Langsung ke konten utama

Shalat Berjamaah



Disusun Oleh:
Puji Nur Hastutik (111-11- 104); Zanuar Rifqi (111-11-106); Fenny Riskya (111-11-112); dan Ikhwanul Mukminin            (111-11-123)

A.      SHOLAT BERJAMAAH
Dasar Sholat Berjamaah
            Hukum sholat berjamaah ialah sunnat muakkadah (sunnah yang dikuatkan), yaitu dibawah wajib dan diatas sunnah biasa. Di antara dalil naqlinya, ialah sabda Rasul SAW dari Ibnu Umar, bahwa beliau bersabda:
صَلاَةُ الجَمَاعَةِ اَفْضَلُ منْ صَلاَةِ الفَذِّ بِسَبْعٍ و عِشْرِيْنَ دَرَجَةً . متفق عليه   

Sholat berjamaah itu lebih baik dari sendirian dengan dua puluh tujuh derajat. (Hr.Muttafaqun ‘alaih atau Bukhari dan Muslim)

Kehadiran Wanita Sholat Berjamaah di Masjid
            Yang afdlal, ialah agar wanita sholat di kamarnya sendiri di rumahnya, karena Ummu Humaid Saa’idah bertanya kepada beliau,  Hai Rasulullah ! Sesungguhnya aku suka kalau sholat berjamaah bersama engkau. Jawab beliau :
قَدْ عَلِمْتُ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَ تِكِ فِى مَسْجِدِ الجَمَاعَةِ

Saya sebenarnya sudah tahu. Sholatmu di masjid kaummu lebih baik bagimu dari sholatmu di masjid jamaah.
لاَ تَمْنَعُواالنِّسَاءَ انْ يَخْرُجْنَ الى المَسْجِدِ وَ بُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

Janganlah kamu melarang para wanitamu keluar sholat ke masjid, namun sholat di rumah mereka sendiri lebih baik bagi mereka . (demikian dari Ibnu Umar)
            Walaupun begitu, apabila keadaan akan menimbulkan syahwat, fitnah karena dandanan dan harum-haruman, maka janganlah sholat keluar rumah, sebab akan menimbulkan keruwetan yang mungkin sulit memecahkannya.


B.       Cara Berdiri Imam Bersama Makmumnya
            Bila seorang laki-laki atau anak kecil yang telah mumayyiz  berada bersama imam, maka hendaklah orang itu disunnatkan agar berdiri di kanan imam dan agak ke belakang sedikit  dari imam. Makhruh bila dia sebaris saja dengan imamnya. Bila makmum dua orang, maka mereka  bershaf di kiri atau di belakang imam. Begitu pula bila makmum terdiri dari seorang laki-laki dan seorang anak kecil kecil. Bila makmum terdiri dari seorang laki-laki dan perempuan, maka laki-laki di kanan imam dan perempuan di belakang laki-laki itu. Laki-laki dan anak-anak dalam hal ini sama nilainya.
            Bagi Abu Hanifah tidak makhruh bila laki-laki yang seorang itu berdiri sebaris dengan imamnya. Sedangkan imam Hanbali berpendapat bahwa, bila seorang laki-laki jadi makmum  dan berdiri di kiri imamnya satu rekaat, maka sholat laki-laki itu batal . Imam hendaklah berdiri ditengah-tengah kaumnya. Bila dia berdiri berat ke kiri atau ke kanan, maka dia telah melangar sunnah Rasul SAW pada saf pertama hendaklah berdiri tokoh-tokoh kaum, sehingga mereka patut itu jadi imam, pada waktu imam berhadast dan lainnya.
Bila Seseorang Datang dan Ditemuinya Imam Sedang Rukuk atau Ada Lowong Sesudah Dia Takbirotul Ihram, maka terjadi perbedaan pendapat antar imam mazhab, seperti;
Hanafiyah
1.      Bila seseorang datang dan ditemukan imam sedang rukuk, dan bila ada lowong di shaf akhir, maka janganlah dia takbir di luar shaf. Tapi hendaklah dia takbirotul ihram dalam shaf itu, walaupun rekaat itu dia ketinggalan. Dia makruh bertakbir ihram di luar shaf.
2.      Bila tidak ada lowong pada saf akhir dan di saf lain ada lowong, maka janganlah dia takbir di luar saf. Tapi, bila tidak ada lowong, maka dia takbir di belakang semua saf yang ada.
3.      Bila seorang jadi makmum melihat ada lowongan pada saf depan mengisinya, maka dimandubkan baginya agar berjalan berangsur-angsur untuk mengisi lowong itu. Yang demikian bila jaraknya hanya satu saf dengannya.
4.      Bila dia berada pada saf kedua dan melihat lowong pada saf pertama, maka dia boleh berpindah kesana. Tapi, bila lowong pada saf ketiga dan ada lowong pada saf pertama, maka dia tidak boleh pindah ke sana untuk memenuhinya. Jadi dia lakukan juga, maka batallah sholatnya itu, karena banyak bergerak pindah.
Syafi’iyah
1.      Bila seorang makmum datang dan dia melihat ada saf lowong dan imam sedang rukuk , maka mandub baginya melambatkan dan masuk ke saf itu, sehingga tiba di saf, walaupun dia ketinggalan rakaat itu.
2.      Niat masuk dalam sholat dan dia melihat ada lowong pada salah satu saf, maka dia hendaklah masuk saf itu, sehingga kekosongan terisi, dengan syarat agar tidak melangkah tiga kali berturut-turut.
3.      Bila terlihat lowong sesudah masuk salat, maka dia tidak boleh mendesak orang di saf yang ada.
4.      Bila datang berjamaah, tapi ada tempat yang lowong dalam saf, maka dia takbirotul ihram di luar saf. Sesudah takbir, maka disunnatkan agar dia menarik seorang yang berdiri di saf depannya, dengan harapan agar dapat membuat saf baru bersama dengannya dengan syarat saf depannya itu terdiri paling kurang tiga orang. Bila tidak, maka tidak boleh menarik orang itu.

