Langsung ke konten utama

BAGI HASIL: Mudharabah, Musyarokah, Muzara’ah, Musaqah

Oleh: Sri Sulastri (111-11-012); Nur Aslihudin   (111-11-152); Siti Asiyah (111-11-014)

A.     Mudharabah
1.       Definisi Mudharabah
Mudharabah diambil dari kata  فِي الآَرْضِالضَرْبُ yangg artinya لِلتَّجَارَةِالسَّفَرُ yakni melakukan perjalanan untuk berdagang. Dalam al-Qur’an surat al-Muzammil:20 disebutkan:
...وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى الآَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنء فَضْلِ اللهِ...
Artinya:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah swt”.
Mudharabah adalah suatu akad atau perjanjian antara dua orang atau lebih, dimana pihak pertama memberikan modal usaha, sedangkan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi diantara mereka sesuai dengan kesepakatan yang mereka tetapkan bersama.

Dalam mudharabah ada unsur syirkah atau kerja sama, hanya saja bukan kerja sama antara harta dengan harta atau tenaga dengan tenaga, melainkan antara harta dengan tenaga. Disamping itu, juga terdapat unsur syirkah (kepemilikan bersama) dalam keuntungan. Namun, apabila terjadi kerugian maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan pengelola tidak dibebani kerugian karena ia telah rugi tenaga tanpa keuntungan.
2.      Dasar Hukum Mudharabah
Para ulama mazhab sepakat bahwa mudharabah hukumnya dibolehkan berdasarkan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Adapun dalil dari al-Qur’an surat al-Muzammil:20 yang berbunyi:
...وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى الآَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنء فَضْلِ اللهِ...
Artinya:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah swt”.
Sedangkan dari sunnah, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik:
عنِ الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عن أبِيهِ عن جَدِّهِ:أَنَّ عُثْمَا نَ بْنَ عَفَّا ن أَعْطَا هُ مَا لاً قِرَاضًا يَعْمَلُ فِيْهِ عَلَى أَنَّ الرِّبْحَ بَيْنَهُمَا
Artinya:
“Dari ‘Ala’ bin Adurrahman dari ayahnya dari kakeknya bahwa Utsman bin Affan memberinya harta dengan cara qiradh yang dikelolanya dengan ketentuan keuntungan dibagi diantara mereka berdua”. (HR. Imam Malik)
Dari ayat al-Qur’an dan hadis tersebut jelaslah bahwa mudharabah (qiradh) merupakan akad yang dibolehkan. Hadis diatas dijelaskan tentang praktik mudharabah oleh Utsam sebagai pemilik modal dengan pihak lain sebagai pengelola.
Adapun dalil dari ijma’, pada zaman sahabat sendiri banyak para sahabat yang melakukan akad mudharabah dengan cara memberikan harta anak yatim sebagai modal kepada pihak lain, seperti Umar, Utsman, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amir, dan Siti Aisyah. Dan tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu, hal ini dapat disebut ijma’.
Sedangkan dalil dari qiyas adalah bahwa mudharabah di-qiyas-kan kepada akad musaqah, karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan dalam realita kehidupan sehari-hari, ada yang kaya dan ada yang miskin. Kadang-kadang ada orang kaya yang memiliki harta, tetapi ia tidak memiliki keahlian untuk berdagang, sedangkan dipihak lain ada orang yang memiliki keahlian bardagang, tetapi iatidak memiliki harta (modal). Dengan adanya kerja sama antara kedua belah pihak tersebut, maka kebutuhan masing-masing bisa dipadukan, sehingga menghasilkan keuntungan.
Hukum mudharabah ada 2, yaitu:
a.       Mudharabah fasid
Apabila syarat-syarat yang tidak selaras dengan tujuan mudharabah maka menurut Hanafiah, Syafi’iyah, Hanabilah mudharib tidah berhak memperoleh biaya operasional dan keuntungan yang tertentu melainkan ia hanya memperoleh upahyang sepadan atas hasil pekerjaannya, baik kegiatan mudharabah tersebutmemperoleh keuntungan atau tidak.
Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa mudharib dalam semua hukum mudharabah yangfasid dikembalikan kepada qiradh yang sepadan dalam keuntungan, kerugian, dan lain-lain dalam hal-hal yang bisa dihitung dan ia berhak atas upah yang sepadan dengan perbuatan yang dilakukannya.
Beberapa hal yang menyebabkan dikembalikannya mudharabah yang fasid kepada qiradh mitsl (qiradh yang sepadan), yaitu:
1.      Qiradh dengan modal barang bukan uang.
2.      Keadaan keuntungan yang tidak jelas.
3.      Pembatasan qiradh dengan waktu, seperti 1 tahun.
4.      Menyandarkan qiradh kepada masa yang akan datang.
5.      Mensyaratkan agar pengelola mengganti modal apabila hilang atau rusak tanpa sengaja.
b.      Mudharabah Shahih
Mudharabah yang shahih adalah suatu akad mudharabah yang rukun dan syaratnya terpenuhi. Pembahasan mengenai mudharabah yang shahih ini meliputi beberapa hal, yaitu:
1.      Kekuasaan mudharib.
2.      Pekerjaan dan kegiatan mudharib.
3.      Hak mudharib.
4.      Hak pemilik modal.

