Langsung ke konten utama

Perjanjian Hudaibiah

Materi Kelompok III, materi ini saya ambil dari: http://media.isnet.org/islam/Haekal/Muhammad/. Anda bisa juga langsung mengakses pada website tersebut.


BAGIAN KEDUAPULUH: PERJANJLAN HUDAIBIYA                  (1/3)
Muhammad Husain Haekal
 
   Setelah enam tahun di Medinah - Muhammad mengajak
   orang berhaji - Tak ada petempuran dan tak ada perang
   - Quraisy keberatan Muslimin memasuki Mekah -
   Perundingan perdamaian - Kesabaran Muhammad dan
   politiknya - Perjanjian Hudaibiya suatu kemenangan
   yang nyata
 
ENAM tahun lamanya sudah  sejak  Nabi  dan  sahabat-sahabatnya
hijrah  dari  Mekah ke Medinah. Seperti kita lihat, selama itu
mereka terus-menerus bekerja keras,  terus-menerus  dihadapkan
kepada  peperangan,  kadang  dengan  pihak Quraisy, adakalanya
pula  dengan  pihak  Yahudi.  sementara  itu  Islampun   makin
tersebar luas, makin kuat dan ampuh pula
 
Sejak  tahun pertama Hijrah, Muhammad sudah mengubah kiblatnya
dari al-Masjid'l-Aqsha  ke  al-Masjid'l-Haram.  Sekarang  kaum
Muslimin menghadap ke Baitullah yang di bangun oleh Ibrahim di
Mekah, dan yang kemudian bangunan itu dibaharui  lagi  tatkala
Muhammad  masih muda belia. Waktu itu ia juga turut mengangkat
batu hitam ketempatnya di  ujung  dinding  bangunan  itu.  Tak
terlintas  dalam  pikirannya  atau dalam pikiran siapapun juga
waktu itu, bahwa Tuhan akan menurunkan risalah kepadanya.
 
Sejak ratusan tahun yang lalu, al-Masjid'l-Haram  ini  (Mesjid
Suci)   sudah  menjadi  arah  tujuan  orang-orang  Arab  dalam
melakukan ibadat. Dalam bulan-bulan suci setiap  tahun  mereka
datang  ke  tempat  itu.  Setiap orang yang datang keamanannya
terjamin. Apabila orang bertemu dengan musuh yang paling keras
sekalipun,  di  tempat  ini ia tak dapat menghunus pedang atau
mengadakan pertumpahan darah. Akan tetapi sejak  Muhammad  dan
kaum  Muslimin  sudah  hijrah,  pihak  Quraisy telah mengambil
tanggung jawab dengan melarang  mereka  memasuki  Mesjid  Suci
itu,   melarang   mereka  mendekatinya  diluar  golongan  Arab
lainnya. Dalam hal ini firman Tuhan turun  pada  tahun  Hijrah
pertama itu:
 
"Mereka   bertanya   kepadamu  tentang  bulan  suci:  bolehkah
berperang? Katakanlah: Berperang dalam bulan  itu  suatu  dosa
besar.  Tetapi  merintangi  orang  dari jalan Allah dan ingkar
kepadaNya,  merintangi  orang  memasuki  Masjid   Suci   serta
mengusir  penduduk  dari  sekitar tempat itu, lebih besar lagi
dosanya disisi Allah." (Qur'an, 2:217)
 
Dan sesudah perang Badr juga firman Tuhan ini datang:
 
"Dan kenapa Allah tidak akan menyiksa  mereka  padahal  mereka
merintangi  orang  memasuki  Mesjid  Suci, sedang mereka bukan
penanggungjawabnya. Mereka yang  bertanggungjawab  mengurusnya
sebenarnya  ialah  orang-orang  yang  bertakwa.  Tetapi mereka
kebanyakan tidak mengetahui. Dan sembahyang mereka di  sekitar
Rumah  Suci  itu tidak lain hanya bersiul dan bertepuk tangan.
Oleh  karena  itu  rasakan  siksaan   yang   disebabkan   oleh
kekafiranmu  itu.  Orang-orang  kafir  itu  mengeluarkan harta
mereka guna melarang orang dari jalan Allah; maka mereka masih
akan  mengeluarkan  harta mereka. Sesudah itu mereka menyesal,
lalu  mereka  kalah.  Dan  orang-orang  yang  kafir  itu  akan
dikumpulkan di dalam neraka" (Qur'an, 8:34-36)
 
Selama   enam   tahun   itu   banyak  sekali  ayat-ayat  turun
berturut-turut  mengenai  Mesjid  Suci  itu  yang  oleh  Tuhan
dijadikan  tempat manusia berkumpul dan tempat yang aman. Akan
tetapi    pihak    Quraisy     menganggap     Muhammad     dan
pengikut-pengikutnya  telah  mengingkari dewa-dewa dalam Rumah
Suci itu: Hubal, Isaf, Na'ila dan berhala-berhala  yang  lain.
Oleh   karena   itu   memerangi  dan  melarang  mereka  datang
berkunjung ke Ka'bah  adalah  suatu  kewajiban  buat  Quraisy,
kalau    mereka    tidak    mau   kembali   kepada   dewa-dewa
nenek-moyangnya.
 
Sementara itu kaum Muslimin merasa menderita karena tak  dapat
melakukan  tugas  agama  yang  sudah menjadi kewajiban mereka,
juga  sudah  menjadi  kewajiban  nenek-moyang  mereka  dahulu.
Disamping  itu kaum Muhajirin sendiripun sudah merasa tersiksa
dan merasa tertekan  -  tersiksa  dalam  pembuangan,  tertekan
karena  kehilangan  tanah  air dan keluarga. Hanya saja mereka
itu semua yakin akan adanya pertolongan Tuhan kepada Rasul dan
kepada mereka serta mengangkat taraf agama mereka diatas agama
lain. Mereka percaya sekali, bahwa tak lama  lagi  pasti  akan
datang  waktunya  Tuhan  membukakan pintu Mekah kepada mereka,
dan  mereka  akan  bertawaf  di  Rumah  Purba  (Ka'bah)   itu,
menunaikan   kewajiban  agama  yang  diwajibkan  Tuhan  kepada
seluruh umat manusia. Kalau selama itu, tahun demi tahun  yang
terjadi  hanya  peperangan,  dari  perang  Badr  ke Uhud, lalu
Khandaq,       kemudian       peperangan-peperangan        dan
kesibukan-kesibukan lain, maka hari yang mereka harap-harapkan
itu kini pasti akan tiba. Mereka sangat merindukan  hari  yang
diharap-harapkan  itu.  Tidak  kurang  pula  Muhammad  seperti
mereka, sangat merindukannya dan yakin sekali,  bahwa  saatnya
sudah dekat!
 
Dengan  melarang  mengadakan  ziarah ke Mekah serta menunaikan
kewajiban   berhaji   dan   menjalankan   umrah,    sebenarnya
orang-orang   Quraisy   sudah   melakukan  kekejaman  terhadap
Muhammad dan  sahabat-sahabatnya.  Rumah  Purba  ini  bukanlah
milik  Quraisy,  melainkan  milik semua orang Arab. Hanya saja
orang-orang  Quraisy  itu  berkewajiban  menjaga  Ka'bah   dan
mengurus  air buat para pengunjung, yakni yang meliputi segala
macam    kepengurusan    Rumah    Suci    dan     pemeliharaan
pengunjung-pengunjungnya. Tujuan sesuatu kabilah itu satu sama
lain dengan menyembah  berhala  tidaklah  berarti  membenarkan
tindakan  Quraisy  melarang  orang  berziarah  dan bertawaf di
Ka'bah serta melakukan segala upacara dan penyembahan berhala.
Muhammad  datang  mengajak  orang menjauhi penyembahan berhala
dan membersihkan diri dari segala noda paganisma  dan  syirik.
Ia  mengajak  orang  ke  tingkat jiwa yang lebih tinggi, yakni
menyembah hanya kepada Allah Yang Tunggal dan tidak bersekutu.
Ia akan menempatkannya di atas segala kekurangan, akan membawa
kehidupan rohani ke tempat yang dapat menangkap arti  kesatuan
alam  serta keesaan Tuhan. Jadi oleh karena menjalankan ibadah
haji dan umrah itu merupakan salah satu kewajiban agama,  maka
melarang  penganut-penganut agama baru ini melakukan kewajiban
agamanya berarti suatu tindakan permusuhan.
 
