Langsung ke konten utama

Khittah Media dan Pencerahan Umat


Oleh: Sukron Ma’mun

Media massa apapun bentuknya, baik online ataupun cetak, hingga kini tetap menduduki posisi penting dalam cetak biru (blue print) kehidupan umat manusia. Media massa sebagaimana khittahnya merupakan ruang interaksi manusia, dimana ia bisa menyerap informasi dan kemudiam menyampaikannya pada publik, berdialog, berinteraksi, menerima ataupun menolaknya (Cangara: 2000). Sementara McLuhan menyebun Media Massa sebagai alat perpanjangan indra manusia, yang kemudian dikenal dengan sense extention theory (Kasman: 2009). Karena menjadi alat perpanjangan indra, perannya begitu penting dalam proses kehidupan umat, terlebih dewasa ini di tengah massifnya arus infromasi dari media online.

Saat ini, hampir tidak satupun umat manusia tidak berinteraksi dengan media massa. Media online belakang paling diakrabi oleh masyarakat setelah munculnya ponsel (telepon genggam), dengan berbagai fasilitas yang melingkupinya. Ungkapan ‘dunia dalam genggaman’ menjadi kenyataan yang dirasakan oleh siapapun menikmati fasilitas tersebut.
Yasraf Amir Piliang (2004: 50-51) menyebutnya sebagai ‘dunia yang dilipat’, yakni  ketika terjadi pemampatan ruang-waktu (time-space compression) yang dapat diatasi oleh teknologi, termasuk di dalamnya telpon genggam, internet, televisi, dll. Pemampatan ruang dan waktu adalah dengan cara menjadikan jarak di dalam ruang menjadi semakin kecil atau tidak berarti.
Kecanggihan teknologi kemudian mendukung semuanya, ditambah beaya yang harus dikeluarkan juga semakin murah. Arus informasi cepat yang dua puluh tahunan lalu hanya dapat disajikan melalui televisi, sepuluh belakangan ditambah oleh media internet, kini dapat masuk secara cepat melalui ponsel yang kita genggam. Kita dapat sewaktu-waktu membuka berbagai informasi tersebut dalam sekali pencet, tanpa harus repor-repot duduk didepan televisi, pergi ke warung internet atau bahkan menunggu koran besok pagi. Ponsel yang kita genggam telah menyediakan, sekaligus memanjakan kita untuk menikmati berbagai informasi dari belahan dunia manapun.
Hanya saja informasi yang diakses dalam media cepat tersebut sebagaian besar hanya digunakan untuk mengakses media jejaring sosial, semacam facebook, twitter, dll. Meskipun belum ada hasil survey terhadap pengguna ponsel, situs apa yang diakses pengguna ponsel dalam lima tahun terakhir. Namun dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan ponsel untuk mengakses jejaring sosial diyakini paling sering dibandingkan untuk membuka situs yang lainnya. Iklan-iklan provider seluler menunjukkan bukti dalam hal ini.
Ironisnya, dimungkin pula atau bahkan diduga kuat penggunaan ponsel untuk membuka situs-situs ‘dewasa’ juga sangat massif. Dua atau tiga tahun persoalan ini menjadi serius yang kemudian melahirkan UU pornografi. Blokir situs-situs ‘dewasa’ kemudian dilakukan oleh kementerian komunikasi. Meskipun mungkin belum cukup efektif. Bahkan, mohon maaf, kejadian tersebut dilakukan oleh anggota dewan yang terhormat, pasca disepakatinya UU tersebut.
Media massa online yang semestinya mampu mensitimulir kita untuk mendapatkan informasi yang cepat dan akurat, sejauh ini bagi sebagaian masyarakat belum banyak dimanfaatkan dengan tepat. Sehingga media massa yang awalnya dilakukan dengan cetak ataupun audio visual, kemudian diunggah melalui website kemungkinan juga belum maksimal dimanfaatkan oleh sebagain besar masyarakat.
Menurunnya Kualitas
 Di samping media online yang sangat massif penggunaannya, televisi sebagai media massa yang cukup awal, menurut saya juga mengalami penurunan kualitas. Persaingan bisnis media menjadi pemicu munculnya acara-acara yang cenderung kurang memiliki edukatif. Program televisi menjadi sangat monoton mengarah pada hiburan semata, tanpa memperhatikan aspek pengetahuan dan pendidikan pada para penontonya.