3.      Rukun Mudharabah
Rukun akad mudharabah menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul, dengan menggunakan lafal yang menunjukan kepada arti mudharabah. Lafal yang digunakan untuk ijab adalah lafal mudharabah, muqharadah dan mu’amalah atau lafal-lafal lainyang artinya sama dengan lafal-lafal tersebut.
Pemilik modal mengatakan: “Ambilah modal ini dengan mudharabah, dengan ketentuan keuntungan yang diperoleh dibagi diantara kita berdua dengan nisbah setengah, seperempat atau sepertiga”.
Adapun lafal qabul yang digunakan oleh ‘amil mudharib (pengelola) adalah lafal: saya ambil (أَخَذْتُ ), atau saya terima (قَبِلْتُ ) dan semacamnya. Apabila ijab dan qabul terpenuhi maka akad mudharabah telah sah.
            Menurut jumhur ulama’, rukun mudharabah ada 3 yaitu:
a.       Aqid, yaitu pemilik modal dan pengelola.
b.      Ma’qud ‘alaih, yaitu modal tenaga (pekerja) dan keuntungan.
c.       Shighat, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan Syafi’iyah menyatakan bahwa rukun mudharabah ada 5 yaitu:
a.       Modal.
b.      Tenaga (pekerjaan).
c.       Keuntungan.
d.      Shighat.
e.       ‘Aqidain.

4.      Syarat dan Macam Mudharabah
a.       Syarat-syarat mudharabah
Beberapa syarat yang harus dipenuhi agar mudharabah sah yang berkaitan dengan ‘aqid, modal dan keuntungan.
1)      Syarat yang berkaitan dengan ‘aqid
Adalah bahwa ‘aqid, baik pemilik modal maupun pengelola harus orang yang memiliki kecakapan untuk memberikan kuasa dan melaksanakan wakalah.
2)      Syarat yang berkaitan dengan modal
Syarat-syarat yang berkaitan dengan modal adalah sebagai berikut:
8  Modal harus berupa uang tunai, seperti dinar, dirham, rupiah, dolar dan lain sebagainya,
8  Modal harus jelas dan diketahui ukurannya, apabila modal tidak jelas maka mudharabah tidak sah.
8  Modal harus ada dan tidak boleh berupa hutang, tetapi tidak berarti harus ada di majlis akad.
8  Modal harus diserahkan kepada pengelola, agar dapat digunakan untuk kegiatan usaha. Hal ini dikarenakan modal tersebut merupakan amanah yang berada ditangan pengelola. Syarat ini disepakati oleh jumhur ulama’.
3)      Syarat yang berkaitan tentang keuntungan
Antara lain sebagai berikut:
8  Keuntungan harus diketahui kadarnya.
8  Keuuntungan harus merupakan bagian yang dimiliki bersama dengan pembagian secara nisbah.
a.               Macam-macam mudharabah
Mudharabah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
8  Mudharabah mutlaq, yaitu akad mudharabah dimana pemilik modal memberikan modal kepada ‘amil tanpa disertai dengan pembatasan.
8  Mudharabah muqayyad, yaitu suatu akad mudharabah dimana pemilik modal memberikan ketentuan atau batasan yang berkaitan dengan tempat kegiatan usaha, jenis usaha,
barang yang menjadi objek usaha, waktu dan dari siapa barangg itu dibeli.
b.       Hal-hal yang Membatalkan Mudharabah
Mudharabah dapat batal karena beberapa hal, yaitu:
8  Pembatalan, larangan tasarruf dan pemecatan.
8  Meninggalnya salah satu pihak.
8  Salah satu pihak terserang penyakit gila.
8  Pemilik modal murtad.
8  Harta mudharabah rusak ditangan  mudhorib.

