Oleh: Siti Farida
Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985);
Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038)
A. Al Ahkam
1.
Pengertian
Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya
menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda
Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal
perbuatan mukallaf, baik itu mengandung
perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.
2. Pembagian al-Ahkam
Sebagian
besar para ulama Ushul Fiqh membagi
hukum menjadi dua bagian, yakni hukum taklifi
dan hukum wadh’i.
a. Al Ahkam
Taklifi
Al Ahkam (hukum) Taklifi adalah
khithab Allah Swt., atau sabda Nabi Muhammad Saw., yang mengandung tuntutan,
baik perintah melakukan atau larangan. Hukum Taklifi ada lima, yakni:
1)
Ijab, artinya
mewajibkan atau khithab yang meminta mengerjakan dengan tuntutan yang pasti.
2)
Nadab (anjuran),
artinya menganjurkan atau khithab yang mengandung perintah yang tidak wajib
dituruti.
3)
Tahrim
(mengharamkan), yaitu khithab yang mengandug larangan yang harus dijauhi.
4)
Karahah
(memakruhkan), yaitu khithab yang mengandung larangan, tetapi tidak harus kita
jauhi.
5)
Ibahah (membolehkan), yaitu khithab yang
membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau ditinggalkan.
b. Al Ahkam Wadh’i
Al Ahkam (hukum) Wadh’i merupakan
titah Allah SWT. yang berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan
hukum-hukum taklifi
Hukum Wadh’i ada 3 yakni:
1.
Sebab, merupakan
sesuatu titah yang menjadikan adanya suatu hukum dan dengan tidak adanya
sesuatu itu menjadi lenyapnya suatu hukum.
Contoh:“Barang siapa di antara kamu
melihat bulan itu, hendaklah ia berpuasa.” (Q.S. Al Baqarah 185)
2. Syarat, merupakan sesuatu yang karenanya
baru ada hukum dan dengan ketiadaanya, tidak akan ada hukum.
Contoh:
“Wudhu
adalah syarat sahnya shalat.”
3.
Mani’
(penghalang), yaitu menerangkan bahwa ada hal yang menghalangi berlakunya
sesuatu hukum. Misalnya, haid yang menghalangi kewajiban shalat bagi wanita.
3. Perbedaan antara Al Ahkam
Taklifi dengan Al Ahkam wadh.i
Perbedaan
keduanya dapat dilihat dari dua hal. Pertama,
yang dimaksud dengan hukum Taklifi adalah menuntut perbuatan, mencegahnya, atau
membolehkan memilih antara melakukan atau tidak melakukannya. Sedang hukum
Wadh’i tidak bermaksud menuntut melarang atau membolehkan memilih, tetapi hanya
menerangkan sebab dan syarat atau halangan suatu hukum.
Kedua, hukum Taklifi selalu dalam
kesanggupan orang mukallaf, baik untuk mengerjakan maupun untuk
meninggalkannya. Adapun hukum Wadh’i kadang-kadang dapat dikerjakan
(disanggupi) mukallaf, kadang-kadang tidak.
B. AL HAKIM (
PEMBUAT HUKUM )
Pembuat hukum dalam pengertian islam
adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia diatas bumi ini dan Dia pula yang
menetepkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan
kepentingan hidup dunia maupun untuk kepentingan hidup akhirat, baik aturan
yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan
alam sekitarnya.
Sebagaimana ditegaskan dakam firman Allah dalam surat
al-An’am ayat 57
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ للهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ
الْفَاصِلِينَ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik
Tentang kedudukan Allah sebagai
sAtu-satunya pembuat hukum dalam pandangan islam tidak ada perbedaan pendapat
dikalangan umat islam. Apakah manusia sendiri secara pribadi dapat mengenal
hukum Allah atau hanya dapat mengenalnya melalui perantara yang ditetapkan
Allah dalam hal ini adala Rasul.mengenai masalah ini terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama.
1. Pendapat
mayoritas ulama ahlussunnah ."mengatakan
bahwa satu-satunya yang dapat mengenalkan hukum Allah kepada manusia adalah
Rasul atau utusan Allah melalui wahyu yang diturunkan Allah. Sebagai
kelanjutannya bahwa bila tidak ada Rasul yang membawa wahyu maka tidak ada
hukum Allah dan manusia pun tidak akan mengetahuianya.
2. Kalangan
ulama mu’tazilah berpendapat bahwa memang Rasul adalah manusia satu-satunya
yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia. Meski demikian seandainya
Rasul belum datang mengenalkan hukum Allah tetapi melalui akal yang di berikan
Allah kepada manusia. Ia mempunyai kemampuan mengenalkan hukum Allah
Kedua
pendapat ini sepakat dalam menempatkan Rasul sebagai pembawa hukum Allah dan
Rasul sebagai orang yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia.
