang yang ada didekatnya. Isyarat dan tulisan orang yang bisu dalam setiap akad, tuntutan ( da’awa), dan pengakuan (aqarin) dan yang semisalnya sama dengan ucapan dari orang lain, maka sah hukumnya karena keperluan.
5.      Beragama islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, misalnya seseorang dilarang menjual hambanya  yang beragama islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut  akan merendahkan abid yang beragama islam, sedangkan Allah melarang orang-orang  mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin. Firmannya :
وَ لَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَلْكَا  فِرِ يْنَ عَلَى الْمُؤْ مِنِيْنَ سَبِيْلاً ( النسا ء : 141

Dan Allah sekali-kali tidak memberi  jalan bagi orang-orang kafir untuk menghina orang mukmin. ( An-Nisa : 141 ).[4]

b.      Sifat Shighat (Ijab dan Qabul )

Menurut Syafi’iyah, Hanabilah, Sufyan Ats-Tsauri dan Ishak, apabila aqad telah terjadi dengan bertemunya ijab dan qabul, maka menjadi jaiz (boleh), yakni tidak mengikat, selama para pihak masih berada dimajlis akad. Masing-masing pihak boleh melakukan khiyar ( memilih )antara membatalkan jual beli atau meneruskannya, selama keduanya masih berkumpul dan belum berpisah. Perpisahan tersebut didasarkan kepada ‘urf atau akad kebiasaan, yaitu keduanya berpisah dari tempat dimana keduanya melakukan transaksi jual beli.

Perpisahan yang dimaksud disini adalah perpisahan secara fisik ( badan ). Dan inilah yang dimaksud dengan Khiyar Majlis. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw. Yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah ibnu Al-Harits dari Hakim ibnu Hizam, bahwa Nabi Saw. Bersabda :

اَلْبَيْعَا نِ بِا لْخِيَا رِ مَا لَمْ يَتَفَرَّ قَا فَأِ نْ صَدَ قَا وَ بَيَّنَا بُوْ رِ كَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا وَ أِ نْ كَذَبَا وَ كَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا.

Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah. Apabila keduanya benar (jujur) dan jelas maka keduanya diberi keberkahan dalam jual beli mereka. Tetapi, apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan maka akan dihapus keberkahan jual beli mereka berdua. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).[5]

2.      Aqid (Pihak yang Berakad)
Jika dikatakan kata Aqid, maka perhatian langsung tertuju kepada penjual dan pembeli karena keduanya mempunyai andil dalam terjadinya pemilikan dengan harga dan syarat yang ada empat: yang pertama dan kedua khusus untuk penjual, ketiga dan keempat khusus untuk pembeli.



a.      Syarat Pihak yang Berakad
Aqid menurut Al-Bujairimi dalam Hasyiyah-nya adalah setiap yang mempunyai andil dalam menghasilkan hak milik dengan bayaran harga dan ini mencangkup pihak penjual dan pembeli atau yang lainnya.
1)      Bebas berbuat
Maksudnya,pihak yang berakad haruslah setiap yang diizinkan oleh Allah untuk berbuat, masuk dalam hal ini wali dengan harta asuhannya dan jika dia tidak boleh berbuat kecuali yang membawa kebaikan si anak asuh, maka itu adalah tambahan dari apa yang seharusnya ia lakukan dalam berbuat bebas. Menurut Asy-Shubri memutlakkan tasaharruf (berbuat) adalah dianggap sahnya akad walaupun dengan jual beli. Tidak sah akad anak kecil dan orang gila walaupun diizinkan oleh walinya dalam berbuat sesuai dengan ucapan Nabi Saw : “Diangkat pena dari tiga orang, anak kecil sampai dia besar, yang tidur sampai dia bangun, dan yang gila sampai dia sadar.”
2)      Tidak ada pemaksaan tanpa kebenaran
Tidak sah akad yang ada unsur pemaksaan terhadap hartanya tanpa kebenaran karena tidak ada kerelaan darinya. Allah SWT berfirman yang artinya :
( Kecuali jika melalui perdagangan yang saling ridha diantara kalian)
3)      Keislaman seseorang yang membeli mushaf atau kitab hadis, atau kitab ilmu yang di dalamnya ada ucapan kaum salaf
4)      Terjaminnya pembeli jika yang dijual adalah peralatan perang.[6]

