Langsung ke konten utama

Bagi Hasil (Kelas E)



Oleh: Setya Utami (111-11-044); M. Syukron Rofiq (111-11-045); Rudi Triyo Bowo (111-11-082); dan Wawaladun Sholichatui Y. (111-11-202)

   Bagi hasil (qiradh) secara bahasa berasal dari kata qardh yang artinya potongan sebab yang mempunyai harta memotong hanya untuk si pekerjaagar bisa bertindak dengan harta itu dan sepotong keuntungan. Dari kata yang sama pula mirqad yaitu alat memotong (gunting), juga dinamakan mudharabah (bagi hasil) karena memiliki arti berjalan di muka bumi[1].


A.     Mudharabah
a.      Pengertian mudharabah
Mudharabah  berasal dari kata al-dharb yang berarti secara harfiah adalah bepergian atau berjalan. Menurut istilah mudharabah dikemukakan beberapa ulama sebagai berikut[2]:
1)      Menurut para fuqaha mudharabah adalah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu puhak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan denganbagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syart-syarat yang telah ditentukan.
2)      Menurut hanafiah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berangkat yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu.
3)      Malikiah berpendapat bahwa mudharabah adalah akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain unutk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan perak).
4)      Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah adalah akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk di tijarohkan.
5)      Menurut hanabilah berpendapat bahwa mudharabah adalah ibarah memiliki harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian yang diketahui.
b.      Dasar hukum
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ  
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah:10)
Hadis nabi Riwayat Ibnu Abbas
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah. Ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengurangi lautan dan tida menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak, jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan itu yang ditetapkan Abbas itu didengar oleh rasulullah, beliau membenarkannya” (HR Thabrani dari Ibnu Abbas)

c.      Rukun dan syarat mudhorobah
Menurut ulama syari’iyah rukun-rukum mudharabah ada 6 yaitu[3]:
1)      Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
2)      Orang yang  bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang.
3)      Akad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang.
4)      Mal yaitu harta pokok atau modal.
5)      Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
6)      Keuntungan.

Syara-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut:
1)      Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk emas atau perak batangan, mas hiasan atau barang dagangan lainnya, mudharabah tersebut batal.
2)      Bagi orang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasaruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila dan orang-orang yang berada dibawah pengampuan.
3)      Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdangangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
4)      Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan peilik modal harus jelas persentasinya, umpamanya setengah, sepertiga atau seperempat.
5)      Melafalkan ijab dari pemilik modal.
6)      Mudharabah bersifat mutlak.

d.      Biaya pengelolaan mudharabah[4]
Biaya bagi mudharib diambil dari hartaya sendiri selama ia tinggal dilingkungan daerahnya sendiri, demikian juga bila ia mengadakan perjalanan untuk kepertingan mudharabah. Bila biaya mudharabah diambil dari keuntungan, kemungkinan pemilik harta tidak akan memperoleh bagian dari keuntungan karena mungkin saja biaya tersebut sama besar atau bahkan lebih besar dari keuntungan. Namun, jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah guna keperluan dirinya ditengah perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh mengunkan modal mudharabah.
Kiranya dapt dipahami bahwa biaya pengelolaan mudharabah pada dasarnya dibebankan pada penggelola modal. Namun tidak masalah jika biaya diambil dari keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaannya.

e.      Tindakan setelah matinya pemilik modal[5]
Jika pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi fasakh, penggelola modal tidak berhak menggelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak menggunkan modal tersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal telah meninggal dan tanpa izin dari para ahli warisnya, maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai ghasab. Ia wajib mengembaliknanya jika modal itu menguntungkan, keuntungannya dibagi dua. Sedangkan jika modal berbentu urud (barang dagangan), pemilik modal dan pengelola modal menjual atau membaginya karena yang demikian itu adalah hak berdua. Jika pelaksana (pengelola modal) setuju dengan penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju, pemilik modal dipaksa menjualnya, karena penngelola mempunyai hak dalam keuntungan dan tidak dapat diperolah kecuali dengan menjualnya, demikian pendapat madhab syafi’i dan hambali.

f.        Pembatalan mudharabah[6]
Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara-perkar sebagai berikut:
1.       Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah.
2.       Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad.
3.       Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah seorang pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.

