Langsung ke konten utama

[Book Review] Konflik Sosial dan Peran Media Massa

Judul                : Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia;
                          Analisa isi Pemberitaan Harian Kompas dan Republika
Penulis             : Suf Kasman
Tebal               : xxxiii+399 halaman
Penerbit           : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Tahun              : Desember 2010
Persensi           : Sukron Ma'mun
 
Penelitian mengenai media massa sejauh ini belum banyak dilakukan oleh para sarjana atau ilmuwan agama. Penelitian terhadap media massa, khususnya media massa cetak, sejauh ini masih menjadi dominasi para ilmuwan sosial, terutama dari kelompok ilmu komunikasi, media dan budaya, serta ilmu sosiologi. Padalal penelitian terhadap media massa tidak kalah menariknya dibandingkan dengan penelitian pada “subjek-subjek nyata” pada kehidupan manusia atau fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Keengganan atau belum akrabnya ilmuwan agama terhadap objek kajian ini dapat dipahami karena model penelitian ini sejatinya tidak menjadi perhatian khusus dalam metodologi ilmu agama. Metodologi ilmu agama lebih banyak bersinggungan dengan metodologi tafsir atau belakangan berkembang hermeneutik, dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam ilmu sosial, seperti sejarah, filsafat, sosiologi, dan antropologi (Abdullah, 1989). Sementara pendekatan yang digunakan dalam keilmuan komunikasi, khususnya metodologi penelitian media belum banyak digunakan.
Sejauh ini ilmuwan agama masih banyak yang memilih menggunakan pendekatan ilmu sosial semacam sosiologi, antropologi, sejarah dan filsafat untuk membaca dan menganalisa berbagai persoalan kehidupan umat beragama. Berbagai teori telah digunakan untuk menganalisa berbagai persoalan, dan kini tengah hingar bingarnya untuk terus melakukan berbagai penelitian. Sementara metodologi penelitian media luput, belum tersentuh atau belum dimanfaatkan sebagaimana ilmu-ilmu sosial lainnya. Semestinya orientasi penggunaan metodologi penelitian media juga mendapatkan porsi yang sama dengan penggunaan pendekatan pada keilmuan sosial yang lainnya, mengingat metodologi ini dekat dengan metode tafsir yakni mengungkap makna yang tersirat dalam sebuah fakta yang disajikan oleh media. Tentu saja perhatian terhadap metodologi penelitian media akan menjadikan ilmuwan agama semakin “berwarna”, sehingga dapat membantu memecahkan persoalan umat dari berbagai sudut pandang.
Penelitian yang dilakukan oleh Suf Kasman ini adalah salah satu contoh penelitian media yang dapat dijadikan rujukan, bagaimana ilmuwan agama menggunakan metodologi ilmu media untuk membaca persoalan umat. Persoalan yang dianggkat oleh Suf Kasman terkait bagaimana media massa mengkontruksi citra umat Islam dihadapan publik terkait dengan persoalan besar yang pernah melanda bangsa ini, yakni konflik berdarah di Poso dan Maluku.
Mengapa Media?
Pernyataan yang terbesit adalah mengapa harus media? Apa pentingnya melihat media massa dalam menganalisa persoalan konflik di Poso dan Maluku? Bukankan persoalan telah usai dibaca dan dianalisa dengan menggunakan metode penelitian yang lain? Bukankah media massa hanyalah media informasi yang memberikan berita pada khalayak mengenai sebuah peristiwa?
Nah, di sinilah titik penting mengapa media harus menjadi salah satu perhatian dari para ilmuwan. Media sejauh ini memerankan peran vital dalam mengkonstruksi pengetahuan publik, hitam putihnya sebuah peristiwa karena media massa-lah yang mengkonstruksinya. Media massa memberikan perspektif tertentu mengenai sebuah peristiwa. Karena berita ditulis oleh wartawan yang memiliki cara pandang tertentu, dan dipublikasikan oleh media massa yang memiliki “ideologi” dan “kepentingan” tertentu pula.
