Dewi Mustika (21113019); M. Samsul Arifin (211 13 025); Daniel Jafar (211 12
046); dan Syifaul Huda (211 12 045)
A. Pendahuluan
Perkawinan adalah salah satu asas
pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan warahmah (KHI,
Pasal 3). Perkawinan
juga sebagai ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU
Perkawinan, Pasal 1).
Dalam kajian Hukum Islam maupun
Hukum Nasional di Indonesia perkawinan
dapat dilihat dari tiga segi yaitu: segi hukum, sosial dan ibadah (Mukhtar, 1993:5-8). Pertama segi hukum, perkawinan
merupakan suatu perjanjian yang sangat kuat dan kokoh atau dalam al-Qur’an disebut
sebagai misaqan galizan. Kedua segi sosial, perkawinan telah mengangkat martabat
perempuan sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang karena dari perkawinan
tersebut akan lahirlah anak-anak yang sah. Ketiga segi ibadah, perkawinan
merupakan suatu kejadian yang penting dan sakral dalam kehidupan manusia yang
mengandung nilai ibadah.
Istilah “Kawin Kontrak” biasa
melekat pada perkawinan orang asing yang sedang bekerja di Indonesia. Hal itu
disebabkan umur perkawinan mereka hanya sepanjang umur kontrak kerja di
Indonesia. Sehingga pengertian kontrak karena
ada ikatan unsur waktu yang membatasi dimulai dan berakhirnya suatu
perkawinan, sesuai hasil yang dirundingkan sebelumnya (Habsul, 1994:33).
Jumhur fuqaha’ berpendapat ada 4
macam perkawinan Fasidah (rusak,tidak sah) yakni kawin sighar (tukar menukar
anak perempuan atau saudara perempuan tanpa mahar), kawin kontrak (dibatasi
dengan waktu tertentu yang diucapkan dalam ‘aqad), nikah yang dilakukan
terhadap seorang wanita yang dalam proses khitbh (pinangan laki-laki) dan
perkawinan Muhallil (siasat penghalalan mengawini mantan istri yang ditalaq
bain). (Hasanah,
2009)
B. PENGERTIAN
KAWIN KONTRAK
Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan”
berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan
lawan jenis, melakukan hubungan kelamin, atau bersetubuh.Sedangkan “kontrak”
berarti persetujuan yang bersanksi hukum antara dua pihak atau lebih untuk
melakukan atau tidak melakukan kegiatan (Anton,
1994:456). Kawin
kontrak dalam istilah fiqih dikenal sebagai nikah mut’ah. Dalam istilah yang lain, nikah mut’ah disebut juga nikah sementara (nikah muaqqot)
atau nikah terputus (nikah munqothi’).
Menurut Dr. H. Mahjuddin, M.Pd.i,
kawin kontrak merupakan tradisi masyarakat jahiliyah (Mahjuddin, 2003:51). Yang pengertiannya menurut Sayyid
Syabiq, “kawin kontrak adalah adanya seorang pria mengawini wanita selama
sehari atau seminggu atau sebulan.” Dan dinamakan muth’ah karena laki-laki
mengambil manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan
bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah ditentukannya (Sayyid,
1980:63).
Nikah mut’ah adalah nikah untuk
bersenang-senang dalam masa tertentu. Misalnya dikatakan oleh walinya, “Aku
nikahkan engkau dengan Fatimah untuk sebulan saja” (Tihami
Dan Sohari, 2010:89). Perkawinan adalah sunatullah, hukum
alam di dunia. Perkawinan yang merupakan sunatullah pada dasarnya adalah mubah
tergantung pada tingkat maslahatnya. Di sini, perbedaan tingkat larangan sesuai
dengan kadar kemampuan merusak dan dampak negatif yang ditimbulkannya.
Secara istilah, kawin kontrak adalah
pernikahan antara laki-laki dan perempuan dengan menyebutkan batas waktu
tertentu ketika akad nikah, misalnya satu minggu, satu bulan, satu tahun, dan
sebagainya. Apabila telah sampai pada waktu yang ditetapkan, maka pernikahan
itu putus dengan sendirinya. Nikah mut’ah cenderung bertujuan untuk hiburan,
bersenang-senang dan melampiaskan hawa nafsu semata (Team Musyawarah Guru 2008:10).
C. SEJARAH
KAWIN KONTRAK PADA MASA RAULULLAH SAW.
Jika kita tengok sejarah awal Islam,
ketika itu masyarakat jahiliyah tidak memberikan kepada wanita hak-haknya
sebagaimana mestinya. Karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang
yang bisa ditukar seenaknya.
Pada zaman Rasulullah, Rasulullah
mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh dari istrinya untuk melakukan nikah
mut’ah dari pada melakukan penyimpangan. Namun kemudian Rasulullah
mengharamkannya ketika melakukan pembebasan kota Mekah pada tahun 8 H /630 M.