Akan tetapi apabila Muhammad  kemudian  datang  juga  disertai
orang-orang   yang  sudah  beriman  kepada  Allah  dan  kepada
ajarannya, yang sebenarnya mereka  ini  penduduk  asli  Mekah,
maka  orang-orang  Quraisy  itu  kuatir rakyat jelata di Mekah
akan menggabungkan  diri  kepadanya  lalu  merasa  pula  bahwa
memisahkan  mereka  dari sanak keluarga, adalah suatu tindakan
kekejaman. Dengan demikian ini akan merupakan benih yang dapat
mencetuskan perang saudara.
 
Disamping  itu  pemimpin-pemimpin  Quraisy  dan  pemuka-pemuka
Mekah tidak pula melupakan Muhammad dan pengikutnya yang telah
menghancurkan perdagangan mereka, merintangi jalan mereka yang
sudah rata itu ke Syam. Oleh karenanya dalam jiwa mereka sudah
tertanam  rasa  dendam  dan  permusuhan;  padahal  sudah cukup
diketahui, bahwa  Rumah  itu  kepunyaan  Allah  dan  kepunyaan
seluruh  masyarakat  Arab, dan bahwa kewajiban mereka hanyalah
menjaganya dan memelihara orang-orang yang sedang berziarah.
 
Telah lampau enam tahun  sejak  hijrah,  kaum  Muslimin  sudah
gelisah  sekali  karena  rindu  ingin  berziarah ke Ka'bah dan
ingin menunaikan ibadah haji dan umrah. Pada suatu  pagi  bila
mereka    sedang   berkumpul   di   mesjid,   tiba-tiba   Nabi
memberitahukan kepada mereka bahwa  ia  telah  mendapat  ilham
dalam  mimpi  hakiki,  bahwa  insya Allah mereka akan memasuki
Mesjid Suci dengan aman tenteram, dengan kepala  dicukur  atau
digunting tanpa akan merasa takut.
 
Begitu  mereka mendengar berita mengenai mimpi Rasulullah itu,
serentak mereka mengucap; Alhamdulillah. Secepat kilat  berita
ini   telah   tersebar  ke  seluruh  penjuru  Medinah.  Tetapi
bagaimana caranya memasuki Masjid Suci itu? Dengan  perangkah?
Ataukah  orang-orang  Quraisy  secara paksa harus dikosongkan?
Atau barangkali  Quraisy  dengan  tunduk  menyerah  membukakan
jalan?
 
Tidak.  Tak  ada  pertempuran, tak ada perang. Bahkan Muhammad
mengumumkan kepada orang ramai supaya pergi menunaikan  ibadah
haji  dalam bulan Zulhijah yang suci. Dikirimnya utusan-utusan
kepada  kabilah-kabilah  yang  bukan  dari   pihak   Muslimin,
dianjurkannya  mereka supaya ikut bersama-sama pergi berangkat
ke Baitullah, dengan aman, tanpa ada pertempuran.  Dalam  pada
itu  yang  diinginkan  sekali  oleh Muhammad ialah supaya kaum
Muslimin  dapat  berangkat  sebanyak  mungkin.   Maksud   baik
daripada  ini  ialah  supaya semua orang Arab mengetahui bahwa
kepergiannya dalam bulan suci  itu  hendak  menunaikan  ibadah
haji,  bukan akan berperang. Ia hanya ingin melaksanakan suatu
kewajiban  dalam  hukum  Islam,  yang  juga  diwajibkan  dalam
agama-agama  orang  Arab  sebelum  itu.  Untuk  itu  diajaknya
orang-orang Arab yang tidak se-agama itu agar  juga  melakukan
kewajiban  tersebut. Sesudah semua itu, kalaupun Quraisy masih
juga bersikeras hendak memeranginya dalam bulan  suci,  hendak
melarang  orang  Arab  akan apa yang sudah menjadi kepercayaan
sekalipun berlain-lainan, maka  takkan  ada  orang-orang  Arab
yang  mau  mendukung  sikap  Quraisy atau akan membantu mereka
melawan kaum Muslimin. Dengan sikap keras  itu  mereka  hendak
membendung  orang  pergi  ke  Mesjid  Suci, hendak membelokkan
orang dari agama  Ismail.  dan  dari  agama  Ibrahim,  leluhur
mereka.
 
Oleh   karena  itu  pihak  Muslimin  merasa  aman  juga  kalau
orang-orang Arab itu dapat menggabungkan diri seperti golongan
Ahzab  dulu. Agamanya akan lebih terpandang dimata orang-orang
Arab yang belum beriman itu.  Apa  pula  yang  akan  dikatakan
Quraisy  kepada  mereka  yang  datang ke tanah suci itu, tanpa
membawa senjata kecuali pedang  yarig  disarungkan,  didahului
oleh  binatang kurban yang hendak mereka sembelih. Buat mereka
tak ada urusan lain daripada hanya akan menunaikan tugas agama
dengan  bertawaf  di  Baitullah,  yang  juga menjadi kewajiban
semua masyarakat Arab itu.
 
Muhammad  mengumumkan  kepada  semua  orang  supaya  berangkat
menunaikan   ibadah   haji.  Kepada  kabilah-kabilah  di  luar
Muslimin juga dimintanya berangkat bersama-sama. Tetapi banyak
juga  dari  mereka  itu  yang masih menunda-nunda. Dalam bulan
Zulkaedah sebagai salah satu bulan suci, ia  berangkat  dengan
rombongan  dari  kaum  Muhajirin  dan  Anshar,  serta beberapa
kabilah Arab yang mau menggabungkan diri, didahului  di  depan
oleh  untanya,  Al-Qashwa. Jumlah mereka yang berangkat ketika
itu  sebanyak  seribu  empatratus  orang.   Muhammad   membawa
binatang  kurban  terdiri  dari  tujuhpuluh ekor unta1, dengan
mengenakan  pakaian  ihram,   dengan   maksud   supaya   orang
mengetahui,  bahwa  ia  datang  bukan mau berperang, melainkan
khusus hendak berziarah dan mengagungkan Baitullah.
 
Bilamana  rombongan  sudah  sampai  di  Dzu'l-Hulaifa2  mereka
menyiapkan kurban dan mengucapkan talbiah. Binatang kurban itu
dilepaskan dan disebelah kanan masing-masing hewan itu  diberi
tanda,  di  antaranya  terdapat unta Abu Jahl yang kena rampas
dalam perang Badr. Tiada seorang juga dari rombongan haji  itu
yang membawa senjata selain pedang tersarung yang biasa dibawa
orang dalam perjalanan. Isteri  Nabi  yang  ikut  serta  dalam
perjalanan ini ialah Umm Salama.
 
Berita   tentang   Muhammad   dan  rombongannya  serta  tujuan
kepergiannya hendak menunaikan ibadah haji  itu  sudah  sampai
juga kepada Quraisy. Akan tetapi dalam hati mereka timbul rasa
kuatir.  Masalahnya  buat  mereka  adalah  sebaliknya.  Mereka
menduga  kedatangannya hanya sebagai suatu tipu muslihat saja.
Dengan begitu Muhammad mau menipu supaya dapat memasuki Mekah,
karena  mereka  dan  golongan  Ahzab pernah pula terlarang tak
dapat memasuki Medinah. Apa yang mereka ketahui tentang  lawan
mereka  yang  hendak  memasuki  Tanah Suci melakukan Umrah itu
serta apa  yang  sudah  diumumkan  di  seluruh  jazirah  bahwa
sebenarnya  mereka  hanya  didorong oleh rasa keagamaan hendak
menunaikan kewajiban yang sudah juga diakui oleh seluruh orang
Arab,  tidak  akan  dapat  mengubah  keputusan  Quraisy hendak
mencegah  Muhammad  memasuki  Mekah;   betapa   pun   besarnya
pengorbanan   yang  harus  mereka  lakukan  guna  melaksanakan
keputusan mereka itu.
 
Oleh karena itu sebuah pasukan tentara yang barisan berkudanya
saja  terdiri  dari 200 orang, oleh Quraisy segera di kerahkan
dan pimpinannya di  serahkan  kepada  Khalid  bin'l-Walid  dan
'Ikrima  bin  Abi Jahl. Pasukan ini maju ke depan supaya dapat
merintangi Muhammad masuk Ibukota (Mekah). Mereka  maju  terus
sampai dapat bermarkas di Dhu Tuwa.
 
Sebaliknya  Muhammad  ia meneruskan perjalanannya. Sesampainya
di 'Usfan3 ia bertemu dengan seseorang dari  suku  Banu  Ka'b.
Nabi menanyakan kalau-kalau orang itu mengetahui berita-berita
sekitar Quraisy.
 