B.     Muzara’ah
Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Secara terminologi muzara’ah adalah suatu akad kerjasama antara dua orang, dimana pihak pertama yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pihak ke dua yaitu penggarap, untuk diolah sebagai tanah pertanian dan hasilnya dibagi diantara mereka dengan perimbangan setengah-setengah, atau sepertiga dua pertiga atau lebih kecil atau lebih besar dari nisbah tersebut, sesuai dengan hasil kesepakatan mereka. Hanya saja dalam definisi muzara’ah tersebut, syafi’iyah mensyaratkan bibit tanaman harus dikeluarkan pemilik tanah. Apabila bibit dikeluarkan oleh penggarap, maka istilahnya bukan muzara’ah, melainkan mukharabah[7].

a.      Dasar Hukum Muzara’ah
Dalam membahas hukum al-muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail, pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah dengan bagi hasil, seperti seperempat dan setengah, hukumnya batal[8].
Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah sebuah hadis berikut:
أن رسو ل الله عليه وسلم نهى عن المخا برة.
﴿رواه مسلم عن جا بر بن عبد الله﴾
Rasulallah saw yang melarang melakukan al-mukhabarah. ( HR Muslim dari Jabir ibn Abdillah ).
                      Menurut jumhur ulama, muzara’ah hukumnya boleh. Alasannya:


Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. Melakukan kerjasama (penggarapan tanah) dengan imbalan separuh dari hasil yang keluar dari tanah tersebut. Baik buah-buahan atau tanaman. (Mutafaq ‘alaih)

            Disamping itu, muzara’ah adalah salah satu bentuk syirkah yaitu kerjasama antara modal (harta) dengan pekerjaan, dan hal tersebut dibolehkan seperti halnya akad mudharabah, kerena dibutuhkan oleh masyarakat, dengan adanya kerjasama tersebut maka lahan yang menganggur bisa memperoleh peranan.