Kita dapat cek menu tanyangan televisi yang kita nikmati sehari-hari. Stasiun televisi yang menayangkan acara-acara pendidikan, berita, atau sajian informatif lainnya cenderung kurang diminati. Bandingkan dengan acara-acara hiburan semacam sinetron, musik, film, reality show, infotaiment, dan kawan-kawannya memiliki nilai jual yang luar biasa. program acara yang seperti itu memiliki rating yang sangat tinggi sehingga mampu menghasilkan income yang cukup besar.
Buktinya cukup sederhana, berapa banyak layanan iklan komersial yang akan ada pada acara-acara tersebut. Jawabnya tentu sangat banyak, karena program acara-acara tersebut ditonton sekian juta pemirsa sehingga minat para produser untuk menggarap sangat tinggi dan iklan-iklan rame-rame mensponsorinya.
Berbeda dengan program acara yang cenderung edukatif dan informatif, apalagi tidak dikemas dengan baik, hampir dapat dipastikan tidak banyak ditonton oleh publik. Ukurannya juga sederhana, program-program acara tersebut tidak banyak disponsori iklan dan ditempatkan bukan pada jam tayang utama (prime time). Program acara yang demikian ditempatkan pada jam-jam dimana tidak banyak orang menonton, karena sedang tertidur pulas. Pukul 23.00, pukul 24.00, pukul 04.00 dan lainnya.
Program televisi yang hanya menyajikan informasi atau berita sejauh ini juga kurang mendapatkan respon yang bagus dari pemirsa. Iklim masyarakat mungkin belum terbentuk dengan baik atau dimungkinkan pula sajian program-program tersebut yang kurang menarik, sehingga banyak ditinggalkan oleh pemirsanya. Jika demikian maka harus dipikirkan bagaiamana mengemasnya?.
Penurunan ‘kualitas’ tayangan yang ‘minus’ pengembangan nilai, edukasi, dan pengetahuan tentu akan berbahaya bagi ‘kesehatan’ metal publik. Tidak salah jika kemudian terjadi serangkaian kegiatan publik atau tindakan masyarakat yang keluar dari kaidah nilai-nilai yang seharusnya. Meskipun media massa bukan satu-satunya penyumbang ‘penyimpangan’ tersebut, namun media massa setidaknya juga memiliki andil yang cukup signifikan.
Harapan pada Media Cetak
Media massa cetak meskipun belakangan cukup menurun kuantitasnya, seiring dengan munculnya media online, menurut hemat saya masih banyak dapat diharapkan perannya dalam edukasi pada masyarakat. Berbeda dengan media massa online, media cetak dapat dikontrol dengan baik, sehingga muatan (content) yang ada didalamnya cenderung memiliki nilai informatif dan edukatif.
Jika keberadaannya mengkhawatirnya dapat dengan mudah dikontrol baik oleh masyarakat ataupun pemerintah. Salah satu contoh adalah bagaimana kehebohan yang terjadi di masyarakat ketika majalah dewasa “Playboy” versi Indonesia terbit di Indonesia. Penolakan dilakukan secara massif sehingga penerbitannya pun terhambat. Hanya saja masih banyak media massa cetak yang mengkhawatirkan dari sisi konten, namun tidak terkontrol dengan baik. Padahal mengkhawatirkan secara ideologis bagi kesatuan umat atau masyarakat.
Media-media massa cetak yang cenderung provokatif, menyajikan berita yang tidak sesuai dengan kenyataan, memputarbalikkan fakta, atau memanipulasi fakta tentu menjadi ancaman dalam hal ini. Media yang demikian bukan memberikan informasi atau edukasi kepada publik, justru menjadi penghasut, pemecah, dan sumber masalah tersendiri. Namun jumlah media cetak yang demikian nampanya tidak begitu banyak, namun juga harus diwaspadai. Pembaca harus jeli, harus teliti, mampu menilai untuk selajutnya menjadikannya informasi penyeimbang saja, bukan informasi utama.