"Mereka  sudah  mendengar  tentang   perjalanan   tuan   ini,"
jawabnya.  "Lalu  mereka  berangkat  dengan mengenakan pakaian
kulit harimau. Mereka berhenti di Dhu Tuwa dan sudah bersumpah
bahwa tempat itu sama-sekali tidak boleh tuan masuki. Sekarang
Khalid bin'l-Walid dengan pasukan berkudanya sudah maju  terus
ke Kira'l-Ghamim."4
 
"O,  kasihan  Quraisy!"  kata  Muhammad.  "Mereka sudah lumpuh
karena peperangan. Apa salahnya kalau mereka  membiarkan  saja
saya  dengan  orang-orang  Arab yang lain itu. Kalaupun mereka
sampai membinasakan saya, itulah  yang  mereka  harapkan,  dan
kalau  Tuhan memberi kemenangan kepada saya, mereka akan masuk
Islam secara beramai-ramai. Tetapi jika  itupun  belum  mereka
lakukan,  mereka  pasti akan berperang, sebab mereka mempunyai
kekuatan. Quraisy mengira apa. Saya akan terus berjuang,  demi
Allah,  atas  dasar  yang  diutuskan  Allah kepada saya sampai
nanti Allah memberikan kemenangan atau sampai leher ini  putus
terpenggal."
 
Kemudian  ia  berfikir,  apa  gerangan yang akan diperbuatnya.
Keberangkatannya dari Medinah bukan  akan  berperang.  Ia  mau
memasuki  Tanah  Suci  hanya hendak berziarah ke Baitullah, ia
hendak menunaikan kewajiban kepada Tuhan.
 
Ia tidak mengadakan persiapan perang. Boleh jadi juga kalaupun
dia   berperang   dan   dikalahkan,  hal  ini  akan  dijadikan
kebanggaan oleh Quraisy. Atau barangkali  Khalid  dan  'Ikrima
itu  disuruh dengan tujuan sengaja hendak mencapai maksud itu,
setelah diketahui  bahwa  ia  berangkat  bukan  dengan  maksud
hendak berperang?
 
Sementara  Muhammad  sedang berpikir-pikir itu pasukan Quraisy
sudah tampak sejauh mata memandang. Tampaknya  sudah  tak  ada
jalan  lagi  buat Muslimin akan dapat mencapai tujuan, kecuali
jika  mau  menerobos  barisan  itu.  Dan  jika   pun   terjadi
pertempuran  pihak  Quraisy akan mempertahankan kehormatan dan
tanah airnya. Suatu pertempuran  yang  memang  tidak  diingini
oleh  Muhammad.  Akan  tetapi  Quraisy  hendak memaksanya juga
supaya ia  bertempur  dan  supaya  melibatkan  diri  ke  dalam
peperangan.
 
Sungguhpun begitu pihak Muslimimpun tidak kurang pula semangat
pertahanannya. Adakalanya dengan pedang  terhunus  saja  sudah
cukup  buat  mereka  menangkis  serangan  musuh. Tetapi dengan
demikian tujuannya jadi hilang, dan akan dipakai  alasan  oleh
Quraisy  di  kalangan orang-orang Arab yang lain. Pandangannya
lebih jauh dari itu, siasatnya lebih dalam dan lebih matang  É
Jadi, dia menyerukan kepada orang banyak itu sambil katanya:
 
"Siapa  yang  dapat membawa kita ke jalan lain daripada tempat
mereka sekarang berada?"
 
Dengan demikian ia masih  berpegang  pada  pendapatnya  hendak
menempuh  saluran  damai  yang  sudah  digariskannya  sejak ia
berangkat dari Medinah dan  berniat  hendak  pergi  menunaikan
ibadah haji ke Mekah.
 
Dalam  pada  itu  kemudian ada seorang laki-laki yang bersedia
membawa  mereka  ke   tempat   lain   dengan   melalui   jalan
berliku-liku  antara  batu-batu  karang yang curam yang sangat
sulit dilalui. Kaum  Muslimin  merasa  sangat  letih  menempuh
jalan  itu. Tetapi akhirnya mereka sampai juga ke sebuah jalan
datar pada ujung wadi. Jalan ini mereka tempuh melalui sebelah
kanan  yang  akhirnya keluar di Thaniat'l-Murar, jalan menurun
ke Hudaibiya di sebelah bawah kota Mekah.
 
Setelah pasukan Quraisy melihat apa  yang  dilakukan  Muhammad
dan   sahabat-sahabatnya  itu,  merekapun  cepat-cepat  memacu
kudanya  kembali  ke  tempat  semula  dengan   maksud   hendak
mempertahankan Mekah bila diserbu oleh pihak Muslimin.
 
Bila  kaum  Muslimin  sampai  di  Hudaibiya.  Al-Qashwa' (unta
kepunyaan Nabi)  berlutut.  Kaum  Muslimin  menduga  ia  sudah
terlalu lelah. Tetapi Rasulullah berkata:
 
"Tidak.  Ia  (unta  itu)  ditahan oleh yang menahan gajah dulu
dari Mekah. Setiap  ada  ajakan  dari  Quraisy  dengan  tujuan
mengadakan hubungan kekeluargaan, tentu saya sambut."
 
Kemudian   dimintanya   orang-orang   itu  supaya  turun  dari
kendaraan. Tetapi mereka berkata:
 
"Rasulullah, kalaupun kita turun, di lembah ini tak ada air."

BAGIAN KEDUAPULUH: PERJANJLAN HUDAIBIYA                  (2/3)
Muhammad Husain Haekal
 
Mendengar itu ia mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya
lalu diberikannya kepada seseorang supaya dibawa turun kedalam
salah sebuah sumur yang banyak tersebar di  tempat  itu.  Bila
anakpanah  itu  ditancapkan  ke  dalam  pasir pada dasar sumur
ketika  itu  airpun  memancar.  Orang  baru  merasa  puas  dan
merekapun turun.
 
Mereka  turun  dari  kendaraan.  Akan  tetapi pihak Quraisy di
Mekah  selalu  mengintai.  Lebih  baik  mereka  mati  daripada
membiarkan   Muhammad  memasuki  wilayah  mereka  dengan  cara
kekerasan sekalipun. Adakah agaknya  mereka  sudah  mengadakan
persiapan  dan  perlengkapan  perang  guna menghadapi Quraisy,
kemudian Tuhan yang akan menentukan nasib mereka masing-masing
dan  Tuhan  juga  yang akan memutuskan persoalannya jika sudah
mesti terjadi?!
 
Kearah inilah mereka sebagian berpikir  dan  pada  kemungkinan
ini  pula pihak Quraisy itu berpikir. Sekiranya hal ini memang
teriadi dan yang mendapat  kemenangan  pihak  Muslimin,  tentu
tamatlah   riwayat   Quraisy   itu   di   mata   orang,  untuk
selama-lainanya- Posisi Quraisy jadi  terancam  kalau  begitu,
jabatan  menjaga  Ka'bah  dan mengurus air para pengunjung dan
segala  macam  upacara  keagamaan  yang   dibanggakan   kepada
masyarakat  Arab itu, akan hilang dari tangan mereka. Jadi apa
yang harus mereka lakukan kalau  begitu?  Kedua  kelompok  itu
masing-masing  sekarang  sedang memikirkan langkah berikutnya.
Adapun Muhammad sendiri ia tetap berpegang pada  langkah  yang
sudah  digariskannya  sejak semula, mengadakan persiapan untuk
'umrah, yaitu suatu langkah perdamaian dan menghindari  adanya
pertempuran;  kecuali  jika  pihak  Quraisy  menyerangnya atau
mengkhianatinya; tak ada  jalan  lain  iapun  harus  menghunus
pedang.
 
"Sebaliknya   Quraisy,   mereka  masih  maju-mundur.  Kemudian
terpikir oleh mereka akan mengutus  beberapa  orang  terkemuka
dari   kalangan   mereka;   dan   satu  segi  untuk  menjajagi
kekuatannya dan dari segi lain untuk merintangi jangan  sampai
masuk Mekah. Dalam hal ini yang datang menemuinya ialah Budail
b.  Warqa'  dalam  suatu  rombongan  yang  terdiri  dari  suku
Khuza'a.   Oleh   mereka   ditanyakan,   gerangan   apa   yang
mendorongnya datang.  Setelah  dalam  pembicaraan  itu  mereka
merasa  puas, bahwa ia datang bukan untuk berperang, melainkan
hendak berziarah dan hendak memuliakan Rumah  Suci,  merekapun
pulang  kembali  kepada  Quraisy. Mereka juga ingin meyakinkan
Quraisy, supaya orang  itu  dan  sahabat-sahabatnya  dibiarkan
saja  mengunjungi Rumah Suci. Akan tetapi mereka malah dituduh
dan tidak  diterima baik  oleh  Quraisy.  Dikatakannya  kepada
mereka: Kalau kedatangannya tidak menghendaki perang, pasti ia
takkan masuk kemari secara paksa dan  kitapun  takkan  menjadi
bahan pembicaraan orang.
 