Bahwa
perbedaan dua kelompok tersebut ada dua hal
1.
Nilai baik dan buruk dalam suatu perbuatan
2.
Nilai baik dan buruk itu mendorong manusia untuk
berbuat atau tidak berbuat.
Dalam memahami dua hal tersebut terdapat tiga kelompok
ulama’
1.
Kelompok Asy’ariyah berpendapat bahwa suatu perbuatan
dari segi perbuatan itu sendiri tidak dapat di nilai baik atau buruk, oleh
karena akal manusia tidak dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan
baik dan buruknya suatu perbuatan itu tergantung di perintah atau di larangnya
perbuatan itu oleh Allah melalui
wahyunya.
2.
Kelompok mu’tazilah.berpendapat bahwa sesuatu
perbuatan dari materi perbuatan itu sendiri mengandung nilai baik atau buruk.
Bila akal dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan, maka akal
memahami bahwa suatu perbuatan yang baik harus dilakukan dan sesuatu perbuatan
buruk harus di tinggalkan.alasannya bahwa akal manusia dapat memahami
berdasarkan kenyakinannya akan keadilan Allah. Dengan demikian keharusan
berbuat atau tidak berbuat sudah ada meskipun wahyu belum diturunkan oleh
Allah.
3.
Kelompok maturidiyah berpendapat bahwa suatu perbuatan
dengan semata melihat pada materi perbuatan itu mempunyai nilai baik dan buruk.bahwa Allah tidak akan
membiarkan manusia melakukan suatu perbuatan buruk dan tidak akan mencegah
manusia melakukan perbuatan baik.dalam hal ini kelompok maturidiyah sependapat
dengan kelompok mu’tazilah
Di kalangan ulama’ fiqh kelompok ahlussunnah Hanafiyah
mengikuti aliran maturidiyah dalam hal penilaian baik dan buruk juga dalam hal
taklif. Berdasarkan pendapat ini ,aslahat dan mafsadat dapat di jadikan pertimbangan dalam
menetapkan hukum. Namun penetapan itu baru berlaku secara efektif bila mendapat
pengakuan dari wahyu.
C .MAHKUM
FIH ( OBJEK HUKUM )
Mahkum fih
adalah Perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara’. Dalam
ulama’ ushul fiqh yang disebut mahkum fih atau obyek hukum yaitu sesuatu yang
berlaku padanya hukum syara’obyek hukum adalah perbuatan itu sendiri.
Hukum syara’ terdiri atas dua macam yaitu hukum
taklifi dan hukum wadh’i hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukallaf,
seperti:
. 1.
Yang berhubungan dengan ijab,
dinamai wajib;
2.
Yang
berhubungan dengan nadb, dinamai mandub/sunnah;
3.
Yang
berhubungan dengan tahrim, dinamai haram;
4.
Yang
berhubungan dengan karahah, dinamai makruh;
5.
Yang
berhubungan dengan ibahah, dinamai mubah.
Sedangkan
sebagian hukum wadh;i ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf
seperti tergelincirnya untuk masuknya kewajiban shalat dzuhur, tergelincirnya
matahari itu sebagai sebab hukum wadh;i dan karena ia tidak menyangkut
perbuatan mukallaf, maka ia tidak termasuk obyek hukum.Para ahli ushul fiqh
menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai obyek hukum yaitu:
1.
Perbuatan itu sah dan jelas adanya tidak memberatkan seseorang
melakukan sesuatu yang tidak mungkin.
2.
Perbuatan itu tertentu dapat diketahui oleh orang yang akan
mengerjakan. Tidak mungkin berlaku taklif terhadap suatu perbuatan yang tidak
jelas.
3.
Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan
berada dalam kemampuannya.
4.
perbuatan itu berada dalam batas kemampuan mukallaf. Seorang hamba
tidak akan dituntut melakukan sesuatu yang tidak mungkin melakukannya yang
menjadi dasar ketentuan ini adalah firman Allah.
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ
وُسْعَهَا
Allah tidak
membebani seseorang kecuali semampunya
Dengan
penjelasan ayat tersebut dapat di pahami bahwa tuhan tidak menginginkan manusia
dalam kesulitan.atau masyaqqah dalam hubungannya dengan obyek
hukum.dalam hal ini ulama’ membagi kesulitan atau masyaqah itu pada dua
tingkatan:
1.Masyaqqah
yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam melaksanakannya.seperti puasa dan
haji.