Kembali pada harapan terhadap media massa cetak, pada dasarnya saya melihat banyak media cetak; koran, majalah, buletin atau sejenisnya masih dapat diharapkan perannya dalam menyajikan informasi, edukasi, dan penambah pengetahuan umat. Jika kita mengamati berbagai koran, majalah, dan buletin yang terbit di Jawa saja cukup variatif dan menyajikan informasi yang menarik untuk di simak. Koran-koran kini juga tidak sebatas memberikan berita yang sedang terjadi namun juga mamberikan berbagai informasi yang syarat nilai dan pengetahuan. Rubrik yang ditampilkan semakin beragam guna memenuhi ekspektasi kebutuhan masyarakat pembaca.
Pada sisi lain mendapatkan informasi dengan jalan membaca lebih ‘menyehatkan’ dari pada memperoleh informasi dari melihat oudio visual melalui televisi. Jika melihat televisi tidak menyertakan aktivitas tubuh kita selain mata, maka membaca masih mengikutsertkan berbagai aktivitas tubuh kita. Mombolak-balik halaman, berfikir, dan berimanjinasi, karena semua informasi yang ada berupa tulisan atau hanya gambar yang terbatas. Berbeda dengan audio visual dimana kita cukup duduk atau berbaring, semua informasi dapat kita nikmati tanpa memerlukan aktivitas lain yang merepotkan serta tanpa perlu banyak melibatkan imajinasi kita karena telah divisualisasi.
Hanya saja kita dihadapkan pada persoalan rendahnya budaya baca yang dimiliki oleh masyarakat kita? Jika mau jujur sebarapa banyak mahasiswa yang pergi ke perpustakaan untuk membaca koran, berapa banyak majalah-majalah bulanan yang dibaca oleh kita, berapa banyak buletin yang kita serap informasinya? Buku atau referensi perkuliahan juga sudah banyak ditinggalkan oleh mahasiswa. Hal ini menjadi bukti awal minat baca kita memang sangat rendah.
Data yang di lansir studi IEA ( International Association for the Evaluation of Education Achicievement) mengenai minat baca di Asia Timur, Indonesia menduduki posisi di bawah Filipina (skor 52,6), Thailand ( skor 65,1), Singapura (skor 74,0), dan Hongkong  (skor 75,5). Indeks baca masyarakat Indonesia hanya berkisar pada skor 51, 7 (lihat www.pendidikan-diy.go.id).
Tidak salah jika jumlah oplah koran yang dicetak setiap hari mungkin semakin menurun. Kemunkinannya mungkin banyak hal yang melatari; pembaca atau pelanggannya beralih berlangganan internet, minimnya pelanggan baru, lebih memilih berlanggana televisi, atau yang lainnya. Laporan perilaku Konsumen yang dilakukan oleh MARS Indonesia terhadap menurunya minat baca terhadap tahun 2009, menunjukkan bukti dalam hal ini. Pelanggan koran  tinggal 15,1 persen atau turun 2 persen dibandingkan tahun 2007 (17,7 persen) (lihat www.marsindonesia.com).
Saya kira ini menjadi pekerjaan wartawan, pemilik perusahaan koran, dan seluruh elemen yang terlibat untuk kembali menggairahkan. Media massa cetak, koran, tetap memiliki peranan yang siginifikan dalam mencerdaskan dan mencerahkan publik (umat).
Khittah Media
Berbagai informasi atau pengetahuan yang disajikan dalam berbagai media, online ataupun cetak, tentu memliki pengaruh yang luar biasa bagi penikmatnya. Media massa memiliki dua wajah pengaruh pada publik, yakni posistif dan negatif. Wajah positif muncul ketika khittah media ditampilkan secara jelas tanpa tendensi atau kepentingan sesaat. Demikian juga media harus kembali pada fungsi utamanya.
Effendy (2000:140-150) menyebut funsgi media massa paling utama ada empat hal. Pertama, sebagai penebar informasi (to inform). Kedua, sebagai sarana pendidikan (to educate). Ketiga, sebagai wadah untuk menyajikan anaka hiburan (to entertain). Dan terakhir, ia bisa menjadi ajang untuk saling mempengaruhi (to influence).