Sejauh ini media hanya dilihat sebagai perluasan indera manusia, meminjam teori McLuhan (1964) yang menyebutnya sebagai sense extention theory, ketika mata dan telinga terbatasi oleh ruang waktu dan batas-batas geografis. Media massa memampatkan ruang waktu dan batas geografis menjadi tidak berarti sehingga informasi dari belahan dunia manapun dapat hadir dihadapan kita. Kenyataan ini memang tidak dapat ditampik, karena demikianlah fitrah media yakni menjadi saluran penting dalam memberikan informasi ke publik.
Fitrah inilah yang kemudian dimanfaatkan media tidak hanya dalam memberikan informasi seobjektifnya, namun juga menyisipkan cara pandang tertentu sehingga juga mempengaruhi orang yang menerima (receiver). Dengan demikian objektivitas dari sebuah fakta adalah objektivitas menurut cara pandang yang dimiliki oleh wartawan (sender) dan pengelola media (agent). Meskipun prinsip kode etik jurnalistik; fairness doctrine (doktrin kejujuran), cover both sides atau news balance (pemberitaan yang seimbang), dan check and crosscheck menyatakan demikian, namun ketidakberpihakan atau netralitas sulit diterapkan pada kasus-kasus tertentu.
Sekali lagi di sinilah pentingnya memberikan perhatian pada media massa bagaimana ia membingkai (framing) peristiwa-peristiwa tertentu sehingga dapat menggiring opini publik. Kasus konflik Poso dan Maluku merupakan salah satu contoh penting bagaimana konflik tersebut dibingkai oleh setiap media yang memberitakannya. Suf Kasaman dalam penelitian ini mencoba menganalisa dua media massa nasional, yakni harian Kompas dan Republika, dalam mewartakan dan memberikan sudut pandang pemberitaan sehingga akan muncul opini yang berbeda dari pembaca kedua harian tersebut.
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun koran bekerja sesuai dengan kode etik jurnalisme keperpihakan dan subjektifitas wartawan serta agen harian tersebut akan mewarnai setiap sudut, cara pandang dan posisi pemberitaan. Sehingga koran tidak jarang menampilkan wajah ganda, satu sisi pembawa kabar penyampai informasi namun pada sisi yang lain penyebar opini yang mempengaruhi si pembaca. Pemberitaan yang dilakukan harian Kompas dan Republika menunjukkan hal yang demikian, menurut analisa Suf Kasaman. Bahkan menurut Faisal Bakri (2002) kedua surat kabar tersebut bukan hanya mewartakan, lebih dari itu juga menjadi pemicu munculnya sentimen dan persepsi tersendiri terhadap masing-masing kelompok yang bertikai. Di sinilah peran ganda yang dimainkan media dalam suatu kasus, penyampai informasi informasi dan pembawa kabar damai atau “penyiram bara permusuhan”.
Bagaimana Penelitian ini dilakukan?
Satu pertanyaan mendasar adalah bagaimana melakukan penelitian media massa? Jawabannya tentu akan sangat erat dengan membincangkan bagaimana metode penelitian media beroperasi. Dalam penelitian media massa atau analisa wacana banyak sekali metode yang dapat digunakan, diantaranya content analysis, media analysis, control analysis, audience analysis, framing analysis, analisa kuantitatif media, dll (Sobur, 2002, Jane Stokes, 2003, Eriyanto, 2007). Sementara untuk framing analysis boleh dibilang satu metode yang cukup baru dalam analisa media, karena baru dikenalkan pada tahun 1995.
Suf Kasman nampaknya tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan metode framing atau framing analysis. Model analisa tersebut digunakan untuk membaca pembingkaian berita pada dua harian nasional yang ia jadikan sumber utama kajian, yakni harian Kompas dan Republika. Sementara kasus yang diangkat, meskipun cukup klasik, adalah konflik berdarah yang terjadi di Poso dan Maluku dalam kurun waktu 1999-2002. Pemilihan kasus tersebut karena dua peristiwa cukup menyita perhatian bangsa dan masyarakat internasional, sementara pilihan waktu karena konflik baik di Poso dan Maluku terjadi dalam kurun waktu tersebut.