B.     MUSYAROKAH

1.       Pengertian
Musyarokah menurut bahasa berarti al-ikhtilah yang artinya campur atau percampuran. Percampuran disini adalah seseorang yang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain, sehingga sulit untuk membedakannya.
Sedangkan menurut istilah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.

2.      Dasar Hukum Al Musyarakah
4 bÎ*sù (#þqçR%Ÿ2 uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° Îû Ï]è=W9$#r ÇÊËÈ
“ … maka mereka berserikat pada sepertiga ….” (An-Nisaa’ : 12)
( ¨bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èƒø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
“… Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Shaad : 24)
Kedua ayat tersebut diatas menunjukkan perkenan dan pengakuan Allah SWT akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta.
Al-Hadits:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda, ” Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati yang lainnya.” (HR Abu Dawud no 2936, dalam kitab al-Buyu, dan Hakim)

Ijma:
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni telah berkata, ‘Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.

3.      Rukun dan Syarat Musyarakah
Rukun Musyarokah antara lain :
a.       Ijab-kabul (sighah) adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang  bertransakasi.
b.      Dua pihak yang berakad (‘aqidani) dan memiliki kecakapan melakukan pengelolaan harta
c.       Objek aqad (mahal) yang disebut juga ma’qud alaihi, yang mencakup modal atau pekerjaan
d.       Nisbah bagi hasil
Syarat Musyarokah menurut Hanafiah :
a.       Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu:
8  Yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan.
8  Yang berkenaan dengan keuntungan yaitu pembagian keuntungan yang jelas dan diketahui orang pihak-pihak yang bersyirkah.
b.      Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta) dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi yaitu:
8  Bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud).
8  Yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan.
Syarat Musyarokah menurut Malikiyah :
a.       Merdeka
b.      Baligh
c.       Pintar

4.      Macam-macam Musyarokah
Musyarakah ada dua jenis, yaitu:
a.       musyarakah pemilikan (Syirkah al-milk atau syirkah amlak) adalah kepemilikan bersama kedua pihak atau lebih dari sebuah properti. Misalnya karena wasiat, hibah, warisan dan lainnya; dan
b.        musyarakah akad (syirkah al-‘aqd atau syirkah ‘ukud) adalah kemitraan yang terjadi karena adanya kontrak bersama, atau usaha komersial bersama. Musyarakah akad ini terbagi lagi menjadi :
1)      Syirkah al-‘inan
Kontrak kerja sama antara dua pihak atau lebih dengan sama-sama memberikan andil dalam modal dan kerja namun tidak harus sama porsinya. Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah ditentukan.
2)      Syirkah mufawadhah
Kontrak kerja sama antara dua pihak atau lebih dengan kesamaan dalam penyertaan modal, pengelolaan, kerja, dan pembagian keuntungan.
3)      Syirkah al-a’maal
Kontrak kerja sama antara dua pihak atau lebih dengan sama-sama ambil bagian dalam melayani atau memberikan jasa pada pelanggan.
4)      Syirkah al-wujuh
Kontrak kerja sama antara du pihak atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis dimana masing-masing pihak tidak memiliki investasi sama sekali. Kemuadian mereka membeli komoditas secara tangguh dan menjualnya dengan tunai.


