Langsung ke konten utama

Peperangan pada Masa Awal Islam di Madinah (1)


Materi Kelompok II. Materi ini saya ambil dari: http://media.isnet.org/islam/Haekal/Muhammad/. 
Anda juga bisa langsung mengakses pada website tersebut. 
  
BAGIAN KETIGABELAS: PERANG BADR1                         (1/4)
Muhammad Husain Haekal
 
   Keberangkatan Abu Sufyan ke Syam - Usaha Muslimin
   memotong jalan   Berangkat dengan sukses   Ditunggu
   kembalinya - Quraisy mengetahui persiapan Muslimin -
   Mereka berangkat ke Badr - Perdagangan Abu Sufyan
   selamat - Quraisy dan Muslimin ragu-ragu akan berperang
   - Hilangnya keraguan - Posisi kedua belah pihak di Badr
   - Semangat dan kemenangan Muslimin
 
SATUAN Abdullah b. Jahsy merupakan  persimpangan  jalan  dalam
strategi  politik  Islam.  Ketika  itulah  Waqid  b.  Abdullah
at-Tamimi  melepaskan  anak   panahnya   dan   mengenai   'Amr
bin'l-Hadzrami  hingga  ia  tewas.  Ini  adalah  darah pertama
ditumpahkan oleh Muslimin. Karena  itu  pula  ayat  yang  kita
sebutkan  tadi  turun.  Sebagai kelanjutannya maka diundangkan
perang terhadap mereka yang mau memfitnah dan mengalihkan kaum
Muslimin  dan  agamanya  serta  menghalangi  mereka  dan jalan
Allah. Juga satuan  ini  merupakan  persimpangan  jalan  dalam
strategi  politik Muslimin terhadap Quraisy, karena dengan ini
keduanya dapat berhadapan sama kuat. Sesudah itu kaum Muslimin
jadi  berpikir  lebih  sungguh-sungguh  lagi dalam membebaskan
harta-benda mereka dalam  menghadapi  Quraisy.  Disamping  itu
pihak  Quraisy  berusaha menghasut seluruh Jazirah Arab, bahwa
Muhammad dan  sahabat-sahabatnya  melakukan  pembunuhan  dalam
bulan  suci. Muhammadpun yakin sudah, bahwa harapan akan dapat
bekerja sama  dengan  jalan  persetujuan  yang  sebaik-baiknya
dengan mereka sudah tak ada lagi.
 
Pada  permulaan  musim  rontok  tahun kedua Hijrah, Abu Sufyan
berangkat membawa perdagangan yang cukup besar,  menuju  Syam.
Perjalanan  dagang  inilah yang ingin dicegat oleh orang-orang
Islam ketika  Nabi  s.a.w.  dulu  pergi  ke  'Usyaira.  Tetapi
tatkala  mereka sampai kafilah Abu Sufyan sudah lewat dua hari
lebih dulu sebelum ia tiba di tempat tersebut.  Sekarang  kaum
Muslimin  bertekad menunggu mereka kembali. Sementara Muhammad
menantikan mereka kembali dari Syam itu, dikirimnya  Talha  b.
'Ubaidillah  dan  Sa'id b. Zaid menunggu berita-berita. Mereka
berdua berangkat, dan sesampainya di tempat Kasyd al-Juhani di
bilangan  Haura'2, mereka bersembunyi, menunggu hingga kafilah
itu lewat. Kemudian cepat-cepat mereka berdua menemui Muhammad
guna memberitahukan keadaan mereka.
 
Tetapi  belum  lagi selesai Muhammad menunggu kedatangan kedua
utusan itu dari Haura' beserta kabar tentang kafilah yang akan
dibawanya,  lebih  dulu  sudah  tersebar berita tentang adanya
sebuah rombongan kafilah besar,  dan  bahwa  seluruh  penduduk
Mekah  punya  saham  di  situ. Tak ada penduduk laki-laki atau
wanita yang dapat memberikan sahamnya yang tidak  ikut  serta,
sehingga  seluruhnya  mencapai jumlah 50.000 dinar. Ia kuatir,
kalau masih menunggu lagi kafilah itu kembali ke Mekah, mereka
akan  menghilang  seperti  ketika berangkat ke Syam dulu. Oleh
karena itu ia segera mengutus kaum Muslimin dengan mengatakan:
 
"Ini  adalah  kafilah  Quraisy.  Berangkatlah  kamu  ke  sana.
Mudah-mudahan Tuhan memberikan kelebihan kepada kamu."
 
Ada  orang  yang  segera  menyambutnya dan ada pula yang masih
merasa berat-berat. Dan ada lagi orang-orang yang belum  Islam
ingin  bergabung  karena  mereka hanya ingin mendapatkan harta
rampasannya saja. Tetapi Muhammad menolak penggabungan  mereka
ini sebelum mereka beriman kepada Allah dan RasulNya.
 
Sementara  itu Abu Sufyan sudah mengetahui pula akan kepergian
Muhammad yang akan mencegat  kafilahnya  dalam  perjalanan  ke
Syam.  Ia  kuatir  kalau-kalau  kaum Muslimin akan mencegatnya
bila ia kembali dengan membawa laba perdagangan.  Sekarang  ia
tinggal  menunggu  berita  tentang  mereka itu, termasuk Kasyd
Juhani yang pernah dikunjungi oleh kedua  utusan  Muhammad  di
Haura' itu, di antara orang yang ditanyainya. Sekalipun Juhani
belum  mempercayai  berita  tersebut,  tapi   berita   tentang
Muhammad,   kaum   Muhajirin  dan  Anshar  sudah  sampai  juga
kepadanya seperti tersebarnya berita itu dulu kepada Muhammad.
Ia  merasa  kuatir  juga  kalau  dari pihak Quraisy pengawalan
kafilah hanya terdiri dari tiga puluh atau empat  puluh  orang
saja.
 
Ketika  itulah  ia  lalu  mengupah Dzamdzam b. 'Amr al-Ghifari
supaya cepat-cepat pergi ke Mekah  untuk  mengerahkan  Quraisy
menolong  harta-benda  mereka,  juga  diberitahukannya,  bahwa
Muhammad dan sahabat-sahabatnya sedang mengancam.
 
Setibanya di Mekah,  ketika  berada  di  tengah-tengah  sebuah
lembah,   dipotongnya   kedua   telinga  dan  hidung  untanya,
dibalikkannya pelananya dan dia sendiri berhenti di tempat itu
sambil berteriak-teriak memberitahukan, dengan mengenakan baju
yang sudah dikoyak-koyak bagian depan dan belakangnya:
 
"Hai orang-orang Quraisy! Kafilah, kafilah! harta  bendamu  di
tangan   Abu   Sufyan   telah   dicegat   oleh   Muhammad  dan
sahabat-sahabatnya. Kamu sekalian harus segera menyusul. Perlu
pertolongan! Pertolongan!"
 
Mendengar ini Abu Jahl segera memanggil orang-orang di sekitar
Ka'bah. Mereka dikerahkan. Abu Jahl adalah  seorang  laki-laki
berbadan kecil, berwajah keras dengan lidah dan pandangan mata
yang tajam. Sebenarnya orang-orang  Quraisy  itu  sudah  tidak
perlu  lagi  dikerahkan  karena setiap orang sudah punya saham
sendiri-sendiri dalam kafilah itu.
 
Sungguhpun begitu ada juga penduduk Mekah  itu  sebagian  yang
sudah   merasakan   adanya  kekejaman  Quraisy  terhadap  kaum
Muslimin  sehingga  menyebabkan  mereka  terpaksa  hijrah   ke
Abisinia  dan  kemudian  hijrah  ke  Medinah. Mereka ini masih
maju-mundur:  akan   turut   juga   berperang   mempertahankan
harta-benda mereka, atau akan tinggal diam saja dengan harapan
kalau-kalau kafilah  itu  tidak  mengalami  sesuatu  gangguan.
Mereka  ini  masih ingat bahwa dulu antara kabilah Quraisy dan
kabilah Kinana ada tuntutan darah yang  dilakukan  oleh  kedua
belah   pihak.   Apabila  mereka  ini  cepat-cepat  menghadapi
Muhammad dalam membela kafilah itu, mereka kuatir akan diserbu
oleh  Banu  Bakr  (dari Kinana) dari belakang. Alasan demikian
ini hampir saja memperkuat pendapat yang  ingin  tinggal  diam
saja,  kalau  tidak  lalu  datang  Malik  b. Ju'syum (Mudlij),
seorang pemuka Banu Kinana.
 
"Bagi  kamu  aku  adalah  jaminan,  bahwa  Kinana  tidak  akan
melakukan  sesuatu  di  belakang kamu yang akan merugikan kamu
sekalian."
 
Dengan  demikian   orang-orang   semacam   Abu   Jahl,   'Amir
al-Hadzrami   serta   penganjur-penganjur   perang   menentang
Muhammad dan pengikut-pengikutnya, mendapat dukungan kuat. Tak
ada  alasan  bagi  orang  yang  mampu  berperang itu yang akan
tinggal di belakang atau  akan  menggantikannya  kepada  orang
lain.  Dari pemuka-pemuka Quraisypun tak ada yang ketinggalan,
kecuali Abu Lahab yang diwakili  oleh  al-'Ash  b.  Hisyam  b.
Mughira. Orang ini punya hutang kepadanya (Abu Lahab) sebanyak
4000 dirham yang tak dibayar sehingga ia  bangkrut  karenanya.
Sedang  Uamyya b. Khalaf sudah bertekad akan tinggal diam. Dia
sebagai orang  terpandang,  yang  sudah  tua  sekali  usianya,
badannya gemuk dan berat.
 
Ketika  itu ia didatangi oleh 'Uqba b. Abi Mu'ait dan Abu Jahl
ke mesjid. 'Uqba membawa perapian dengan kemenyan  sedang  Abu
Jahl  membawa  tempat  celak  dan pemalitnya. 'Uqba meletakkan
tempat api itu di depannya seraya berkata:
 
"Abu Ali,3 gunakanlah  perapian  dan  menyan  ini,  sebab  kau
wanita."
 
"Pakailah  celak  ini, Abu Ali, sebab kau perempuan," kata Abu
Jahl.
 
"Belikan buat aku seekor unta yang  terbaik  di  lembah  ini,"
jawab Umayya.
 
Lalu  iapun  pergi  bersama  mereka. Sekarang tiada seorangpun
yang mampu bertempur yang masih tinggal di Mekah.
 
Pada hari kedelapan bulan Ramadan  tahun  kedua  Hijrah,  Nabi
s.a.w.   berangkat   dengan   sahabat-sahabatnya  meninggalkan
Medinah. Pimpinan sembahyang diserahkan  kepada  'Amr  b.  Umm
Maktum, sedang pimpinan Medinah kepada Abu Lubaba dari Rauha'.
Dalam perjalanan  ini  Muslimin  didahului  oleh  dua  bendera
hitam.  Mereka  membawa  tujuhpuluh  ekor  unta,  yang dinaiki
dengan cara silih berganti.  Setiap  dua  orang,  setiap  tiga
orang  dan  setiap  empat  orang  bergantian naik seekor unta.
Dalam hal ini  Muhammad  juga  mendapat  bagian  sama  seperti
sahabat-sahabatnya  yang  lain.  Dia,  Ali  b.  Abi  Talib dan
Marthad b. Marthad al-Ghanawi bergantian naik seekor unta. Abu
Bakr,  Umar  dan  Abdur-Rahman  b. 'Auf bergantian juga dengan
seekor unta. Jumlah mereka  yang  berangkat  bersama  Muhammad
dalam  ekspedisi  ini  terdiri  dari  tiga  ratus  lima orang,
delapanpuluh tiga di antaranya Muhajirin, enampuluh satu orang
Aus dan yang selebihnya dari Khazraj.
 