2. Masyaqqah
yang tidak mungkin seseorang melakukannya secara berketerusan atau btidak
mungkin dilakukan kecuali dengan
pengerahan tenaga yang maksimal. Seperti berperang dalam jihad dijalan Allah.
Macam-macam Mahkum Fih
Perbuatan yang dihukumkan (Mahkum Fih) itu adalah:
1.
Wajib
Perbuatan wajib, yaitu sesuatu perbuatan yang
diberikan pahala bila dikerjakan dan diberi siksa bila ditinggalkan
Contoh Wajib :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ اْلأَنْعَام
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu…… (Surat Al-Maidah, ayat 1).
Ijaab yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan
perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi aqad yang hukumnya wajib.
2.
Mandub
Mandub (sunnah) yaitu suatu perkara yang apabila
dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa atau
dosa.
Contoh Mandub:
…(البقرة ۲۸۲) يَآأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِب
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya....
(Surat Al-Baqarah, ayat 282) .
Nadab yang diperoleh dari ayat ini
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menulis hutang yang
hukumnya mandub (sunat).
3.
Haram
Haram ialah larangan keras, jika dikerjakan berdosa
dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
Contoh Haram:
الاۤية (الانعام
۱۵۱وَتَمَّتْ كَلِمَةُ
رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَمُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa ... (Surat
Al-An’am, ayat 151).
Tahrim yang diperoleh dari ayat ini
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwa yang hukumnya
haram.
4.
Makruh
Makruh ialah larangan yang tidak keras, jika dilanggar
tidak berdosa, tetapi kalau tidak dikerjakan mendapat pahala.
Contoh Makruh:
وَإِنْ
عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيم
الاۤية
(البقرة ۲٦٧)
Artinya: Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk
lalu kamu menafkahkan daripadanya… (Surat Al-Baqarah, ayat 267).
Karahah yang diperoleh dari ayat ini
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menafkahkan harta yang buruk yang
hukumnya makruh.
5.
Mubah
Mubah ialah sesuatu yang boleh/tidak dikerjakan. Kalau
dikerjakan/ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa, misalnya makan yang
halal, berpakaian bagus, tidur, dan sebagainya
Contoh Mubah:
أَيَّامًا
مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن
تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن
كُنتُمْ تَعْلَمُونَ …(البقرة ۱۸٤)
Artinya: Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain... (Surat
Al-Baqarah, ayat 184).
Ibahah yang diperoleh dari ayat ini
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu berbuka puasa dalam keadaan
sakit atau dalam perjalanan, yang hukumnya mubah
D.MAHKUM
‘ALAIHI
Pengertian Mahkum ‘Alaihi
Mahkum ‘alaihi (مَحْكُوْمٌ عَلَيْهِ)
= Sobyek hukum ialah: orang-orang mukallaf, artinya orang-orang muslim yang
sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban
baginya.dalam istilah ushul fiqh subyek hukum itu disebut mukallaf atau
orang-orang yang dibebani hukum yaitu orang-orang kepadanya diperlakukan hukum.
Bahwa ada dua hal yang harus
terpenuhi pada seorang yang dapat disebut mukallaf ( subyek hukum )
yaitu bahwa ia mengetahui tuntutan Allah dan ia mampu melaksanakan tuntutan
tersebut.
Orang gila, orang yang sedang tidur
nyenyak, dan anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai
taklif (tuntutan), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ
وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيْقُ. (روه
ابوداود والنسائ)
“Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat)
amal perbuatan tiga orang: (1) orang yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak
hingga ia dewasa, dan (3) orang gila hingga sembuh kembali”.
Demikianlah orang yang terlupa
disamakan dengan orang yang tidur dan yang tidak mungkin mematuhi apa yang
ditaklifkan.
Dua hal merupakan syarat taklif atas
subyek hukum.
1.
Ia memahami titah Allah yang menyatakan bahwa ia
terkena tuntutan dari Allah. Paham dan tahu itu sangat berkaitan dengan akal.
karena akal itu adalah alat untuk mengetahui dan memahami. Sesuai dengan sabda
Nabi.
Agama itu didasarkan pada akal tidak
ada arti agama bagi orang yang tidak berakal.
Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa subyek hukum yang
pertama adalah “ Baligh dan berakal “
2.
Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum
yang dalam istilah ushul disebut ahlun li al taklif kecakapan menerima
taklif disebit ahliyah atau kepantasan menerima taklif. Kepantasan itu
ada dua yaitu kepantasan untuk dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan
hukum.
1.
Kecakapan untuk dikenai hukum atau yang disebut ahliyah
al wujud yaitu kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan
dikenai kewajiban. Para ahli Ushul fiqh membagi ahliyah alwujud menjadi dua
tingkatan.
a.