Dalam kerangka transformasi pengetahuan atau pencerahan publik media massa memiliki peran utama dalam hal ini. Pertama, secara kolektif bisa berperan dalam pelacakan dan penghimpunan data sejarah keagamaan sebagai warisan khazanah bagi kemaslahatan umat. Di sinilah pembaca bisa menjalani ‘transportasi’ ziarah menjelajah wilayah masa lalu untuk memperdalam dan menambah kekayaan wawasan untuk selanjutnya kembali lagi dengan pengetahuan yang lebih.
Kedua, memberikan opini publik terhadap suatu persoalan, meskipun ia tidak dapat dilepaskan dari keperpihakan tertentu. Hal dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya memberikan space berupa kolom opini, laporan khusus, jajak pendapat, feature, dsb. Di sinilah media mampu menjadi agen sebuah kepentingan dan keberpihakan terhadap suatu persoalan. Dengan demikian masyarakat pembaca atau pemirsa mau tidak mau akan mengkonsumsi hal tersebut.
Jika sebuah informasi diberikan secara berkelanjutan dalam kurun tertentu, yang cukup panjang, maka sebenarnya ia telah memiliki komunitas pembaca aktif. Secara sadar ataupun tidak pembaca akan menggunakan informasi tersebut sebagai salah satu sumber pengetahuan. Di sinilah media memainkan perannya sebagai agen pendidikan atau transformasi pengetahuan, yang pada akhirnya dapat mencerahkan umat.
Hanya saja, sekali lagi, kita dihadapkan pada persoalan yang saya ungkapkan di atas, mengingat media massa yang konsisten pada peran dan fungsi media tidak begitu mendapatkan tempat di hati pemirsanya atau pembacanya. Di sinilah perlu dilakukan upaya kreatif untuk mengatasinya.
 Sejauh ini media massa, mengecualikan media cetak semacam koran, lebih banyak memainkan fungsi hiburan semata tanpa mengedepankan aspek edukasi. Hiburan dipertontonkan tanpa aspek nilai edukasi yang memadai, bahkan cenderung pada nilai-nilai yang negatif. Ironisnya hal demikian yang lebih diminati, disenangi, dan digandrungi oleh publik. Bahkan ratingnya sangat fantastis, sehingga minat para produser sangat tinggi terhadap hal yang demikian.
Ini tentu menjadi dilema, karena produser terjebak pada kepentingan ekonomi sematas dengan mengorbankan publik. Yasraf Amir Piliang (2004: 144) menyebutnya terjebak pada persoalan libidonomics, yakni rangsangan, rayuan, godaan, kesenangan, kegairahan atau hawa nafsu dalam satu arena pertukaran ekonomi. Produser terpesona oleh hawa nafsu kapital yang luar biasa, sementara pemirsa terseret pada arus yang sama. Berputar, berkelindan dalam satu kepentingan ekonomi dan pemuasan nafsu kesenagan (hedonis).
Hal ini tentu sangat berbahaya bagi perkembangan umat di masa-masa mendatang. Mengapa? Mengutip apa yang diungkapkan oleh Jalaluddin Rahmad (2001:218), karena media massa mampu mengubah masyarakat dari lewel yang paling bawah hingga lewel negara.
Besar harapan kita tentu ada pada para pemilik media, wartawan, dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan media, pemegang kebijakan, pelaku ekonomi, serta lainnya untuk memperhatikan betul persoalan ini. Karena secara pelan ataupun cepat perubahan-perubahan pada masyarakat kita dipenaruhi banyak oleh media massa yang ada. Wallahu a’lam bi shawab.

Daftar Bacaan
Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Effendy, Onong Uchyana, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, Bandung: Rosdakarya, 2000.
Kasman Suf, Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia; Analisa Isi Pemberitaan Harian Kompas dan Republika, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010.
Piliang, Yasraf Amir, Dunia Yang Dilipat; Tamasya Melampau Batas-Batas Kebudayaan (Yogyakarta: Jalasutra, 2004).
Rahmad, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Bandung: Rosdakarya, 2001.
http://www.marsindonesia.com/PBelanja2009/Daftar%20Isi%20Perilaku%20Belanja%20Konsumen.pdf.
http://www.pendidikan-diy.go.id/?view=v_artikel&id=8.

Catatan:
 Tulisan ini pernah didiskusikan pada Seminar Regional LDK Darul Amal STAIN Salatiga dengan tema: “Urgensi Media dalam Mencerahkan Umat.” Senin, 30 April 2012,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.