Karena   dikuatirkan   Abu   Sufyan   akan   menghilang  lagi,
cepat-cepat mereka berangkat sambil terus  berusaha  mengikuti
berita-berita   tentang   orang   ini   di  mana  saja  mereka
berada.Tatkala sampai di 'Irq'z-Zubya  mereka  bertemu  dengan
seorang   orang  Arab  gunung  yang  ketika  ditanyai  tentang
rombongan itu, ternyata  ia  tidak  mendapat  berita  apa-apa.
Mereka  meneruskan  perjalanan  hingga  sampai  di sebuah wadi
bernama Dhafiran; di tempat itu mereka turun. Di tempat inilah
mereka  mendapat  berita,  bahwa pihak Quraisy sudah berangkat
dari Mekah, akan melindungi kafilah mereka.
 
Ketika itu suasananya sudah berubah. Kini kaum  Muslimin  dari
kalangan Muhajirin dan Anshar bukan lagi berhadapan dengan Abu
Sufyan dengan kalifahnya serta tigapuluh atau empatpuluh orang
rombongannya  itu saja, yang takkan dapat melawan Muhammad dan
sahabat-sahabatnya,  melainkan  Mekah  dengan  seluruh  isinya
sekarang  keluar  dipimpin  oleh  pemuka-pemuka mereka sendiri
guna membela perdagangan mereka itu.
 
Andaikata pihak Muslimin sudah dapat mengejar Abu Sufyan,  dan
beberapa  orang  dari  rombongan itu sudah dapat ditawan, unta
beserta muatannya sudah dapat dikuasai, pihak Quraisypun tentu
akan   segera  pula  dapat  menyusul  mereka.  Soalnya  karena
terdorong  oleh  rasa  cintanya   kepada   harta   dan   ingin
mempertahankannya.  Mereka merasa sudah didukung oleh sejumlah
orang dan perlengkapan yang cukup besar. Mereka bertekad  akan
bertempur  dan  mengambil  kembali harta mereka, atau bersedia
mati untuk itu.
 
Tetapi sebaliknya, apabila Muhammad kembali ke tempat  semula,
pihak  Quraisy dan Yahudi Medinah tentu merasa mendapat angin.
Dia sendiri terpaksa akan  berada  dalam  situasi  yang  serba
dibuat-buat,  sahabat-sahabatnya  pun  terpaksa  akan  memikul
segala tekanan dan gangguan Yahudi Medinah,  seperti  gangguan
yang  pernah  mereka alami dari pihak Quraisy di Mekah dahulu.
Ya, apabila ia menyerah kepada situasi semacam  itu,  mustahil
sekali   kebenaran   akan  dapat  ditegakkan  dan  Tuhan  akan
memberikan pertolongan dalam menegakkan agama itu.
 
Sekarang   ia   bermusyawarah    dengan    sahabat-sahabatnya.
Diberitahukannya kepada mereka tentang keadaan Quraisy menurut
berita yang sudah diterimanya. Abu Bakr  dan  Umar  juga  lalu
memberikan   pendapat.   Kemudian   Miqdad   b.   'Amr  tampil
mengatakan:
 
"Rasulullah, teruskanlah apa  yang  sudah  ditunjukkan  Allah.
Kami  akan  bersama  tuan.  Kami tidak akan mengatakan seperti
Banu Israil yang berkata kepada  Musa:  "Pergilahkamu  bersama
Tuhanmu, dan berperanglah. Kami di sini akan tinggal menunggu.
Tetapi, pergilah engkau dan Tuhanmu,  dan  berperanglah,  kami
bersamamu akan juga turut berjuang."
 
Semua orang diam.
 
"Berikan  pendapat  kamu  sekalian kepadaku," kata Rasul lagi.
Kata-kata ini sebenarnya ditujukan kepada  pihak  Anshar  yang
telah menyatakan Ikrar 'Aqaba, bahwa mereka akan melindunginya
seperti terhadap sanak keluarganya sendiri, tapi mereka  tidak
mengadakan ikrar itu untuk mengadakan serangan keluar Medinah.
 
Tatkala pihak Anshar merasa bahwa memang mereka yang dimaksud,
maka Sa'd b. Musadh  yang  memegang  pimpinan  mereka  menoleh
kepada Muhammad.
 
"Agaknya yang dimaksud Rasulullah adalah kami," katanya.
 
"Ya," jawab Rasul.
 
"Kami  telah  percaya kepada Rasul dan membenarkan," kata Sa'd
pula, "Kamipun telah menyaksikan bahwa apa  yang  kaubawa  itu
adalah  benar.  Kami  telah  memberikan janji kami dan jaminan
kami,  bahwa  kami  akan  tetap  taat   setia.   Laksanakanlah
kehendakmu,  kami  disampingmu. Demi yang telah mengutus kamu,
sekiranya kaubentangkan  lautan  di  hadapan  kami,  lalu  kau
terjun menyeberanginya, kamipun akan terjun bersamamu, dan tak
seorangpun dari kami akan tinggal  di  belakang.  Kami  takkan
segan-segan  menghadapi  musuh  kita  besok.  Kami cukup tabah
dalam perang, cukup setia bertempur. Semoga Tuhan  membuktikan
segalanya  dari  kami  yang  akan menyenangkan hatimu. Ajaklah
kami bersama, dengan berkah Tuhan."
 
Begitu Sa'd selesai bicara,  wajah  Muhammad  tampak  berseri.
Tampaknya ia puas sekali; seraya katanya:
 
"Berangkatlah,   dan   gembirakan!   Allah  sudah  menjanjikan
kepadaku  atas  salah  satunya   dari   dua   kelompok4   itu.
Seolah-olah kini kehancuran mereka itu tampak di hadapanku."
 
Merekapun  lalu  berangkat  semua.  Ketika  sampai  pada suatu
tempat dekat Badr, Muhammad pergi lagi dengan untanya sendiri.
Ia  menemui  seorang  orang  Arab  tua.  Kepada  orang  ini ia
menanyakan    Quraisy    dan    menanyakan    Muhammad     dan
sahabat-sahabatnya, yang kemudian daripadanya diketahui, bahwa
kafilah Quraisy berada tidak jauh dari tempat itu.
 
Lalu kembali lagi ia ke tempat sahabat-sahabatnya. Ali b.  Abi
Talib,  Zubair bin'l-Awwam, Sa'd b. Abi Waqqash serta beberapa
orang   sahabat   lainnya   segera   ditugaskan   mengumpulkan
berita-berita  dari  sebuah  tempat  di Badr. Kurir ini segera
kembali dengan membawa dua orang anak. Dari  kedua  orang  ini
Muhammad  mengetahui, bahwa pihak Quraisy kini berada di balik
bukit pasir di tepi ujung Wadi.5 Ketika mereka menjawab, bahwa
mereka  tidak  mengetahui berapa jumlah pihak Quraisy, ditanya
lagi oleh Muhammad:
 
"Berapa ekor ternak yang mereka potong tiap hari?"
 
"Kadang sehari sembilan, kadang sehari  sepuluh  ekor,"  jawab
mereka.
 
Dengan  demikian Nabi dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka
terdiri dari antara 900 sampai 1000  orang.  Juga  dari  kedua
anak  itu  dapat  diketahui  bahwa bangsawan-bangsawan Quraisy
ikut serta memperkuat diri
 
Lalu katanya kepada sahabat-sahabatnya:
 
"Lihat.  Sekarang  Mekah  sudah   menghadapkan   semua   bunga
bangsanya kepada kita."
 
Mau  tidak  mau,  sekarang  ia  dan  sahabat-sahabatnya  harus
berhadapan dengan suatu golongan yang jumlahnya tiga kali jauh
lebih  besar. Mereka harus mengerahkan seluruh semangat, harus
mengadakan persiapan mental menghadapi kekerasan  itu.  Mereka
harus siap menunggu suatu pertempuran sengit dan dahsyat, yang
takkan dapat dimenangkan kecuali oleh iman yang kuat  memenuhi
kalbu, iman dan kepercayaan akan adanya kemenangan itu.
 
Bilamana  Ali  sudah  kembali  dengan  kedua  orang  anak yang
membawa berita tentang Quraisy itu, dua orang Muslimin lainnya
lalu  berangkat  lagi  menuju  lembah Badr. Mereka berhenti di
atas sebuah bukit tidak jauh dari tempat  air,  dikeluarkannya
tempat persediaan airnya, dan di sini mereka mengisi air itu.
 
Sementara  mereka  berada  di  tempat air, terdengar ada suara
seorang budak perempuan, yang agaknya  sedang  menagih  hutang
kepada seorang wanita lainnya, yang lalu dijawab:
 
"Kafilah  dagang  besok  atau lusa akan datang. Pekerjaan akan
kuselesaikan dengan mereka dan hutang segera akan kubayar."
 
Kedua laki-laki itu kembali.  Disampaikannya  apa  yang  telah
mereka dengar itu kepada Muhammad.
 
Tetapi,  dalam pada itu Abu Sufyan sudah mendahului kafilahnya
mencari-cari berita. Ia kuatir Muhammad akan sudah lebih  dulu
ada  di jalan itu. Sesampainya di tempat air ia bertemu dengan
Majdi b. 'Amr.
 
"Ada kau melihat orang tadi?" tanyanya.
 
Majdi menjawab bahwa ia melihat  ada  dua  orang  berhenti  di
bukit  itu  sambil  ia  menunjuk ke tempat dua orang laki-laki
Muslim itu  tadi  berhenti.  Abu  Sufyanpun  pergi  mendatangi
tempat  perhentian  tersebut.  Dilihatnya ada kotoran dua ekor
unta  dan  setelah  diperiksanya,  diketahuinya,  bahwa   biji
kotoran itu berasal dari makanan ternak Yathrib.
 
Cepat-cepat  ia kembali menemui teman-temannya dan membatalkan
perjalanannya melalui jalan semula. Dengan tergesa-gesa sekali
sekarang ia memutar haluan melalui jalan pantai laut. Jaraknya
dengan Muhammad sudah jauh, dan dia dapat meloloskan diri.
 
