Langsung ke konten utama

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH



Disusun Oleh :
Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094); 
dan Dwi Silvia Anggraini  (111-11-095)

PENDAHULUAN
Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.

Pada masa era tabi’in dan tabi’at-tabi’in ada beberapa daerah yang di kenal sebagai daerah sebagai pusat pemikiran yakni Irak (Kufah dan Basrah), Hijaz ( Madinah dan Makkah), Syiria. Namun dalam buku-buku sejarah yang ada,  jejak syiria kurang di jelaskan di daerah mana saja aliran itu  berkembang, Setiap kota-kota tersebut memiliki pemimpinnya sendiri yang menjadi panutan pendapat yang memberikan sumbangaan pada perkembangan pemikiran hukum didaerah tersebut.

Faktor-Faktor Penyebab Khilafiyah
Dalam sejarah perkembangan hukum islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum beberapa masalah hukum, telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi SAW ketika beliau masih hidup. Tetapi perbedaan pendapat itu segera dapat dipertemukan dengan mengembalikannya kepada Rasulullah SAW. Setelah beliau wafat, maka timbul di kalangan sahabat perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum. Perbedaan pendapat di kalangan sahabat nabi itu tidak banyak jumlahnya karena masalah yang terjadi pada masa itu tidak sebanyak pada masa berikutnya yaitu masa Tabi’in.
Terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum islam, di samping disebabkan oleh faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya segi-segi khusus yang bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Makin lama makin berkembang sepanjang sejarah hukum islam, sehingga kadang - kadang menimbulkan pertentangan keras, utamanya di kalangan orang-orang awam. Setiap muj’tahid berusaha keras mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menemukan hukum Allah dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang memerlukan penyelesaian dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pengambilan mereka yang pokok adalan sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi terkadang hasil temuan mereka berbeda satu sama lain dan masing-masing beramal sesuai dengan hasil ij’tihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar dan tepat.[1]

1.      Perbedaan Penafsiran Lafadz di Dalam Al-Qur’an
Firman Allah       اَوْلَمَسْتُ النِّسَاءَ
( atau kamu menyentuh atau bersetubuh dengan perempuan ).
Menurut imam Hanafi, laamastum berarti bersetubuh, sebab ini tidak batal, meskipun ajnabiyah.
Menurut imam Syafi’i, Maliki dan Hambali, laamastum artinya menyentuh, sebab itu batal wudlu dengan menyentuh perempuan. Tetapi Imam Syafi’i berpendapat, bahwa yang membatalkan wudlu adalah perempuan ajnabiyah ( bukan muhrim ). Menyentuh ibu atau anak sendiri tidak membatalkan wudlu.
Menurut Imam Maliki dan Hambali, menyentuh perempuan membatalkan wudlu kalau disentuh dengan syahwat. Tetapi kalau tidak dengan syahwat maka tidak batal wudlu itu.
Menurut Adh-Dhohiri menyentuh perempuan membatalkan wudlu, meskipun ibu sendiri karena mereka termasuk perempuan juga menurut lahirnya lafadz An-Nisa’.
Dengan contoh itu dapatlah kita ketahui bahwa meskipun kelima madzhab itu sepakat tentang dalil firman Allah: au laamastumun nisaa’ tetapi mereka itu berlainan pendapat tentang tafsirannya dan mengistinbathkan hukum dari padanya, sehingga terjadi tiga pendapat:
·         Kata Imam Syafi’i menyentuh perempuan ajnabiyah membatalkan wudlu, dan menyetuh wanita muhrim tidak membatalkan wudlu.
·         Kata Imam Maliki dan Hambali, menyentuh perempuan membatalkan wudlu, kalau disentuh dengan syahwat baik muhrim atau ajnabiyah. Menyentuh perempuan dengan tidak ada syahwat maka tidak membatalkan wudlu.
·         Menurut Madzhab Dzahiri, menyentuh perempuan membatalkan wudlu, baik muhrim atau ajnabiyah.

Sebab Perbedaan Penafsiran Lafadz di Dalam Al-Qur’an
a.       Adanya Kata-Kata Musytarak
Kata-kata didalam bahasa arab ada  dua macam, ada yang dinamakan mutaradif terdiri dari beberapa kata namun artinya satu, seperti kata ‘lais’ dan ‘asad’ yang keduanya berarti singa.
Dan disamping itu ada kata-kata musytarak yaitu katanya satu tetapi mempunyai arti yang banyak, sebagaimana firman Allah
   وَالمُطَلَّقَأتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَتَ قُرُوْءٍ
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri ( menunggu tiga kali quru ) Al-Baqoroh 228.
Kata quru dapat diartikan suci dan haid. Imam syafi’i mengambil arti pertama dan imam hanafi mengambil arti yang kedua.
b.      Amar dan Nahi
Perbedaan mereka di dalam memahami arti amar ( perintah ) dan nahi (larangan) baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah selalu berbeda.
Contoh:
يَامَعْشَرَالشَبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِشنْكُمْ اْلبَئَة فَلْيَتَزَوَّجْ
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi
Sebagian ulama seperti golongan hanafiah mengatakan bahwa khinzir yang dimaksud disini umum, mereka berpegang kepada dhohir lafadz. Karenanya haramlah babi darat dan laut. Dan sebagian ulama mema’nakannya dengan babi darat saja dan menghalalkan babi laut, karena mengingat firman Allah:
اُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُاْلبَحْرِوَطَعَامُهُ
Artinya: Dihalalkan bagimu binatang buruan laut[2]

