Langsung ke konten utama

Tasyri’ Pada Masa Kejumudan


 
Kondisi Politik
¨  Negara memaksakan madzhab resmi negara pada ulama; Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq yang mengikuti paham Mu’tazilah.
¨  Melemahnya dinasti Abbasiyyah, sebagai akibat pembelaan dan pemaksaan madzhab negara.
¨  Muncullah dinasti-dinasti kecil yang memberontak Dinasti Abbasiyah.
¨  Kehidupan para ulama tidak menentu dalam kondisi politik yang rumit, kemudian muncullah kecenderungan taqlid.


Sikap Pragmatis dan Instan
¨  Para ulama hanya mencari ‘hidup’, tanpa didukung keahlian ilmiah.  Para ulama hanya mengejar jabatan hakim (qadhi).
¨  Para qadhi (ulama) hanya memakai hukum yang telah ditetapkan imam madzhab, tanpa kreativitas. Bahkan cenderung mengikuti kemauan penguasa.
¨  Para qadhi, tidak berusaha melihat konteks pendapat imam madzhab mengapa sebuah pendapat/fatwa muncul.
¨  Era ini disebut dengan ere kejumudan.

Kebangkitan Kaum Sufi
¨  Kejumudan dalam pemikiran fiqh dalam belenggu kekuasaan, mengakibatkan sebagian ulama berpaling pada kegiatan tasawuf.
¨  Taswauf (ma’rifat) dianggap sebagai puncak pengetahuan, karena syariah pada hakikatnya hanyalah jalan/metode.
¨  Sehingga kerja fuqaha dianggap sebagai kerja luar, sementara kaum sufi bekerja pada sisi dalam (ma’rifat dan haqiqat).

Faktor Kejumudan
¨ Kekaguman ulama pada guru dan imam madzhabnya.
¨ Kodifikasi fiqh yang telah ada dan kurang kreatifnya ulama penerus.
¨ Penggunaan madzhab tertentu pada pengadilan.

Proses Tasyri Periode ini
¨  Tarjih:  Tarjih riwayah&dirayah (pemikiran)
¨  Membela madzhab masing-masing
¨  Merumuskan dasar dan kaidah usuliyah fiqh

Kasus Pembelaan Madzhab
¨  Qufal al-Syasyi ketika melihat Mahmud bin Subaktajin berwudlu dan shalat yang rumit. Ia berkata “itulah shalat Abu Hanifah”. Kemudian Mahmud mengulangi wudlu dan shalat. “ini baru shalat Syafi’i”.
¨  Qufal adalah pengikut Abu Hanifah pada awalnya, kemudian pindah madzhab Syafi’i.
¨  Masing-masing ulama menulis buku untuk membela madzhabnya. Al-Hidayah (madzhab Hanafi); Nihayah al-Muhtaj (madzhab Syafi’i); Al-Mughni (madzhab Hambali).

Kodifikasi Hadist
¨  Terdapat dua kodifikasi hadist pada periode ini:
a)      Kajian hadist dengan berbagai permasalahan, seperti kevalidan, cakupan, dan aplikasi dalam hukum. Jami’ al-Ushul (Ibnu Atsir); Misykat Misbah (Al-Katib al-Tibrizi); al-Mathatib al-’Aliyah (Ibnu Hajar al-Asqalani); al-Jami’ al-Shaghir (al-Syuyuthi); dll.
b)      Tahrij, memilah hadist. Nasb al-Rayah (al-Zaila’i) yang mentahrij hadist-hadist yang digunakan madzhab Hanafi; Talkhis al-Kabir (Ibnu Hajar al-Asqalani) yang mentahrij hadist-hadist dalam buku Syarh al-Wajiz (Abu al-Qasim al-Rafi’i)

Kodifikasi Fiqh
Hanafiah:
         Al-Hidayah (al-Marghinani), sebanyak 80 jilid. Para pengikut Hanafi mengagungkan kitab ini dan menyebut “Al-Qur’an yang dinaskh (hapus)”.
         Masih banyak lagi karya Al-Marghinani; Najmu’ al-Nawazil, Bidayah al-Mubtada, al-Muntaqa, dll.

Syafi’iyah:
         Raudhah al-Tahlibin (11 Jilid) dan Syarh Nawawi. al-Muhaddzab (3 Jilid) karya Imam

Hambali:
         Al-Mughni (Ibnu Qadamah) terdiri 9 jilid. Buku ini memadukan kebenaran tekstual (naqliyah) dan intelektual (aqliyah).

Kodifikasi Ushul Fiqh
¨  Pada masa Imam Madzhab belum ada penulisan Ushul Fiqh, kecuali al-risalah karya Syafi’i.
¨  Pada masa kejumudan ini ada dua hal yang dilakukan ulama pada kodifikasi ushul fiqh:
a)      Pengembangan atas pendapat yang ada
b)      Kecenderungan mengkaji ulang (menolak bagian tertentu atau menambahkan).

Dua Metode Pengembangan Ushul Fiqh
¨  Metodologi teoritis (nadhari). Ushul Fiqh menjadi rumusan istinbath hukum. Metode ini banyak berkembang pada ushul fiqh Sayfi’i (ushul Syafi’iyyin). Contoh; Al-Mu’tamad (Abu Husein Muhammad Ali al-Bashri; Al-Burhan (Imam Haramain); al-Musytasyfa (Imam Ghazali).
¨  Metodologi yang terpengaruh menurut forma atau hukum-hukum juziyah. Contoh; haramnya khamr karena illat memabukkan, maka setiap benda/zat/cair yang memabukkan hukumnya haram.  Metode kedua ini banyak berkembang pada madzhab hanafi. Contoh; Suhul Abu al-Hasan al-Kharkhi (karya Al-Karkhi); ushul al-Jasshash (karya Jasshash); Asbah wa al-Nadhair (Ibnu Najm), dll.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.