Hanabilah
1.      Bila seseorang datang untuk solat dan didapatinya imam sedang rukuk dan di saf akhir ada lowong, maka dia boleh takbirotul ihrom di luar saja, karena mengajar rekaat itu.
2.      Bila dia berjalan ke saf yang lowong hendak memenuhinya dan dia sedang rukuk atau sesudah mengangkat kepalanya dari rukuk, selama imamnya belum rukuk . Bila dia tidak masuk saf sebelum imamnya sujud dan tidak dia temui seorangpun yang bersaf bersama dengannya untuk membuat saf baru,maka batallah salat itu.
3.      Bila dia  takbir di belakang semua saf dan bukan karena takut ketinggalan rakaat dan masuknya sesudah sujud, maka salatnya batal.
4.      Bila seseorang takbirotul ihram dan kemudian dia lihat ada lowong di saf depannya, maka mandub baginya berjalan mengisi lowong itu, selama tidak menjadikannya banyak pekerjaan menurut pandangan umum. Bila tidak, maka salat batal.
5.      Bila seseorang berjalan untuk salat berjamaah dan tidak ada lowong dalam saf dan dia tidak dapat berdiri di kanan imam, maka dia wajib member tahukan kepada laki-laki saf itu, agar dia berdiri bersama dengannnya di saf baru di belakang, diberitahukannya dengan batuk-batuk kecil. Makhruh baginya menarik orang saf depannya walaupun orang itu sama atau anaknya sendiri. Bila salat saja sendirian di belakang imamnya, maka salatnya itu batal.


Malikiyah
1.      Bila seorang makmum datang dan dia mendapati imam dalam salat, maka bila dia mengira akan mendapatkan rekaat itu, sehingga dia tiba pada saf akhir takbirotul ihramnya, maka hukumnya dinadabkan baginya.
2.      Bila dia mengira bahwa tidak akan mendapat rekaat itu sesampainya di saf, maka dinadapkan baginya takbirotul ihrom diluar saf itu, dengan perkiraan dia akan tiba di saf sebelum imam mengangkatkan kepalanya dari rukuk. Dia berjalan ke saf tersebut, sesudah dia masuk solat.
3.      Bila makmum tiba dan tidak ada tempat yang lowong di saf itu , maka dia takbirotul ihrom di luar saf saja dan makruh baginya menarik seseorang dari saf itu untuk berdiri bersama dengannya. Bila dia tarik juga orang lain itu, maka makruh baginya bersaf dengannya.

C.      Menjahar dan Mensirkan Bacaan
         Menjaharkan bacaan bagi imam atau orang yang salat sendirian dalam dua rakaat pertama dan kedua, dari salat Subuh, Jum’at, Maghrib, Dhuhur, Ashar, Isya’. Mengenai ini ada khilafiyah yaitu:
Hanafiyah
1.      Menjahar itu wajib atas imam dan sunnat bagi orang yang salat sendirian atau munfarid. Orang yang salat munfarid diberi hak memilih antara menjahar atau sir dalam salat jahar, tetapi menjahar afdhal.
2.      Orang masbuq atau ketinggalan rakaat salat jahar, baik rakaat jum’at, subuh, isya, atau maghrib dan kemudian dia berdiri menambahnya, maka dia diberi hak pilih antara jahar dan sir.
3.      Bila seseorang menjahar pada salat Ashar atau Dhuhur, maka dia telah meninggalkan wajib salat. Dia harus melakukan sujud sahwi, untuk mensahkan bahwa ia adalah wajib. Adapun makmumnya, maka wajib diam saja dalam hal yang terdahulu.
Syafiiyah dan Malikiyah
          Disunnatkan menjahar, baik atas imam maupun munfarid dari dua rakaat pertama salat maghrib dan Isya. Begitu pula dalam kedua rakaat subuh dan jum’at.
Hanabillah
         Munfarid diberi hak antara memilih jahar dan sir dalam salat jahar.