Kemudian  Quraisy  mengutus  orang  lain yang sudah mengetahui
keadaan mereka dari orang yang  sudah  diutus  sebelumnya.  Ia
tidak   akan  serampangan  supaya  jangan  dituduh  pula  oleh
Quraisy. Dalam maksudnya hendak memerangi Muhammad itu Quraisy
banyak   menyandarkan  diri  kepada  sekutunya  dari  golongan
Ahabisy5. Terpikir  oleh  Quraisy  pemimpin  mereka  ini  yang
hendak   di  utus,  kalau-kalau  bila  sudah  diketahui  bahwa
Muhammad  tidak  juga  mau  mengerti  dan  tidak  ada   saling
pengertian  dengan  dia  Quraisy  akan  merasa  lebih mendapat
dukungan dan akan lebih kuat mereka menghadapi Muhammad. Untuk
itu  maka  berangkatlah  Hulais pemimpin Ahabisy itu menuju ke
perkemahan Muslimin.
 
Tatkala Nabi melihatnya ia datang,  dimintanya  supaya  ternak
kurban  itu  dilepaskan  didepan matanya, supaya dapat melihat
dengan mata kepala  sendiri  adanya  suatu  bukti  yang  sudah
jelas,  bahwa  orang-orang  yang oleh Quraisy hendak diperangi
itu tidak lain adalah orang-orang yang datang hendak berziarah
ke  Rumah Suci. Hulais dapat menyaksikan sendiri adanya ternak
kurban yang tujuhpuluh ekor itu,  mengalir  dari  tengah  wadi
dengan  bulu  yang  sudah  rontok.  Terharu  sekali ia melihat
pemandangan itu. Dalam hatinya timbul  rasa  keagamaannya.  Ia
yakin  bahwa dalam hal ini pihak Quraisylah yang berlaku kejam
terhadap  mereka,  yang  datang  bukan  ingin  berperang  atau
mencari permusuhan.
 
Sekarang  ia  kembali  kepada  Quraisy  tanpa menemui Muhammad
lagi. Diceritakannya kepada mereka apa yang telah  dilihatnya.
Tetapi begitu mendengar ceritanya itu, Quraisy naik pitam.
 
"Duduklah,"  kata mereka kepada Hulais. "Engkau ini Arab badui
yang tidak tahu apa-apa."
 
Mendengar itu Hulais  juga  jadi  marah.  Diingatkannya  bahwa
persekutuannya dengan Quraisy itu bukan untuk merintangi orang
dari Rumah Suci, siapa saja yang datang berziarah,  dan  tidak
semestinya  mereka  akan  mencegah Muhammad dan beberapa orang
Ahabisy yang datang dengan dia ke  Mekah.  Takut  akan  akibat
kemarahannya  itu,  Quraisy  mencoba  membujuknya  kembali dan
memintanya supaya menunda sampai dapat mereka  pikirkan  lebih
lanjut.
 
Kemudian  terpikir  oleh  mereka  hendak  mengutus  orang yang
bijaksana dan dapat mereka yakinkan kebijaksanaannya. Hal  ini
mereka   bicarakan   kepada   'Urwa  ibn  Mas'ud  ath-Thaqafi.
Menanggapi pendapatnya mengenai sikap mereka  yang  keras  dan
memperlakukan   tidak   layak   terhadap  kepada  utusan  yang
sebelumnya, mereka meminta maaf kepada 'Urwa.  Setelah  mereka
minta  maaf  dan  sekaligus  menegaskan  bahwa  mereka  sangat
menaruh  kepercayaan   kepadanya   dan   yakin   sekali   akan
kebijaksanaan  dan  pandangannya  yang  baik, ia pun berangkat
menemui Muhammad  dan  dikatakannya  bahwa  Mekah  juga  tanah
tumpah  darahnya  yang  harus  dipertahankan. Kalau ini sampai
dirusak, yang akan diderita  oleh  penduduk  yang  tinggal  di
tempat  itu, yang terdiri dari rakyat jelata yang campur-aduk,
kemudian dia ditinggalkan oleh rakyat jelata  itu,  maka  yang
akan  mengalami  kecemaran  yang  cukup  parah adalah Quraisy,
suatu hal yang oleh Muhammad juga tidak diinginkan,  sekalipun
antara dia dengan Quraisy terjadi perang terbuka.
 
Ketika  itu  Abu  Bakr  berkata  kepada 'Urwa dengan membantah
keras,  bahwa  orang  akan  meninggalkan  Rasullullah.   'Urwa
mengajaknya berbicara sambil memegang janggut Muhammad. Sedang
Mughira bin Syu'ba yang berdiri di arah kepala  Rasul  memukul
tangan  'Urwa  setiap ia memegang janggut Muhammad meskipun ia
sadar bahwa sebelum ia masuk Islam,  'Urwa  pernah  menebuskan
tigabelas  diat  atas  beberapa  orang yang telah dibunuh oleh
Mughira.
 
Sekarang 'Urwa pulang kembali setelah ia  mendapat  keterangan
dari  Muhammad  sama seperti yang juga diberikan kepada mereka
yang  datang  sebelumnya,  bahwa  kedatangannya  bukan  hendak
berperang,   melainkan   hendak   mengagungkan   Rumah   Suci,
menunaikan kewajiban kepada Tuhan.
 
"Saudara-saudara,"  katanya  setelah  ia  berada  kembali   di
tengah-tengah  masyarakat  Quraisy. "Saya sudah pernah bertemu
dengan Kisra, dengan  Kaisar  dan  dengan  Negus  di  kerajaan
mereka masing-masing. Tetapi belum pernah saya melihat seorang
raja    dengan    rakyatnya    seperti     Muhammad     dengan
sahabat-sahabatnya  itu.  Begitu  ia  hendak  mengambil  wudu,
sahabat-sahabatnya sudah lebih dulu  bergegas.  Begitu  mereka
melihat  ada  rambutnya  yang  jatuh,  cepat-cepat pula mereka
mengambilnya. Mereka takkan menyerahkannya bagaimanapun  juga.
Pikirkanlah kembali baik-baik."
 
Pembicaraan  seperti  yang  kita  kemukakan  itu berjalan lama
juga. Terpikir oleh Muhammad,  mungkin  utusan-utusan  Quraisy
itu  tidak  berani  menyampaikan  pendapatnya  yang akan dapat
meyakinkan pihak Quraisy. Oleh karena  itu  dari  pihaknya  ia
lalu  mengutus orang menyampaikan pendapatnya itu. Akan tetapi
disini unta utusan itu oleh mereka ditikam. Bahkan utusan  itu
hendak  mereka bunuh kalau tidak pihak Ahabisy segera mencegah
dan utusan  itu  dilepaskan.  Ini  menunjukkan,  bahwa  dengan
tingkah-lakunya  itu  pihak  Mekah  memang sudah dikuasai oleh
jiwa kebencian dan permusuhan,  yang  membuat  pihak  Muslimin
gelisah  tidak  sabar lagi, sampai-sampai ada diantaranya yang
sudah berpikir sampai ke soal perang.
 
Sementara mereka sedang berusaha hendak  mencapai  persetujuan
dengan  jalan saling tukar-menukar utusan, beberapa orang yang
tidak bertanggungjawab dari pihak Quraisy  malam-malam  keluar
dan mereka ini melempari kemah Nabi dengan batu. Jumlah mereka
ini pada suatu ketika sampai empatpuluh atau limapuluh  orang,
dengan  maksud  hendak  menyerang sahabat-sahabat Nabi. Tetapi
mereka ini tertangkap basah lalu di bawa kepada Nabi.  Tahukah
kita  apa  yang  dilakukannya?  Mereka itu dimaafkan semua dan
dilepaskan, sebagai suatu tanda ia ingin menempuh jalan  damai
serta  ingin  menghormati  bulan  suci, jangan ada pertumpahan
darah di Hudaibiya, yang  juga  termasuk  daerah  suci  Mekah.
Mengetahui hal ini pihak Quraisy terkejut sekali. Segala bukti
yang hendak  dituduhkan  bahwa  Muhammad  bermaksud  memerangi
mereka,  jadi  gugur samasekali. Mereka yakin kini bahwa semua
tindakan permusuhan dari pihak mereka terhadap Muhammad,  oleh
pihak  Arab  hanya  akan dipandang sebagai suatu pengkhianatan
kotor saja. Jadi berhak sekalilah Muhammad mempertahankan diri
dengan segala kekuatan yang ada.
 