3.      Ma’qud ‘Alaihi ( Barang atau Objek yang diakadkan)
Ma’qud ‘Alaihi yaitu harta yang akan dipindahkan dari tangan salah seorang yang berakad kepada pihak lain, baik harga atau barang berharga.[7]

a.      Syarat-Syarat Benda yang Menjadi Objek Akad  :

1.      Suci atau mungkin untuk disucikan sehingga tidak sah penjualan benda-benda najis seperti anjing, babi, dan yang lainnya, Rasulullah saw bersabda :
عَنْ جَا بِرٍ ر ضَ أَ نَّ رَ سُوْ لُ اللَّهِ ص م  قَا لَ أِ نَّ اللَّهِ وَ رَ سُوْ لَهُ حَرَّ مَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ  وَ الْخِنْزِ يْرِ وَالأَ صْنَا مِ  (رواه البخر رى و مسلم )

“Dari Jabir ra. Rasulullah Saw. Bersabda : Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan penjualan arak,  bangkai, babi, dan berhala”. (Riwayat Bukhari dan Muslim )
2.      Memberi manfa’at menurut syara’, maka dilarang jual beli benda-benda yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’, seperti menjual babi, kala, cicak, dan lainnya.
3.      Jangan ditaklikan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain, seperti jika ayahku pergi, kujual motor ini kepadamu.
4.      Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan kujual motor ini kepada Tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah, sebab jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan syara’.
5.      Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat atau mampu menyerahkan barang yang dijual, tidaklah sah menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi.
6.      Bukan milik sendiri, tidaklah sah menjual barang orang lain dengan tidak se-izin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi miliknya.
7.      Diketahui ( dilihat ), barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui banyaknya, beratnya, takarannya, atau ukur-ukuran yang lainnya, maka tidaklah sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak.[8]

Seperti hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan Imam Muslim.
نَهى رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَ رِ

Bahwa Rasulullah Saw melarang menjual sesuatu yang tidak jelas ( gharar ).[9]

C.    SYARAT-SYARAT JUAL BELI

Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli, yaitu:
1.      Syarat in’iqad ( terjadinya akad );
2.      Syarat sahnya akad jual beli;
3.      Syarat kelangsungan jual beli ( Syarat Nafadz);
4.      Syarat mengikat ( Syarat Luzum)
1.      Syarat Terjadinya Akad ( In’iqad)
Syarat in’iqad adalah syarat yang harus terpenuhi agar akad jual beli dipandang sah menurut syara’. Di kalangan ulama tidak ada kesepakatan mengenai syarat in’iqad ini. Tetapi Hanafiah mengemukakan empat macam syarat uuntuk keabsahan jual beli :
a.       Syarat berkaitan dengan ‘aqaid (Orang yang melakukan akad);
b.      Syarat berkaitan dengan akad itu sendiri;
c.       Syarat berkaitan dengan tempat akad;
d.      Syarat berkaitan dengan objek akad ( ma’qud ‘alaih );
2.      ‘Aqid ( Orang yang melakukan akad )
a.      Syarat Akad ( Ijab dan Qabul )
Syarat akad yang paling penting adalah bahwa qabul harus sesuai dengan ijab, dalam arti pembeli menerima apa yang di-ijab-kan (dinyatakan) ‘oleh penjual.
b.      Syarat Tempat  Akad
Syarat yang berkaitan dengan tempat akad adalah ijab dan qabul harus terjadi dalam satu majlis. Apabila ijab dan qabul berbeda majlisnya, maka akad jual beli tidak sah.
c.       Syarat Ma’qud ‘Alaih ( Objek Akad )
Syarat yang harus terpenuhi oleh objek akad (ma’qud ‘alaih ) adalah sebagai berikut:
1)      Barang yang dijual harus ada ( maujud ). Oleh karena itu, tidak sah jual beli barang yang tidak ada (ma’dum) atau yang dikhawatirkan tidak ada.
2)      Barang yang dijual harus mal mutaqawwim, yaitu setiap barang bisa dikuasai secara langsung dan boleh diambil manfaatnya dalam keadaan ikhtiyar. Dengan demikian tidak sah jual beli mal yang ghahir mutaqawwim seperti babi, darah, dan bangkai.
3)      Barang yang dijual harus barang yang sudah dimiliki. Seperti : rumput, kayu bakar, dll.
4)      Barang yang dijual haru bisa diserahkan pada saat dilakukannya akad jual beli. Seperti : Burung di udara, ikan dilaut.

