Langsung ke konten utama

Korupsi = Hukuman Mati


Oleh: Sukron Ma’mun*
Memperingati Hari Anti Korupsi yang jatuh 09 Desember, saya muat kembali artikel saya yang pernah dimuat oleh Harian Bali Post empat tahun lalu tepatnya tanggal 29 Juli 2008. Artikel ini juga bisa diakses pada website koran tersebut:

Karena geramnya melihat kejahatan korupsi yang tidak ada matinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempersilahkan masyarakat untuk mewacanakan hukuman mati bagi koruptor (Kompas, 22/7/08). Hukuman yang paling tinggi untuk kejahatan tindak pidana di negeri ini. Mungkin sudah selayaknya tindak kejahatan kaum berdasi ini mendapatkan sanksi hukum terberat.
Wacana hukuman mati bagi koruptor sebenarnya bukan hanya saat ini dikemukakan, lima tahun yang lalu para pakar telah melontarkan wacana ini. Sayang tidak mendapat respon yang serius dari pihak pemerintah. Mungkin ada kekhawatiran akan banyaknya pejabat yang mati atau dirinya akan terjerat pula hukuman tersebut. Sehingga wacana hukuman mati hanya layak untuk diperbincangkan dan tidak untuk ditindaklanjuti. Silahkan mewacanakan, belum tentu pemerintah melaksanakan.
Kegamangan para petinggi di pemerintahan juga masih nampak, misalnya bulan lalu saat diadakan seleksi Hakim Agung banyak yang masih mempertimbangkan mengenai hukuman mati bagi koruptor. Tercatat hanya satu calon yang berani menyatakan bahwa hukuman mati layak untuk koruptor, yakni Lalu Mariyun, Ketua Pengadilan Tinggi Papua (Koran Tempo, 01/7/08).
Keengganan para petinggi untuk menggagas penetapan hukuman mati bagi koruptor menyiratkan preseden buruk upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Statemen sederhana yang selalu mengusik, “ternyata menjadi pencuri uang rakyat lebih enak dari pada menjadi pencuri ayam”. Sindiran ini mestinya mampu melecutkan nyali para peneggak hukum untuk mengambil tindakan tegas dan menghukum semaksimal mungkin.
Memberi Peluang
Upaya pemberantasan korupsi sejuah ini belum menemui hasil yang cukup memuaskan. Meskipun telah terdapat kemajuan, namun belum ada indikasi yang menunjukkan terjadinya penurunan tingkat korupsi dikalangan pejabat. Korupsi semakin menggila dan modus operandinya semakin sulit untuk dilacak. Korupsi seolah semakin menemukan bentuk idealnya, menyesuaikan dengan tingkat kewaspadaan dan kejelian penjeratnya.
Hal ini semakin dikukuhkan dengan lemahnya hukum dan proses peradilan yang harus dijalani. Koruptor pun seakan mampu memainkan hukum, dan jaksa pun dibuat tak berdaya. Kasus Artalyta Suryani atau Ayin yang menyaup Jaksa Urip Tri Gunawan dalam skandal BLBI merupakan bukti. Jaksa Urip yang selama ini dikenal bersih pun dapat dikelabui dan terbuai dalam kejahatan korupsi.
Tidak sedikit kasus korupsi yang terjadi tidak terselaikan dengan tuntas, sehingga membuat koruptor terbebas. Seringkali pengungkapan korupsi justru menjadi bumerang, berkat kejelian sang koruptor. Demikian juga banyaknya celah hukum yang dapat dimainkan oleh para koruptor membuat mereka dapat dengan leluasan bermian-main dengan hukum. Beberapa terdakwa kasus korupsi kenyataannya juga memperoleh perlakukan istemawa dalam hukumannya. Sehingga menjadi koruptor tenyata merupakan sesuatu yang menyenangkan, karena bisa bermain-main mata dengan jaksa, hakim, dan hukum.