Rukun, Sifat, dan Syarat-syarat Muzara’ah[9]
a)     Rukun muzara’ah dan sifat akadnya
Rukun muzara’ah menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul yang berupa pernyataan pemilik tanah. Menurut jumhur ulama rukun muzara’ah ada 3 yaitu:
1.      ‘aqid, yaitu pemilik tanah danpenggarap
2.      Ma’qub ‘alaih atau objek akad, yaitu menfaat tanah dan pekerjaan penggarap
3.      Ijab dan qabul
b)     Syarat-syarat muzara’ah
Syarat muzara’ah meliputi pelaku (‘aqid), tanaman/ yang ditanam, hasil tanaman, tanah yang ditanami, alat pertanian yang digunakan, dan masa penanaman,
1.      Syarat ‘aqid
(a)    ‘aqid harus berakal (mumayis)
(b)   ‘aqid tidak murtad. Terdapat dua pendapat Imam Abu Hanifah oarang murtad hukumnya ditangguhkan (mauquf). Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, akad muzara’ah dari orang murtad hukumnya dibolehkan.
2.      Syarat tanaman
Menjelaskan sesuatu yang akan ditanamtidak menjadi syarat muzara’ah karena apa yang akan ditanam diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.
3.      Syarat hasil tanaman
Apabila syarat muzara’ah tidak terpenuhi maka akan menjadi fasid.
(a)    Hasil taanaman harus dijelaskan dalam perjanjian, karena hal itu sama dengan upah, yang apabila tidak dijelaskan menyebabkan rusaknya akad.
(b)   Hasil tanaman harus dimiliki bersama oleh para pihak yang melakukan akad.
(c)    Pembagian hasil tanaman harus ditentukan kadarnya (nisbah-nya), seperti separuh, sepertiga, seperempat, dan sebagainya.
(d)   Hasil tamanan harus berupa bagian yang belum dibagi diantara orang-orang yang melakukan akad.
4.      Syarat tanah yang akann ditanami
(a)    Tanah harus layak untuk ditanami. Tanah yang tidak layak misalnya tandus, maka akad tidak sah. Hal tersebut karena muzara’ah adalah suatu akad di mana upah atau imbalannya diambil dari sebagian hasil yang diperoleh. Apabila anah tidak menghasilkan maka akad tidak sah.
(b)   Tanah yang akan digarap harus diketahui secara jelas, supaya tidak menimbulkan perselisihan antara pihak yang melakukan akad.
(c)    Tanah tersebut harus diserahkan kepada penggarap, sehingga ia mempunyai kebebasan untuk menggarapnya
5.      Syarat objek akad
Objek akad dalam muzara’ah harus sesuai dengan tujuan dilaksanakannya. Tujuan tersebut adalah mengambil manfaat dari tenaga penggarap dan mengambil manfaat dari tanah.
6.      Syarat alat yang digunakan
Alat yang digunakan untuk bercocok tanam, baik berupa hewan (tradisional) maupun alat modern haruslah mengikuti akad, bukan menjadi tujuan akad. Apabila alat tersebut dijadikan tujuan, maka akad muzara’ah menjadi fasid.
7.      Syarat masa muzara’ah
Masa berlakunya akad muzara’ah disyaratkan harus jelas dan ditentukan atau diketahui, misalnya satu tahun atau dua tahun. Apabila masanya tidak ditentukan maka tidak sah.
c)     Bentuk-bentuk akad muzara’ah[10].
Menurud Abu Yusuf dan Muhammad bentuk muzara’ah ada empat macam, tiga hukumnya sah dan yang satu hukumnya batal atau fasid. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Tanah dan bibit (benih) dari satu pihak, sedangkan pekerjaan dan alat-alat untuk  bercocok tanam dari pihak lain. Dalam bentuk yang pertama ini muzara’ah hukumnya dibolehkan, dan status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap tenaga penggarap dan benih dari pemilik tanah, sedangkan alat ikut kepada penggarap.
b.      Tanah disediakan oleh satu pihak, sedangkan alat, benih, dan tenaga (pekerja) dari pihak lain. Dalam bentuk yang kedua ini, muzara’ah juga hukumnya dibolehkan, dan status penggarap sebagai penyewa atas tanah dengan imbalan sebagai hasilnya.
c.       Tanah, alat, dan benih disediakan oleh satu pihak (pemilik), sedangkan tenaga  (pekerja) dari pihak lain (panggarap). Dalam bentuk yang ketiga ini, muzara’ah juga hukumnya dibolehkan, dan status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap  penggarap dengan imbalan sebagai hasilnya.
d.      Tanah dan alat disediakan oleh satu pihak (pemilik), sedangkan benih dan pekerja dari pihak lain (penggarap). Dalam bentuk yang keempat ini, menurut Zhahir riwayat, muzara’ah menjadi fasid. Hal ini dikarenakan andai kata akad itu dianggap sebagai menyawa tanah maka disyaratkannya alat cocok tanam dari pemilik tanah menyebabkan sewa-menyewa menjadi fasid, sebab tidak mungkin alat ikut kepada tanah karena keduanya berbeda manfaatnya. Demikian pula apabila akadnya dianggap menyewa tenaga penggarap maka disyaratkannya benih harus dari penggarap, menyebabkan ijarah menjadi fasid, sebab benihtidak ikut kepada ‘amil (penggarap) melainkan kepada pemilik.
d)     Hukum-hukum muzara’ah yang sahih dan fasid[11]
1.      Hukum muzara’ah yang sahih
Menurut Hanafiah ada beberapa ketentuan yang berlaku untuk muzara’ah yang sahih, yaitu sebagai berikut:
a.       Segala ketentuan yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman dibebankan kepada muzara’ (penggarap).