Lantas yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah mengapa harian Kompas dan Republika. Di sinilah Suf Kasman menjawab mesikpun tidak mengungkapkan secara eksplisit. Ada beberapa alasan yang secara tidak langsung disampaikan oleh Suf Kasman; pertama, harian Kompas dan Republika merupakan surat kabar harian berskala nasional yang memiliki pembaca cukup besar. Pembaca kedua harian tersebut menyebar diseluruh pelosok negeri ini. Harian Kompas semenjak tahun 2004, berdiri pada tahun 1965, oplahnya mencapai 550.000 hingga 600.000 eksemplar perhari. Bahkan capian oplah terbesar Kompas mencapai hingga 700.000 eksemplar (hal. 157). Belum lagi pembaca Kompas di dunia maya, dengan kehadiran Kompas online baik melalui kompas.com atau kompas epaper jumlah pembacanya dapat mencapai satu juta lebih. Sementara harian Republika meskipun tergolong baru, terbit pertama tahun 1993, jumlah pembaca Republika sempat menduduki peringkat kedua nasional. Hal ini justru terjadi pada tahun 1995 atau dua tahun seletah terbitnya harian Republika yang pertama kalinya. Tentu capaian ini belum pernah dicapai oleh harian manapun termasuk harian Kompas (hal. 176). Saat ini jumlah oplah Republika juga mencapai 500.000-an eksemplar, belum lagi layanan Republika online yang disediakan di dunia maya.
Kedua, harian Kompas dan Republika merepresentasikan dua komunitas yang berbeda. harian Kompas representasi umat Kristen, sementara harian Republika representasi umat Islam. Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah Kompas didirikan oleh orang-orang Kristen dan pada tahun 1965, dimana saat itu setiap koran memiliki afiliasi politik, Kompas berafiliasi pada Partai Katolik yang dipimpin oleh Frans Seda. Sehingga nama Kompas sering diplesetkan dengan istilah “Komando Pastor”, “Komando Pak Seda”, “Komando Pasukan”, dan “Komt Pas Morgen” (hal. 146-147). Sementara harian Republika lahir dari Ikatan Cedikiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang ide dan nama harian tersebut justru lahir dari Presiden Soeharto (hal. 168). Sebagaimana diketahui bahwa ICMI sendiri lahir tidak lepas dari upaya pemerintah rezim orde baru untuk mengakomodir dan mengkooptasi kekuatan umat Islam yang sejauh itu masih liar sebagai oposan rezim yang berkuasa. Harian Republika tampil Islami dalam pemberitaan dengan rubrik-rubrik yang khas, sehingga harian Republika sering diasosiasikan dengan istilah koran hijau dan koran pendukung kekuasaan pada awal terbitnya.
Ketiga, kedua harian tersebut intensif melakukan liputan selama konflik di Poso dan Maluku meningkat. Liputan keduanya hampir pasti diletakkkan pada halaman utama atau dijadikan headline. Hal ini menunjukkan kedua harian tersebut memiliki perhatian besar terhadap dua tragedi kemanusiaan ini. Sementara “sentimen” ideologi tentu tidak dapat dilepaskan begitu saja, kerena kebetulan kasus tersebut melibatkan dua komunitas yang berbeda, Islam-Kristen.
Di sinilah Suf Kasman memilah berita yang dimuat kedua harian tersebut yang terkait dengan konflik Poso dan Maluku, meskipun juga melakukan analisa ringan pada persoalan yang lain di luar kasus konflik Poso dan Maluku. Berita-berita yang dipilih kemudian dianalisa dengan menggunakan model framing analysis. Analisa framing ini kemudian dibedah dengan menggunakan dua teori, yakni teori persepsi dan teori konstruksi. Teori persepsi yang digunakan Suf Kasman bertumpu pada lima bangunan teori; pertama image (pencitraan) yakni gambaran baik ataupun buruk mengenai suatu hal. Images memproduksi pengetahuan tentang bagaimana masyarakat melihat sesuatu yang direpresntasikan. Kedua, stereotype (prasangka), yakni gambaran yang digeneralisir dan tercipta karena prasangka terhadap sesuatu. Ketiga, prejudice (tuduhan), yakni munculnya prasangka yang dapat merugikan kelompok lain disebabkan oleh suatu penialan yang subjektif. Keempat, defenition of the situation (definisi situasi), yakni kepedulian terhadap sesuatu yang membuat seseorang bisa hidup pada momen tertentu. Kelima, frame (pembingkaian), yakni pemilihan yang ketat, penekanan, dan peniadaan terhadap sebuah objek (berita) sehingga mana objek yang harus ditonjolkan atau bahkan dihilangkan (hal. 20-23).