Keadaan demikian semakin membuat korupsi terus meraja lela, karena para koruptor telah mengetahui celah dan jalur mana yang ia harus tempuh. Perlakuan istimewa terhadap para koruptor juga membuat mereka merasa ‘nyaman’ dengan hukuman tersebut. Atau bisa jadi hukuman yang ditetapkan selama ini terlalu ringan bagi para koruptor. Sehingga muncul anggapan bahwa korupsi sebanyak-banyaknya lebih menguntungkan karena hukuman dapat dilalui dengan mudah.
Hukuman Mati
Korupsi bagaimanapun telah menjadi budaya, meskipun bukan budaya yang sehat. Menghilangkan budaya merupakan persoalan yang sangat sulit, karena ia telah melalui proses panjang. Budaya korupsi telah melewati proses sosialisasi, enkulturasi dan internalisasi. Sosialisasi melalui praktek kehidupan sehari-hari, enkulturasi berarti masyarakat membiasakannya, dan internalisasi artinya menjadi bagian dari hidupnya.
Memutus mata rantai budaya korupsi tentu sangat sulit dilakukan, hukuman seberat apapun belum tentu mampu menghilangkan budaya korup. Namun membiarkan korupsi tanpa ada upaya yang jelas sama artinya membunuh bangsa perlahan namun pasti. Harus ada upaya pencegahan yang mampu memberi efek kejut (shock therapy) dan kemudian menimbulkan efek jera bagi pelakukan.
China yang menjadi negara terkorup di dunia telah melakukan loncatan yang luar biasa dalam memutus mata rantai kejahatan korupsi dengan menerapkan hukuman mati. Hukuman mati yang diterapkan mampu membuat efek jera pada para koruptor di negeri tersebut. Padahal China memiliki sejarah yang lebih kelam dari pada Indonesia. Konon, tembok China dibangun dengan hasil pengembalian uang korupsi.
Hukuman mati bagi koruptor yang diterapkan China sempat mendapat kecaman dari aktivis HAM, namun China bergeming. China melihat hanya dengan cara itulah korupsi dapat dengan segera dicegah perkembangannya. Tahun 1999 tercatat 1.263 koruptor telah dihukum mati, dan jumlah ini meningkat menjadi 4.367 tahun 2001. Jumlah ini melebihi kasus terpidana mati yang diputus di 64 negara (Kompas, 09/3/03).
Langkah yang di tempuh China mampu menurunkan tingkat korupsi yang cukup signifikan. Tahun 2007 Transparency International (TI) mencatat indeks China mencapai 3,1 dan Indonesia 1,7 untuk 10 nilai tertinggi. China kini ada di urutan 64, sementara Indonesia 85. Artinya China kini lebih bersih daripada Indonesia, padahal sebelumnya China tercatat sebagai negara terkorup.
Jika segala macam hukum yang telah berlaku saat ini tidak mampu memberi efek jera bagi koruptor, mangapa kita tidak mencoba menerapkan hukuman mati. Mungkin para koruptor akan benar-benar menggigil menunggu hukum menjamah. Tentunya dengan satu catatan bahwa penegak hukum akan melaksanakan dengan sungguh-sunguh ketentuan ini. Hukuman mati hanya akan menjadi ancaman belaka, kalau penegak hukum tidak memiliki niat serius melaksanakannya. Yang terjadi akan tetap saja sebagaimana berlaku, hukum bisa dipermainkan atau diperjualbelikan.
Kini saat bagi bangsa ini, meminjam head line yang digunakan Majalah Ekonomi Fortune (2002), mengatakan: “It’s time to stop coddling white collar crooks,” sudah waktunya berhenti berlaku lunak dengan bandit-bandit kerah putih.
* penulis adalah peneliti pada Saqifa Institute for Ecosoc Rights, Yogyakarta

Komentar

  1. Persoalannya berani tidak, pemerintah memberikan hukuman mati bagi koruptor....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.