C.     MUZARA’AH
1.       Definisi dan Dasar Hukum Muzara’ah
a)       Definisi Muzara’ah
Fi’il madhi muzara’ah adalah zara’a  yang artinya mengadakankerja sama. Sedangkan menurut istilah muzara’ah adalah suatu akad kerja sama antara dua orang, dimana pihak pertama yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pihak kedua yaitu penggarap, untuk diolah sebagai tanah pertanian dan hasilnya dibagi diantara mereka. Dalam muzara’ah ini Syafi’iyah mensyaratkan bibit tanaman harus dikeluarkan oleh pemilik tanah. Apabila bibit dikeluarkan oleh penggarap, maka istilahnya bukan muzara’ah melainkan mukhabaroh.
b)       Dasar Hukum Muzara’ah
Muazarah hukumnya diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Abu Hanifah dan Zufar, serta Imam As-Syafi’i tidak membolehkannya. Akan tetapi sebagian Syafi’iyah membolehkannya dengan alasan kebutuhan. Mereka beralasan dengan hadis Nabi saw:
وَعَن ثَابِتِ بنِ الضَّحَّا كِئ رضي الله عنه أنَّ رسو لَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم نَّهَى عَنِ الْمُنَا رَعَةِ وَأَمَرَ بِا لْمُؤَاجَرَةِ
            Artinya:
“Dari Tsabit bin Adh-Dhahhak ra bahwa sesungguhnya Rasulullah saw melarang untuk melakukan muzara’ah, dan memerintahkan untuk melakukan muajarah (sewa menyewa).
Menurut jumhur ulama’, yang terdiri atas Abu Yusuf, Muhammad bin Malik, Ahmad dan Dawud Azh-Zhahiri, muszara’ah itu hukumnya boleh.

            Disamping itu muzara’ah adalah salah satu bentuk syirkah yaitu kerja sama antara modal (harta) dengan pekerjaan, dan hal tersebut dibolehkan seperti halnya akad mudharabah, karena dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan adanya kerja sama tersebut maka lahan yang menganggur bisa bermanfaat, dan orang yang menganggur bisa memperoleh pekerjaan.

2.      Rukun dan Syarat-syatar Muzara’ah
a)       Rukun Muzara’ah
Menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul yaitu berupa pernyataan pemilik tanah. Sedangkan menurut jumhur ulama’ sebagaimana dalam akad-akad yang lain, rukun muzara’ah ada 3 yaitu:
1)      ‘Aqid, yaitu pemilik tanah dan penggarap.
2)      Ma’qud ‘alaih (objek akad), yaitu manfaat tanah dan pekerjaan penggarap.
3)      Ijab dan qabul.
Menurut Hanabilah, dalam akad muzara’ah tidak diperlukan qabul dengan perkataan, melainkan cukup dengan penggarapan tanah secara langsung. Dengan demikian, qabulnya dengan perbuatan (bil fi’li).
b)       Syarat-syarat Muzara’ah
1)      Menurut Abu Yusuf dan Muhammad
Syarat-syarat muzara’ah ini meliputi syarat-syarat yang berkaitan dengan pelaku (‘Aqid), tanaman, hasil tanaman, tanah yang akan ditanami, objek akad, alat yang digunakan, serta masa muzara’ah.
2)      Menurut Malikiyah
Syarat muzara’ah ada 3, yaitu:
Ø  Akad tidak boleh mencakup penyewaan tanah dengan imbalan sesuatu yang dilarang, yaitu dengan menjadikan tanah sebagai imbalan bibit (benih).
Ø  Kedua belah pihak yang berserikat.
Ø  Bibit yang dikeluarkan kedua belah pihak harus sama jenisnya.
3)      Menurut Syafi’iyah
Ulama’ Syafi’iyah tidak mensyaratkan dalam muzara’ah persamaan hasil yang diperoleh antara pemilik tanah dengan pengelola (penggarap). Menurut mereka muzara’ah adalah penggarapan tanah dengan imbalan hasil yang keluar dari padanya, sedangkan bibit dari pemilik tanah.
4)      Menurut Hanabilah
Mereka mensyaratkan seperti halnya Syafi’iyah, yaitu sebagai berikut:
Ø  Benih harus dikeluarkan oleh pemilik tanah.
Ø  Bagian masing-masing pihak harus jelas.
Ø  Jenis benih yang akan ditanamkan harus diketahui.