Hingga keesokan harinya kaum Muslimin masih menantikan kafilah
itu  akan  lewat.  Tetapi  setelah  ada berita-berita bahwa ia
sudah lolos dan yang masih ada di dekat mereka sekarang adalah
angkatan perang Quraisy, beberapa orang yang tadinya mempunyai
harapan penuh akan beroleh harta  rampasan,  terbalik  menjadi
layu.  Beberapa  orang  bertukar  pikiran  dengan  Nabi dengan
maksud supaya kembali saja ke Medinah, tidak perlu  berhadapan
dengan  mereka yang datang dari Mekah hendak berperang. Ketika
itu datang firman Tuhan:
 
"Ingat! Tuhan menjanjikan kamu salah satu  dari  dua  keIompok
(musuh)  itu  untuk kamu. Sedang kamu menginginkan, bahwa yang
tidak bersenjata itulah yang  untuk  kamu.  Tetapi  Allah  mau
membuktikan kebenaran itu sesuai dengan ayat-ayatNya, dan akan
merabut akar orang-orang yang tak beriman itu."6
 
Pada pihak Quraisy juga begitu. Perlu  apa  mereka  berperang,
perdagangan  mereka  sudah selamat? Bukankah lebih baik mereka
kembali ke tempat semula, dan membiarkan pihak  Islam  kembali
ke  tempat  mereka.  Abu  Sufyan  juga  berpikir  begitu.  Itu
sebabnya ia mengirim utusan kepada  Quraisy  mengatakan:  Kamu
telah berangkat guna menjaga kafilah dagang, orang-orang serta
harta-benda kita.  Sekarang  kita  sudah  diselamatkan  Tuhan.
Kembalilah. Tidak sedikit dari pihak Quraisy sendiri yang juga
mendukung pendapat ini.
BAGIAN KETIGABELAS: PERANG BADR1                         (2/4)
Muhammad Husain Haekal
 
Tetapi Abu Jahl  ketika  mendengar  kata-kata  ini,  tiba-tiba
berteriak:
 
"Kita  tidak  akan  kembali  sebelum kita sampai di Badr. Kita
akan tinggal tiga malam di tempat itu. Kita  memotong  ternak,
kita    makan-makan,    minum-minum    khamr,    kita    minta
biduanita-biduanita  bernyanyi.  Biar  orang-orang  Arab   itu
mendengar  dan  mengetahui perjalanan dan persiapan kita. Biar
mereka tidak lagi mau menakut-nakuti kita."
 
Soalnya pada waktu itu Badr merupakan  tempat  pesta  tahunan.
Apabila  pihak  Quraisy  menarik  diri dari tempat itu setelah
perdagangan mereka selamat, bisa jadi  akan  ditafsirkan  oleh
orang-orang  Arab  -  menurut pendapat Abu Jahl - bahwa mereka
takut kepada Muhammad  dan  teman-temannya.  Dan  ini  berarti
kekuasaan  Muhammad  akan  makin  terasa, ajarannya akan makin
tersebar, makin kuat. Apalagi sesudah adanya  satuan  Abdullah
b.   Jahsy,   terbunuhnya   Ibn'l-Hadzrami,   dirampasnya  dan
ditawannya orang-orang Quraisy.
 
Mereka jadi ragu-ragu: antara mau ikut Abu Jahl  karena  takut
dituduh   pengecut,   atau   kembali   saja   setelah  kafilah
perdagangan mereka  selamat.  Tetapi  yang  ternyata  kemudian
kembali   pulang   hanya   Banu   Zuhra,  setelah  mereka  mau
mendengarkan saran Akhnas b. Syariq, orang yang cukup  ditaati
mereka.
 
Pihak Quraisy yang lain ikut Abu Jahl. Mereka berangkat menuju
ke sebuah tempat perhentian, di tempat ini  mereka  mengadakan
persiapan perang, kemudian mengadakan perundingan. Lalu mereka
berangkat lagi ke tepi ujung wadi, berlindung di balik  sebuah
bukit pasir.
 
Sebaliknya  pihak  Muslimin,  yang sudah kehilangan kesempatan
mendapatkan  harta  rampasan,  sudah  sepakat  akan   bertahan
terhadap  musuh bila kelak diserang. Oleh karena itu merekapun
segera  berangkat  ke  tempat  mata  air  di  Badr  itu,   dan
perjalanan  ini lebih mudah lagi karena waktu itu hujan turun.
Setelah mereka sudah mendekati mata  air,  Muhammad  berhenti.
Ada  seseorang  yang  bernama Hubab b. Mundhir b. Jamuh, orang
yang paling banyak mengenal  tempat  itu,  setelah  dilihatnya
Nabi turun di tempat tersebut, ia bertanya:
 
"Rasulullah,  bagaimana  pendapat tuan berhenti di tempat ini?
Kalau ini sudah wahyu Tuhan,  kita  takkan  maju  atau  mundur
setapakpun  dari tempat ini. Ataukah ini sekedar pendapat tuan
sendiri, suatu taktik perang belaka?"
 
"Sekedar pendapat  saya  dan  sebagai  taktik  perang,"  jawab
Muhammad.
 
"Rasulullah,"  katanya  lagi.  "Kalau begitu, tidak tepat kita
berhenti di tempat ini. Mari kita pindah sampai ke tempat mata
air   terdekat   dan  mereka,  lalu  sumur-sumur  kering  yang
dibelakang itu kita timbun. Selanjutnya  kita  membuat  kolam,
kita  isi  sepenuhnya.  Barulah  kita hadapi mereka berperang.
Kita akan mendapat air minum, mereka tidak."
 
Melihat saran  Hubab  yang  begitu  tepat  itu,  Muhammad  dan
rombongannya  segera  pula bersiap-siap dan mengikuti pendapat
temannya  itu,  sambil  mengatakan  kepada  sahabat-sahabatnya
bahwa  dia  juga  manusia  seperti  mereka,  dan bahwa sesuatu
pendapat itu dapat dimusyawarahkan bersama-sama dan dia  tidak
akan  menggunakan  pendapat  sendiri di luar mereka. Dia perlu
sekali  mendapat  konsultasi  yang  baik  dari  sesama  mereka
sendiri.
 
Selesai kolam itu dibuat, Sa'd b. Mu'adh mengusulkan:
 
"Rasulullah,"7  katanya,  "kami  akan membuatkan sebuah dangau
buat  tempat  Tuan  tinggal,  kendaraan  Tuan  kami  sediakan.
Kemudian  biarlah  kami  yang  menghadapi  musuh.  Kalau Tuhan
memberi kemenangan kepada kita atas musuh  kita,  itulah  yang
kita harapkan. Tetapi kalaupun sebaliknya yang terjadi; dengan
kendaraan itu Tuan dapat  menyusul  teman-teman  yang  ada  di
belakang  kita. Rasulullah,7 masih banyak sahabat-sahabat kita
yang tinggal di belakang, dan cinta mereka kepada  tuan  tidak
kurang dari cinta kami ini kepada tuan. Sekiranya mereka dapat
menduga bahwa tuan akan dihadapkan pada perang, niscaya mereka
tidak  akan  berpisah  dari  tuan. Dengan mereka Tuhan menjaga
tuan. Mereka benar-benar ikhlas kepada tuan, berjuang  bersama
tuan."
 
Muhammad  sangat  menghargai dan menerima baik saran Sa'd itu.
Sebuah  dangau  buat  Nabi  lalu  dibangun.  Jadi  bila  nanti
kemenangan bukan di tangan Muslimin, ia takkan jatuh ke tangan
musuh,    dan    masih    akan    dapat    bergabung    dengan
sahabat-sahabatnya di Yathrib.
 
Disini  orang  perlu  berhenti sejenak dengan penuh kekaguman,
kagum melihat  kesetiaan  Muslimin  yang  begitu  dalam,  rasa
kecintaan  mereka  yang  begitu  besar  kepada Muhammad, serta
dengan  kepercayaan  penuh  kepada  ajarannya.  Semua   mereka
mengetahui,  bahwa  kekuatan  Quraisy  jauh  lebih  besar dari
kekuatan mereka, jumlahnya tiga kali lipat banyaknya.  Tetapi,
sungguhpun  begitu,  mereka sanggup menghadapi, mereka sanggup
melawan. Dan mereka inilah yang  sudah  kehilangan  kesempatan
mendapatkan  harta  rampasan.  Tetapi sungguhpun begitu karena
bukan pengaruh materi itu  yang  mendorong  mereka  bertempur,
mereka   selalu  siap  disamping  Nabi,  memberikan  dukungan,
memberikan kekuatan.  Dan  mereka  inilah  yang  juga  sangsi,
antara  harapan akan menang, dan kecemasan akan kalah. Tetapi,
sungguhpun begitu, pikiran  mereka  selalu  hendak  melindungi
Nabi,   hendak  menyelamatkannya  dari  tangan  musuh.  Mereka
menyiapkan jalan baginya untuk  menghubungi  orang-orang  yang
masih  tinggal  di  Medinah.  Suasana yang bagaimana lagi yang
lebih patut dikagumi daripada ini? Iman mana lagi  yang  lebih
menjamin akan memberikan kemenangan seperti iman yang ada ini?
 
Sekarang  pihak  Quraisy  sudah  turun ke medan perang. Mereka
mengutus orang yang akan memberikan  laporan  tentang  keadaan
kaum  Muslimin.  Mereka  lalu  mengetahui,  bahwa  jumlah kaum
Muslimin  lebih  kurang  tiga  ratus  orang,   tanpa   pasukan
pengintai,   tanpa   bala   bantuan.   Tetapi   mereka  adalah
orang-orang yang hanya berlindung pada pedang mereka  sendiri.
Tiada  seorang  dan  mereka  akan  rela mati terbunuh, sebelum
dapat membunuh lawan.
 
Mengingat bahwa gembong-gembong Quraisy telah juga ikut  serta
dalam  angkatan  perang ini, beberapa orang dari kalangan ahli
pikir mereka merasa kuatir, kalau-kalau banyak dari mereka itu
yang   akan   terbunuh,  sehingga  Mekah  sendiri  nanti  akan
kehilangan arti. Sungguhpun begitu mereka masih  takut  kepada
Abu Jahl yang begitu keras, juga mereka takut dituduh pengecut
dan penakut.  Tetapi  tiba-tiba  tampil  'Utba  b.  Rabi'a  ke
hadapan mereka itu sambil berkata:
 
"Saudara-saudara  kaum  Quraisy,  apa  yang  tuan-tuan lakukan
hendak memerangi Muhammad dan kawan-kawannya  itu,  sebenarnya
tak  ada  gunanya.  Kalau  dia sampai binasa karena tuan-tuan,
masih ada orang lain dari kalangan tuan-tuan sendin yang  akan
melihat,  bahwa  yang  terbunuh  itu adalah saudara sepupunya,
dari  pihak  bapa  atau  pihak  ibu,  atau  siapa  saja   dari
keluarganya.  Kembali  sajalah  dan  biarkan  Muhammad  dengan
teman-temannya itu. Kalau dia binasa karena pihak  lain,  maka
itu  yang  tuan-tuan  kehendaki.  Tetapi  kalau bukan itu yang
terjadi, kita tidak perlu melibatkan diri dalam  hal-hal  yang
tidak kita inginkan."
 
Mendengar  kata-kata 'Utba itu, Abu Jahl naik darah. Ia segera
memanggil 'Amir bin'l-Hadzrami dengan mengatakan:
 
"Sekutumu ini ingin supaya orang  pulang.  Kau  sudah  melihat
dengan  mata  kepala  sendiri siapa yang harus dituntut balas.
Sekarang, tuntutlah pembunuhan terhadap saudaramu!"8
 
'Amir segera bangkit dan berteriak:
 
"O saudaraku! Tak ada jalan lain mesti perang!"
 
Dengan dipercepatnya  pertempuran  itu  Aswad  b.  'Abd'l-Asad
(Makhzum)  keluar  dari  barisan  Quraisy langsung menyerbu ke
tengah-tengah   barisan   Muslimin   dengan   maksud    hendak
menghancurkan  kolam  air  yang  sudah  selesai dibuat. Tetapi
ketika itu juga Hamzah b. Abd'l-Muttalib  segera  menyambutnya
dengan   satu  pukulan  yang  mengenai  kakinya,  sehingga  ia
tersungkur dengan kaki yang  sudah  berlumuran  darah.  Sekali
lagi  Hamzah memberikan pukulan, sehingga ia tewas di belakang
kolam itu. Buat mata pedang memang tak ada yang  tampak  lebih
tajam  daripada  darah.  Juga tak ada sesuatu yang lebih keras
membakar semangat perang dan pertempuran  dalam  jiwa  manusia
daripada  melihat  orang  yang  mati  di  tangan  musuh sedang
teman-temannya berdiri menyaksikan.
 