2.      Perbedaan Dalam Penerimaan Hadis
Seperti dimaklumi, para sahabat yang menerima dan menyampaikan (meriwayatkan) hadis, kesempatanyya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majlis rasul, tentunya mereka inilah yang layak menerima hadis sekaligus meriwayatkannya. Tetapi banyak pula di antara mereka yang sibuk dengan urusan-urusan pribadinya, sehingga jarang menghadiri majlis rasul, padahal biasanya dalam majlis itulah Rasul menjelaskan masalah-masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum sesuatu; memerintah atau melarang dan menganjurkan sesuatu. Contoh mengenai ini adalah sebagai berikut:
riwayat al zuhri bahwa hindun belum mendengar (mengetahui) hukum shalat mustahadhah, sehingga ia senantiasa menangis karena tidak dapat melaksanakan shalat:
أَنَّ هِنْدًا لَمْ تَبْلُغْهَارُخْصَةُرَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِىْ اْلمُسْتَحَاضَةِ وَهِيَ الَّتِيْ يَنْزِلُ عَلَيْهَاالدَّمُ بَحْدَ أَقْصَى مُدَّةِا الحَيْضِ فَكَانَتْ تَبْكِيْ لأِنَّهَالاَتُصَلِّى
“Bahwa hindun belum sampai kepadanya hukum rukhshoh shalat mustahadhah (orang yang keluar darah setelah batas maksimal haid), sehingga ia senantiasa menangis karena tidak bisa melakukan shalat.
Padahal ada hadis mengenai rukhshah shalat bagi mustahadhah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَرَضِيَ اللهُ عَنْهَاقَالَتْ : جَائَتْ فَاطِمَةُبِنْتُ أَبِيْ حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَتْ يَارَسُوْلُ اللهِ إِنِّيْ امْرَأَةٌ اِسْتَحَاضَ فَلاَ أَطْهُرُأَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ,قَالَ: لاَإِنَّمَاذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضِ فَاِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِىْ الصَّلاَةَوَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّى
Dari ‘aisyah RA ia berkata, bahwa Fatimah binti Hubaisy menghadap Rasulullah Saw seraya berkata, “ya Rarulullah  aku adalah seorang wanita mustahadhah, bolehkah aku meninggalkan shalat?” Rasul menjawab, “tidak, sesungguhnya darah tersebut penyakit, bukan darah haid, maka bila datang waktu haid, tinggalkan shalat, dan bila selesai waktu haid, cucilah darah itu, kemudian shalatlah. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).[3]

3.      Hal-Hal Yang Kembali Kepada Ta’arudl
Inilah sebab yang paling menimbulkan perbedaan dalam bidang hukum. Karenanya perlulah kita mempelajari ta’arudl dan cara-cara imam melepaskan diri dari pada ta’arudl dalil-dalil hukum itu.
Ta’arudl menurut bahasa, ialah taqabul dan tamanu, pertentangan satu sama lain dan tidak dapat dipertemukan.
Ta’arudl menurut istilah, yaitu dua dalil yang masing masing menafikan apa yang ditunjuki oleh dalil yang lain.
a.       Contoh ta’arudl antara dua nash Al-Qur’an
يااَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْاإِذَاكُمْتُمْ إِلَى صَلَى ةِفَاغْسِلُوْاوُجُوْهَكُمْ وَأَيُدِ يَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. (QS. Al-Maidah ayat 6)
b.      Contoh ta’arudl antara dua nash hadits
اِنَّمَاهُوَبِمَنْزِلَةِالمُخَاطِ وَالْبُصَاقِ
Artinya: mani itu hukumnya sama dengan lendir hidung dan air liur
Hadis ini menerangkan bahwa mani itu suci karena nabi menyerupakannya dengan barang suci, tetapi hadits ini dilawani dengan hadits yang lain, Nabi bersabda:
إِنَّمَايُخْسَلُ الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ مِنَ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَالدَمِ وَالْقَىْءِوَالْمَنِىِّ
Artinya : kain itu dibasuh dari lima hal (perkara) dari kencing, kotoran, darah, muntah, dan mani.
Menurut hadis ini mani itu najis, sebab termasuk kedalam benda-benda yang disebutkan dalam keadaan najis.[4]

PENUTUP
Dalam sejarah perkembangan hukum islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum beberapa masalah hukum, telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi SAW ketika beliau masih hidup. Tetapi perbedaan pendapat itu segera dapat dipertemukan dengan mengembalikannya kepada Rasulullah SAW. Setelah beliau wafat, maka timbul di kalangan sahabat perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum. Perbedaan pendapat di kalangan sahabat nabi itu tidak banyak jumlahnya karena masalah yang terjadi pada masa itu tidak sebanyak pada masa berikutnya yaitu masa Tabi’in. Masalah-masalah tersebut antara lain:

  1. Perbedaan Penafsiran Lafadz di Dalam Al-Qur’an
  2. Perbedaan Dalam Penerimaan Hadis
  3.  Hal-Hal Yang Kembali Kepada Ta’arudl


DAFTAR PUSTAKA
Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Madzhab. (Jakarta: Logos).
Yusuf, Hamdani. 1986. Perbandingan Madzhab. (Semarang: Aksara Indah).



[1] Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab Cetakan pertama, Jakarta: Logos, 1997, Hlm. 50-51.
[2] Drs. Hamdani Yusuf, Perbandingan Madzhab, Semarang: Aksara Indah, 1986, Hlm. 63-65
[3] Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, op.cit., Hlm. 54-56.
[4] Drs. Hamdani Yusuf, op.cit., hlm. 68-72.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.