3.      Berakhirnya Akad Muzara’ah
Muzara’ah terkadang berakhir karena terwujudnya maksus dan tujuan akad, misalnya tanaman telah selesai dipanen. Akan tetapi, terkadang akad muzara’ah berakhir sebelum terwujudnya tujuan muzara’ah, karena sebab-sebab berikut:
a)      Masa perjanjian muzara’ah telah berakhir.
b)      Meninggalnya salah satu pihak, baik meninggalnya itu sebelum dimulainya penggarapan maupun sesudahnya, baik buahnya sudah bisa dipanen atau belum.
c)      Adanya uzdur atau alasan, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak penggarap.
D.    MUSAQAH
1.       Definisi dan Dasar Hukum Musaqah
a)       Definisi Musaqah
Musaqah dalam arti bahasa merupakan wazn mufa’alah dari kata as-saqyu yang sinonimnya asy-syurbu yang berarti memberi minum. Penduduk Madinah menamai musaqah sama dengan mu’amalah yang merupakan wazn mufa’alah dari kata ‘amila yang artinya bekerja (bekerja sama).
Sedangkan menurut istilah adalahsuatu akad antara dua orang dimana pihak pertama memberikan pepohonan dalam sebidang tanah perkebunan untuk diurus, disirami dan dirawat sehingga pohon tersebut menghasilkan buah-buahan, dan hasil tersebut dibagi diantara mereka berdua. Namun, Syafi’iyah membatasi perjanjian musaqah ini hanya dengan pohon kurma atau anggur saja, tidak diperluas kepada semua pepohonan.
b)       Dasar Hukum Musaqah
Musaqah menurut Hanafiah sama dengan muzara’ah, baik hukum maupun syarat-syaratnya. Menurut Imam Abu Hanifah dan Zufar, musaqah dengan imbalan yang diambil dari sebagian hasil yang diperolehnya, hukumnya batal, karena hal itu termasuk akad sewa menyewa yang sewanya dibayar dari hasilnya dan hal tersebut dilarang oleh syara’, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw dari Rafi’ bin Khadij bahwa Nabi saw bersabda:
 كَا نَتْ لَهُ أرْضٌ فَلْيَزْ رَعْهَا , وَلاَ يُكْرِيْهَا بِثُلُثِ وَلاَ بِرُبِعِ وَلاَ بِطَعَمِ مُسَمًىمَنْ
Artinya:
“Brang siapa yang memiliki sebidang tanah,maka hendahlah ia menanaminya, dan janganlah ia menyewakannya dengan sepertiga  dan tidak pula seperempat (dari hasilnya) dan tidak juga dengan makanan yang disebutkan (tertentu).
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan serta jumhur ulama’, musaqah diperbolehkan.
2.      Rukun Musaqah
Menurut Hanafiah, rukun musaqah adalah ijab dan qabul. Ijab dinyatakan oleh pemilik pepohonan sedangkan qabul diucapkan oleh penggarap. Menurut Malikiyah, akad musaqah mengikat lazim  dengan diucapkannya lafal ijab qabul, tidak dengan pekerjaan. Sedangkan menurut Hanabilah, musaqah sama dengan muzara’ah tidak perlu qabul dengan lafal, melainkan cukup memulai dengan penggarapan secara langsung. Syafi’iyah justru mensyaratkan adanya qabul dengan lafal.
Menurut jumhurulama’, rukun musaqah ada 3, yaitu:
1)      ‘Aqidain, yaitu pemilik kebun dengan penggarap.
2)      Objek akad, yaitu pekerjaan dam buah.
3)      Shighat, yaitu ijab dan qabul.
3.      Berakhirnya Akad Musaqah