Begitu melihat Aswad jatuh, maka  tampillah  'Utba  b.  Rabi'a
didampingi  oleh Syaiba saudaranya dan Walid b. 'Utba anaknya,
sambil menyerukan mengajak duel. Seruannya itu  disambut  oleh
pemuda-pemuda  dari Medinah. Tetapi setelah melihat mereka ini
ia berkata lagi:
 
"Kami  tidak  memerlukan  kamu.  Yang  kami  maksudkan   ialah
golongan kami."
 
Lalu dari mereka ada yang memanggil-manggil:
 
"Hai  Muhammad! Suruh mereka yang berwibawa dari asal golongan
kami itu tampil!"
 
Ketika itu juga yang tampil menghadapi mereka adalah Hamzah b.
Abd'l-Muttalib,  Ali  b.  Abi  Talib dan 'Ubaida bin'l-Harith.
Hamzah tidak lagi memberi kesempatan kepada Syaiba,  juga  Ali
tidak  memberi kesempatan kepada Walid, mereka itu ditewaskan.
Lalu  keduanya  segera  membantu  'Ubaida  yang  kini   sedang
diterkam   oleh   'Utba.   Sesudah  Quraisy  sekarang  melihat
kenyataan ini mereka semua maju menyerbu.
 
Pada  pagi  Jum'at  17  Ramadan  itulah  kedua   pasukan   itu
berhadap-hadapan muka.
 
Sekarang  Muhammad  sendiri  yang  tampil  memimpin  Muslimin,
mengatur barisan. Tetapi  ketika  dilihatnya  pasukan  Quraisy
begitu  besar,  sedang  anak buahnya sedikit sekali, disamping
perlengkapan yang sangat lemah dibanding  dengan  perlengkapan
Quraisy,  ia  kembali  ke  pondoknya  ditemani  oleh Abu Bakr.
Sungguh cemas ia akan peristiwa yang akan  terjadi  hari  itu,
sungguh  pilu  hatinya  melihat  nasib yang akan menimpa Islam
sekiranya Muslimin tidak sampai mendapat kemenangan.
 
Muhammad kini menghadapkan wajahnya ke kiblat, dengan  seluruh
jiwanya  ia menghadapkan diri kepada Tuhan, ia mengimbau Tuhan
akan  segala  apa  yang   telah   dijanjikan   kepadanya,   ia
membisikkan  permohonan  dalam  hatinya  agar Tuhan memberikan
pertolongan.  Begitu  dalam  ia  hanyut   dalam   doa,   dalam
permohonan, sambil berkata:
 
"Allahumma ya Allah. Ini Quraisy sekarang datang dengan segala
kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan RasulMu. Ya Allah,
pertolonganMu  juga  yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika
pasukan ini sekarang binasa tidak lagi ada ibadat kepadaMu."
 
Sementara ia masih  hanyut  dalam  doa  kepada  Tuhan  sambil
merentangkan  tangan menghadap kiblat itu, mantelnya terjatuh.
Ketika itu Abu Bakr lalu  meletakkan  mantel  itu  kembali  ke
bahunya, sambil ia bermohon:
 
"Rasulullah,  dengan doamu itu Tuhan akan mengabulkan apa yang
telah dijanjikan kepadamu."
 
Tetapi sungguhpun begitu, Muhammad makin dalam  terbawa  dalam
doa,  dalam  tawajuh  kepada  Allah;  dengan penuh khusyu' dan
kesungguhan hati ia terus memanjatkan doa, memohonkan  isyarat
dan  pertolongan  Tuhan  dalam menghadapi peristiwa, yang oleh
kaum Muslimin sama sekali  tidak  diharapkan,  dan  untuk  itu
tidak pula mereka punya persiapan. Karena yang demikian inilah
akhirnya ia sampai terangguk dalam  keadaan  mengantuk.  Dalam
pada  itu  tampak  olehnya pertolongan Tuhan itu ada. Ia sadar
kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira.
 
Sekarang ia keluar menemui  sahabat-sahabatnya;  dikerahkannya
mereka sambil berkata:
 
"Demi  Dia  Yang  memegang  hidup Muhammad.9 Setiap orang yang
sekarang bertempur dengan tabah, bertahan  mati-matian,  terus
maju  dan  pantang  mundur,  lalu  ia  tewas,  maka Allah akan
menempatkannya di dalam surga."
 
Jiwanya yang begitu kuat, yang telah  diberikan  Tuhan  begitu
tinggi  melampaui  segala kekuatan, telah tertanam pula dengan
ajarannya ke dalam  jiwa  orang-orang  beriman.  Dan  kekuatan
mereka  itu  sudah melampaui semangat mereka sendiri, sehingga
setiap orang dari mereka sama dengan dua  orang,  bahkan  sama
dengan sepuluh orang.
 
Akan lebih mudah orang memahami ini bila diingat arti kekuatan
moril yang begitu besar pengaruhnya dalam jiwa seseorang,  dan
ini  akan  bertambah  besar pengaruhnya apabila kekuatan moril
ini  ada  pula  dasarnya.  Semangat  nasionalisma  juga  dapat
menambah  ini.  Seorang prajurit yang mempertahankan tanah air
yang  terancam   bahaya,   jiwanya   penuh   dengan   semangat
patriotisma,  akan  bertambah  kekuatan morilnya sesuai dengan
besar cintanya  kepada  tanah  air  serta  kekuatirannya  akan
bahaya yang mengancam tanah air itu dari pihak musuh.
 
Oleh  karena  itu  semangat  patriotisma dan pengorbanan untuk
tanah air oleh bangsa-bangsa di dunia telah ditanamkan  kepada
warga  negaranya sejak semasa mereka kecil. Adanya kepercayaan
kepada  kebenaran,  kepada  keadilan,  kebebasan  serta   arti
kemanusiaan  yang  tinggi  menambah  pula kekuatan moril dalam
jiwa orang. Ini berarti melipat-gandakan kekuatan materi.  Dan
orang yang masih ingat akan propaganda anti-Jerman yang begitu
luas disebarkan pihak Sekutu dalam Perang Dunia I,  yang  pada
dasarnya  mereka berperang melawan kekuatan senjata Jerman itu
karena  hendak   membela   kebebasan   dan   kebenaran   serta
mempersiapkan  suatu  perjanjian  perdamaian,  akan  menyadari
betapa  sesungguhnya  propaganda  itu  dapat  melipat-gandakan
kekuatan   semangat   prajurit-prajurit   Sekutu   di  samping
menimbulkan simpati sebagian besar bangsa-bangsa di dunia.
 
Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian,  dibandingkan
dengan  tujuan  yang diserukan Muhammad itu! Tujuan komunikasi
manusia dengan  seluruh  wujud,  suatu  komunikasi  yang  akan
meleburkannya  dan  keluar  menjadi  salah  satu kekuatan alam
semesta, yang akan  memberi  arah  kepadanya  menuju  kebaikan
hidup, kenikmatan dan kesempurnaan yang integral.
 
Ya!  Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian disamping
kewajibannya disisi Tuhan, membela  orang-orang  yang  beriman
dari  renggutan  mereka yang hendak membuat fitnah dan godaan,
dari mereka  yang  mengalangi  jalan  kebenaran,  mereka  yang
hendak  menjerumuskan  umat  manusia  ke  jurang paganisma dan
syirik. Apabila dengan rasa cinta tanah  air  jiwa  itu  makin
kuat,  sesuai  dengan  semua  kekuatan tanah air yang ada, dan
dengan rasa cinta perdamaian untuk seluruh umat  manusia  jiwa
itupun  makin  kuat, sesuai dengan kekuatan semua umat manusia
yang ada, maka  betapa  pula  dahsyatnya  kekuatan  jiwa  yang
dibawa  oleh  adanya  iman  kepada  semesta wujud dan Pencipta
seluruh wujud  ini!  Iman  itulah  yang  akan  membuat  tenaga
manusia  mampu  memindahkan gunung, menggerakkan isi dunia. Ia
dapat mengawasi - dengan  kemampuan  morilnya  -  segala  yang
masih  berada di bawah taraf itu. Dan kemampuan moril ini akan
berlipat ganda pula kekuatannya.
 
Apabila  secara  integral  kemampuan  moril  ini  belum   lagi
mencapai  tujuannya  disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat
di kalangan Muslimin sebelum terjadi perang, belum  dicapainya
kekuatan  materi sebagaimana yang diharapkan, maka dengan daya
iman itu justru ia mempunyai kelebihannya. Hal  ini  bertambah
kuat   lagi  tatkala  Muhammad  dan  sahabat-sahabatnya  dapat
mengerahkan mereka. Maka dengan demikian, jumlah  manusia  dan
perlengkapan   yang   sangat   sedikit   itu  telah  rnendapat
kompensasi. Dalam keadaan  Nabi  dan  sahabat-sahabatnya  yang
demikian inilah kedua ayat ini turun:
 
"O  Nabi!  Bangunkanlah semangat orang-orang beriman itu dalam
menghadapi perang. Bila kamu  berjumlah  duapuluh  orang  yang
tabah,  mereka  ini akan mengalahkan duaratus orang. Bila kamu
berjumlah seratus orang, niscaya akan mengalahkan seribu orang
kafir;  sebab  mereka  adalah orang-orang yang tidak mengerti.
Sekarang Tuhan meringankan kamu, karena Ia  mengetahui,  bahwa
pada  kamu  masih  ada  kelemahan.  Maka,  jika kamu berjumlah
seratus orang yang  tabah,  akan  dapat  mengalahkan  duaratus
orang,  dan  jika  kamu  seribu  orang, akan dapat mengalahkan
duaribu dengan ijin Allah. Dan Allah bersama orang-orang  yang
berhati tabah." (Qur'an, 8:55-56.)
 
Keadaan  Muslimin  ternyata  bertambah  kuat  setelah Muhammad
membangkitkan semangat mereka, turut  hadir  di  tengah-tengah
mereka, mendorong mereka mengadakan perlawanan terhadap musuh.
Ia menyerukan kepada mereka,  bahwa  surga  bagi  mereka  yang
telah  teruji baik dan langsung terjun ke tengah-tengah musuh.
Dalam hal ini  kaum  Muslimin  mengarahkan  perhatiannya  pada
pemuka-pemuka  dan  pemimpin-pemimpin  Quraisy.  Mereka hendak
dikikis habis sebagai balasan  yang  seimbang  tatkala  mereka
disiksa  di  Mekah  dulu,  dirintangi memasuki Mesjid Suci dan
berjuang untuk Allah.  Bilal  melihat  Umayya  b.  Khalaf  dan
anaknya,  begitu juga beberapa orang Islam melihat mereka yang
dikenalnya di Mekah dulu. Umayya ini adalah orang yang  pernah
menyiksa  Bilal  dulu,  ketika  ia  dibawanya  ketengah-tengah
padang pasir yang paling panas di Mekah. Ditelentangkannya  ia
di  tempat  itu  lalu  ditindihkannya  batu  besar di dadanya,
dengan maksud supaya ia meninggalkan Islam. Tetapi Bilal hanya
berkata: "Ahad, Ahad.10 Yang Satu, Yang Satu."
 