b.      Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah, yang nantinya diperhitungkan dengan penghasilan yang diperoleh.
c.       Hasil yang diperoleh dari penggarapan tanah dibagi di antara penggarap dan pemilik tanah sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati pada waktu akad. Hal ini sesuai dengan sabda nabi:
Dari Amr binAuf Al-Muzanni r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda perdamaian dibolehkan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang isinya mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Orang –orang Islam boleh berpegang kepada syarat-syarat mereka, kecuali syarat mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. (H.R. Tirmidzi dan ia menyahihkannya).
d.      Akad muzara’ah menurut Hnabaliah sifatnya tidak mengikat (ghair lazim), sedangkan menurut Malikiyah termasuk akad yang mengikat (lazim) apabila bibit telah disemaikan. Menurut Hanafiah dilihat dari sisi pemilik benih, akad muzara’ah termasuk ghair lazim, tetapi dilihat dari pihak yang lain, ia termasuk lazim. Dengan demikian, akad muzara’ah tidak boleh dibatalkan kecuali karena udzur.
e.       Menyiram atau memelihara tanaman, apabila disepakati untuk dilakaukan bersama maka hal itu hrus dilaksanakan. Akan tetapi, apabila tidak ada kesepakatan maka penggaraplah yang paling bertanggung jawab untuk menyiram dan memelihara tanaman tersebut.
f.        Dibolehkan menambah bagian dari penghasilan yang telah ditetapkan dalam akad.
g.       Apabila salah satu pihak meninggal dunia sebelum hasil penggarapannya diketahui maka muzari’ tadak mendapat apa-apa, karena tetapnya akad ijarah di sini di dasarkan kepada tepatnya waktu.
Syafi’iyah tidak diperbolehkan adanya muzara’ah kecuali ikut kepada musyaqah. Apabila muzara’ah dilakukan tersendiri maka hasilnya untuk pemilik tanah, sedangkan penggarap memperoleh upah yang sepadan atas pekerjaannnya dan alat-alatnya.
2.      Hukum muzara’ah yang fasid
Menurut Hanafiah ada beberapa ketentuan untuk muzara’ah yang fasi yaitu:
a.       Tidak ada kewajinban apapun dari dari muzari’ (penggarap) dari pekerjaan muzara’ah karena akadnya tidak sah.
b.      Hasil yang diperoleh dari tanah garapan semuanya untuk pemilik benih, baik pemilik tanah maupun penggarap. Dalam masalah ini Malikiyah dan Hanabaliah sepakat dengan Hanafiah, yaitu bahwa apabila akadnya fasid, maka hasil tanaman untuk pemilik benih.
c.       Apabila benihnya dari pihak pemilik tanah maka pengelola memperoleh upah atas pekerjaannya, karena fasid-nya akad muzara’ah tersebut. Apabila benihnya berasal dari penggarap maka pemilik tanah memperoleh sewa atas tanahnya, karena dalam kasus ini menjadi sewa menyewa. Dalam kasus yang pertama semua hasil yang diperoleh merupakan milik si pemimilik tanah. Kasus kedua, tadak semua hasil garapan untuk penggarap, melainkan ia mengambil sebanyak benih yang dikeluarkannya dan sebanyak sewa tanah yang diberikan kepada pemilik, dan sisanya disadakahkan oleh penggarap.
d.      Dalam muzara’ah fasid, apabila muzari’ telah menggarap tanah tersebut maka ia wajib memberi upah yang sepadan (ujratul mitsli), meskipun tanah yang digarap tidak menghasilkan apa-apa. Hal ini karena muzara’ah statusnya sebagai akad ijarah (sewa-menyewa). Adapun dalam muzara’ah yang sahih, apabila tanah garapan tidak menghasilkan apa-apa, maka penggarap dan pemilik tanah sama sekali tadak mendapatkan apa-apa.
e.       Menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, upah yang sepadan dalam muzara’ah yang fasid harus ditetapkan dengan jumlah yang disebutkan, sesuai persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan menurut Muhammad bin Hasan, upah yang sepadan harus dibayar penuh, karena ia merupakan ukuran harga manfaat yang telah dipenuhi oleng peng arap.
e)     Berakhirnya akad muzara’ah[12]
Muzara’ah berakhir karena telah terwujudnya maksud dan tujuan , misalnya tanaman telaj selesai dipanen. Akan tetapi, terkadang berakhir karena sebab-sebab berikut:
1.      Masa perjanjian muzara’ah telah habis.
2.      Meninggalnnya salah satu pihak, baik meninggalnya sebelum dimulainyapenggarapan maupun sesudahnya, baik buahnya sudah bisa dipanen maupn belum. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiahdan Hanabaliah. Akan tetapi menurut Malikiyah dan Syafi’iah, muzara’ah tidak berakhir karena meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad.
3.      Adanya udzur, baik dari pihak pemilik tanah maupun penggarap. Diantara alasannya sebagai berikut:
a.       Pemilik tanah mempunyai hutang besar dan mendesak, sehingga tanah yang digarap oleh penggarap harus dijual dan tidak ada harta lain selain tanah itu.
b.      Contoh udzur dari pihak penggarap sakit, bepergian, jihad fi sabilillah, sehingga tidak bisa mengelola tanah tersebut.