Nikah mut’ah di awal-awal Islam
dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Nikah ini menjadi haram hingga hari
kiamat. Demikianlah yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas) sahabat, tabi’in
dan para ulama madzhab.
D. LANDASAN
HUKUM KAWIN KONTRAK MENURUT UNDANG-UNDANG DAN SYARI’AT ISLAM
1.
Menurut Undang-Undang Perkawinan di Indonesia
Kawin kontrak merupakan salah satu
jenis perkawinan yang masuk ke dalam kategori “perkawinan yang timpang”. Dalam sudut pandang hukum, kawin
kontrak pada dasarnya tidak diperkenankan oleh hukum perkawinan Indonesia yaitu
yang terangkum dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 1
Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang maha Esa” (Soemiyati,
2007:138). Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.”
Ketentuan di atas mengandung
pengertian bahwa apabila sebuah perkawinan dilakukan tidak berdasarkan agama
dan kepercayaan dari masing-masing pihak, maka secara hukum tidak akan diakui
keabsahannya. Ketentuan agama dalam hal ini tidak hanya diberi pengertian
terpenuhinya syarat-syarat konkrit seperti adanya dua calon mempelai,
persetujuan orang tua, mahar dan lain-lainnya. Tetapi juga harus terpenuhinya
tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, kawin kontrak bukan merupakan
perkawinan yang sah karena pada dasarnya dilakukan bukan karena adanya tujuan
yang mulia untuk mematuhi perintah Tuhan dan untuk membentuk keluarga yang
bahagia, melainkan hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan yang didasari kepentingan
yang bertentangan dengan hukum perkawinan itu sendiri. Misalnya demi memenuhi
kebutuhan ekonomi. Selain itu dalam hukum perkawinan dikenal adanya asas
pencatatan perkawinan yang tertuang dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.” Kawin kontrak bukan hanya tidak dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku tetapi proses dari perkawinannya itu sendiri
berlangsung secara diam-diam dan tidak banyak orang yang mengetahuinya.
Adapun pengertian “sah” dalam
pandangan para pelaku kawin kontrak hanya didasarkan pada terpenuhinya
persyaratan dua calon mempelai, persetujuan orang tua, penghulu, dan mahar. Sehingga
mereka berpikir bahwa secara agama perkawinan tersebut sah meskipun tidak
dicatat.
Ini adalah pemahaman yang keliru
karena berdasarkan hukum perkawinan, perkawinan itu akan sah apabila dicatat
oleh lembaga yang berwenang melakukan pencatatan. Mengenai asas pencatatan ini
pun tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang merupakan
pelaksanaan dari pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Kemudian jika dilihat dari syarat-syarat perkawinan yaitu yang
termuat dalam pasal 6 ayat (1) berbunyi:
“Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.”
Akan tetapi pada kenyataannya, tidak
sedikit kawin kontrak terjadi bukan
berasal dari persetujuan calon mempelai tetapi terjadi karena paksaan dari
orang tua (jika pihak perempuan) yang karena faktor ekonominya kurang mampu
sehingga tega menjual anak-anaknya sendiri untuk tujuan menyambung hidup.
Persetujuan yang terjadi pada umumnya hanya terucap secara lisan saja
berdasarkan paksaan, bukan karena hati nurani. Dan ini sudah melanggar
ketentuan dari tujuan perkawinan itu sendiri yang harus didasari oleh kehendak
dan tujuan yang baik untuk memenuhi perintah Tuhan. Sedangkan dari pihak
laki-laki sudah jelas tujuannya hanya sebatas pemuas nafsu biologis semata atau
juga tujuan-tujuan lainnya yang hanya berorientasi pada kepentingan sepihak.
Pasal 7 ayat (1) undang-undang
perkawinan menyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (Sembilan belas) dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun.” Dalam undang-undang Perkawinan
dikenal asas bahwa para pihak harus sudah aqil
balig. Aqil dalam hal ini adalah
berakal dan balig adalah dewasa
secara fisik. Banyak pihak yang mengartikan dewasa itu hanya sebagai balig, padahal kedewasaan itu ditunjang
oleh aqil sehingga seseorang tersebut
mempunyai akal untuk berfikir atau mempertimbangkan sesuatu itu apakah benar
atau tidak, apakah berakibat buruk atau tidak.
Demikian pula pada masalah
perkawinan, kedua calon mempelai itu dituntut tidak hanya dewasa secara fisik
tetapi juga dewasa secara pemikiran sehingga akan mampu menjalankan bahtera
perkawinannya secara sehat. Jika merujuk pada keterangan para pelaku kawin
kontrak, pada umumnya syarat aqil dan
balig itu hanya dimiliki oleh satu
pihak (misalnya dari pihak laki-laki yang rata-rata sudah berusia dewasa dan
memiliki akal untuk mempertimbangkan baik dan buruknya perkawinan kontrak namun
mereka mengabaikan hal tersebut) namun kenyataan di lain pihak.