Ketika dilihatnya Umayya, Bilal berkata:
 
"Umayya, moyang kafir. Takkan selamat aku, kalau kau lolos!"
 
Beberapa  orang  dari  kalangan  Muslimin  mengelilingi Umayya
dengan tujuan jangan sampai ia  terbunuh  dan  akan  dibawanya
sebagai tawanan.
 
Tetapi  Bilal  di  tengah-tengah  orang  banyak  itu berteriak
sekeras-kerasnya:
 
"Sekalian tentara Tuhan! Ini Umayya b.  Khalaf  kepala  kafir.
Takkan selamat aku kalau ia lolos."
 
Orang banyak berkumpul. Tetapi Bilal tak dapat diredakan lagi,
dan Umayya dibunuhnya. Ketika itu Mu'adh b. 'Amr b. Jamuh juga
dapat  menewaskan Abu Jahl b. Hisyam. Kemudian Hamzah, Ali dan
pahlawan-pahlawan Islam yang lain  menyerbu  ke  tengah-tengah
pertempuran   sengit  itu.  Mereka  sudah  lupa  akan  dirinya
masing-masing dan lupa pula akan  jumlah  kawan-kawannya  yang
hanya sedikit berhadapan dengan musuh yang begitu besar.
 
Debu dan pasir halus membubung dan beterbangan memenuhi udara.
Kepala-kepala ketika itu sudah  lepas  berjatuhan  dari  tubuh
Quraisy.  Berkat  iman  yang  teguh keadaan Muslimin bertambah
kuat juga. Dengan  gembira  mereka  berseru:  Ahad,  Ahad.  Di
hadapan  mereka  kini  terbuka  tabir ruang dan waktu, sebagai
bantuan  Tuhan  kepada  mereka  dengan  para   malaikat   yang
memberikan  berita gembira, yang membuat iman mereka bertambah
teguh, sehingga bila  salah  seorang  dari  mereka  mengangkat
pedang  dan  mengayunkannya ke leher musuh, seolah-olah tangan
mereka digerakkan dengan tenaga Tuhan.
 
Di  tengah-tengah  medan   pertempuran   yang   sedang   sibuk
dikunjungi  malaikat  maut  memunguti  leher orang-orang kafir
itu,   Muhammad   berdiri.   Diambilnya    segenggam    pasir,
dihadapkannya  kepada  Quraisy.  "Celakalah wajah-wajah mereka
itu!" katanya  sambil  menaburkan  pasir  itu  kearah  mereka.
Sahabat-sahabatnya lalu diberi komando:
 
"Serbu!"
BAGIAN KETIGABELAS: PERANG BADR1                         (3/4)
Muhammad Husain Haekal
 
Serentak  pihak  Muslimin menyerbu kedepan, masih dalam jumlah
yang lebih kecil dari jumlah Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah
penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Sudah bukan mereka lagi
yang membunuh musuh, sudah  bukan  mereka  lagi  yang  menawan
tawanan  perang.  Hanya karena adanya semangat dari Tuhan yang
tertanam  dalam  jiwa  mereka  itu   kekuatan   moril   mereka
bertambah,  sehingga kekuatan materi merekapun bertambah pula.
Dalam hal ini firman Allah turun:
 
"Ingat, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para  malaikat:  'Aku
bersama  kamu.' Teguhkanlah pendirian orang-orang beriman itu.
Akan kutanamkan rasa gentar ke dalam  hati  orang-orang  kafir
itu.  Pukullah  bagian atas leher mereka dan pukul pula setiap
ujung jari mereka." (Qur'an, 8: 12)
 
"Sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka,  melainkan  Allah
juga  yang  telah  membunuh mereka. Juga ketika kau lemparkan,
sebenarnya bukan engkau yang melakukan  itu,  melainkan  Tuhan
juga." (Qur'an, 8: 17)
 
Tatkala  Rasul melihat bahwa Tuhan telah melaksanakan janjiNya
dan  setelah  ternyata  pula  kemenangan   berada   di   pihak
orang-orang   Islam,  ia  kembali  ke  pondoknya.  Orang-orang
Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar terus. Yang  tidak
terbunuh dan tak berhasil melarikan diri, ditawan.
 
Inilah perang Badr, yang kemudian telah memberikan tempat yang
stabil kepada umat Islam  di  seluruh  tanah  Arab,  dan  yang
merupakan   suatu   pendahuluan   lahirnya  persatuan  seluruh
semenanjung  di  bawah  naungan  Islam,  juga  sebagai   suatu
pendahuluan  adanya persekemakmuran Islam yang terbentang luas
sekali. Ia telah menanamkan sebuah peradaban besar  di  dunia,
yang  sampai  sekarang masih dan akan terus mempunyai pengaruh
yang dalam di dalam jantung kehidupan dunia.
 
Bukan tidak  mungkin  orang  akan  merasa  kagum  sekali  bila
mengetahui,  bahwa, meskipun Muhammad sudah begitu mengerahkan
sahabat-sahabatnya dan mengharapkan  terkikisnya  musuh  Tuhan
dan musuhnya itu, namun sejak semula terjadinya pertempuran ia
sudah minta kepada Muslimin untuk tidak membunuh  Banu  Hasyim
dan   tidak   membunuh   orang-orang  tertentu  dari  kalangan
pembesar-pembesar Quraisy, sekalipun pada dasarnya mereka akan
membunuh  setiap  orang  dari  pihak  Islam  yang dapat mereka
bunuh. Dan jangan pula orang mengira, bahwa ia berbuat  begitu
karena  ia  mau membela keluarganya atau siapa saja yang punya
pertalian keluarga dengan dia. Jiwa Muhammad jauh lebih  besar
daripada  akan  terpengaruh  oleh hal-hal serupa itu. Apa yang
menjadi pertimbangannya ialah, ia masih ingat Banu Hasyim dulu
yang telah berusaha melindunginya selama tigabelas tahun sejak
mula masa kerasulannya hingga  masa  hijrahnya,  sampai-sampai
Abbas  pamannya  ikut  menyertainya  pada malam diadakan ikrar
'Aqaba. Juga jasa orang lain  yang  masih  kafir  di  kalangan
Quraisy di luar Banu Hasyim yang menuntut dibatalkannya piagam
pemboikotan, yang  oleh  Quraisy  dia  dan  sahabat-sahabatnya
dipaksa  tinggal di celah-celah gunung, setelah semua hubungan
oleh  mereka  itu  diputuskan.  Segala  kebaikan  yang   telah
diberikan  oleh  mereka  masing-masing  oleh Muhammad dianggap
sebagai suatu jasa yang harus mendapat balasan setimpal, harus
mendapat  balasan  sepuluh  kali  lipat.  Oleh karena itu oleh
Muslimin   ia   dianggap   sebagai   perantara   bagi   mereka
masing-masing selama terjadi pertempuran, meskipun di kalangan
Quraisy sendiri masih ada yang menolak  pemberian  pengampunan
itu seperti yang dilakukan oleh Abu'l-Bakhtari - salah seorang
yang ikut  melaksanakan  dicabutnya  piagam.  Ia  menolak  dan
terbunuh.
 
Dengan perasaan dongkol penduduk Mekah lari tunggang langgang.
Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata  mereka
tertumbuk  pada  salah  seorang  kawan  sendiri,  karena  rasa
malunya ia segera membuang muka, mengingat  nasib  buruk  yang
telah menimpa mereka semua.
 
Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di Badr. Kemudian
mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan setelah dibuatkan
sebuah  perigi  besar  mereka  semua dikuburkan. Malam harinya
Muhammad  dan  sahabat-sahabatnya   sibuk   di   garis   depan
menyelesaikan barang-barang rampasan perang serta berjaga-jaga
terhadap  orang-orang  tawanan.  Tatkala  malam  sudah   gelap
Muhammad  mulai  merenungkan  pertolongan yang diberikan Tuhan
kepada Muslimin yang dengan jumlah  yang  begitu  kecil  telah
dapat  menghancurkan kaum musyrik yang tidak mempunyai perisai
kekuatan iman selain membanggakan jumlah besarnya saja.  Dalam
ia   merenungkan   hal   ini,   pada  waktu  larut  malam  itu
sahabat-sahabatnya mendengar ia berkata:
 
"Wahai penghuni perigi!  Wahai  'Utba  b.  Rabi'a!  Syaiba  b.
Rabi'a!  Umayya  b.  Khalaf!  Wahai Abu Jahl b. Hisyam! ..." -
Seterusnya ia menyebutkan nama orang-orang yang  dalam  perigi
itu  satu satu. "Wahai penghuni perigi! Adakah yang dijanjikan
tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu dengan apa yang
telah dijanjikan Tuhanku."
 
"Rasulullah,  kenapa  bicara  dengan  orang-orang  yang  sudah
bangar?" kata kaum Muslimim kemudian bertanya.
 
"Apa yang saya katakan mereka lebih mendengar daripada  kamu,"
jawab Rasul. "Tetapi mereka tidak dapat menjawab."
 
Ketika  itu Rasulullah melihat ke dalam wajah Abu Hudhaifa ibn
'Utba. Ia tampak sedih dan mukanya berubah.
 
"Barangkali ada sesuatu  dalam  hatimu  mengenai  ayahmu,  Abu
Hudhaifa"? tanyanya.
 
"Sekali-kali  tidak, Rasulullah," jawab Abu Hudhaifa. "Tentang
ayah, saya tidak sangsi lagi, juga tentang kematiannya.  Hanya
saja yang saya ketahui pikirannya baik, bijaksana dan berjasa.
Jadi saya harapkan sekali ia akan  mendapat  petunjuk  menjadi
seorang Islam. Tetapi sesudah saya lihat apa yang teriadi, dan
teringat pula hidupnya dulu  dalam  kekafiran,  sesudah  makin
jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat saya
sedih."
 
Tetapi Rasulullah menyebutkan  yang  baik  tentang  dia  serta
mendoakan kebaikan baginya.
 
Keesokan harinya pagi-pagi, bila Muslimin sudah siap-siap akan
berangkat pulang menuju Medinah,  mulailah  timbul  pertanyaan
sekitar  masalah  harta  rampasan, buat siapa seharusnya. Kata
mereka yang melakukan  serangan:  kami  yang  mengumpulkannya;
jadi  itu buat kami. Lalu kata yang mengejar musuh sampai pada
waktu mereka mengalami kehancuran  kalau  tidak  karena  kami,
kamu  tidak akan mendapatkannya. Dan kata mereka yang mengawal
Muhammad karena kuatir akan diserang musuh dari belakang: kamu
sekalian  tak ada yang lebih berhak dari kami. Sebenarnya kami
dapat memerangi musuh dan mengambil harta mereka,  ketika  tak
ada  suatu  pihakpun  yang akan melindungi mereka. Tetapi kami
kuatir adanya serangan musuh kepada  Rasulullah.  Oleh  karena
itu kami lalu menjaganya.
 
Tetapi  kemudian  Muhammad  menyuruh mengembalikan semua harta
rampasan yang ada ditangan mereka itu, dan  dimintanya  supaya
dibawa  agar  ia  dapat  memberikan  pendapat  atau  akan  ada
ketentuan Tuhan yang akan menjadi keputusan.
 
Muhammad mengutus Abdullah b. Rawaha dan Zaid  b.  Haritha  ke
Medinah  guna  menyampaikan  berita  gembira  kepada  penduduk
tentang kemenangan yang telah dicapai  kaum  Muslimin.  Sedang
dia  sendiri  dengan  sahabat-sahabatnya berangkat pula menuju
Medinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang  telah
diperolehnya  dari  kaum  musyrik,  dan diserahkan pimpinannya
kepada Abdullah b. Ka'b.
 