Seperti halnya akad muzara’ah, akad musaqah berakhir karena beberapa hal yaitu:
a)      Telahselesainya maa yang disepakati oleh kedua belahpihak. Dalam hubungan ini, Syafi’iyah berpendapat apabila buah keluar setelah habisnya masa musaqah maka penggarap tidak berhak untuk mengambilnya karena masa penggarapan sudah habis. Akan tetapi menurut Hanafiah, apabila sampai dengan masa habisnya musaqah, buah belum keluar atau belum masak maka berdasarkan istihsan, musaqah masih tetap berlaku sampai buah menjadi masak dan penggarap diberikan pilihan apakah mau berhenti atau terus bekerja tanpa diberi upah.
b)      Meninggalnya salah satu pihak. Hanabilah berpendapat bahwa musaqah tidak batal karena meninggalnya penggarap. Apabila penggarap meninggal maka ahli warisnya menggantikan tempat penggarap dalam bekerja. Apabila mereka menolak maka mereka tidak boleh dipaksa untuk bekerja. Dalam hal ini, atas dasar putusan hakim, ahli waris pemilik boleh menyewa orang untuk bekerja dengan imbalan yang diambil dari harta warisnya.
c)      Akadnya batal disebabkan iqalah (pernyataan batal)secara jelas atau secara uzur. Menurut Syafi’iyah, musaqah tidak batal karena adanya uzur. Apabila penggarap berkhianat misalnya, maka ditunjuklah seorang pengawas yang mengawasi pekerjaanya sampai selesai. Sedangkan Hanabilah, sama pendapatnya dengan Syafi’iyah, yaitu musaqah tidak batal karena adanya uzur. Apabila penggarap sakit misalnya, dan ia tidak mampu bekerja maka ditunjuk orang lain yang menggantikannya untuk sementara, tanpa mencabut kewenangan penggarap.
4.      Perbedaan antara Musaqah dan Muzara’ah
Menurut Hanafiah, musaqah sama dengan muzara’ah kecuali dalam 4 hal yaitu:
a)      Dalam musaqah, apabila salah satu pihak tidak mau melaksanakan akad maka ia bisa dipaksa, sedangkan dalam muzara’ah hal tersebut tidak bisa dilakukan.
b)      Apabila masa perjanjian musaqah sudah habis maka akad diteruskan tanpa upah sampai pohon berbuah. Sedangkan dalam muzara’ah, apabila masa sudah habis dan hasilnya belum keluar maka penggarap terus bekerja dengan mendapat upah yang sepadan dengan bagian dari hasil garapannya.
c)      Dalam musaqah, apabila pohon kurma yang berbuah diminta oleh selain pemilik tanah maka penggarap harus diberi upah yang sepadan. Sedangkan dalam muzara’ah, jika pohon diminta sesudah ditanami maka penggarap berhak atas nilai bagiannya dari tanaman yang tumbuh. Akan tetapi, apabila tanah diminta setelah dimulai pekerjaan dan sebelum ditanami maka penggarap tidak memperoleh apa-apa.
d)      Penjelasan tentang masa dalam musaqah bukan merupakan syarat berdasarkan istihsan, melainkan cukup dengan mengetahui waktunya berdasarkan adat kebiasaan. Sedangkan dalam muzara’ah, menurut usul madzhab Hanafi waktu harus ditentukan meskipun dalam fatwanya waktu musaqah tidak perlu dinyatakan dengan tegas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.