Sementara teori konstruksi yang digunakan Suf Kasman adalah teori yang dikemukan oleh Peter L Berger, Thommas Luckmanaa, dan Erving Goffman. Jika Peter L Berger menyatakan konstruksi terhadap sesuatu dapat terjadi karena tiga hal, yakni eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi, maka Suf Kasman meminjam teori tersebut untuk memcaba konstruksi yang dilakukan oleh media. Suf Kasman mengadopsi teori konstruksi tersebut dalam konteks pembingkaian berita dengan empat kesimpulan. Pertama, fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi, maskudnya penulis berita mengkonstruksi sebuah fakta atau realitas sosial secara subjektif menurut “sudut pandang sendiri”. Kedua, berita bukan refleksi realitas, melainkan konstruksi realitas. Ketiga, berita bersifat subjektif dan jurnalis bukan sekedar pelapor, melainkan agen konstruksi realitas. Keempat, etika, pilihan moral, dan keberpihakan jurnalis adalah bagian integral dalam produksi berita. (hal. 118-123).
Konstruksi Media terhadap Konflik Sosial Poso dan Maluku
Hasil analisa framing yang dilakukan Suf Kasman dalam menganalisa berita dari harian Kompas dan Republika menunjukkan tiga hal. Pertama, mutu pemberitaan sering dihiasi oleh kata-kata yang terkesan hiperbol dan bombastis dalam memberitakan konflik baik di Poso maupun Maluku. Kedua, kecenderungan harian Kompas dan Republika mendramatisir dan melebih-lebihkan apa yang terjadi di wilayah konflik, dengan menggunakan bahasa berkonotasi daripada bahasa yang bermakna harfiah. Ketiga, sesekali tidak objektif terkadang juga mengandung informasi yang tidak sesuai dengan realitas di lokasi. Bahkan menurut Suf Kasman kedua harian tersebut, selama konflik meledak, banyak menurunkan liputan yang terkesan memihak dan kerap tidak berimbang (hal. 286-287). Pada kondisi terakhir ini keberadaan media justru bukan sebagai medium yang memberikan informasi pada publik atau pada pihak-pihak yang berkonflik untuk melakukan damai, namun justru semakin menyulut ketegangan.
Kesimpulan ini paling tidak dapat dilacak dari hasil klasifikasi berita yang dilakukan Suf Kasman mengenai konstruksi realitas konflik di Poso dan Ambon. Suf Kasman melihat ada lima klasifikasi pemberitaan baik yang dilakukan harian Kompas dan Republika.
1)        Berita Emosional
Emosional jurnalis Kompas dan Republika dapat dilihat dari pilihan fakta yang disajikan atau pilihan kata-kata yang dipakai dalam pemberitaan. Berita pada 02 Maret 1999 dan 03 Maret 1999 menjadi contoh bagiamana emosional jurnalis yang memandang sebuah peristiwa. Kompas yang menurunkan berita tanggal 02 Maret 1999 membuat headline “Upaya Damai di Ambon Dirusak Aksi Pembantaian”. Kompas nampaknya menyesali lambannya aparat hingga mengakibatkan peristiwa subuh berdarah. Kompas membingkai berita tersebut dengan menjadikan Kepala Pusat Penerangan Hankam/ABRI Mayjen TNI Syamsul Ma’arif sebagai nara sumber. Menurut Suf Kasman hal ini dilakukan agar nampak pemberitaan tidak terlalu tampak menyalahkan aparat, meskipun pada intinya menyesali kelambanan aparat.
Berbeda dengan Kompas, harian Republika yang menurunkan berita tanggal 03 Maret 1999, lebih emosional lagi dengan mengangkat judul “Mau Apa Dijadikan Bangsa Ini?”.  Laporan Republika ini sekaligus digunakan untuk menolak laporan yang ditulis harian Kompas, yang memandang bahwa kasus tersebut kelambanan aparat dan korban tewas akibat tembakan yang dilepaskan aparat. Menurut Republika penyerangan tersebut adalah kekejaman yang dilakukan kelompok non-muslim yang menyerang umat Islam yang sedang shalat Subuh di masjid. Republika menjadikan ketua PP Muhammadiyah, Prof. Dr Ahmad Syafi’i Maarif, sebagai narasumber. Dengan nada yang agak emosional Maarif juga menyalahkan lambannya kerja aparat dan seolah terjadi pembiaran pembantaian terhadap umat Islam ketika shalat di Masjid al-Huda di Ahuru (01 Maret 1999).