Mereka berangkat. Sesudah  menyeberangi  selat  Shafra',  pada
sebuah  bukit  pasir Muhammad berhenti. Di tempat ini rampasan
perang yang sudah ditentukan Allah bagi  Muslimin  itu  dibagi
rata. Beberapa ahli sejarah mengatakan, bahwa pembagian kepada
mereka itu sesudah dikurangi seperlimanya sesuai dengan firman
Allah:
 
"Dan  hendaklah  kamu ketahui, bahwa rampasan perang yang kamu
peroleh, seperlimanya untuk Tuhan,  untuk  Rasul,  untuk  para
kerabat dan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang
terlantar dalam perjalanan,  kalau  kamu  benar-benar  beriman
kepada Allah dan pada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami
pada hari yang menentukan itu, hari, ketika dua  golongan  itu
saling  berhadapan. Dan atas segala sesuatu Allah Maha Kuasa."
(Qur'an, 8: 41)
 
Sebahagian besar  penulis-penulis  sejarah  Nabi  berpendapat,
terutama  angkatan lamanya - bahwa ayat tersebut turun sesudah
peristiwa Badr dan sesudah rampasan perang dibagi,  dan  bahwa
Muhammad  membaginya  secara  merata di kalangan Muslimin, dan
bahwa  untuk  kuda  disamakannya  dengan  apa  yang  ada  pada
penunggangnya,  bagian  mereka  yang  gugur  di Badr diberikan
kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di Medinah dan tidak
ikut  ke Badr karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan
mereka yang dikerahkan berangkat ke Badr  tapi  tertinggal  di
belakang karena sesuatu alasan yang dapat diterima oleh Rasul,
juga mendapat bagian.  Dengan  demikian  rampasan  perang  itu
dibagi  secara  adil.  Yang  ikut  bersama  dalam  perang  dan
mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan
yang  ikut  bersama-sama  dalam perang dan mendapat kemenangan
itu ialah siapa saja yang ikut bekerja kearah itu,  baik  yang
di garis depan atau yang jauh dari sana.
 
Sementara  kaum  Muslimin dalam perjalanan ke Medinah itu, dua
orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama Nadzr
bin'l-Harith  dan  yang  seorang  lagi  bernama  'Uqba  b. Abi
Mu'ait.   Sampai   pada   waktu   itu   baik   Muhammad   atau
sahabat-sahabatnya belum lagi membuat suatu peraturan tertentu
dalam menghadapi  para  tawanan  itu  yang  akan  mengharuskan
mereka dibunuh, ditebus atau dijadikan budak. Tetapi Nadzr dan
'Uqba ini keduanya  merupakan  bahaya  yang  selalu  mengancam
Muslimin  selama  di  Mekah  dulu. Setiap ada kesempatan kedua
orang ini selalu mengganggu mereka.
 
Terbunuhnya Nadzr ini ialah tatkala mereka  sampai  di  Uthail
para  tawanan  itu  diperlihatkan  kepada Nabi a.s. Ditatapnya
Nadzr ini dengan pandangan mata yang demikian  rupa,  sehingga
tawanan  ini  gemetar  seraya  berkata  kepada  seseorang yang
berada di sampingnya:
 
"Muhammad pasti akan membunuh  aku,"  katanya.  "Ia  menatapku
dengan pandangan mata yang mengandung maut."
 
"Ini  hanya karena kau merasa takut saja," jawab orang yang di
sebelahnya.
 
Sekarang Nadzr berkata kepada Mushiab b. 'Umair -  orang  yang
paling banyak punya rasa belas-kasihan di tempat itu.
 
"Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai salah
seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia  akan
membunuh aku."
 
"Tetapi   dulu   kau  mengatakan  begini  dan  begitu  tentang
Kitabullah dan tentang diri Nabi,"  kata  Mushiab.  "Dulu  kau
menyiksa sahabat-sahabatnya."
 
"Sekiranya  engkau  yang  ditawan  oleh  Quraisy,  kau  takkan
dibunuh selama aku masih hidup," kata Nadzr lagi.
 
"Engkau tak dapat dipercaya,"  kata  Mush'ab.  "Dan  lagi  aku
tidak seperti engkau. Janji Islam dengan kau sudah terputus."
 
Sebenarnya  Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang dalam hal ini ia
ingin memperoleh tebusan yang  cukup  besar  dan  keluarganya.
Mendengar  percakapan  tentang  akan  dibunuhnya itu ia segera
berkata:
 
"Nadzr tawananku," teriaknya.
 
"Pukul lehernya," kata Nabi  a.s.  "Ya  Allah.  Semoga  Miqdad
mendapat karuniaMu."
 
Dengan  pukulan  pedang  kemudian  ia  dibunuh oleh Ali b. Abi
Talib.
 
Pada   waktu   mereka   dalam   perjalanan   ke   'Irq'z-Zubya
diperintahkan  oleh  Nabi  supaya  'Uqba  b.  Abi  Mu'ait juga
dibunuh.
 
"Muhammad," katanya, "siapa yang akan mengurus anak-anak?"
 
"Api," jawabnya.
 
Lalu iapun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib atau oleh  'Ashim  b.
Thabit, sumbernya berlain-lain.
 
Sehari  sebelum  Nabi  dan  Muslimin  sampai  di Medinah kedua
utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b. Rawaha  sudah  lebih
dulu  sampai.  Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan
yang berlain-lainan. Dan  atas  unta  yang  dikendarainya  itu
Abdullah  mengumumkan  dan  memberikan  kabar  gembira  kepada
Anshar  tentang  kemenangan  Rasulullah  dan  sahabat-sahabat,
sambil   menyebutkan   siapa-siapa   dan  pihak  musyrik  yang
terbunuh. Begitu juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang  sama
sambil  ia  menunggang  Al-Qashwa',  unta kendaraan Nabi. Kaum
Muslimin bergembira ria. Mereka  berkumpul,  dan  mereka  yang
masih   berada   dalam  rumah  pun  keluar  beramai-ramai  dan
berangkat menyambut berita kemenangan besar ini.
 
Sebaliknya orang-orang musyrik dan orang-orang  Yahudi  merasa
terpukul  sekali  dengan  berita  itu.  Mereka  berusaha  akan
meyakinkan diri  mereka  sendiri  dan  meyakinkan  orang-orang
Islam yang tinggal di Medinah, bahwa berita itu tidak benar.
 
"Muhammad    sudah    terbunuh    dan   teman-temannya   sudah
ditaklukkan,"  tenak  mereka.  "Ini  untanya   seperti   sudah
sama-sama  kita kenal. Kalau dia yang menang, niscaya unta ini
masih di sana. Apa yang dikatakan  Zaid  hanya  mengigau  saja
dia, karena sudah gugup dan ketakutan."
 
Tetapi  pihak  Muslimin  setelah mendapat kepastian benar dari
kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran  berita  itu,
sebenarnya  mereka  malah  makin  gembira,  kalau  tidak  lalu
terjadi suatu penstiwa yang mengurangi rasa kegembiraan mereka
itu,  yakni  penstiwa  kematian  Ruqayya  puteri Nabi. Tatkala
ditinggalkan  pergi  ke  Badr  ia  dalam  keadaan  sakit,  dan
suaminya,   Usman   b.   'Affan,   juga   ditinggalkan  supaya
merawatnya.
 
Apabila kemudian temyata bahwa Muhammad  yang  menang,  mereka
merasa  sangat  terkejut. Posisi mereka terhadap Muslimin jadi
lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai ada salah  seorang
pembesar Yahudi yang mengatakan:
 
"Bari  kita  sekarang  lebih  baik  berkalang  tanah  daripada
tinggal   di   atas   bumi   ini   sesudah   kaum   bangsawan,
pemimpinpemimpin  dan  pemuka-pemuka Arab serta penduduk tanah
suci itu mendapat bencana."
 
Kaum Muslimin memasuki Medinah sehari sebelum  tawanan-tawanan
perang  sampai.  Setelah  mereka  dibawa  dan  Sauda bt. Zam'a
isteri Nabi  baru  saja  pulang  melawati11  orang  mati  pada
kabilah  Banu  'Afra',  tempat  asalnya,  dilihatnya Abu Yazid
Suhail b.  'Amr,  salah  seorang  tawanan,  yang  kedua  belah
tangannya  diikat dengan tali ke tengkuk, ia tak dapat menahan
diri. Dihampirinya orang itu seraya katanya:
 
"Oh Abu Yazid! Kamu sudah menyerahkan diri.  Lebih  baik  mati
sajalah dengan terhormat!."
 
"Sauda!"   Muhammad   memanggilnya   dan   dalam  rumah.  "Kau
membangkitkan semangatnya melawan Allah dan RasulNya!"
 
"Rasulullah,"  katanya.  "Demi  Allah  Yang  telah  mengutusmu
dengan  segala  kebenaran.  Saya  sudah tak dapat menahan diri
ketika melihat Abu Yazid dengan tangannya terikat  di  tengkuk
sehingga saya berkata begitu."
 
Sesudah  itu  kemudian  Muhammad memisah-misahkan para tawanan
itu  di  antara  sahabat-sahabatnya,  sambil  berkata   kepada
mereka:
 
"Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya."
 
Hal  ini  kemudian  menjadi  pikiran  baginya,  apa yang harus
dilakukannya terhadap mereka  itu.  Dibunuh  saja  atau  harus
meminta tebusan dari mereka? Mereka itu orang-orang yang keras
dalam perang, orang yang kuat  bertempur.  Hati  mereka  penuh
rasa  dengki dan dendam setelah mereka mengalami kehancuran di
Badr, serta  akibatnya  yang  telah  membawa  keaiban  sebagai
tawanan  perang.  Apabila ia mau menerima tebusan, ini berarti
mereka akan berkomplot dan  akan  kembali  memeranginya  lagi;
kalau  dibunuh saja mereka itu, akan menimbulkan sesuatu dalam
hati  keluarga-keluarga  Quraisy,  yang  bila  dapat   ditebus
barangkali akan jadi tenang.
 
Ia  menyerahkan  masalah  ini  ketangan  sahabat-sahabat  kaum
Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan  terserah
kepada    mereka.    Kalangan    Muslimin    sendiri   melihat
tawanan-tawanan  ini  ternyata  masih  ingin  hidup  dan  akan
bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.
 
"Lebih baik kita mengirim orang kepada Abu Bakr," kata mereka.
"Dari kerabat kita ia orang Quraisy  yang  pertama,  dan  yang
paling  lembut dan banyak punya rasa belas-kasihan. Kita tidak
melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia."
 
Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.
 
"Abu Bakr," kata mereka. "Di antara kita ada yang masih pernah
ayah,  saudara,  paman  atau  mamak  kita serta saudara sepupu
kita.  Orang  yang  jauh  dari  kitapun  masih  kerabat  kita.
Bicarakanlah  dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati kepada
kami atau menerima penebusan kami."
 
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha.  Tetapi  mereka
kuatir  Umar ibn'l-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini.
Maka mereka mengutus beberapa  orang  lagi  kepadanya,  dengan
menyatakan seperti yang dikatakan kepada Abu Bakr. Tetapi Umar
menatap mereka penuh  curiga.  Kemudian  kedua  sahabat  besar
Muhammad   ini   berangkat   menemuinya.   Abu  Bakr  berusaha
melunakkan dan meredakan kemarahannya.
 