Calon mempelai perempuan berusia di
bawah 16 tahun atau berusia di atas enam belas tahun namun belum memiliki
kedewasaan untuk mempertimbangkan baik buruknya melakukan kawin kontrak.
Sehingga mereka menurut ketika orang tua memaksanya atau keadaan ekonomi
menuntutnya untuk dilakukan perkawinan komersial tersebut. Oleh karena itu
jenis perkawinan ini sangat bertentangan dengan nilai kepatutan di masyarakat,
serta bertentangan dengan agama dan hukum negara.
Di Indonesia perkawinan adalah sah
apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. UU No.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum islam memandang bahwa perkawinan itu
tidak hanya dilihat dari aspek formalnya semata-mata, tetapi juga dilihat dari
aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan
sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan
di KUA atau catatan sipil.
E.
Faktor dan Dampak adanya kawin kontrak
Kawin kontrak terjadi oleh banyak
factor. Meliputi factor personal ataupun kebudayaan. Diantara factor-faktor
tersebut yaitu:
1.
Factor
ekonomi.
Kesulitan dan tingkat rendah sebuah perekonomian menjadi factor yang
paling dominan dalam masalah kawin kontrak.
2.
Ingin
memperbaiki keturunan.
Sebagian perempuan ingin memperbaiki keturunan. Mereka menginginkan
anak-anak mereka seperti orang asing (bule, arab, india, dsb) meskipun harus ditempuh melalui kawin kontrak.
3.
Lingkungan
Keluarga dan lingkungan dimana seseong tinggal sangat berpengaruh
terhadap kepribadian individu. Apabila lingkungan yang ia lihat dan rasakan
memiliki kebudayaan yang demikian, maka secara otomatis hal itu menjadi suatu
kebiasaan yang tidak lagi tabu atau sebuah penyimpangan baginya.
Adapun dampak dari fenomena kawin kontrak
adalah:
1.
Kawin kontrak merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat
kaum wanita. Jadi pihak wanita sangat dirugikan.
2.
Kawin kontrak mengganggu keharmonisan keluarga dan
meresahkan masyarakat.
3.
Kawin kontrak berakibat menelantarkan generasi yang
dihasilkan oleh perkawinan itu.
4.
Kawin kontrak bertentangan dengan Undang Undang Perkawinan
No.1/1974 pasal 1 dan 2.
5.
Kawin kontrak dicurigai dapat menimbulkan dan menyebarkan
penyakit kelamin.
6.
Kawin kontrak sangat potensial untuk merusak kepribadian dan
budaya luhur bangsa Indonesia.
F. Penutup
1.
Kawin Kontrak adalah pernikahan antara laki-laki dan
perempuan dengan menyebutkan batas waktu tertentu ketika akad nikah, misalnya
satu minggu, satu bulan, satu tahun, dan sebagainya.
2.
Sejarah kawin kontrak: pada zaman Rasulullah, saat itu
Rasulullah mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh dari istrinya untuk
melakukan Kawin kontrak, dari pada melakukan penyimpangan. Namun kemudian
Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan pembebasan kota Mekah pada tahun 8
H / 630 M. Kawin kontrak di awal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh
(dihapus). Kawin ini menjadi haram hingga hari kiamat.
3.
Kawin kontrak atau nikah muth’ah pada umumnya
bertentangan dengan nilai budaya, agama dan masyarakat sosial.
4.
Kawin kontrak mempunyai dampak yang dapat
merugikan personal, kepribadian maupun masyarakat secara luas.
DAFTAR PUSTAKA
Habsul, Wannimaq. 1994. Perkawinan Terselubung Diantara Berbagai
Pandanga. Jakarta: Golden Trayen Press.
Hasanah, Pauziah. 2009. Kawin Kontrak
Akibat Istri Menjadi Tkw: Perspktif Sosiologi Hukum Islam”. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas
Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yoqyakarta.
Kementrian Agama. Kompilasi Hikum Islam. Bandung:
Humaniora Utama Press, 1992
Kementrian
Agama RI. Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya, 2011
Mahjuddin.2003.Masailul Fiqhiyah. Jakarta: Kalam
Mulia.
Mukhtar,Kamal. 1993. Asas-Asas Huku Islam Tentang Perkwinan.
Jakarta:Bulan Bintang.
Muliono, Anton.1994. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sabiq,
sayyid. 1980. Fikih Sunnah 6. Bandung: PT. Alma’arif.
Soemiyati.2007.Hukum
Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty.
Team
Musyawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah. Al
Hikmah Fiqih. Sragen: Akik Pusaka, 2008
Tihami,
M. A. dan Sohari Sahrani. 2010.Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: RajawaliPers.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Komentar
Posting Komentar