Pembiangkaian berita yang berbeda ini menunjukkan kederungan saling serang antarmedia dan terjadi pemihakan atau pengalihan kasus senyatanya. Bahkan menurut Suf Kasman nampaknya terjadi kekurangtelitian dalam penulisan berita, yang ujung-ujungnya dapat menjermuskan dalam berita-berita dusta (hal. 290).
2)        Berita Sadistis
Berita-berita yang dimuat oleh harian Kompas dan Republika terkait dengan Konflik Poso dan Maluku juga memuat berita-berita sadistis dengan gambar-gambar korban pembantaian. Bahkan menurut Suf Kasman, dengan meminjam konsep jurnalis Barat Chester Burger (1975), berita sadistis yang memuat liputan korban konflik tidak jarang dilebih-lebihnya, hanya mengambil atau menyimpulkan dari satu sudut pandang, dan cenderung “sembrono”. Berita-berita yang demikian sangat menyesatkan apalila jadi patokan aparat untuk mengungkap peristiwa atau berbahaya bagi munculnya opini publik.
Kondisi inilah yang justru sebenarnya nampak dalam pemberitaan sadistis yang dilakukan harian Kompas dan Republika. Menurut Suf Kasman ada kesan jurnalis Kompas dan Republika tidak sabar dalam pemberitaan, bahkan wartawan cenderung membubuhi beritanya dengan opini sendiri yang terkadang tidak rasional (hal. 291). Disinilah letak pentingnya bagi wartawan untuk mengingat kembali kode etik jurnalistik, sehingga tidak menyesatkan publik.
3)        Berita Provokasi
Pemilihan judul dan sisi pemberitaan yang tidak melalui check and recheck serta mem-blow up informasi tertentu dapat memicu provokasi yang memancing kemarahan publik. Pihak-pihak yang tersangkut dalam pemberitaan dapat jadi dirugikan oleh isi pemberitaan yang dialukan oleh media. Pada beberapa kasus, harian Kompas dan Republika melakukan hal ini. Suf Kasman memberikan contoh, pemberitaan akan keterlibatan Yorris Raweyai dalam konflik Maluku, yakni pemberitaan tanggal 06 Maret 1999. Kompas memberikan judul “Yorris Raweyai Dimintai Keterangan Polisi”, sementara Republika menurunkan Judul “Bila Terbukti, Yorris Bisa Jadi Tersangka”.
4)        Berita Kerusuhan
Pemberitaan mengenai kerusuhan dapat dikatakan sebagai pemberitaan yang cukup cermat oleh wartawan Kompas dan Republika. Dalam kasus ini wartawan menerapkan konsep dasar penulisan berita, 5 W; what (apa), where (dimana), when (kapan), who (siapa), why (bagaimana) plus 1 H, yakni hati-hati. Hal ini dilakukan karena massa telah melihat adanya pemihakan kelompok yang dilakukan oleh media massa (hal. 300). Hal ini cukup mengkhawatirkan bagi keselamatan masing-masing jurnalis, sehingga para jurnalis dan pihak media perlu melakukan kecermatan dan kehati-hatian dalam menurunkan berita.
5)        Berita Tanpa Check and Recheck
Kondisi lapangan yang semerawut dengan ketegangan konflik mengakibatkan liputan sulit dilakukan check and recheck. Tidak adanya check and recheck diakibatkan oleh beberapa faktor, yakni kekhawatiran keselamatan jiwa karena banyak kawanan wartawan yang menjadi korban konflik, cacat atau ditangkap salah satu kubu, dan jumlah wartawan yang ada dilokasi mulai menyusut.