"Rasulullah," katanya. "Demi ayah dan ibuku. Mereka itu  masih
keluarga  kita; ada ayah, ada anak atau paman, ada sepupu atau
saudara-saudara. Orang yang jauh dari  kitapun  masih  kerabat
kita.  Bermurah  hatilah  kita kepada mereka itu. Semoga Tuhan
memberi kemurahan kepada kita.  Atau  kita  terimalah  tebusan
dari  mereka,  semoga Tuhan akan menyelamatkan mereka dari api
neraka. Maka apa yang kita ambil dari mereka  akan  memperkuat
kaum  Muslimin  juga.  Semoga  Allah  kelak  membalikkan  hati
mereka."
 
Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri  dan  pergi
menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di sebelahnya.
 
"Rasulullah,"   katanya.   "Mereka   itu   musuh-musuh  Tuhan.
Mendustakan tuan, memerangi tuan dan  mengusir  tuan.  Penggal
sajalah leher mereka. Mereka inilah kepala-kepala orang kafir,
pemuka-pemuka orang yang sesat. Orang-orang musyrik itu adalah
orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan."
 
Juga Muhammad tidak menjawab.
 
Sekarang  Abu  Bakr  kembali ke tempat duduknya semula. Begitu
lemah-lembut ia bersikap sambil mengharapkan sikap yang  lebih
lunak.  Disebutnya  adanya  pertalian  famili dan kerabat, dan
kalau  para  tawanan  itu  masih  hidup,  diharapkannya   akan
mendapat  petunjuk  Tuhan.  Sedang Umar kembali memperlihatkan
sikapnya  yang  adil  dan  keras.  Baginya  lemah-lembut  atau
kasihan tidak ada.
 
Selesai Abu Bakr dan Umar bicara, Muhammad berdiri. Ia kembali
ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian  ia  kembali
keluar.  Orang  ramai  segera  melibatkan diri dalam persoalan
ini. Satu pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang lain memihak
kepada  Umar.  Nabi  mengajak mereka berunding, apa yang harus
dilakukannya. Lalu dibuatnya  suatu  perumpamaan  tentang  Abu
Bakr  dan  Umar.  Abu  Bakr  adalah seperti Mikail, diturunkan
Tuhan dengan membawa sifat pemaaf kepada  hambaNya.  Dan  dari
kalangan  nabi-nabi  seperti  Ibrahim.  Ia sangat lemah-lembut
terhadap masyarakatnya. Oleh masyarakatnya sendiri  ia  dibawa
dan  dicampakkan  ke  dalam  api.  Tapi  tidak  lebih ia hanya
berkata:
 
"Cih! Kenapa kamu menyembah  sesuatu  selain  Allah?  Tidakkah
kamu berakal?" (Qur'an, 21: 67)
 
Atau seperti katanya:
 
"Yang ikut aku, dia itulah yang di pihakku. Tapi terhadap yang
membangkang kepadaku, Engkau Maha  Pengampun  dan  Penyayang."
(Qur'an. 14: 36)

BAGIAN KETIGABELAS: PERANG BADR1                         (4/4)
Muhammad Husain Haekal
 
Contohnya  lagi  di  kalangan para nabi seperti Isa tatkala ia
berkata:
 
"Kalaupun mereka Engkau siksa, mereka itu semua  hambaMu;  dan
kalau   Engkau  ampuni,  Engkau  Maha  Kuasa  dan  Bijaksana."
(Qur'an, 5: 118)
 
Sedang  Umar,  dalam  malaikat   contohnya   seperti   Jibril,
diturunkan  membawa  kemurkaan dari Tuhan dan bencana terhadap
musuh-musuhNya. Di lingkungan para nabi ia seperti Nuh tatkala
berkata:
 
"Tuhan,  jangan  biarkan  orang-orang  yang  ingkar  itu punya
tempat-tinggal di muka bumi ini." (Qur'an, 71: 26)
 
Atau seperti Musa bila ia berkata:
 
"O Tuhan! Binasakanlah harta-benda mereka  itu,  dan  tutuplah
hati  mereka.  Mereka  takkan percaya sebelum siksa yang pedih
mereka rasakan." (Qur'an, 10: 88)
 
Kemudian katanya:
 
"Kamu semua mempunyai tanggungan. Jangan ada yang lolos mereka
itu, harus dengan ditebus atau dipenggal lehernya."
 
Lalu  mereka berunding lagi dengan sesamanya. Di antara mereka
itu ada seorang penyair, yaitu Abu 'Azza 'Amr b.  Abdullah  b.
'Umair  al-Jumahi.  Melihat  adanya  pertentangan pendapat itu
cepat-cepat ia mau menyelamatkan diri.
 
"Muhammad," katanya,  "Saya  punya  lima  anak  perempuan  dan
mereka  tidak  punya  apa-apa. Maka sedekahkan sajalah aku ini
kepada mereka. Aku berjanji dan memberikan jaminan, bahwa  aku
tidak akan memerangi kau lagi, juga sama sekali aku tidak akan
memaki-maki kau lagi."
 
Orang ini mendapat jaminan Nabi dan dibebaskan tanpa  membayar
uang  tebusan. Hanya dialah satu-satunya tawanan yang berhasil
mendapat  jaminan  demikian.  Tetapi  kemudian  ia  memungkiri
janjinya,  dan  kembali  ia setahun kemudian ikut berperang di
Uhud. Ia kena tawan lagi lalu terbunuh.
 
Pihak Muslimin, sesudah lama  berunding  akhirnya  memutuskan,
bahwa  mereka  dapat  mengabulkan  cara  penebusan itu. Dengan
dikabulkannya itu ayat ini turun.
 
"Tidak   sepatutnya   seorang   nabi   itu   akan    mempunyai
tawanan-tawanan  perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia.
Kamu menghendaki harta-benda dunia, sedang  Allah  menghendaki
akhirat. Allah Maha Kuasa dan Bijaksana." (Qur'an, 8: 67)
 
Menanggapi  masalah tawanan-tawanan Badr ini serta terbunuhnya
Nadzr dan 'Uqba  ada  beberapa  orang  Orientalis  yang  masih
bertanya-tanya: bukankah dengan demikian ini sudah membuktikan
bahwa agama baru ini sangat  haus  darah?  Kalau  tidak  tentu
kedua  orang itu tidak akan dibunuh. Bukankah sesudah mendapat
kemenangan dalam pertempuran akan lebih  terhormat  bagi  kaum
Muslimin  jika mengembalikan saja para tawanan itu, dan mereka
sudah cukup memperoleh rampasan perang?
 
Maksudnya dengan pertanyaan  ini  ialah  hendak  membangkitkan
rasa  simpati  dalam  hati orang yang selama itu belum menjadi
masalah, supaya seribu tahun kemudian sesudah perang Badr  dan
peperangan-peperangan  yang  terjadi berikutnya akan dijadikan
alat untuk mendiskreditkan agama ini serta pembawany a
 
Tetapi ternyata pertanyaan semacam  ini  kemudian  jadi  gugur
sendiri   apabila   terbunuhnya   Nadzr  dan  'Uqba  ini  kita
bandingkan dengan apa yang terjadi dewasa ini dan akan  selalu
terjadi,  selama  perabadan  Barat, yang memakai jubah Kristen
itu masih tetap  menguasai  dunia.  Terhadap  apa  yang  telah
terjadi  di  negara-negara  yang dikuasai oleh penjajah secara
paksa atas nama hendak memadamkan pemberontakan itu,  dapatkah
peristiwa   di   atas   tadi   -   sedikit  saja  -  dijadikan
perbandingan?  Dapatkah  hal  itu  -  sedikit  saja   -   kita
bandingkan  dengan  penyembelihan  yang  terjadi  dalam Perang
Dunia? Selanjutnya, dapatkah  peristiwa  itu  kita  bandingkan
pula  -  sedikit  saja  - dengan apa yang telah terjadi selama
Revolusi Perancis, dalam pelbagai revolusi yang pernah terjadi
dan akan selalu terjadi pada bangsa-bangsa Eropa lainnya?
 
Memang  sudah  tak  dapat  disangkal  bahwa  apa  yang dialami
Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu adalah suatu revolusi yang
dahsyat  dan  Muhammad  yang  diutus  Tuhan, berhadapan dengan
paganisma dan orang-orang musyrik sebagai penyembahnya.  Suatu
revolusi, yang pada mulanya berkecamuk di Mekah, dan yang oleh
karenanya, berbagai macam siksaan dan penderitaan dialami oleh
Muhammad   dan   sahabat-sahabatnya   selama  tigabelas  tahun
terus-menerus. Kemudian kaum Muslimin pindah  ke  Medinah.  Di
tempat  ini mereka nengumpulkan tenaga dan kekuatan. Sementara
itu benih-benih revolusi masih terus tumbuh dalam hati mereka,
juga dalam hati semua orang Quraisy.
 
Pindahnya   Muslimin  ke  Medinah,  perjanjian  mereka  dengan
orang-orang Yahudi setempat, terjadinya  benterokan-benterokan
sebelum  peristiwa  Badr, lalu Perang Badr itu sendiri - semua
itu adalah suatu siasat revolusi, bukan prinsip. Kebijaksanaan
yang    telah    ditentukan   oleh   pemimpin   revolusi   dan
sahabat-sahabatnya itu akan disusul pula oleh adanya ketentuan
prinsip-prinsip  yang  luhur,  yang  telah  dibawa oleh Rasul.
Jadi, siasat revolusi itu lain  dan  prinsip-prinsip  revolusi
lain  lagi.  Juga  kondisi yang terjadi berikutnya kadang sama
sekali berbeda dari tujuan pokok kondisi itu. Dalam hal  Islam
telah  menjadikan  rasa  persaudaraan  sebagai dasar peradaban
Islam, maka untuk mencapai sukses jalan  itu  harus  ditempuh,
sekalipun untuk itu harus berlaku suatu kekerasan kalau memang
sudah tak dapat dihindarkan lagi.
 
Tindakan kaum Muslimin terhadap  tawanan-tawanan  perang  Badr
adalah   suatu  teladan  yang  baik  dan  penuh  kasih-sayang,
dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam  beberapa  revolusi
yang  oleh  pencetusnya  diagungkan  dengan  arti keadilan dan
kasih-sayang. Dan inipun merupakan satu bagian saja di samping
penyembelihan-penyembelihan  yang  banyak  terjadi  atas  nama
Kristus,  seperti  penyembelihan  Saint   Bartholomew   (Saint
Barthelemy), suatu peristiwa penyembelihan yang dapat dianggap
sebagai suatu aib besar  dalam  sejarah  Kristen,  yang  dalam
sejarah  Islam contoh semacam itu samasekali tidak pernah ada.
Penyembelihan ini diatur pada waktu malam. Orang-orang Katolik
di   Paris   membantai   orang-orang  Protestan  dengan  jalan
tipu-muslihat dan penghkianatan, suatu gambaran  tipu-muslihat
dan penghianatan yang sungguh rendah dan kotor.
 