D.    SYARAT  SAH  JUAL  BELI

Syarat sah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu secara umum dan khusus. Secara umum adalah syarat yang haru ada pada setiap jenis jual beli agar jual beli tersebut dianggap sah menurut syara’. Secara global akad jual beli harus dihindarkan dari enam macam ‘aib :
a.       Ketidakjelasan (jahalah);
b.      Pemaksaan (al-ikrah);
c.       Pembatasan dengan waktu (at-tauqit);
d.      Penipuan (gharar);
e.       Kemudaratan ( dharar );
f.       Syarat-syarat yang meruak ;

a.      Ketidakjelasan (Al-Jahalah)
Yang dimaksud disini adalah ketidakjelasan yang serius, yaitu mendatangkan perselisihan yang sulit untuk diselesaikan. Ketidakjelasan ini ada empat macam, yaitu:
1)      Ketidakjelasan dalam barang yang dijual, baik jenisnya, macamnya, yaitu kadarnya menurut pandangan pembeli.
2)      Ketidakjelasan harga.
3)      Ketidakjelasan masa (tempo), seperti dalam harga yang diangsur, atau dalamkhiyar syarat. Dalam hal ini waktu harus jelas, apabila tidak jelas maka akad akan menjadi batal.
4)      Ketidakjelasan dalam langkah-langkah penjaminan. Misalnya, penjual mensyaratkan diajukannya seorang kafil  (penjamin ). Dalam hal ini penjamin harus jelas, apabila tidak jelas maka akad jual beli menjadi batal.
b.      Pemaksaan ( Al-Ikhrah )
Pengertian pemaksaan adalah mendorong orang lain (yang dipaksa)  untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak disukainya. Paksaan ini ada dua macam :
1)      Paksaan Absolut ( الاِ كرَاهُ المُلْجِئُ أَ وْ التَّا مُ                                     ) , yaitu paksaan dengan ancaman yang sangat berat, epertiakan dibunuh, atau dipotong salah satu anggota badannya.
2)      Paksaan Relatif (     الاِكْرَا هُ غَيْرَ الْمُلْجِئِ أَوْ النَا قِصِ                                         ), yaitu paksaan dengan ancaman yang lebih ringan , seperti dipukul.
c.       Pembatasan dengan waktu ( At-Tauqit )
Yaitu jual beli dengan dibatasi waktunya. Seperti : “Saya jual baju ini kepadamu untuk selama satu tahun atau satu bulan”. Jual beli ini hukumnya fasid, karena kepemilikan atas suatu barang, tidak bisa dibatai waktunya.
d.      Penipuan ( Al-Gharar )
Yang dimaksud disini adalah gharar ( penipuan ) dalam sifat barang. Seperti seorang penjual sapi dengan pernyataan bahwa sapi itu air susunya sehari sepuluh liter.
e.       Kemudaratan ( Adh-Dharar )
Kemudaratan ini terjadi apabila penyerahan barang yang dijual tidak mungkin dilakukan kecuali dengan memasukkan kemundaratan kepada penjual, dalam barang selain objek akad. Seperti seorang penjual baju satu meter yang tidak bisa dibagi.
f.       Syarat yang Meruak
Yaitu setiap syarat yang ada manfaatnya bagi salah satu pihak yang bertransaksi, tetapi syarat tersebut tidak ada dalam syara’ atau adat kebiasaan, atau tidak dikendaki oleh akad.




Adapun syarat-syarat khusus yang berlaku untuk beberapa jenis jual beli adalah sebagai berikut :
1)      Barang harus diterima.
2)      Mengetahui harga pertama apabila jual belinyaberbentuk  Murabahah, tauliyah, wadhi’ah, atau isyrak.
3)      Saling menerima (iaqabudh) penukaran, sebelum berpisah, apabila jual belinya dalam bentuk shrf (uang)
4)      Dipenuhi syarat-syarat salam,apabila jual belinya jual beli salam (pesanan).
5)      Harus sama dalam penukaran, apabila barangnya barang ribawi.
6)      Harus diterima dalam utang piutang yang ada dalam perjaanjian, seperti mulam fih dan modal salam, dan penjual sesuatu dengan utang kepada selain penjual.[10]

E.     MACAM-MACAM JUAL BELI

Jual beli dapat ditiinjuan dari beberapa segi. Ditinjau dari seggi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum dan dari segi objek beli dan dari segi pelaku jual beli.