Liputan yang tanpa check and recheck cenderung memiliki kesalahan dengan realitas konflik yang terjadi di lapangan. Suf Kasaman dalam penelitian ini menunjukkan beberapa berita yang tidak bersisuaian dengan fakta yang senyatanya, baik yang dilakukan oleh harian Kompas ataupun Republika. Berita-berita tersebut juga mengandung beberapa kontradiksi dengan headline yang ditulis. Beberapa contoh berita, pemberitaan yang dilakukan Kompas tanggal 23 Januari 1999 dan Republika tanggal 04 Desember 2002 (hal. 302-304). Berita yang seperti ini dapat menyesatkan persepsi publik, apalagi jika terdapat nuansa keperpihakan akan mengentalkan solidaritas kelompok yang dapat berujung pada stigma negatif terhadap kelompok lain.
Media Massa dan Motif Pencitraan
Peliputan dan pemberitaan sebuah peristiwa tentu melewati seleksi berdasarkan kreteria yang telah ditentukan oleh redaksi media massa. Kreteria tersebut ditetapkan berdasarkan tiga pendekatan. Pertama, pendekatan politik-ekonomi. Berita, liputan, opini, tokoh, atau apapun rubrik yang ada dalam sebuah media massa akan ditentukan kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelola media. Faktor seperti pemilik media, pemodal, dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Kedua, pendekatan organisasional. Pengelola media merupakan pihak yang aktif dalam proses dan produksi berita. Berita bukan hasil murni liputan wartawan di lapangan, namun juga hasil mekanisme kerja organisasi di dalam ruang redaksi. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan yang ada dalam ruang organisasi merupakan unsur-unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan.
Ketiga, pendekatan kultural. Pendekatan ini pada hakikatnya merupakan gabungan dua pendekatan sebelumnya, yakni pendekatan ekonomi-politik dan pendekatan organisasi. Di sinilah proses produksi berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit, karena melibatkan faktor internal media (rutinitas organisasi media) sekaligus faktor eksternal di luar media yang kadang kekuatannya bisa jadi lebih besar. Media memang memiliki mekanisme tersendiri untuk menentukan pola dan aturan organisasi, namun berbagai pola yang digunakan untuk memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan ekonomi-politik di luar (hal. 306-307).
Tidak mengherankan jika pemberitaan yang dilakukan oleh harian Kompas dan Republika memiliki kecenderungan yang berbada meskipun peristiwa yang diliput sama. Kekuatan internal dan eksternal kedua harian tersebut bekerja sesuai dengan hukum media dan pasar yang berlaku. Peristiwa konflik di Poso dan Maluku selama kurun waktu 1999 hingga 2002 sangat wajar diberitakan berbeda karena sudut pandang dan kepentingan dari masing-masing media tersebut memang berbeda. Pembingkaian berita yang dilakukan oleh kedua harian tersebut tentu memiliki kecenderungan yang berbeda pula.
Hal ini dapat dilihat dari sudut pandang berita tersebut diliput. Peristiwa apakah yang ditonjolkan, sisi manakah yang akan dibidik, tokoh atau narasumber mana yang akan dijadikan rujukan wawancara, dan gambar apakah yang ditampilkan merupakan bukti adanya kepentingan yang bermain. Kepentingan-kepentingan tersebut dapat dilihat dari ketiga pendekatan di atas.
Di sinilah Suf Kasman menitiktekankan analisa penelitian. Suf Kasman melihat adanya perbedaan yang cukup menonjol dari pemberitaan yang dilakukan oleh harian Kompas dan Republika. Perbedaan tersebut dapat dilihat, bagaimana image, stereotype, perjudice, devenition of the situation, dan frame dibentuk oleh harian Kompas dan Republika. Di Sinilah Suf Kasman menyimpulkan dengan tiga statemen penting, pertama, adanya perbedaan dalam mengkonstruksi realitas konflik Poso dan Maluku. Kedua, adanya bias pemberitaan. Ketiga, persepsi Kompas dalam mencitrakan umat Islam dibingaki behind the scine (tersirat-negatif), sementara Republika mencitrakan dalam konstruksi in group solidarity (penguatan solidaritas kelompok sendiri) (hal. 362).
Temuan ini sebagaimana asumsi awal yang jauh hari telah ditekankan, Kompas lebih pada sindiran atau pesan tersembunyi, stigma negatif terhadap umat Islam akan nampak jika berita dibaca berulang-ulang dengan seksama, dan representasi ideologi Kristen. Sementara Republika sebaliknya, lebih jelas pemihakan terhadap umat Islam, bombastis, dan representasi ideologi Islam modern (hal. 15).