Jadi  kalau  dua  orang  saja dari lima puluh tawanan Badr itu
yang dibunuh oleh Muslimin, karena mereka  selama  tiga  belas
tahun  memang begitu kejam terhadap kaum Muslimin, yang sampai
menderita pelbagai  macam  siksaan  selama  di  Mekah,  itupun
karena adanya sikap kasihan yang berlebih-lebihan dan dianggap
sebagai suatu keuntungan yang terlalu pagi seperti  disebutkan
dalam ayat:
 
"Tidak    sepatutnya   seorang   nabi   itu   akan   mempunyai
tawanan-tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di  dunia.
Kamu  menghendaki  kekayaan  duniawi, sedang Allah menghendaki
akhirat. Allah Maha Kuasa dan Bijaksana." (Qur'an, 8: 67)
 
Sementara orang-orang Islam sedang  bersukaria  karena  dengan
anugerah   Tuhan  mereka  mendapat  kemenangan  berikut  harta
rampasan, Haisuman b. Abdullah al-Khuza'i secara  tergesa-gesa
sekali  berangkat  pula  menuju  Mekah. Dia menjadi orang yamg
pertama masuk di Mekah dan  memberitahukan  penduduk  mengenai
hancurnya  pasukan  Quraisy  serta  bencana yang telah menimpa
pembesar-pembesar, pemimpin-pemimpin  dan  bangsawan-bangsawan
mereka.   Pada   mulanya  Mekah  terkejut  sekali,  dan  tidak
mempercayai  berita  itu.  Betapa  takkan  terkejut  mendengar
berita  kehancuran itu serta terbunuhnya pemimpin-pemimpin dan
bangsawan-bangsawan mereka! Tetapi tampaknya  Haisuman  memang
tidak  mengigau,  diyakinkannya  sekali apa yang dikatakannya.
Dari pihak Quraisy  dia  sendiri  memang  yang  merasa  paling
terpukul dengan bencana itu.
 
Setelah   ternyata  berita  kejadian  tersebut  memang  benar,
seolah-olah mereka tersungkur jatuh pingsan. Abu  Lahab  jatuh
demam,  dan  tujuh  hari  kemudian  iapun  meninggal. Sekarang
orang-orang mengadakan  perundingan,  apa  yang  harus  mereka
lakukan.  Kemudian dicapai kata sepakat untuk tidak menyatakan
duka-cita  atas  kematian  mereka,  sebab  apabila  nanti  ini
terdengar  oleh  Muhammad  dan sahabat-sahabatnya, mereka akan
diejek. Juga tidak  akan  mengrim  orang  untuk  menebus  para
tawanan    itu,    supaya    jangan    sampai   Muhammad   dan
sahabat-sahabatnya  nanti  memperketat  mereka   dan   meminta
tebusan yang terlampau tinggi.
 
Haripun berjalan juga. Orang-orang Quraisy sedang menahan hati
mengalami cobaan itu sambil menunggu kesempatan  sampai  dapat
tawanan-tawanan mereka itu nanti tertebus.
 
Hari  itu  yang  datang  adalah Mikraz b. Hafz, hendak menebus
Suhail b. 'Amr. Rupanya  Umar  bin'l-Khattab  keberatan  kalau
orang  itu bebas tanpa mendapat sesuatu gangguan. Maka lalu ia
berkata:
 
"Rasulullah. Ijinkan saya mencabut dua  gigi  seri  Suhail  b.
'Amr  ini,  supaya  lidahnya  menjulur  keluar  dan tidak lagi
berpidato mencercamu di mana-mana."
 
Tapi ini dijawab oleh Nabi dengan suatu jawaban  yang  sungguh
agung:
 
"Aku  tidak  akan  memperlakukannya secara kasar, supaya Tuhan
tidak memperlakukan aku demikian, sekalipun aku seorang nabi."
 
Zainab  puteri  Nabi  juga  lalu  mengirimkan  tebusan  hendak
membebaskan  suaminya,  Abu'l-'Ash  b.  Rabi'.  Diantara  yang
dipakai penebus itu ialah sebentuk kalung  pemberian  Khadijah
ketika dulu ia akan dikawinkan dengan Abu'l-'Ash.
 
Melihat kalung itu, Nabi merasa sangat terharu sekali
 
"Kalau   tuan-tuan   hendak  melepaskan  seorang  tawanan  dan
mengembalikan  barang  tebusannya  kepada  sipemilik,  silakan
saja," kata Nabi.
 
Kemudian  ia  mendapat  kata  sepakat  dengan Abu'l-'Ash untuk
menceraikan Zainab, yang  menurut  hukum  Islam  mereka  sudah
bercerai. Dalam pada itu Muhammad mengutus Zaid b. Haritha dan
seorang sahabat lagi guna menjemput Zainab dan  membawanya  ke
Medinah.
 
Akan  tetapi sesudah sekian lama Abu'l-'Ash dibebaskan sebagai
tawanan, ia berangkat ke Syam membawa barang dagangan Quraisy.
Sesampainya   di  dekat  Medinah,  ia  bertemu  dengan  satuan
Muslimin. Barang-barang bawaannya mereka ambil. Ia  meneruskan
perjalanan  dalam  gelap malam itu hingga ke tempat Zainab. Ia
minta perlindungan dari  Zainab  dan  Zainabpun  melindunginya
pula.  Ketika  itu barang-barang dagangannya dikembalikan oleh
Muslimin kepadanya  dan  dengan  aman  ia  kembali  ke  Mekah.
Setelah  barang-barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya
masing-masing dari kalangan Quraisy, ia berkata:
 
"Masyarakat  Quraisy!  masih  adakah  dari  kamu  yang   belum
mengambil barangnya?"
 
"Tidak  ada,"  jawab  mereka.  "Mudah-mudahan  Tuhan  membalas
kebaikanmu. Engkau ternyata orang yang jujur dan murah hati."
 
"Saya naik saksi," katanya lagi kemudian, "bahwa tak ada tuhan
selain  Allah  dan  bahwa  Muhammad adalah hamba dan RasulNya.
Sebenarnya saya dapat saja masuk Islam di  kotanya  itu,  tapi
saya  kuatir  tuan-tuan  akan  menduga, bahwa saya hanya ingin
makan harta tuan-tuan ini. Setelah semua ini  saya  kembalikan
kepada  tuan-tuan  dan  tugas saya selesai, maka sekarang saya
masuk Islam."
 
Kemudian  ia  kembali  ke  Medinah.  Zainab  juga  oleh   Nabi
dikembalikan lagi kepadanya.
 
Dalam  pada  itu  pihak Quraisy terus saja menebus tawanannya.
Nilai tebusan waktu itu berkisar antara  seribu  sampai  empat
ribu dirham untuk tiap orang. Kecuali yang tidak punya apa-apa
dengan kemurahan hati Muhammad membebaskannya.
 
Rasanya tidak ringan nasib  yang  menimpa  Quraisy  itu,  juga
mereka  tidak mau menghentikan permusuhan dengan Muhammad atau
melupakan kekalahan yang  mereka  alami.  Bahkan  sesudah  itu
kemudian  wanita-wanita Quraisy itu ramai-ramai selama sebulan
penuh menangisi mayat mereka.  Rambut  kepala  mereka  sendiri
mereka  gunting. Kendaraan atau kuda orang yang sudah mati itu
dibawa, lalu mereka menangis mengelilinginya.
 
Dalam hal ini tak ada yang  ketinggalan,  kecuali  Hindun  bt.
'Utba,  isteri Abu Sufyan. Ketika pada suatu hari ia didatangi
oleh wanita-wanita dengan  mengatakan:  "Kau  tidak  menangisi
ayahmu, saudaramu, pamanmu dan keluargamu?"
 
Ia menjawab:
 
"Aku  menangisi  mereka?  Supaya  kalau  nanti  didengar  oleh
Muhammad  dan  teman-temannya  mereka  menyoraki   kita?   Dan
wanita-wanita  Khazraj  juga  akan  menyoraki kita? Tidak! Aku
mesti menuntut balas kepada Muhammad dan teman-temannya! Haram
kita  memakai  minyak  sebelum  dapat kita memerangi Muhammad.
Sungguh, kalau aku dapat mengetahui, bahwa kesedihan itu  bisa
hilang  dari  hatiku, tentu aku menangis. Tetapi ini baru akan
hilang kalau mangsaku yang membunuh orang-orang yang  kucintai
itu sudah kulihat dengan mata kepalaku sendiri!"
 
Memang,   ia   tidak   lagi   memakai  minyak  atau  mendekati
tempat-tidur Abu Sufyan. Ia  terus  mengerahkan  orang  sampai
pada  waktu  pecah  perang  Uhud.  Sedang  Abu Sufyan, sesudah
peristiwa Badr, ia bernazar tidak akan bersuci  kepala  dengan
air sebelum ia memerangi Muhammad.
 
Catatan kaki:
 
 1 Pada umumnya istilah ghazwa dan sarinya, dibedakan
   dengan pengertian, bahwa ghazwa (jamak ghazawat),
   pasukan yang bergerak bersama-sama dengan Nabi, sedang
   sariya (jamak saraya) pasukan yang bergerak tanpa Nabi
   ikut serta. Kata ghazwa pada umumnya diterjemahkan
   dengan perang. Dalam terjemahan ini dipergunakan tiga
   pengertian: perang ekspedisi dan razzia atau
   pembersihan. Buku yang lebih khusus membicarakan
   strategi perang antara lain: Mayor Muh. Abd'l-Fattah
   Ibrahim, Muhammad al-Qa'id, Cairo 1945/1964; Muhammad
   Hamidullah, The Battlefields of the Prophet Muhammad,
   Working, England, 1952, 1953; Jenderal Mahmud Syait
   Khattab Ar-Rasul'l-Qa'id, Cairo, 1964. Badr adalah
   sebuah desa di barat daya Medinah, sebuah pangkalan air
   terkenal yang terletak antara Medinah dan Mekah, tak
   seberapa jauh dari pantai Laut Merah (A).
   
 2 Al-Haura, sebuah distrik di sebelah Mesir pada akhir
   perbatasan dengan Hijaz di Laut Merah, yang merupakan
   pelabuhan kapal-kapal Mesir ke Medinah. Cf. Jenderal
   Mahmud Syeit Khattab, ar-Rasul'l-Qa'id, hal. 90 (A).
   
 3 Julukan Umayya b. Khalaf (A).
   
 4 Ihda't-ta'ifatain, harfiah, salah satu dari dua
   kelompok. Dua kelompok ialah kafilah Quraisy yang datang
   dari Suria membawa harta dagangan yang besar, terdiri
   dari 40 orang tak bersenjata di bawah pimpinan Abu
   Sufyan. 2) Angkatan bersenjata Quraisy terdiri dan 1000
   orang dengan perenjataan lengkap datang dan Mekah di
   bawah pimpinan Abu Jahl. (A).
   
 5 'Udwa 'tepi wadi' (LA). Al-'udwat'l-qashwa 'tepi wadi
   yang lebih dekat ke arah Mekah' sebaliknya daripada
   'al-'udwat'd-dunya' 'tepi wadi yang lebih dekat ke arah
   Medinah' (L4) (A)
   
 6 Qur'an, 8: 7. (Lihat juga catatan bahwa halaman 268)
   (A).
   
 7 Aslinya "Ya Nabiullah" (A).
   
 8 Maksudnya 'Amr bin'l-Hadzami yang tewas dalam
   bentrokan dengan satuan Abdullah b. Jahsy (A).
   
 9 "Demi Allah" (A).
   
10 Suatu pernyataan Tauhid (A).
 
11 Manaha harfiah berarti 'tempat wanita-wanita
   menangisi mayat' (LA). (A).
 
---------------------------------------------
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980
 
Seri PUSTAKA ISLAM No.1

http://media.isnet.org/islam/Haekal/Muhammad/Badr4.html


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.