Langsung ke konten utama

Diplomasi Quraisy dan Pencarian Suaka di Habsyi



Perlawanan terhadap dakwah agama Rasulullah yang dilakukan oleh orang-orang kafir Makkah semakin kuat. Mereka melakukan perlawanan dengan berbagai cara, dari bujukan, tipu muslihat, hingga kekerasan. Hingga akhrinya Rasulullah meminta orang-orang Islam untuk mencari suaka politik ke Habsyi (Ethopia). Bagiamana perlawanan tersebut dilakukan dan bagaiaman pencarian suaka politik menuai sukses?


Diplomasi Kafir Quraisy
1) Abu Thalib
ž  Kafir Quraisy mengancam Seluruh Bani Hasyim Melalui Abu Thalib
ž  Abu Thalib melakukan diplomasi dengan Rasulullah. “Lindungilah atas jiwamu dan jiwaku, dan janganlah engkau membebankan kepadaku sesuatu yang tidak aku mampu,” pinta Abu Thalib.
ž  Rasul menolak halus
2) Diplomasi terhadap Rasulullah
ž  Kafir Quraisy menawarkan harta, pangkat, jabatan, dan perempuan cantik, namun upaya ini gagal. (Al-Fusilat)
ž  Kafir Quraisy melakukan kompromi agama, “sehari Rasul menyembah tuhan mereka sehari kafir Quraisy menyembah Allah”. (Al-Kafirun: 1-6)
ž  Kafir Quraisy meminta orang-orang miskin tidak masuk Islam (Al-An’am: 52).
ž  Meminta Rasul menunjukkan kemukjijataanya (Al-Isra’: 90-93).
ž  Kafir Quraisy kembali menggunakan kekerasan.

Mencari Suaka Politik ke Habsyi (Ethopia)
“Habsyi dipimpin oleh seorang penganut agama Masehi yang adil dan tidak pernah berbuat lalim, Najasyi (Negus) namanya
ž  Rasul memerintahkan para sahabat mencari suaka politik ke Habsyi
ž  Tahap awal, 10 laki-laki dan 4 perempuan hijrah pertama ke Habsyi, termasuk Ustman bin Affan beserta istrinya, Ruqayyah, Ja’far bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, dan Ummu Habibah binti Abu Sofyan, dll.
ž  Gelombang kedua hingga 100 muslim ke Habsyi.
ž  Kafir Quraisy meminta ke Najasyi mengembalikan (ekstradisi) umat Islam, namun ditolak Najasyi.
ž  Umat Islam dalam perlindungan Najasyi dan tinggal di Habsyi selama 15 tahun.
ž  Umat Islam berbaur dengan masyarakat Habsyi dan bekerja sebagai pengrajin kulit.
ž  Migrasi ini membawa akibat yang cukup besar, yakni tersebarnya Islam di daratan Afrika.
ž  Di sela-sela hijrah sebagian umat Islam ke Habsyi, Rasul menerima dua surat penting, yakni Maryam dan Al-Kahfi.

Isi Dua Surat
ž  Surat Maryam memberikan pengetahuan kepada Rasul mengenai Agama Masehi yang dianut oleh masyarakat Habsyi
ž  Surat Al-Kahfi bercerita tentang hijrahnya Ashabul Kahfi, Dzul Qarnain, dan Nabi Musa yang menyelamatkan agamanya dari kelaliman. Tujuannya supaya umat Islam mengetahui bahwa mereka bukan yang pertama kali menyelamtkan risalah agama

Embargo terhadap Umat Islam
ž  Kegagalan menghalau dakwah Rasul serta masuknya Hamzah dan Umar menjaikan kaum Quraisy kehilangan kesabaran
ž  Quraisy melakukan pertemuan dan membuat kesepatakan mengenai embargo Ekonomi terhadap Umat Islam dan Bani Hasyim.
ž  Umat Islam dan Bani Hasyim juga diisolasi secara sosial oleh kaum Quraisy.

Isi perjanjian Kaum Quraisy
“ Tidak akan  mengadakan perkawinan dan melakukan jual beli dengan Bani Hasyim.
Tidak akan berbicara dan tidak akan menjenguk orang sakit dari Bani Hasyim, atau mengantarkan yang meninggal ke kuburnya”
ž  Embargo Ekonomi; mengakibatkan umat Islam dan Bani Hasyim kelaparan.
ž  Embargo Sosial’ mengakibatkan terisolasi dan terhambatnya dakwah Rasul.
ž  Umat Islam kelaparan, bahkan daun-daun pun dimakan.

Kutipan Cerita Kelaparan
“Saad bin Abi Waqqash: Suatu malam aku pergi buang air kecil. Aku mendengar gemericik air seniku seperti banyak, sehingga aku gembira. Setelah selesai, aku baru sadar bahwa suara gemericik itu adalah suara kulit yang aku biarkan terpanggang di atas api agar kering dan bisa aku makan. Ternyata kulit itu menjadi sangat kering dan aku terpaksa memakannya bersamaan dengan air”

Amu al-Huzni
ž  Kelaparan yang mendera Umat Islam dan Bani Hasyim mengakibatkan banyak umat Islam yang meninggal, termasuk Istri Rasul, Khatijah dan Paman Rasul, Abu Thalib.
ž  Keduanya merupakan penyokong kuat dakwah Rasul selama ini.
ž  Tahun itu disebut tahun duka cita (Amu al-Huzni).

Akhir Embargo
ž  Di awal perjanjian, kaum Quraisy menetapkan bahwa embargo tersebut akan berakhir jika perjanjian yang ditempel di Ka’bah tersebut hancur.
ž  Menurut Prof A Syalabi, sebagian kaum Quraisy merasa kasihan terhadap kondisi umat Islam dan Bani Hasyim, sehingga mereka merobek-robek perjanjian tersebut.
ž  Sementara menurut riwayat yang lain papan tulisan perjanjian termakan rayap, setelah tiga tahun embargo berlangsung.
ž  Akhir embargo bukan berarti memgakhiri penderitaan Umat Islam, kerena umat Islam justru kehilangan dua tokoh utama, Khatijah dan Abu Thalib.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.