1.      Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat  dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli ada tiga bentuk :

اَلْبُيُوْ عُ ثَلَا ثَةٌ بَيْعَ عَيْن مُشَا هَدَ ةٍ وَ بَيْعُ شَيْءٍ مَوْ صُوْ فٍ فِى الذَّ مَّةِ وَ بَيْعَ عَيْنٍ غَا ىِْبَةٍ لَمْ تُشَا هِدْ.

Jual beli itu ada tiga macam : 1) Jual beli benda yang kelihatan, 2) Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji, dan 3) Jual beli benda yang tidak ada”.
a.       Jual beli yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh dilakukan, seperti membeli beras di pasar.
b.      Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual beli yangg tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau esuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan barang-barangnya  ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.
Dalam salam berlaku semua jual beli  dan syarat-syarat tambahan sebagai berikut:
1.      Ketika melakukan akad salam, disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang, maupun diukur.
2.      Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa mempertinggi dan memperendah harga barang itu.
3.      Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang bisa didapatkan di pasar.
4.      Harga hendaknya dipegang ditempat akad berlangsung.
c.       Jual beli yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang dilarang agama islam karena barangnya tidak tentu atau masih gelap, sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak. Hal ini tidak diperbolehkan. Sebagai contoh dijelaskan oleh Muhammad Syarbini Khatib, bahwa penjualan bawang merah dan wortel yang berada didalam tanah adalah batal sebab hal tersebut merupakan perbuatan gharar. Rasulullah bersabda :
أِ نَّ الَّبِىُ ص م نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَ دَّ وَ عَنِ الْحَبَّ حَتَّى يَشُدُّ

Sesungguhnya Nabi Saw. Melarang penjualan anggur sebelum hitam dan dilarang penjualan biji-bijian sebelum mengeras”.
2.      Ditinjau dari segi perilaku akad (Subjek). Jual beli terbagi menjadi tiga bagian. Dengan lisan, dengan perantara dan dengan perbuatan.
a.       Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Bagi orang bisu deganti dengan isyarat, karena isyarat merupakan pembawaan alami dalam penampakkan kehendak. Hal  yang dipandang dalam akad ini adalah maksud atau kehendak dan pengertian. Bukan pembicaraan dan pernyataan.
b.      Penyampaian akad jual beli melalui utusan,perantara , tulisan atau surat-menyurat.
Dalam hal ini diperbolehkan menurut syara’, dan bentukini hampir  sama dengan bentuk jual beli salam, hanya saja jual beli  slam antara penjual dan pembeli  saling berhadapan dalam satu majlis akad, sedangkan dalam hal ini penjual dan pembeli tidak berada dalam satu majlis. Contoh : Pembelian melalui via pos atau giro.
c.       Jual beli dengan perbuatan ( saling memberikan ) atau dikenal dengan istilah mu’athah yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dab qabul, seperti seseorang mengambil rokok yang sudah ditulis label harganya, dibandol oleh penjual  dan kemudian diberikan uang pembayarannya  kepada penjual. Jual beli dengan cara demikian, menurut ebagian Syafi’iyah tentu hal ini dilarang sebab ijab qabul sebagai rukun jual beli. Tetapi sebagian Syafi’iyah lainnya, seperti Imam Nawawi membolehkan jual beli barang kebutuhan sehari-hari dengan cara demikian, yakni tanpa ijab qabul terlebih dahulu.
Selain pembelian di atas, jual beli juga ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang, jual beli yang dilarang juga ada yang batal ada pula yang terlarang tetapi sah.

Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut :
1.      Barang yang dihukumkan najis oleh agama,seperti anjing,babi, berhala, bangkai, dan khamar,Rasulullah Saw bersabda :

عَنْ جَا بِرٍ رض أَنَّ رَ سُوْ لُ اللَّهِ ص م قَا لَ أِنَّ اللّْهِ وَرَ سُوْ لُهُ حَرَّ مَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِ يْرِ وَلأَ صْنَا مِ ( رواه البخا رى و مسلم )
Dari Jahir r.a, Rasulullah Saw bersabda, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bengkai, bebi, dan berhala” ( Riwayat Bukhari dan Muslim )
2.      Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar mendapatkan turunan. Jual beli ini haram hukumnya karena Rasullullah bersabda :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ ر ض قَا لَ رَ سُوْ لُ اللَّهِ ص م عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ ( روا ه البخا رى )
Dari Ibnu Umar r.a. berkata ; Rasulullah Saw. Telah melarang menjual mani binatang” (Riwayat Bukhari )
3.      Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya. Jual beli seperti ini dilarang, karena barangnya belum ada dan tidak tampak, juga Rasulullah Saw. Bersabda :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ ر ض اَ نَّ رَ سُوْ لُ اللَّهِ ص م نَهِى عَنُ بَيْعِ حَبْلَ الْحَبْلَةِ ( روا ه البخا رى و مسلم )

Dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah Saw. Telah melarang penjualan sesuatu yang masih dalam kandungan induknya” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
4.      Jual beli dengan Muhaqallah, Baqallah berarti tanah, sawah, dan kebun. Maksudnya Muhaqallah disini ialah menjual tanaman-tanaman yang masih diladang atau di sawah. Hal ini dilarang agama sebab ada persangkaan didalamnya.
5.       Jual beli dengan Mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil, dan lainnya. Hal ini dilarang karena barang tersebut masih samar, dalam artian mungkin saja buah tersebut jatuh tertiup angin kencang atau yang lainnya sebelum diambil oleh si pemiliknya.
6.       Jual beli dengan Muammasah, yaitu jual beli secara sentuh-menyentuh, misalnya seorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya diwaktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan kemungkinan akan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
7.       Jual beli dengan Munabadzah, yaitu jual beli secara lempar-melempar seperti seseorang berkata, “lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku”. Setelah terjadi lempar-melempar, terjadilah jual-beli. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab dan qabul.
8.       Jual beli dengan Muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering, seperti menjual padi yang kering dengan bayaran padi basah, sedangkan ukurannya dengan dikilo sehingga akan merugikan pemilik padi kering. Hal ini dilarang oleh Rasulullah Saw. Dengan sabda :

9.      عَنْ  أَنَسٍ ر ض قَا لَ نَهِى رَسُوْ لُ اللّْهِ عَنِ الْمُحَا قَلَةِ وَالْمُحَا ضَرَ ةِ وَالْمُلَا مَسَةِ وَالْمُنَا بَذَ ةِ وَالْمُزَ اَبَنَةِ . ( رواه البخا رى )
Dari Anas r.a berkata ; “ Rsaulullah Saw. Melarang jual beli muhaqallah, mukhadharah, mulammassah, munabazah dan muzabanah” (Riwayat Bukhari )
Beberapa macam jual beli yang dilarang oleh agama, tetapi sah hukumnya, tetapi orang yang melakukannya mendapat dosa. Jual beli tersebut antara lain:
1.      Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk ke pasar  untuk membeli benda-bendanya dengan harga yang semurah-murahnya, sebelum mereka tahu harga pasaran, kemudian ia jual dengan harga yang setinggi-tingginya. Perbuatan ini sering terjadi di pasar-pasar  yang berlokasi di daerah perbatasan antara kota dan kampung.Tapi apabila orang kampung sudah mengetahui harga pasaran, jual beli seperti ini tidak apa-apa.
Rasulullah Saw. Bersabda:

قَا لَ رَ سُوْ لُ اللَّهِ ص م لاَ يَبْيِعُ حَا ضِرٌ لِبَا دٍ ( رواه البخا رى و مسلم)       

Tidak boleh menjualkan hadir  (orang dikota) barang orang dusun (baru datang)” (Riwayat Bukhari dan muslim)

2.      Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain, seperti seseorang berkata, “Tolaklah harga tawaran itu. Nanti aku yang membeli dengan harga yang lebih mahal”.  Hal ini dilarang karena akan menyakitkan orang lain. Rasulullah Saw. Bersabda:

لاَ يَسُوْ مُ الرَّ جُلَ عَلَ سَوْ مِ أَ خِيْهِ ( رواه البخا رى و مسلم )

 “ Tidak boleh seseorang menawar diatas tawaran saudaranya .” ( Riwayat Bukhari dan Muslim )



3.      Jual beli dengan Najasyi, ialah seseorang menaambah atau melebihi harga temannya dengan maksud memancing-mancing orang agar orang itu mau membeli barang kawannya. Hal ini dilarang agama. Rasulullah Saw. Bersabda:
نَهَى رَ سُوْ لُ اللَّهِ ص م عَنِ النَّجَشِ ( رواه البخا رى و مسلم)

Rasulullah Saw. Telah melarang melakukan jual beli dengan najasyi “ ( Riwayat Bukhari dan Muslim )
4.      Menjual di atas penjualan orang lain umpamanya seseorang berkata: “Kembalikan saja barang itu kepada penjualnya , nanti barangku saya kau beli dengan harga yang lebih murah dari itu. Rasulullah Saw. Bersabda:

قَا لَ رَ سُوْ لُ اللَّهِ ص م وَ لاَ يَبِيْعُ الرَّ جُلَ عَلَى بَيْعِ أَ خيْهِ ( رواه البخا رى و مسلم)

Rasulullah Saw. Bersabda ; seseorang tidak boleh menjual atas penjualan orang lain.” ( Riwayat Bukhari dan Muslim ).



