Langsung ke konten utama

Komoditas Agama dalam Kampanye

Oleh: Sukron Ma'mun

Genderang kampanye telah ditabuh resmi pada 12 Juli 2008 hingga 5 April tahun depan. Ada dua jenis kampanye, yakni kampaye publik tanpa rapat umum dan kampanye publik dengan rapat umum. Mulai bulan ini hingga 5 April 2009, jadwal kampanye publik tanpa rapat umum. Kampaye publik yang disertai rapat umum dimulai 7 Maret tahun depan.

Ada hal mengkhawatirkan terkait hajatan pemilu tahun ini. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, agama rawan dijadikan komoditas politik terutama untuk memengaruhi massa. Hal ini sangat wajar mengingat tiga hal; pertama, masyarakat kita adalah masyarakat religius, dengan ketaaatan keagamaan yang kuat. Sehingga norma-norma agama yang disampaikan para jurkam sangat manjur untuk memengaruhi massa.
Kedua, tokoh agama masih sangat diakui keberadaannya oleh masyarakat. Hal demikian terjadi karena pola hubungan patron-klien dalam keberagamaan masyarakat sangat tinggi. Sehingga sangat memungkinkan "memanfaatkan" tokoh agama sebagai ujung tombak pendulang dukungan politisi. Kondisi akan menjadi kuat jika seorang agamawan memiliki "ketidakberdayaan" dan ketergantungan dalam hal finansial.
Ketiga, dewasa ini menguat kecenderungan masyarakat dalam keagamaan. Munculnya perda-perda syariat, simbolisasi agama dalam lembaga-lembaga publik, dan kemenangan partai agama dalam pilkda di beberapa daerah merupakan indikasi. Momentum ini menjadikan setiap partai merasa perlu untuk mengubah gaya, tampilan, simbol serta muatan bernuansa agama dalam kampanye.
Politisasi Agama
Kasus kampanye pilkada pada beberapa daerah dapat menjadi indikasi bahwa kampanye tahun ini pun tidak akan jauh beda. Pengajian, haul, istigasah, dan momen-momen kegiatan keagamaan lainnya sangat rawan dijadikan ajang kampanye terbuka.
Pengalaman tahun-tahun sebelumnya membuktikan lembaga-lembaga agama, forum keagamaan, dan juga momentum keagamaan sangat rawan dalam hal ini. Bagaimanapun agama tetap menjadi komoditas politik yang sangat menjanjikan untuk dijadikan pendulang suara.
Pesta hajatan demokrasi melalui pilkda di Jawa Timur dan Jawa Tengah dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Bagaiamana masing-masing kandidat cagub dan cawagub ramai-ramai meraih simpati massa dengan menghadiri beberapa acara keagamaan. Haul, istigasah, serta pengajian menjadi ajang silaturahmi sekaligus meraih simpati.
Ironisnya, model-model seperti ini menjadi kepentingan yang tidak hanya sepihak. Baik dari penyelenggara ataupun politisi memiliki kepentingan yang berbeda tapi bertemu pada satu titik tertentu, di sinilah muncul simbiosis mutualisme. Yang menjadi pertanyaan apakah keduanya memikirkan kepentingan publik, yang harus mereka perjuangkan? Tentu jawabannya bisa ya ataupun tidak.
Demikian pula, menguatnya isu keagamaan dewasa ini membawa kemungkinan adanya "politisasi" agama dalam kampanye. Jargon, simbol, hingga bualan politik sangat memungkinkan menjadikan norma agama menjadi senjata ampuh merayu massa. Kejenuhan masyarakat akan jargon "konvensional" dalam program-program partai, mengakibat masyarakat memilih hal baru yang lebih menjanjikan.
Moral Politik
Masdar F. Masudi (2007) menyatakan jika agama diyakini sebagai identitas dan pemecah, hal ini akan menyebabkan rawannya politisasi agama. Keadaan ini hanya akan mengikabatkan pada konflik horizontal antarumat ataupun antarsimpatisan partai. Terlebih pada partai-partai yang berbasis massa yang mengedepankan primordilisme. Tentunya politisasi agama menjadi ancaman yang harus dicegah.
Namun, jika agama dipahami sebagai sesuatu yang sublim, sesuatu yang luhur dan sebagai etika sosial, yang muncul akan lain, bukan politisasi agama. Di sini kehadiran agama mampu memengaruhi perilaku dan etika politik seseorang.
Politik agama menjunjung tinggi moral politik, good governance, antikorupsi dan keberpihakannya secara nyata kepada orang-orang tertindas. Bukan kepentingan pihak masing-masing, dengan mengeksploitasi agama dan umat. Sebab, eksploitasi agama demi kepentingan kekuasaan bukan merupakan moralitas politik yang didasarkan pada agama. Jika moralitas tidak berdasar pada agama, muncullah politisi-politisi busuk yang tidak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat.
Sejumlah kasus korupsi yang melanda anggota DPR merupakan cerminan buruknya moralitas politisi kita. Padahal sebagian besar politisi yang tersandung kasus tersebut adalah politisi dari kalangan partai "agama". Sebut saja Saleh Djasit, Hamka Yandhu, Antony Zeidra Abidin, Sarjan Taher, Al Amin Nur Nasution, Bulyan Royan, dan yang teranyar adalah Yusuf Emir Faishal.
Tidak kalah menghebohkan lagi adalah kasus asusila yang sempat terekam dalam beberepa kasus anggota Dewan makin mengukuhkan kemrosotan moralitas para politisi. Yahya Zaini-Maria Eva dan terhangat Al Amin Nur Nasution yang tersangkut kasus dana alih fungsi hutan di Kabupaten Bintan dengan Sekda, Azirwan. Al Amin memang tidak tertangkap basah melakukan tidakan asusila, tapi kontak telepon dengan Azirwan yang disadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bukti perilaku asusila yang selama ini sering dilakukan.
Moralitas yang ditampilkan politisi berbanding terbalik dengan apa yang mereka tampakkan saat menjelang pemilu. Di sinilah sebenarnya rakyat telah ditipu wakilnya yang telah dipercaya. Janji untuk menyaluran aspirasi rakyat untuk meningkatkan kesejahteran rakyat menguap begitu saja.
Meskinya harus disadari pentingnya politik moral yang dilandaskan pada agama, dan bukan mendasarkan agama untuk kepentingan politik. Jika politisasi agama terus dilakukan bukan tidak mungkin kondisi bangsa dan negara ini tidak akan pernah beranjak dari keterpurukan.
Pada kampanye sekarang ini, sebaiknya para politisi tidak memolitisasi agama, tapi lebih banyak mendasari kampanyenya dengan moral agama. Agama mengajarkan terselenggaranya pemerintahan yang baik, jujur dan berkeadilan, jauh dari korupsi, terpenuhinya pendidikan yang mencerdaskan, dan mendahulukan kesejahteraan rakyat.

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat Lampung Post, 1 Agustus 2008. Dapat juga diakses  melalui http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008080109040341

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.