Catatan Untuk Peneliti
Penelitian yang dilakukan oleh Suf Kasman ini cukup menarik untuk disimak mengigat beberapa hal; pertama, kejelian, ketelitian, dan daya analisa yang tajam menjadikan penelitian ini dapat diramu dengan baik dan disajikan secara utuh dari awal hingga akhir secara logis, runut dan sistematis. Kejelian dan ketelian tersebut terekam dari laporan penelitian yang ditulisnya hingga mampu menguraikan beberapa titik penting dari maksud berita tersirat yang tentu tidak hanya dapat diamati dengan sekilas.
Kedua, penelitian ini diintegrasikan dengan beberapa sudut pandang etika keagamaan, tentu saja Islam dalam hal ini, mengingat peneliti adalah alumnus sarjana agama. Hal ini juga menjadi daya tarik tersendiri mengingat peneliti, Suf Kasman, bukanlah seorang sarjana komunikasi, ilmu budaya dan media, ataupun sosiologi. Suf Kasman menghabiskan pendidikan sarjana dan magisternya pada IAIN Ujungpandang, kini UIN Makassar dan program doktoral di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, Suf Kasman pernah mengikuti perkuliahan di Universitas Al-Azhar Kairo dengan konsentrasi dirasah al-khassah.
Ketiga, salah satu kekuatan yang menjadikan Suf Kasman mampu melakukan penelitian ini adalah kecintaanya terhadap dunia jurnalistik yang telah ia pendam lama. Ia pernah bekerja sebagai reporter majalah Oase milik ICMI cabang Kairo. Namun demikian hal ini nampaknya juga tidak terlalu menggangu objektivitas ia dalam memberikan penilaian terhadap analisa berita-berita harian Republika yang juga dilahirkan oleh ICMI.
Sayangnya penelitian yang dilakukan ini mengambil kasus atau sampel yang terkait dengan konflik Poso dan Ambon, sebuah tema yang sudah cukup lama telah berlalu dari bahasan akademik, meskipun belum usai pada tataran lapangan. Jika saja pilihan kasus berita yang lebih aktual, kemungkinan hasil penelitian jauh akan lebih menggigit minat pembaca. Beberapa persoalan keagamaan termuat dalam media massa pada akhir-akhir ini juga menunjukkan satu persoalan yang perlu dianalisa.
Satu catatan kritik dari penelitian ini adalah laporan penulisan ini tidak mendapatkan sentuhan editing yang baik atau bahkan tidak diedit sama sekali. Meskipun kesalahan tulis nihil terjadi, namun penyusuan kalimat dan penggunaan kata yang sesuai dengan ejaan yang berlaku atau bahasa yang baik dan benar nampaknya kurang diperhatikan. Satu contoh kecil misalnya,  “Kota Ambon Keributan Diguncang Antarwarga” atau “Kerusuhan Maluku digambarkan Kompas adalah mulanya merupakan kasus murni kriminal…” (hal. 273). Beberapa kalimat muncul dengan kata kerja yang double serta bersandingan cukup mewarnai beberapa lembar halaman dari penelitian ini. Meskipun tidak mengganggu serius hasil penelitian, namun cukup menggangu rasa bahasa dan dapat merusak nikmatnya membaca hasil penelitian ini.
Namun demikian hemat penulis, hasil penelitian ini merupakan kerja keras yang perlu diapresiasi. Akhirnya, saya teringat pada satu motto satu media massa dan saya ubah untuk menyatakan penilaian saya terhadap hasil penelitian ini,“Penting dan Perlu Dibaca”.

Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik dan Karim, M Rusli, Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989).
Eriyanto, Analisa Framing; Konstruksi. Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKiS, 2007).
Goffman, Erving, Frame Analysis; An Essays on The Organization of Experience (New York: Harper an Row, 1974).
Sobur, Alex, Analisa Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisa Wacana, Analisa Semiotik, dan Analisa Framing (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2002).
Stokes, Jane, How to Do Media and Culteral Studies (ttp. SAGE Publication, 2003).

Catatan: Pernah dimuat dijurnal Fenomena STAIN Jember  Volume 10. Nomor 1 April 2011. Dapat pula diakses di http://stain-jember.ac.id/v2/html/index.php?id=artikel&kode=3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.