C.     Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan dan porsi kontribusi dana.
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat. Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri, dibaca syirkah lebih fasih (afshah), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan[13].
Syirkah ada dua macam[14]:
a.       Syirkah Hak Milik (Syirkatul Amlak)
Yaitu per-sekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan salah satu sebab kepemilikan, seperti jual beli, hibah atau warisan.
b.      Syirkah Transaksional (Syirkatul uqud)
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: syirkah inan, syirkah abdan, syirkah mudharabah, syirkah wujuh, syirkah mufawadhah.
1)      syirkah inan, secara sederhana diartikan dengan kerja sama dalam modal dan usaha. Mengandung arti keja sama beberapa orang pemilik modal dengan cara masing-masing menyertakan modalnya dan bersama dalam usaha, baik dalam perdagangan atau industri, keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai kesepakatan.
2)      Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja, tanpa konstribusi modal. Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya).
3)      Syirkah mudharabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja, sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal.
4)      Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja, dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal. Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhrabah padanya.
5)      Syirkah mufawadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas.
Dasar hukum
Akad asy-syirkah dibolehkan, menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman Allah dalam surat an-Nisa’, 4: 12 yang berbunyi :
...فهم شر كا ء فى الثلث...
...maka mereka berserikat dalam sepertiga harta...
Rukun syirkah
Menurut ulama Hanafiah bahwa rukun ada dua, yaitu ijab dan kabul sebab ijab Kabul (akad) yang menentukan adanya syirkah.
D.    MUSAQAH
1.       Definisi musaqah dan dasar hukum serta rukunnya
a.       Definisi musaqah
Musaqah dalam arti bahasa merupakan wazn mufa`alah dari kata as-saqyu yang sinonomnya asy-syurbu, artinya memberi minum. Penduduk madinah menamai musaqah dengan muamala, yang merupakan wazn mufa`alah dari kata `amila yang artinya bekerja (bekerja sama)[15].
Menurut istilah pengertian musaqah adalah :                                  
وَشَرْعًاهِيَ مُعَاقَدَةُ دَفْعِ الأَشَجَارِ اِلَى مَنْ يَعْمَلُ فِيْهَا عَلَى أَنْ الثَمَرَةَىبَيْنَهُمَا
Menurut syara` musaqah adalah suatu akad penyerahan pepohonan kepada orang yang mau menggarapnya dengan ketentuan hasil buahnya dibagi antara mereka berdua
b.      Dasar hukum musaqah
Musaqah menurut Hanafiah sama dengan Muzaraah baik hukum maupun syaratnya. Menurut imam abu hanifah dan Zufar, musaqah dengan imbalan yang diambil dari sebagian hasil yang diperolehnya, hukumnya batal karena hal itu termasuk akad sewa menyewa yang sewanya dibayar dari hasilnya
Menurut abu yusuf dan muhamad bin hasan serta jumhur ulama (Malik, Syafi`i, Ahmad) musaqah diperbolehkan dengan beberapa syarat, pendapat ini didasarkan hadits nabi :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَبِيَّ صلَّى الله عَلَيْهِ وأَلِهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرِ أَوْ زَرْعٍ
dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw bekerja sama dengan penduduk khaibar (menyirami tanaman) dengan imbalan separuh dari hasil yang diperoleh baik berupa buah-buahan maupun pepohonan. (HR. Jama`ah)
c.       Rukun musaqah
Menurut Hanafiah rukun musaqah adalah ijab dan qabul. Ijab dinyatakan oleh pemilik pepohonan, sedangkan qabul dinyatakan oleh penggarap.
Menurut jumhur ulama rukun musaqah ada tiga yaitu :
1.      Pemilik kebun atau penggarap
2.      Objek akad, yaitu pekerjaan dan buah
3.      Sighat, yaitu ijab dan qabul
d.      Objek musaqah
Objek musaqah menurut hanafiah adalah semua pohon yang berbuah seperti anggur dan kurma. Akan tetapi menurut ulama-ulama hanafiah juga membolehkan musaqah dalam pohon-pohon yang tidak berbuah karena pohon-pohon tersebut sama-sama membutuhka perawatan danpengurusan. Menurut malikiah, objek musaqah adalah tumbuh-tumbuhan seperti kacang dan tumbuhan yang berbuah yang memiliki akar didalam tanah, dengan syarat
1.      Akad musaqah dilakukan sebelum buah kelihatan dan boleh diperjual-belikan
2.      Akad musaqah ditentukan waktunya
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa objek musaqah adalah pohon-pohon yang berbuah dan dapat dimakan saja sedangkan pohon yang tidak berbuah tidak diperbolehkan dilakukan musaqah. Sedangkan menurut ulama Syafi`iyah dalam qaul jadid objek musaqah hanya kurma dan anggur saja, pendapat ini didasarkan hadits nabi :
وَلِمُسْلِمِ وأَبُوْدَاوُدَ والنَسَائيِّ" دَفَعَ أِلى يَهُودِّ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأرْضَهَا عَلَى أَنْ يَعْمَلُوْهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَلِرَسُوْلِ الله صَلَى الله علَيْهِ وَسَلَّمَ شَطْرُ ثَمَرِهَا"
Dalam hadits riwayat muslim, abu dawud dan nasa`i Rasulullah saw memberikan kepada penduduk khaibar kurma khaibar dan tanahnya agar mereka(penduduk khaibar) menggarapnya dengan modal dan harta mereka, dan Rasulullah saw separuh dari hasil buahnya.