Kemudian   Nabi  'alaihissalam  sekali  lagi  berusaha  hendak
menguji kesabaran Quraisy dengan  mengirimkan  seorang  utusan
yang   akan   mengadakan   perundingan   dengan  mereka.  Umar
bin'l-Khattab dipanggil dan  dimintainya  menyampaikan  maksud
kedatangannya itu kepada pemuka-pemuka Quraisy.
 
"Rasulullah,"  kata Umar. "Saya kuatir Quraisy akan mengadakan
tindakan terhadap saya, mengingat di  Mekah  tidak  ada  pihak
Banu  'Adi  b.  Ka'b  yang akan melindungi saya. Quraisy sudah
cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan  tegas
saya  terhadap mereka. Saya ingin menyarankan orang yang lebih
baik dalam hal ini daripada saya yaitu Usman b. 'Affan."
 
Nabipun segera memanggil  Usman  b.  'Affan  -menantunya-  dan
diutusnya kepada Abu Sufyan dan pemuka-pemuka Quraisy lainnya.
Bila Usman berangkat membawa pesan itu, ketika memasuki  Mekah
terlebih   dulu   ia  menemui  Aban  b.  Sa'id  yang  kemudian
memberikan jiwar (perlindungan)  selama  ia  bertugas  membawa
tugas  itu sampai selesainya. Sekarang Usman berangkat menemui
pemimpin-pemimpin  Quraisy  itu  dan  menyampaikan   pesannya.
Tetapi kata mereka kepadanya:
 
"Usman, kalau engkau mau bertawaf di Ka'bah, bertawaflah."
 
"Saya  tidak  akan melakukan ini sebelum Rasulullah bertawaf,"
jawab Usman. "Kedatangan kami kemari hanya akan  berziarah  ke
Rumah   Suci,   akan   memuliakannya,  kami  ingin  menunaikan
kewajiban ibadah di tempat  ini.  Kami  telah  datang  membawa
binatang  korban,  setelah  disembelih  kamipun  akan  kembali
pulang dengan aman."
 
Quraisy menjawab,  bahwa  mereka  sudah  bersumpah  tahun  ini
Muhammad tidak boleh masuk Mekah dengan kekerasan. Pembicaraan
itu jadi lama, dan lama pula Usman menghilang  dari  Muslimin.
Desas-desus  segera  timbul  di  kalangan  mereka  bahwa pihak
Quraisy   telah   membunuhnya   secara   gelap   dan    dengan
tipu-muslihat.  Boleh  jadi  sementara  itu  pemimpin-pemimpin
Quraisy dan Usman sedang sama-sama mencari suatu rumusan jalan
tengah  antara  sumpah mereka supaya Muhammad jangan datang ke
Mekah tahun  ini  dengan  kekerasan,  dengan  keinginan  pihak
Muslimin   yang  akan  bertawaf  di  Ka'bah  serta  menunaikan
kewajiban kepada Tuhan. Boleh jadi  juga  mereka  sudah  akrab
kepada Usman dan dalam pada itu mereka sama-sama mencari suatu
cara yang akan mengatur hubungan mereka  dengan  Muhammad  dan
hubungan Muhammad dengan mereka.
 
Akan  tetapi  bagaimanapun  juga  pihak  Muslimin di Hudaibiya
sudah gelisah sekali memikirkan keadaan Usman. Terbayang  oleh
mereka  kelicikan Quraisy serta tindakan mereka membunuh Usman
dalam bulan suci. Semua agama  orang  Arab  tidak  membenarkan
seorang  musuh  membunuh  musuhnya yang lain di sekitar Ka'bah
atau di sekitar Mekah yang suci. Terbayang  pula  oleh  mereka
kelicikan  Quraisy  itu terhadap orang yang datang mengunjungi
mereka membawa pesan perdamaian dan  tidak  saling  menyerang.
Oleh  karena  itu mereka lalu meletakkan tangan mereka di atas
empu  pedang  masing-masing,  suatu  tanda  mengancam,   tanda
kekerasan  dan  kemarahan. Juga Nabi 'a.s, sudah merasa kuatir
bahwa Quraisy telah  mengkhianati  dan  membunuh  Usman  dalam
bulan suci itu. Lalu katanya:
 
"Kita  tidak  akan  meninggalkan tempat ini sebelum kita dapat
menghadapi mereka."
 
Dipanggilnya sahabat-sahabatnya sambil  ia  berdiri  di  bawah
sebatang   pohon  dalam  lembah  itu.  Mereka  semua  berikrar
(berjanji setia) kepadanya untuk tidak  akan  beranjak  sampai
mati  sekalipun.  Mereka  semua berikrar kepadanya dengan iman
yang teguh, dengan kemauan yang keras. Semangat  mereka  sudah
berkobar-kobar    hendak    mengadakan   pembalasan   terhadap
pengkhianatan dan  pembunuhan  itu.  Mereka  menyatakan  ikrar
kepadanya (yang kemudian dikenal dengan nama) Bai'at'r Ridzwan
(Ikrar Ridzwan). Untuk itulah firman Tuhan ini turun:
 
"Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang beriman  tatkala
mereka   berikrar   kepadamu   di  bawah  pohon.  Tuhan  telah
mengetahui isi hati mereka, lalu di turunkanNya kepada  mereka
rasa  ketenangan  dan memberi balasan kemenangan kepada mereka
dalam waktu dekat ini." (Qur'an, 48: 18)
 
Selesai Muslimin mengadakan ikrar itu  Nabi  'a.s.  menepukkan
sebelah  tangannya  pada yang sebelah lagi sebagai tanda ikrar
buat Usman seolah ia juga turut hadir dalam Ikrar Ridzwan itu.
Dengan  ikrar  ini  pedang-pedang  yang  masih  tersalut dalam
sarungnya itu  seolah  sudah  turut  guncang.  Tampaknya  bagi
Muslimin  perang itu pasti pecah. Masing-masing mereka tinggal
menunggu saat kemenangan atau gugur sebagai syahid dengan rela
hati.
 
Sementara  mereka  dalam  keadaan serupa itu tiba-tiba tersiar
pula  berita  bahwa  Usman  tidak  terbunuh.  Dan  tidak  lama
kemudian  disusul  pula  dengan  kedatangan  Usman  sendiri ke
tengah-tengah mereka  itu.  Tetapi,  sungguhpun  begitu  Ikrar
Ridzwan  ini tetap berlaku, seperti halnya dengan Ikrar 'Aqaba
Kedua, sebagai tanda dalam sejarah umat  Islam.  Nabi  sendiri
senang   sekali  menyebutnya,  sebab  disini  terlihat  adanya
pertalian    yang    erat    sekali    antara    dia    dengan
sahabat-sahabatnya,    juga    memperlihatkan   betapa   benar
keberanian mereka itu, bersedia terjun menghadapi maut,  tanpa
takut-takut lagi. Barangsiapa berani menghadapi maut, maut itu
takut  kepadanya.  Dia  malah  akan   hidup   dan   memperoleh
kemenangan.
 
Usman  kembali.  Apa  yang  di  katakan Quraisy disampaikannya
kepada Muhammad.  Mereka  sudah  tidak  ragu-ragu  lagi  bahwa
kedatangannya   dengan   sahabat-sahabatnya   itu  hanya  akan
menunaikan ibadah haji. Mereka  juga  menyadari  bahwa  mereka
tidak  melarang siapa saja dari kalangan Arab yang akan datang
berziarah dan melakukan umrah dalam bulan-bulan suci itu. Akan
tetapi mereka sudah lebih dulu berangkat di bawah panji Khalid
bin'l-Walid dengan tujuan akan memerangi dan mencegahnya masuk
ke  Mekah.  Dan  memang  sudah  terjadi  benterokan-benterokan
antara anak buah  mereka  dengan  anak  buah  Muhammad.  Kalau
sesudah  peristiwa  itu  mereka  membiarkannya masuk ke Mekah,
kalangan Arab akan bicara bahwa mereka  sudah  kalah  menyerah
kepadanya.  Kedudukan dan kewibawaan mereka di mata orangsrang
Arab itu akan jatuh. Oleh karena  itu  dengan  maksud  menjaga
kewibawaan  dan kedudukan mereka, untuk tahun ini mereka tetap
bertahan pada pendirian dan sikap mereka itu. Baiklah ia  juga
memikirkan  seperti  mereka.  Dia  dan mereka, dengan sikapnya
masing-masing. Begini ini pendiriannya dan begitu jalan keluar
dari pendirian dan sikap masing-masing itu. Sebab kalau tidak,
mau tidak mau tentu hanya jalan perang  yang  dapat  ditempuh.
Tetapi  sebenarnya  dalam  bulan-bulan  suci mereka tidak mau;
dari satu segi mereka menghormati  kesucian  agama,  dan  dari
segi  lain,  bila  bulan suci ini sekarang tidak dihormati dan
terjadi peperangan, maka untuk hari depan orang-orang Arab itu
sudah  merasa  tidak aman lagi datang ke Mekah atau ke pasaran
kota itu, sebab kuatir bulan-bulan  suci  itu  akan  dilanggar
lagi.  Ini suatu perkosaan terhadap perdagangan Mekah dan mata
pencarian penduduk kota itu.
 
