Langsung ke konten utama

Seni Tradisional, Seni Jalanan

Oleh: Sukron Ma’mun
 
Arus perubahan zaman membawa konsekuensi-konsekuensi yang terkadang memiriskan. Salah satunya adalah lenyapnya seni tradisional, yang dahulu menjadi kebanggaan dan hiburan rakyat. Jathilan merupakan sebagian kecil dari seni tradisional rakyat yang kini mulai ditinggalkan oleh masyarakat.

Bagi masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian besar Jawa Tengah, Jathilan merupakan kesenian yang sangat populer. Di Jawa Timur seni Jathilan juga hampir dikenal di seluruh wilayah, meskipun beberapa di antaranya menggunakan nama yang berbeda, yakni bukan Jathilan. Di Banyuwangi, Jember dan sekitarnya, masyarakat mengenal seni ini dengan nama Jaranan. Dinamakan jaranan, karena pemainnya menggunakan ’wayang’ kuda-kudaan (Jaran, Jawa) dalam melakukan seni pertunjukan. Konsepnya hampir mirip dengan Jathilan yang di kenal masyarakat DIY dan Jateng.
Pada seni Reog Ponorogo, juga terdapat pertunjukan Jathilan dalam ragam acara pementasannya. Meskipun bukan bagian utama, Jathilan menjadi sebuah bagian pementasan yang bersifat wajib. Demikian khasnya Jathilan juga mewarnai banyak seni tradisional Jawa. Artinya Jathilan menjadi bagian penting dari seni rakyat.
Namun kini apa yang dapat kita lihat dan temui dari sebuah seni tradisioal Jathilan? Seni ini hampir usang dimakan zaman atau tenggelam seiring ditelan seni modern. Seni Jathilan menjadi seni pinggiran yang tidak banyak mendapatkan perhatian apalagi dari pemerintah daerah. Seni ini nyaris luput dari regenrasi dan kini tinggal menjadi seni murahan jalanan atau pinggiran.
Pertunjukan Seni Jathilan yang dahulu selalu ramai dinikmatai rakyat pada berbagai hajatan, kini tinggal kenangan. Jathilan kehilangan generasi penerus dan bahkan ruh seni. Kini Jathilan tersingkir dari ’area’ kehidupannya bukan hanya karena tidak ada pemainnya namun karena memang ditinggalkan masyarakat. Pemain Jathilan yang menguasai seni ini kini hanya bisa meratap dan merenungi seni kebanggaanya yang tinggal kenangan.
Meskipun beberapa orang masih peduli, hal itu dilakukan karena keterdesakan ekonomi. Beberapa di antaranya mulai mempertontonkan seni Jathilan dari pintu ke pintu hanya untuk mengharap belas kasihan sekeping recehan. Ada pula yang melakukan pertunjukan Jathilan di perempatan atau di lampu merah di jalan-jalan kota. Tujuannya pun tidak jauh beda dengan para amen jalanan mengharap upah dari pengendara yang berhenti.
Meskipun kedua model pementasan tersebut boleh dibilang sebagai bagian dari pelestarian, namun kedua model tersebut kehilangan ruh asli seni Jathilan. Maaf bukan bermaksud mengecilkan peran seniman jalanan ini, karena sebagian besar keduanya tidak didasari atas rasa cinta seni, namun kebutuhan ekonomi. Sehingga seni pertunjukannya menjadi asal-asalan. Namun bagaimanapun kita patut mengapresiasinya sebagai bagian dari seni.
Tidak terkecuali mereka yang masih peduli terhadap seni, tidak begitu berdaya menghadapi kenyataan. Seni-seni tradisional rakyat mulai masuk ’museum’ dan hanya akan ’dikeluarkan’ pada saat festival atau pertunjukkan seni. Sebagai akibatnya seni tradisonal ini tidak lagi menjadi kebanggaan dan hiburan masyarakat, namun menjadi barang antik, unik, nan langka.
Hilang Kebanggaan
Jathilan hanyalah satu dari seni tradisional rakyat yang mulai menghilang, berbagai seni tradisional juga mulai ’lenyap’. Ketoprak, Srunthul, Janger, dan lainnya setali tiga uang, yakni juga lenyap ditelan seni modern. Padahal seni-seni inilah yang dahulu memberi hiburan, informasi, pendidikan, dan bahkan perlawanan rakyat kecil terhadap kesewenagan kekuasaan. Lantas kemanakah mereka menghilang?
Tidak ada jawaban yang benar dan tepat, kecuali kita sendirilah yang menjawabnya. Kita lah yang melenyapkannya dengan ketidaktahuan, ketidakpedulian, dan bahkan penuh kesadaran kerena hilangnya kebanggaan pada seni tradisional. Seni-seni tradisional ini dianggap kuno, kolot, tidak menarik, menjemukan, dan pastinya tidak sesuai tuntutan zaman.  Hampir semua orang kehilangan kebanggaannya terhadap sebagian seni tradisonal yang dimilikinya.
Kini masyarakat lebih menyikai seni-seni modern yang menawarkan kegemerlapan dan keglamaouran. Terlebih bagi kalangan kaum muda, seni tradisional bukan lagi menjadi pilihan ataupun kebanggaan warisan tradisi. Anak muda, tidak hanya di kota dan di desa, lebih menyukai pergi ke kafe untuk menimkati musik dan Disc Jockey (DJ) impor, dari pada nonton seni tradisi. Karena seni modern lebih mengesankan keglamouran, kemewahan, dan lebih modernis. Sementara seni tradisi menampilkan kekolotan, keterbelakangan dan ndeso, meminjam bahasa Tukul.
Kaum tua pun kini memiliki kebangaan baru pada seni modern. Mereka pun juga mulai enggan menyapa seni tradisional karena tidak ingin menanggung stempel kampungan. Serbuan seni modern pada akhirnya memang meruntuhkan bangunan seni asli masyarakat kita. Di samping itu memang tidak ada lagi media yang mampu mempertemukan masyarakat dengan berbagai seni yang pernah dimilikinya.
Refres Budaya
Bukan hal yang patut disesali karena inilah konsekuensi modernitas yang merasuk dalam sendi-sendi kehidupan kita. Artinya hal ini tidak mungkin serta merta ditolak atau dimusuhi secara membabi buta. Karena penolakan atas segala perubahan yang terjadi sama artinya mengingkari adanya perubahan itu sendiri. Hal ini akan mempersulit kita untuk melakukan penyegaran (refres) seni tradisi yang kita miliki.
Sudah semestinya kita melakukan refleksi ulang atas segala ’bencana’ matinya seni tradisional ini. Dengan demikian akan kita temukan berbagai solusi yang mampu membangkitakan kembali seni tradisi.
Dalam kaitannya dengan penyegaran budaya tadi, hal yang patut kita cermati adalah mempertahankan nilai seni, estetika, ruh, dan pesan penting dalam sebuah seni. Dengan demikian kita tidak akan terjebak pada arus perubahan masa seperti saat ini.

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat harian Kompas, Juli 2009. Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2009/07/18/11285475/seni.tradisional.seni.jalanan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.