[1] Wardi ahmad, Fiqh muamalah, Jakarta,Amzah, 2010, hlm. 173.
[2] Aziz Abdul, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam, Jakarta, 2010, Amzah, hlm. 26.
[3] Ibid, hlm. 178.
[4] Suhendi hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta, PT. Rajawali Pers, 2010, hlm. 71.
[5] Ibid, hlm. 184.
[6] Aziz Abdul, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam, Jakarta, 2010, Amzah, hlm. 38.
[7] Suhendi, op.cit., hlm. 71.
[8] Suhendi, op.cit., hlm. 71.
[9] Aziz Abdul, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam, Jakarta, 2010, Amzah, hlm. 57.

[10]  Ibid, hlm. 190-193.

Komentar

  1. Apabila seseorang yang telah melakukan transaksi jual beli dan telah memenuhi syarat-syarat islam, akan tetapi hasil dari transaksi ada salah satu pihak yaitu pembeli yang kecewa akan suatu barang yang dibelinya.itu sudah bayak terjadi dalam lingkungan kita termasuk mungkin kita sendiri. lalu itu menurut pandangan islam bagaimana? bukankah pembeli itu adalah raja?

    AFIFAH MUFLIHATI
    TARBIYAH/PAI
    111-11-007

    BalasHapus
    Balasan
    1. nama : Fenny Riskya
      nim : 111-11-112
      progdi : Tarbiyah PAI, kelas E, Kel. 1

      Jual beli itu, tukar menukar secara mutlak, terjadi saat pada waktunya, bukan setelah menerima barang yang dibeli, dan ketika transaksi jual beli sudah dilakudilakukan menurut syariat islam islam, dalam arti sudah melakukan rukun2 dan sudah memenuhi syarat syah jual beli, seperti yang sudah dijelaskan dalam makalah, maka transaksi jual beli sudah sah, dan ketika pembeli merasa dirugikan setelah terjadi transaksi jual beli maka itu sudang menjdi resiko pembeli, penjual tdk bertanggung jawab.. dg begitu, perlu ada kecerdasan dan ketelitian dalam melakukan transaksi jual beli.

      Hapus
    2. seandainya jual beli berupa barang seperti sepeda atau mobil, dengan sistem uang muka/DP, kemudian pembeli tidak jadi membeli. Apakah boleh uang muka tersebut di minta kembali?
      proses jual beli ini secara kredit. Mohon penjelasannya!

      AZZAHRA
      Dari Kota Semarang

      Hapus
  2. Seandainya jual beli dengan sistem uang muka/DP(downpayment)? Kemudian jika pembeli menggagalkannya, halalkah mengambil uang muka tersebut? Mohon penjelasannya?

    BalasHapus
  3. nama : Fenny Riskya
    nim : 111-11-112
    progdi : Tarbiyah PAI, kelas E, Kel. 1

    Jual beli itu, tukar menukar secara mutlak, terjadi saat pada waktunya, bukan setelah menerima barang yang dibeli, dan ketika transaksi jual beli sudah dilakudilakukan menurut syariat islam islam, dalam arti sudah melakukan rukun2 dan sudah memenuhi syarat syah jual beli, seperti yang sudah dijelaskan dalam makalah, maka transaksi jual beli sudah sah, dan ketika pembeli merasa dirugikan setelah terjadi transaksi jual beli maka itu sudang menjdi resiko pembeli, penjual tdk bertanggung jawab.. dg begitu, perlu ada kecerdasan dan ketelitian dalam melakukan transaksi jual beli.

    BalasHapus
  4. kepada mbak Fenny Riska, teus terang saya malah bingung dengan jawaban anda. Kalimat anda yang berbunyi "Jual beli tukar menukar secara mutlak, TERJADI PADA WAKTUNYA, BUKAN SETELAH MENERIMA BARANG YANG DIBELI".
    Menurut pendapat anda, apakah anda menghukumi haram/halal?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.