Pembicaraan diteruskan. Perundingan-perundingan  antara  kedua
belah  pihak sudah dimulai lagi. Pihak Quraisy mengutus Suhail
b. 'Amr dengan pesan:
 
"Datangilah Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia.  Dalam
persetujuan itu untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai
ada  kalangan  Arab  mengatakan,  bahwa  dia  telah   berhasil
memasuki tempat ini dengan kekerasan."
 
Sesampainya Suhail ke tempat Rasul, perundingan perdamaian dan
syarat-syaratnya secara panjang lebar segera pula dibicarakan.
Sekali-sekali  pembicaraan  itu  hampir  saja  terputus,  yang
kemudian dilanjutkan lagi, mengingat bahwa kedua  belah  pihak
sama-sama  ingin  mencapai hasil. Pihak Muslimin di sekeliling
Nabi juga turut mendengarkan pembicaraan- itu.
 
Ada beberapa orang dari mereka ini yang sudah tidak sabar lagi
melihat  Suhail  yang  begitu  ketat  dalam  beberapa masalah,
sedang Nabi menerimanya dengan cukup  memberikan  kelonggaran.
Kalau  tidak  karena  kepercayaan  Muslimin yang mutlak kepada
Nabi, kalau tidak karena iman  mereka  yang  teguh  kepadanya,
niscaya  hasil  persetujuan itu tidak akan mereka terima. Akan
mereka hadapi dengan perang supaya dapat masuk ke  Mekah  atau
sebaliknya.
 
Sampai  pada  akhir  perundingan  itu Umar bin'l-Khattab pergi
menemui Abu Bakr dan terjadi percakapan berikut ini:
 
Umar: "Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah?"
 
Abu Bakr: "Ya, memang!"
 
Umar: "Bukankah kita ini Muslimin?"
 
Abu Bakr: "Ya, memang!"
 
Umar: "Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?"
 
Abu Bakr: "Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia
Rasulullah."
 
Setelah   itu   Umar   kembali  menemui  Muhammad.  Diulangnya
pembicaraan itu kepada  Muhammad  dengan  perasaan  geram  dan
kesal.  Tetapi  hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan
hati  Nabi.  Paling  banyak  yang  dikatakannya   pada   akhir
pembicaraannya dengan Umar itu ialah:
 
"Saya   hamba   Allah  dan  RasulNya.  Saya  takkan  melanggar
perintahNya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya."

BAGIAN KEDUAPULUH: PERJANJLAN HUDAIBIYA                  (3/3)
Muhammad Husain Haekal
 
Selain itu kesabaran Muhammad  terlihat  pula  ketika  terjadi
penulisan  isi  persetujuan  itu,  yang membuat beberapa orang
Muslimin jadi lebih kesal. Ia memanggil Ali b. Abi  Talib  dan
katanya:
 
"Tulis:   Bismillahir-Rahmanir-Rahim   (Dengan   nama   Allah,
Pengasih dan Penyayang)."
 
"Stop!" kata Suhail. "Nama Rahman dan  Rahim  ini  tidak  saya
kenal. Tapi tulislah: Bismikallahuma (Atas namaMu ya Allah)."
 
Kata Rasulullah pula:
 
"Tulislah:  Atas  namaMu  ya  Allah."  Lalu  sambungnya lagi:
"Tulis: Inilah yang sudah disetujui oleh  Muhammad  Rasulullah
dan Suhail b. 'Amr."
 
"Stop,"  sela  Suhail  lagi. "Kalau saya sudah mengakui engkau
Rasulullah, tentu saya tidak memerangimu. Tapi tulislah namamu
dan nama bapamu."
 
Lalu kata Rasulullah pula:
 
"Tulis:   Inilah   yang   sudah  disetujui  oleh  Muhammad  b.
Abdillah." Dan selanjutnya perjanjian antara kedua belah pihak
itu  ditulis,  bahwa  kedua  belah  pihak  mengadakan gencatan
senjata selama sepuluh tahun - menurut pendapat sebagian besar
penulis  sejarah  Nabi  -  atau  dua tahun menurut al-Waqidi -
bahwa barangsiapa dari  golongan  Quraisy  menyeberang  kepada
Muhammad  tanpa  seijin  walinya,  harus  dikembalikan  kepada
mereka, dan barangsiapa  dari  pengikut  Muhammad  menyeberang
kepada  Quraisy,  tidak  akan  dikembalikan; bahwa barangsiapa
dari masyarakat Arab yang senang mengadakan persekutuan dengan
Muhammad diperbolehkan, dan barangsiapa yang senang mengadakan
persekutuan dengan Quraisy  juga  diperbolehkan;  bahwa  untuk
tahun   ini  Muhammad  dan  sahabat-sahabatnya  harus  kembali
meninggalkan Mekah, dengan ketentuan akan kembali  pada  tahun
berikutnya; mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama tiga
hari di Mekah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya  pedang
tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain.
 
Begitu  perjanjian  ini  ditanda-tangani, pihak Khuza'a segera
bersekutu dengan Muhammad dan Banu Bakr bersekutu pula  dengan
Quraisy.  Selanjutnya  begitu  perjanjian  ini  ditandatangani
begitu pula Abu Jandal b. Suhail  b.  'Amr  datang  dan  terus
hendak  menggabungkan  diri  dengan  Muslimin,  dan akan pergi
bersama-sama  pula.  Tetapi  Suhail  sendiri  melihat  anaknya
demikian  dipukulnya  mukanya dan direnggutnya ditentang leher
untuk kemudian dikembalikan kepada Quraisy. Dalam pada itu Abu
Jandal sendiri berteriak sekuat-kuatnya:
 
"Saudara-saudara   Muslimin.  Saya  akan  dikembalikan  kepada
orang-orang musyrik yang akan menyiksa saya karena agama  saya
ini?!"
 
Dengan  peristiwa itu kaum Muslimin makin gelisah, makin tidak
senang mereka pada hasil perjanjian yang diadakan antara Rasul
dengan  Suhail.  Tetapi Muhammad lalu mengarahkan kata-katanya
kepada Abu Jandal:
 
"Abu Jandal, tabahkan hatimu. Semoga Allah membuat engkau  dan
orang-orang  Islam  yang  ditindas bersama kau merupakan suatu
jalan keluar. Kita  sudah  menandatangani  persetujuan  dengan
golongan  itu,  dan  ini  sudah kita berikan kepada mereka dan
merekapun sudah  pula  memberikan  kepada  kita,  dengan  nama
Allah. Kita tidak akan mengkhianati mereka."
 
Sekarang Abu Jandal kembali kepada Quraisy, sesuai vlengan isi
persetujuan dan janji Nabi. Suhail juga lalu berangkat  pulang
ke Mekah.
 
Muhammad masih tinggal. Ia gelisah melihat keadaan orang-orang
sekelilingnya. Kemudian ia sembahyang,  dan  keadaannya  mulai
tenang  kembali. Ia berdiri, hewan korbannya mulai disembelih.
Ia duduk kembali, rambut kepalanya dicukur sebagai tanda umrah
sudah  dimulai.  Hatinya sudah merasa tenang, merasa tenteram.
Melihat Nabi melakukan itu, dan  melihat  ketenangannya  pula,
merekapun  bergegas pula menyembelih hewan dan mencukur rambut
kepala - sebagian ada yang bercukur dan ada  juga  yang  hanya
memangkas (menggunting) rambut:
 
"Semoga  Allah  melimpahkan rahmat kepada mereka yang mencukur
rambut," kata Muhammad.
 
Orang-orang jadi gelisah sambil bertanya:
 
"Dan mereka yang berpangkas rambut, ya Rasulullah?"
 
"Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka  yang  bercukur
rambut," katanya lagi.
 
Orang-orang masih gelisah sambil bertanya:
 
"Dan mereka yang berpangkas rambut, ya Rasulullah?"
 
"Dan mereka yang berpangkas rambut," katanya lagi.
 
"Rasulullah," kata setengah mereka lagi, "kenapa doa buat yang
bercukur saja yang  dinyatakan,  bukan  buat  yang  bergunting
rambut?,,
 
"Karena mereka sudah tidak ragu-ragu."
 
"Tidak  ada  jalan  lain buat Muslimin mereka mesti kembali ke
Medinah dengan harapan akan  kembali  ke  Mekah  tahun  depan.
Sebahagian  besar  mereka  itu  membawa  pikiran  demikian ini
dengan berat hati. Kalau tidak karena perintah  Rasul,  mereka
takkan  dapat  menahan  hati.  Tiada  biasanya mereka menerima
kekalahan atau menyerah tanpa pertempuran. Karena iman  mereka
akan  pertolongan  Allah  kepada Rasul dan agama, mereka tidak
ragu-ragu  lagi  akan  menyerbu  Mekah,  kalau  saja  Muhammad
memerintahkan yang demikian itu.
 
Mereka  tinggal  di  Hudaibiya  selama beberapa hari lagi. Ada
mereka yang  bertanya-tanya  tentang  hikmah  perjanjian  yang
dibuat  oleh Nabi itu; ada pula yang dalam hati kecilnya masih
menyangsikan adanya hikmah demikian itu.
 
Akhirnya mereka berangkat pulang.
 
Sementara mereka di  tengah  perjalanan  antara  Mekah  dengan
Medinah   tiba-tiba  turun  wahyu  kepada  Nabi  dengan  Surah
Al-Fat-h. Firman Tuhan itupun oleh Nabi kemudian  dibacakannya
kepada sahabat-sahabat:
 
"Kami  telah  memberikan kepadamu suatu kemenangan yang nyata;
supaya Tuhan mengampuni kesalahanmu yang sudah lalu  dan  yang
akan  datang,  dan  Tuhan akan mencukupkan karuniaNya kepadamu
serta membimbing engkau ke jalan  yang  lurus."  (Qur'an,  48:
1-2) Dan seterusnya sampai pada akhir Surah.
 
Tidak  sangsi lagi kalau begitu bahwa Perjanjian Hudaibiya ini
adalah  suatu  kemenangan  yang  nyata  sekali.   Dan   memang
demikianlah  adanya. Sejarahpun mencatat, bahwa isi perjanjian
ini adalah suatu hasil politik yang  bijaksana  dan  pandangan
yang  jauh,  yang besar sekali pengaruhnya terhadap masa depan
Islam dan masa depan orang-orang Arab itu  semua.  Ini  adalah
yang  pertama  kali  pihak  Quraisy  mengakui  Muhammad, bukan
sebagai pemberontak terhadap mereka, melainkan  sebagai  orang
yang  tegak  sama  tinggi  duduk  sama  rendah.  Dan sekaligus
mengakui pula berdirinya  dan  adanya  kedaulatan  Islam  itu.
Kemudian   juga   suatu  pengakuan  bahwa  Musliminpun  berhak
berziarah ke Ka'bah  serta  melakukan  upacara-upacara  ibadah
haji;  suatu  pengakuan  pula  dari mereka, bahwa Islam adalah
agama yang sah diakui sebagai salah satu agama di jazirah itu.
Selanjutnya  gencatan  senjata  yang  selama  dua  tahun  atau
sepuluh tahun membuat pihak Muslimin merasa  lebih  aman  dari
jurusan  selatan  tidak kuatir akan mendapat serangan Quraisy,
yang  juga  berarti  membuka  jalan  buat  Islam  untuk  lebih
tersebar  lagi.  Bukankah  orang-orang  Quraisy yang merupakan
musuh Islam paling gigih dan lawan berperang yang paling keras
itu   sekarang   sudah   tunduk,  sedang  sebelum  itu  mereka
samasekali tidak pernah akan mau tunduk?
 
Kenyataannya setelah persetujuan perletakan senjata itu  Islam
memang  tersebar  luas,  berlipat  ganda  lebih cepat daripada
sebelumnya. Jumlah mereka yang datang ke Hudaibiya ketika  itu
sebanyak  1400  orang.  Tetapi  dua  tahun  kemudian,  tatkala
Muhammad hendak membuka Mekah jumlah mereka yang datang  sudah
sepuluh  ribu  orang.  Mereka  yang  masih menyangsikan hikmah
perjanjian Hudaibiya ini, yang sangat keberatan  ialah  adanya
sebuah  klausul  dalam  perjanjian itu yang menyebutkan, bahwa
barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada  Muhammad
tanpa  seijin  walinya,  harus dikembalikan kepada mereka, dan
barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada  Quraisy
tidak  akan  dikembalikan  kepada Muhammad. Tanggapan Muhammad
dalam hal ini ialah apabila ada orang yang murtad  dari  Islam
dan  minta perlindungan Quraisy, orang semacam ini tidak perlu
lagi kembali kepada  jamaah  Muslimin,  dan  siapa-siapa  yang
masuk  Islam  dan  berusaha menggabungkan diri dengan Muhammad
mudah-mudahan Tuhan akan membukakan jalan keluar.
 
Peristiwa-peristiwa   yang   terjadi   sesudah   itu    memang
membuktikan  kebenaran  pendapat  Muhammad  bahkan lebih cepat
dari yang diduga  sahabat-sahabatnya.  Juga  ini  menunjukkan,
bahwa  dengan persetujuan Hudaibiya itu Islam telah memperoleh
keuntungan  besar  yang  luarbiasa,  dan  dua  bulan  kemudian
sesudah  itu telah pula membukakan jalan buat Muhammad memulai
mengirimkan surat-surat  kepada  raja-raja  dan  kepala-kepala
negara asing mengajak mereka masuk Islam.
 
Peristiwa-peristiwa   yang   terjadi  itu  memang  membuktikan
kebenaran pendapat  Muhammad  lebih  cepat  dari  yang  diduga
sahabat-sahabatnya.  Abu  Bashir6  telah  datang dari Mekah ke
Medinah sebagai seorang Muslim. Sesuai dengan isi  persetujuan
ia  mesti  dikembalikan  kepada  Quraisy  sebab ia pergi tidak
seijin tuannya. Untuk itu maka Azhar b.  'Auf  dan  Akhnas  b.
Syariq   berkirim   surat   kepada   Nabi   supaya  orang  itu
dikembalikan. Surat-surat itu dibawa  oleh  seorang  laki-laki
dari Banu 'Amir yang datang bersama seorang budak.
 
"Abu Bashir," kata Nabi, "Kita telah membuat perjanjian dengan
pihak mereka, seperti sudah  kauketahui.  Suatu  pengkhianatan
menurut  agama  kita  tidak  dibenarkan.  Semoga Allah membuat
engkau  dan  orang-orang  Islam  yang  ditindas  bersama   kau
merupakan suatu kelapangan dan jalan keluar. Berangkat sajalah
engkau kembali kedalam lingkungan masyarakatmu."
 
"Rasulullah," kata Abu Bashir, "Saya akan dikembalikan  kepada
orang-orang  musyrik yang akan menyiksa saya karena agama saya
ini."
 
Lalu Nabi mengulangi kata-kata tadi. Dan kedua orang  itu  pun
berangkat.
 
Sesampainya   di   Dhu'l-Hulaifa   dimintanya   kepada   kawan
seperjalanannya dari  Banu  'Amir  itu  supaya  memperlihatkan
pedangnya    Setelah   digenggamnya   erat-erat   pedang   itu
ditangannya, diayunkannya kepada orang dari Banu 'Amir itu dan
dibunuhnya  orang  itu.  Sekarang  sang  budak lari ke jurusan
Medinah, langsung menemui Nabi.
 
"Orang ini  tampaknya  dalam  ketakutan,"  kata  Nabi  setelah
melihat  orang  itu.  Lalu katanya kepada orang tersebut, "He!
Ada apa?"
 
"Teman tuan membunuh teman saya," kata orang itu.
 
Tidak lama kemudian Abu Bashir muncul  dengan  membawa  pedang
terhunus  dan  berkata  dengan  menujukan  kata-katanya kepada
Muhammad.
 
"Rasulullah," katanya. "Jaminan  tuan  sudah  terpenuhi,  dan
Tuhan  sudah  melaksanakan buat tuan. Tuan menyerahkan saya ke
tangan mereka dan dengan agama saya itu saya  tetap  bertahan,
supaya jangan saya dianiaya atau dipermainkan karena keyakinan
agama saya itu."
 