D.      Syarat-syarat Berimam

1.      Islam
Bila seseorang berimam kepada seseorang yang dianggap muslim tapi ternyata dia kafir, maka shalat makmum itu batal dan dia wajib mengulang shalatnya itu.
2.      Balig
Bila seseorang yang telah balig jadi makmum bagi seorang anak yang belum balig, salat fardhu, maka shalatnya batal (menurut imam yang bertiga, selain Syafi’iyah). Menurut Syafi’iyah boleh orang balig itu jadi makmum anak yang mumayyiz, kecuali shalat Jum’at.
3.      Laki-laki
Bila makmum terdiri dari wanita saja, maka tidak disyaratkan agar jadi imam mereka laki-laki, tetapi wanita jadi imam jemaah wanita. Ini disepakati oleh tiga imam kecuali Malikiyah. Mereka berpendapat bahwa wanita tidak sah jadi imam laki-laki atau perempuan. Menurut mereka laki-laki ialah syarat mutlak jadi imam.
4.      Berakal
Bila orang gila sedang sehat akalnya jadi imam, maka shalat jamaah itu sah, tetapi bila ia sedang gila, maka shalat itu tidak sah.
5.      Qarik (bacaanya memenuhi syarat membaca)
Imam harus qari dari makmumnya yang ummi. Orang ummi boleh jadi imam bagi sesamanya. Mereka berpendapat bahwa tidak sah mengikuti imam yang ummi bila ada jamaah yang lebih qari.
6.      Tidak beruzur
Imam haruslah tidak beruzur, seperti tidak mengeluarkan air seninya terus menerus. Bila sama uzur imam dan makmum, maka Hanafiyah dan Hanbaliyah boleh sesama mereka jadi imam. Lain halnya Syafi’iyah dan Malikiyah, mereka berpendapat bahwa tidak disyaratkan sah imamah itu harus selamat dari semua uzur yang dimaafkan, tetapi makruh.
7.      Tidak berhadas dan tidak berkotoran
Diantara syarat yang disepakati semua imam yang empat ialah agar imam tidak berhadas dan tidak berkotoran. Bila seseorang jadi makmum laki-laki yang berhadas atau di badannya ada najis, maka shalat itu batal sebagai mana batal shalat imammnya. Syaratnya bila imam itu tahu bahwa ia berhadas, tetapi dia sengaja shalat. Bila tidak demikian, maka shalat itu tidak batal. Namun terdapat khilafiyah :

Hanafiyah
Tidak sah berimam kepada orang berhadas dan orang bernajis, karena shalat imam itu batal. Adapun shalat makmumnya sah dengan syarat mereka tidak tahu bahwa imam berhadas. Tapi bila mereka tahu, maka shalat mereka batal pula. Mereka harus mengulang shalat itu.

Syafi’iyah
·         Tidak sah berimam kepada imam yang berhadas, bila diketahui oleh makmum bahwa imam mereka berhadas sejak awal.
·         Bila mereka mengetahuinya tengah shalat, maka mereka wajib berniat menceraikan imam itu dan mereka menyempurnakan sendiri shalat mereka.
·         Bila mereka mengetahuinya setelah selesai berjamaah, maka shalat itu sah dan mendapat pahala berjamaah. Adapun shalat imam itu batal dan dia wajib mengulangnya.
·         Tdak boleh mengikuti imam yang bernajis tersembunyi, seperti imam yang kencing sedikit. Lain halnya bila imam tidak menyadarinya, maka shalat itu sah.

Hanbaliyah
·         Tidak sah shalat berimam kepada orang yang berhadas kecil atau besar.
·         Tidak sah berimam kepada imam yang tahu bahwa ia bernajis. Bila diketahuinya setelah shalat, maka shalatnya sah.
Malikiyah

·         Tidak sah berimam kepada imam yang sengaja berhadas, sehingga ikutan dengannya jadi batal.
·         Bila mereka mengetahui sesudah shalat, maka shalat mereka sah. Tapi shalat imamnya batal semua karena suci ialah salah satu syarat salat.

                                                            DAFTAR PUSTAKA
Masyhur, kahar.1995. Sholat Wajib Menurut Mazhab yang Empat.Rineka Cipta; Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.