Dalam hadits tersebut lafal nakhla (kurma) yang termasuk di dalamnya “anggur”, karena anggur itu sama dengan kurma dalam segi sama-sama diwajibkan zakat untuk keduanya. Akan tetapi dalam qaul qadim membolehkan musaqah dalam semua pohon yang berbuah.
2.      Syarat-syarat musaqah[16]
a.       Kecakapan `aqidain . dalam hal ini aqidai harus berakal dan mumayis. Menurut hanafiah baligh tidak menjadi syarat tetapi menurut ulama lain baligh menjadi syarat musaqah.
b.      Objek akad, pohon harus jelas dan diketahui.
c.       Membebaskan `amil dari pohon. Dalam hal ini pemilik tanah atau kebun harus menyerahkan pohon yang akan digarap/dirawat kepada penggarap. Apabila disyaratkan pekerjaan dilakukan kedua belah pihak maka akad musaqah menjaddi batal atau fasid.
d.      Kepemilikan bersama hasil yang diperoleh. Yakni harus jelas kadarnya. Apabila tidak jelas kadarnya atau disyaratkan hanya untuk salah satu pihak saja maka menjadi fasid.
3.      Hukum musaqah shahih dan fasid[17]
Musaqah shahih adalah musaqah yang syarat-syaratnya terpenuhi, apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi maka musaqah menjadi fasid.
a.       Hukum musaqah shahih
1.      Menurut hanafiah
a.       Semua pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan merupakan kewajiban penggarap sedangkan sesuatu yang dibutuhkan seperti biaya merupakaan tanggung jawab bersama antara pemilik dan penggarap.
b.      Hasil yang diperoleh dibagi sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati
c.       Apabila pohon tidak berbuah maka kedua belah pihak tidak mendapat apa-apa.
d.      Akad musaqah merupakan akad yang lazim atau mengikat kedua belah pihak.
e.       Pemilik boleh memaksa penggarap untuk melakukan pekerjaannya.
f.        Dibolehkan menambahkan hasil(bagian) dari ketetapan yang disepakati.
g.       Penggarap tidak boleh memberikan musaqah kepada orang lain, kecuali apabila diizinkan pemiliknya.
2.      Menurut malikiah
Ulama malikiah menyepakatihukum-hukum musaqah yang dikemukakan oleh ulama hanafiah. Namun mereka berpendapat dalam penggarapan kebun dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a.       Pekerjaan-pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan buah-buahan. Dalam hal ini penggarap tidak terikat akad dan tidak boleh dijadikan sebagai syarat.
b.      Pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan buah-buahan dan ada bekasnya, seperti menggali sumur. Dalam hal ini penggarap tidak terikat akad dan tidak boleh dijadikan sebagai syarat.
c.       Pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan buah-buahan dan tidak ada bekasnya, seperti menyirami tanaman. Dalam hal ini penggarap terikat akad dan boleh dijadikan sebagai syarat.
Mengenai hak `amil (penggarap), ia memperoleh bagian sesuai kesepakatan misal sepertiga atau setengah. Apabila pohon tidak berbuah maka kedua belah pihak tidak mendapatkan apa-apa.
3.      Menurut syafi`iah dan hanabilah
Ulama syafi`iah dan hanabilah sepakat dengan malikiah dalam pembatasan pekerjaan penggarap dan hak-haknya. Semua pekerjaan yang manfaatnya untuk buah atau yang rutin setiap tahun seperti menyirami pohon merupakan kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak ruti dan manfaatnya untuk tanah seperti mambuat saluaran aur atau pagar merupakan kewajiban pemilik kebun.
b.      Hukum musaqah yang fasid
Akad musaqah menjadi fasid karena tidak terpenuhinya salah satu syarat yanng ditentukan syara`. Menurut hanafiah hal-a-hal yang menyebabkan fasidnya musaqah adalah sebagai berikut :
1.      Adanya syarat bahwa hasil yang diperoleh hanya untuk salah satu pihak saja.
2.      Adanya syarat bahwa sebagian tertntu dari hasil yang diperoleh untuk salah satu pihak saja.
3.      Adnya syarat bahwa pemilik kebun ikut serta melakukan penggarapan.
4.      Adanya syarat pemetikan dilakukan penggarap. Dalam hal ini penggarap hanya berkewajiban memelihara tanaman sedangkan pemetikan menjadi tanggung jawab kedua belah pihak.
5.      Adanya syarat bahwa penggarap harus tetap beker ja setelah selesai masa perjanjian musaqah.
Menurut malikiyah apabila musaqah rusak sebelum penggarapan maka akadnya menjadi fasakh atau batal. Apabila rusak setelah mulai bekerja maka akad dibatalkan ditengah-tengah dan penggarap berhak atas upah yang sepadan.
Menurut syafi`iah dan hanabilah masing masing pihak tidak mengetahui bagian masing-masing yang diperoleh, mensyaratkan uang, atau buah dalam jumlah tertentu, mensyaratkan pemilik harus bekerja, atau mensyaratkan mengerjakan pekerjaan lain selain pohon yang disepakati.
4.      Berakhirnya musaqah 
a.       Telah sampai masa yang disepakati oleh kedua belah pihak.
b.      Meninggalnya salah satu pihak
Hanabillah berpendapat bahwa musaqah tidak batal (Fasakh) karena meninggalnya penggarap. Apabila meninggal maka ahli warisnya menggantikan penggarap dalam bekerja. Apabila mereka menolak maka mereka tidak boleh dipaksa.
Akadnya batal disebabkan iqalah (pernyataan batal) secara jelas atau karena udzur. Diantara udzur tersebut adalah:
1.      Penggarap sakit sehingga tidak mampu bekerja
2.      Penggarap sedang bepergian
3.      Penggarap terkenal sebagai pencuri yang di khawatirkan ia akan mencuri buah sebelum dipetik
Menurut syafiiyah musaqah tidak batal karena adanya udzur.