Sebenarnya Rasul tidak dapat menyembunyikan  kekagumannya  dan
harapannya sekiranya dia punya anak buah.
 
Sesudah  itu Abu Bashir berangkat juga. Ia berhenti di Al-Ish,
di  pantai  laut  sepanjang  jalur  Quraisy  ke  Syam.   Dalam
perjanjian  Muhammad dengan Quraisy ialah membiarkan jalan ini
sebagai lalu-lintas perdagangan,  yang  tidak  boleh  diganggu
olehnya  atau oleh Quraisy. Tetapi setelah Abu Bashir pergi ke
daerah itu dan  hal  ini  didengar  oleh  umat  Muslimin  yang
tinggal  di  Mekah  serta  tentang  kekaguman Rasul kepadanya,
sebanyak kira-kira tujuhpuluh laki-laki dari mereka  ini  lari
pula  menemuinya  dan  menggabungkan  diri di tempat tersebut,
lalu dijadikannya dia sebagai pemimpin mereka. Sekarang mereka
bersama-sama  mencegat  Quraisy  dalam  perjalanan itu. Setiap
orang yang berhasil mereka tangkap, mereka  bunuh  dan  setiap
ada  kafilah dagang tentu mereka rampas. Ketika itulah Quraisy
menyadari bahwa hal ini merupakan suatu  kerugian  besar  buat
mereka,  apabila  kaum  Muslimin  itu  masih  tetap tinggal di
Mekah. Mereka memperhitungkan,  bahwa  usaha  mengurung  orang
yang  benar-benar  teguh  imannya,  lebih  berbahaya  daripada
membebaskannya. Tentu ia akan mencari kesempatan lari. Ia akan
melancarkan  perang yang tak berkesudahan terhadap mereka yang
mengurungnya, dan mereka juga yang akan rugi. Seolah  teringat
oleh  Quraisy  ketika  Muhammad hijrah ke Medinah. Ia mencegat
perjalanan  kafilah  mereka.  Perbuatan  semacam  itu   mereka
kuatirkan akan diulangi oleh Abu Bashir.
 
Sehubungan  dengan  inilah  mereka  lalu mengutus orang kepada
Nabi. Dimintanya supaya ia  mau  menampung  orang-orang  Islam
itu, dan supaya membiarkan jalan lalu-lintas itu kembali aman.
Dengan demikian Quraisy telah mundur  setapak  dari  apa  yang
secara  gigih  disyaratkan  oleh Suhail b. 'Amr bahwa Muslimin
Quraisy yang pergi menyeberang kepada  Muhammad  tidak  seijin
walinya harus di kembalikan ke Mekah. Dengan sendirinya syarat
itu jadi gugur, yang dulu pernah  membuat  Umar  bin'l-Khattab
jadi  gusar  karenanya  dan  yang  telah  menyebabkan dia jadi
marah-marah kepada Abu Bakr.
 
Selanjutnya Mulmammad telah menampung  sahabat-sahabatnya  itu
dan jalan ke Syam itu pun kembali jadi aman.
 
Terhadap  wanita-wanita  Quraisy yang turut hijrah ke Medinah,
Muhammad mempunyai pendapat lain lagi.
 
Setelah ada persetujuan gencatan senjata itu Umm  Kulthum  bt.
'Uqba  b.  Mu'ait  keluar  dari  Mekah. Saudaranya, 'Umara dan
Walid, yang  kemudian  menyusul,  menuntut  kepada  Rasulullah
supaya wanita itu dikembalikan kepada mereka sesuai dengan isi
Perjanjian   Hudaibiya.   Akan   tetapi   Nabi   menolak.   Ia
berpendapat,  bahwa  menurut hukum, kaum wanita tidak termasuk
dalam  persetujuan  itu.  Apabila  ada   wanita   yang   minta
perlindungan,  maka  harus dilindungi. Disamping itu, bilamana
wanita itu sudah masuk Islam, maka suaminya yang masih musyrik
sudah  tidak sah lagi. Mereka harus berpisah. Dalam hal inilah
firman Tuhan datang:
 
"Orang-orang yang beriman. Apabila wanita-wanita yang  beriman
itu,  datang hijrah kepada kamu hendaklah mereka itu kamu uji.
Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Bila kamu juga
sudah  mengetahui,  bahwa  mereka  memang  wanita-wanita  yang
beriman,   jangan   hendaknya   mereka   dikembalikan   kepada
orang-orang  yang  kafir.  Mereka  tidak  halal  buat (menjadi
isteri) orang-orang kafir, dan orang-orang kafir itupun  tidak
halal  buat  (menjadi  suami)  mereka.  Dan bayarkanlah kepada
(suami-suami) mereka apa yang sudah  mereka  nafkahkan.  Tiada
salahnya  kamu  menikah  dengan  mereka  itu  kalau sudah kamu
bayarkan maharnya. Dan janganlah kamu bertahan pada perkawinan
wanita-wanita   kafir,   dan  mintalah  apa  yang  telah  kamu
nafkahkan, begitupun biarlah mereka juga minta apa yang  telah
mereka  nafkahkan.  Demikian  itulah  Dia memberikan keputusan
antara sesama kamu. Allah Maha mengetahui dan Maha Bijaksana."
(Qur'an, 60: 10)
 
Sekali   lagi   peristiwa-peristiwa  yang  telah  terjadi  itu
membuktikan  kebenaran  kebijaksanaan  Muhammad.   Membenarkan
pandangannya  yang  jauh  serta politiknya yang, tepat sekali.
Selanjutnya  membuktikan  pula,  bahwa   ketika   ia   membuat
Perjanjian  Hudaibiya itu ia telah meletakkan dasar yang kukuh
sekali dalam kebijaksanaan politik dan penyebaran  Islam.  Dan
inilah kemenangan yang nyata itu.
 
Dengan  adanya Pelianjian Hudaibiya ini segala hubungan antara
Quraisy  dengan  Muhammad   telah   menjadi   tenang   sekali.
Masing-masing  pihak  sudah merasa aman pula. Sekarang Quralsy
semua mencurahkan perhatiannya pada perluasan  perdagangannya,
dengan  harapan  kalau-kalau  semua  kerugian  yang dialaminya
selama perang antara Muslimin dengan Quraisy itu dapat ditarik
kembali;  demikian  juga  ketika  jalan  ke  Syam itu tertutup
perdagangannya terancam akan mengalami kehancuran.
 
Sebaliknya Muhammad, ia  mencurahkan  perhatiannya  pada  soal
kelanjutan  menyampaikan ajarannya kepada seluruh umat manusia
di segenap pelosok dunia. Pandangannya diarahkan dalam langkah
mencapai  sukses  untuk  ketenteraman umat Muslimin di seluruh
jazirah. Bidang itulah yang  dilakukannya  dengan  mengirimkan
utusan-utusan kepada raja-raja pada beberapa negara, disamping
mengosongkan orang-orang Yahudi  dari  seluruh  jazirah  Arab,
yang semuanya itu selesai samasekali sesudah perang Khaibar.
 
Catatan kaki:
 
 1 Asalnya badana atau badn, yaitu unta atau sapi yang
   di sembelih (A)
   
 2 Sebuah desa enam atau tujuh mil jauhnya dari
   Medinah, tempat pertemuan penduduk Medinah yang akan
   pergi haji.
   
 3 Usfan, sebuah desa terletak antara Mekah dan
   Medinah, sekitar 60 km dari Mekah.
   
 4 Kira'l-Ghamim sebuah wadi di depan 'Usfan, sekitar 8
   mil (± 12 km).
   
 5 Ahabisy ialah perkampungan di pegunungan (sebuah
   kabilah Arab ahli pelempar panah). Dinamakan demikian,
   karena warna kulit mereka yang hitam sekali, atau
   karena sifatnya yang mengelompok, atau juga di
   hubungkan pada Hubsy, nama sebuah gunung di hilir
   Mekah (lihat juga halaman 311).
   
 6 Nama lengkapnya Abu Bashir 'Utba b. Usaid (atau b.
   Asid seperti dalam As-Sirat'n-Nabawiya oleh Ibn
   Hisyam, jilid tiga, p. 337) dari Thaqif, karena
   keyakinan agamanya telah dipenjarakan oleh Quraisy di
   Mekah. Kemudian ia melarikan diri menyusul Nabi ke
   Medinah (A).
 
---------------------------------------------
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980
 
Seri PUSTAKA ISLAM No.1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.