Ahliyah al
wujud naqish atau kecakapan dikenai hukun secara lemah, yaitu
kecakapan seorang manusia untuk menerima hak tetapi tidak menerima kewajiban.
Contoh : bayi dalam kandungan ibunya. Bayi atu janin
itu telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisa atau wasiat, meskipun ia
belum lahir. Bayi dalam kandungan itu tidak dibebeni kewajiban apa-apa karena
secara jelas ia belum bernama manusia.
b.
Ahliyah al wujud kamilah atau
kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk
dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak.
Contoh : anak yang baru lahir, di samping ia berhak
menerima warisan ia juga telah dikenai kewajiban zakat fitrah.
2. Kecakapan
untuk menjalankan hukum atau yang disebut Ahliyah al-ada’ yaitu kepantasan
seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal
ini berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan
telah mempunyai akibat hukum.
Kecakapan berbuat hukum terdiri dari tiga tingkat, setiap tingkat dikaitkan
kepada batas umur seseorang manusia.yaitu:
1.
Adim al-ahliyah atau tidak cakap sama sekali yaitu
semenjak lahir sampai mencapai umur tamyis sekitar umur 7 tahun.
2.
Ahliyah al-ada naqishah atau cakap
berbuat hukum secara lemah yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyis
sekitar 7 tahun sampai batas dewasa.
3.kecakapan berbuat hukum secara sempurna atau yang
disebut Ahliyah al-ada’ kamilah
yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
E.Dasar Taklif
Sebagai kebijaksanaan Allah SWT.,
perintah dan larangan (taklif = pertanggungan jawab, selanjutnya taklifi,
selalu disesuaikan dengan kemampuan (ahliyyah) manusia. Hak-hak Allah maupun
hak-hak manusia bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada orang
yang mempunyai kemampuan, karena itu, kemampuan ini menjadi dasar
adanya taklif.
Halangan Ahliyyah
Hal-hal yang menggugurkan taklif
dalam Ilmu Ushul Fikih disebut : عَوَارِضُ
الأَهْلِيَّةِ(hal-hal yang
menghilangkan Keahlian), yang terbagi ke dalam dua macam, yaitu:
1. سَمَاوِيَّةُعَوَرِضُ = hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya diluar
usaha dan kehendak manusia. Seperti gila, agak kurang waras akalnya, dan lupa.
2. كَسْبِيَةٌعَوَرِضُ = hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak
manusia. Seperti mabuk, bodoh, dan hutang.
Taklif terhadap orang kafir.
Apakah
islam merupakan syarat untuk dikenai tuntutan hukum. Dengan kata lain : apakah non muslim dengan kekafirannya itu
dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak ?
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’
Pertama, bahwa tidak ada hubungan antara persyaratan taklif
dengan tercapainya syarat syar’i adalah imam asyafi’i, hanafi dan mayoritas
ulama’ mu’tazilah berpendapat bahwa orang-orang kafir dikenai beben hukum untuk
melaksanakan syari’at.
Ayat-ayat
Al quran yang memerintahkan ibadat secara umum juga menjangkau orang
kafir.diantaranya surat al baqarah ayat 21.
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُم.......
Artinya : hai umat mnusia sembahlah tuhanmu.
Kedua pendapat dari sebagian ulama’ syafi’iyah dan sebagian mu’tazilah. Bahwa
orang kafir itu tidak dibebani tklif untuk melaksanakan ibadah.
Ketiga kelompok ulama’ yang berpendapat
bahwa orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan tetapi tidak
dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan, karena untuk melakukan perbuatan
yang disuruh diperlukan niat, sedangkan untuk meninggalkan larangan cukup
dengan jalan tidak berbuat apa-apa. Untuk tidak berbuat tidak diperlukan niat.
Kesimpulan
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan Al-Ahkam
(hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut
istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah
Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal
perbuatan mukallaf, baik itu
mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.,
Al hakim :Pembuat
hukum dalam pengertian islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia diatas
bumi ini dan Dia pula yang menetepkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia.
mahkum fih atau obyek
hukum yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’obyek hukum adalah
perbuatan itu sendiri. Sedangkan Mahkum ‘alaihi Sobyek hukum ialah: orang-orang
mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan
syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof Dr H Syarifudin Amir, Ushul
fiqh jilid 1 Jakarta Logos Wacana 1997
H.A. Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Cv
Pustaka Setia (Bandung:1997)
Khairul Umam, Ushul Fiqih 1, CV Pustaka Setia,
(Bandung: 2000)
www.abdulhelim.com/2012/04/mahkum-fih-dan-mahkum-alaih.html
Komentar
Posting Komentar