Oleh : Much Aulia Esa Setyawan
111 12 225
Resum dari buku karya Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh : Penggalian,
Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, hlm. 125-128, dan karya
Dr. Ahmad
Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab,
Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm. 12-70.
A. Biografi Abu Hanifah
Imam
Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H di sebuah desa di bawah pemerintahan Abdullah
bin Marwan di kota Kufah Irak. Nama asli beliau adalah Nu’man bin Tsabit.
Tetapi lebih dikenal dengan Abu Hanifah yang berasal dari kata Abu al-Millah
al-Hanifah diambil dari potongan ayat Al-Qur’an:
Artinya : . . Maka
ikutilah agama Ibrahim yang lurus (Q.S Ali-Imran : 95).
Kakek dan ayahnya
pernah didoakan oleh Imam Ali agar mendapatkan keturunan yang diberkahi Allah.
Sewaktu kecil beliau menghafal Al-Qur’an, kemudian berguru kepada Imam Ashim
salah seorang Imam Qiro’ah Sab’ah. Keluarganya adalah keluarga pedagang
khususnya Ayah, dan Ibunya
kurang begitu terkenal dari para ahli sejarah, namun Abu Hanifah sangat
menghormati dan taat kepadanya. Dengan latar belakang keluarga pedagang, maka
tidak heran ia juga menjadi pedagang, sampai suatu waktu beliau bertemu
Al-Sya’bi salah seorang ulama besar di Kufah dan terjadilah dialog sebagai
berikut :
Al-Sya’bi : “Kau mau ke mana?”
Abu Hanifah : “Saya mau ke pasar”
Al-Sya’bi : “Jangan hanya pergi ke pasar saja pergilah ke ulama”
Abu Hanifah : “Memang saya jarang-jarang pergi ke ulama”
Al-Sya’bi : “Jangan begitu. Kau harus memperdalam ilmu dan menghadiri
pengajian-
pengajian yang
diberikan para ulama, karena saya melihat kau mempunyai potensi yang besar di
bidang ilmu”
Abu Hanifah : “Nasihat Al-Sya’bi ini menyentuh hatiku, maka saya
meninggalkan
kesibukan di pasar dan
mulai menuntut ilmu”
Dalam cerita lain Abu Hanifah mewakilkan
aktivitas perdagangannya kepada orang lain.
B. Sejarah
dan Pandangan Pemikiran Madzhab Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah adalah
pendahulu para imam madzhab, karena ia lahir dan meninggal lebih dahulu dari
imam-imam yang lain. Abu Hanifah seorang yang berjiwa besar, cerdas, ikhlas,
tegas dalm bersikap dan bisa dikatakan berhasil dalam hidupnya. Pandangan
beliau dalam bidang ilmu pengetahuan adalah seorang yang bijak dan tepat dalam
memberikan keputusan bagi suatu masalah atau peristiwa yang dihadapi. Ia
berbudi luhur dan mendapat tempat yang tinggi baik dalam masyarakat maupun
hubungan dengan pemerintah, sehingga beliau menyandang jabatan tertinggi yaitu,
Imam Besar (Al Imam Al-‘Adham) atau ketua agung. Hingga seorang utusan yang
bernama Abdullah bin Al-Mubaraq (pejabat ketika itu) berkata : “Imam Abu
Hanifah adalah akal ilmu pengetahuan”; dan perutusan lain pun berkata ia
sebagai pakar dalam ilmu fiqih.
Ketika hidup ia dapat
mengikuti bermacam-macam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan baik
politik/agama, karena zaman ini terkenal sebagai zaman politik, agama dan
ideologi-ideologi atau isme-isme. Bermacam-macam agama dan ideologi telah timbul
dari penerjemah buku-buku hingga pertalian Islam dengan falsafah Yunani lebih
luas dan begitu juga dengan ideologi persi dan hindu. Pada masa itu suasana
masyarakat kacau balau karena saling menindas, perbudakan menjadi kebiasaan
antar ras dan suku. Dan akhirnya ada percobaan untuk menyatukan dan timbul dua
cara dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis.
Pertama : Berpegang
kepada ayat atau hadis yang ada tanpa penambahan apapun.
Kedua : Menggunakan
akal sebagai tambahan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis yang ada
kekeliruan.
Selain fiqih beliau
sempat belajar ilmu lain seperti tauhid. Banyak guru yang mengajar beliau di
antaranya Hamad bin Abu Sulaiman Al-Asya’ari dimana ia banyak sekali memberi
pelajaran kepada Abu Hanifah. Murid-muridnya Abu Hanifah juga banyak bahkan
sampai ada yang sampai membuat kitab karangan seperti Abu Yusuf Ya’akub
Al-Anshori karyanya Al-Kharaj, Al-Athar, dan lainnya. Kemudian A-Hazail,
Al-Hasan bin Ziad Al-Lu’lu dengan karangannya Al-Qadhi, Al-Khaisal, An-Nafaqat,
dan lain sebagainya. Walaupun Abu Hanifah tidak banyak mengarang sebuah kitab
untuk madzhabnya, namun madzhabnya terkenal karena murid-muridnya yang banyak
menulis kitab. Madzhab Abu Hanifah sebagai gambaran yang jelas dan nyata
tentang persamaan hukum-hukum fiqih dalam Islam dengan pandangan-pandangan
masyarakat di semua lapangan kehidupan.