Daftar Pustaka
Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalat. Amzah: Jakarta.
Muhammad Azam, Abdul Aziz. 2010. Fiqh Muamalat (Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam). Amzah: Jakarta.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Syarifudin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh. Kencana: Jakarta.



[1] Muhammad Azam, Abdul Aziz., Fiqh Muamalat (Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam), Amzah, Jakarta, 2010, hlm. 215.
[2] Suhendi, Hendi.,  Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.135.
[3] Ibid., Suhendi, hlm. 139.
[4] Ibid., Suhendi, hlm. 141.
[5] Ibid., Suhendi, hlm. 142.
[6] Ibid., Suhendi, hlm. 143.
[7] Muslich, Ahmad Wardi., Fiqh Muamalat, Amzah, Jakarta, 2010, hlm. 351-354.
[8] Ibid., Muslich, hlm. 394.
[9] Ibid., Muslich, hlm. 395-398.
[10] Ibid., Muslich, hlm. 400.
[11] Ibid., Muslich, hlm. 401-403.
[12] Ibid., Muslich, hlm. 403-404.
[14] Syarifudin, Amir., Garis-garis Besar Fiqh, Kencana, Jakarta, 2003, hlm. 247-251.
[15] Muslich, op.cit., hlm. 404.
[16] Ibid., Muslich, hlm. 409-410.
[17] Ibid., Muslich, hlm. 410-416.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.