Abu Hanifah mendasarkan
madzhabnya dengan dasar pada Al-Qur’an, Hadis, Al-Ijma’, Al-Qiyas, dan
Al-Istihsan. Beliau berkata, “Aku memberikan hukum berdasarkan Al-Qur’an apabila
tak ada, maka saya gunakan Hadis dan jika tidak ada di keduanya aku dasarkan
pada pendapat para sahabat. Aku berpegang kepada pendapat siapa saja dari para
sahabat dan aku tinggalkan apa yang tidak kusukai dan tetap berpegang pada satu
pendapat saja”. Dapat disimpulkan di bagian kata-kata terakhir di atas bahwa ia
menggunakan ijtihad dan pikiran serta menggunakannya untuk membandingkan antar
pendapat dan memilih salah satunya.
Berikut beberapa sifat
dari dasar atau kaidah Abu Hanifah untuk mengatasi permasalahan, antara lain :
1. Kemudahan
dalam beribadah dan pekerjaan sehari-hari.
2. Menjaga
hak-hak fakir miskin.
3. Mengakui
peradaban hidup manusia.
4. Memelihara
kehormatan dan perikemanusiaan.
5. Memberikan
kuasa penuh kepada kerajaan atau para pemimpin negara.
C. Kedudukan
Mazhab Abu Hanifah
Ada beberapa pendapat dari orang Islam tentang
kedudukan mazhab ini. Sebagian menganggap madzhab Abu Hanifah adalah satu
madzhab yang baru yang lain dari madzhab-madzhab yang lain. Ada juga yang
merendahkan madzhab dengan ucapan bahwa Abu Hanifah belum sampai pada taraf
atau pangkat berijtihad tentang hukum bahkan dianggap hanya sebagai pengikut
yang lain saja.
Pendapat para
orientalis seperti Juimble dari Inggris serta Edward Sakhau dan Gold Tasihar
mengakui pendapat Abu Hanifah dan berkata, bahwa Abu Hanifah ialah pemimpin
para ahli pikir dan beliau telah mengkaji kaidah ilmu fiqih dengan sempurna dan
di zamannya lahir satu pengenalan cara atau sistem ilmu fiqih yang berdasarkan
pada ilmu qiyas. Seperti yang kita ketahui dari awal bahwa suasana kehidupan di
Irak yang penuh dengan bermacam-macam madzhab, hidup kemewahan, maka tidak
heran bila lahir gagasan yang menyatukan hidup modern dan nas-nas agama.
Kemudian tentang
nasihat-nasihat Abu Hanifah, ada banyak sekali, contohnya tentang mencari ilmu
pengetahuan, yaitu :
1. Menuntut
ilmu di samping mencari harta, melumpuhkan dari kegiatan dalam pelajaran karena
akan senantiasa sibuk dengan kekayaan dunia.
2. Jangan
menikah sebelum berilmu karena ini bisa merugikan dirimu dan sudah tentu akan
mendapatkan anak-anak yang akan diberi nafkah.
3. Tuntutlah
ilmu sewaktu mudamu dengan pikiran tenang dan lapang dada.
4. Bertaqwalah
kepada Allah dan menjaga amanah dan berilah nasihat kepada siapapun.
5. Hormatilah
sesama manusia serta jangan menyombongkan diri karena berilmu tinggi, dll.
Yang menonjol dari
fiqih Imam Abu Hanifah ini antara lain adalah :
1. Sangat
Rasional, mementingkan maslahat dan manfaat.
2. Lebih
mudah dipahami daripada madzhab yang lain.
3. Lebih
liberal sikapnya terhadap dzimis (warga Negara yang non muslim).
Hal
ini bisa dipahami karena cara istinbat Abu Hanifah selalu memikirkan dan
memerhatikan apa yang ada di belakang nash yang tersurat yaitu illat-illat
dan maksud-maksud hukum. Sedang bila masalah yang tidak ada nash-nya
beliau menggunakan qiyas, istihsan, dan urf. Meskipun beliau
ulama besar, ia tidak merasa memonopoli kebenaran, hal itu terbukti dari
pernyataannya :
“Saya mengambil pendapat ini, karena pendapat ini
benar, tapi mengandung kemungkinan salah. Dan saya tidak mengambil pendapat
itu, karena pendapat itu salah, tapi mengandung kemungkinan benar”.
Seorang
penyair pernah berkata : “Alangkah baiknya jika agama dan dunia disatukan”
Artinya
: “Jika pekerjaan di dunia disamakan dengan ibadah untuk akhirat. Sebenarnya
Abu Hanifah bukan menyamakan agama dan dunia saja tetapi beliau samakan juga
antara tiga perkara. Justru itu seorang itu lebih mulia dan besar, menyamakan
(kombinasi) antara mencari kekayaan dan kesenangan, menyamakan antara menuntut
ilmu dan fiqih dan menyamakan antara ibadah dan taqwa kepada Allah”.
D. Abu
Hanifah Meninggal Dunia
Beliau
meninggal pada bulan Rajab tahun 150 H. Imam An-Nawawi berpendapat bahwa beliau
meninggal dunia ketika dalam tahanan. Sungguh banyak orang awam yang mengiringi
jenazahnya, diperkirakan ribuan bahkan lebih kurang 5000 orang yang menyalatkan
jenazahnya. Ada juga yang berpendapat 50.000 orang dalam mengiringi jenazahnya
termasuk Abu Ja’far Al-Mansur sebagai penguasa negeri masa itu yang telah
menahan Abu Hanifah semasa hidupnya.
Jenazah
Abu Hanifah dikebumikan di makam pekuburan ‘Al-Khaizaran’ di timur kota
Baghdad. Ibnu Jarir merasa sedih tatkala mendengar kematian Abu Hanifah dan
berkata : “Ilmu sudah hilang”.
Komentar
Posting Komentar