Langsung ke konten utama

PERBANDINGAN MADZHAB DALAM PERSOALAN MUNAKAHAT



 Disusun oleh:
Nur Anisah (111-11-141); Ulil Maunatul Choiriyah (111-11-143); dan Nur Aslichuddin (111-11-152)
                                       
A.      Akad Nikah yang Dilakukan oleh Wanita
Para ulama telah sepakat bahwa wanita yang waras dan dewasa dapat melaksanakan semua ‘aqad nikah, dan juga dapat mewakilkannya kepada siapa yang dikehendakinya tanpa ada hak sanggah bagi siapapun terhadapnya. Mereka sepakat pula bahwa aqad nikah wanita merdeka yang baligh dan berakal, apabila dilaksanakannya oleh walinya menurut hukum syara’ dengan persetujuan wanita yang bersangkutan, adalah sah dan naafiz (langsung tanpa tergantung pada sesuatu yang lain).

            Adapun apabila wanita sendiri yang melaksanakannya atau mewakilkan kepada orang lain yang melaksanakannya, maka para ulama berbeda pendapat tentang sahnya, langsungnya dan terikatnya.
            Abu Hanifah, Abu Yusuf menurut lahir riwayatnya dan Zufar berpendapat bahwa nikah itu sah muthlaq. Hanya wali mempunyai hak sanggah, selama belum melahirkan atau belum hamil yang nyata, apabila perkawinan itu dilangsungkan dengan orang tidak kufu. Dan diriwayatkan dari dua yang pertama (Abu Hanifah dan Abu Yusuf) berpendapat bahwa nikah itu hanya sah kalau dengan yang kufu saja dan bathal kalau bukan dengan yang kufu, tetapi keduanya sudah ruju’ dari pendapat itu kepada pendapat lahir riwayat.
            Daud dan orang-orang yang sefaham dengan dia mengambil dalil dengan hadist yang artinya:
“Wanita tsayyib (janda) lebih berhak mengenai dirinya daripada walinya”.

Mengenai perbedaan hukum antara wanita perawan dan wanita janda. Juga dengan hadist yang artinya:
“Tidak ada urusan wali mengenai wanita janda”.

Mereka mengatakan : kedua hadist ini adalah tegas mengenai seluruh urusan wanita janda terserah kepadanya sendiri, dan diantaranya ialah aqad nikah. Dan kedua hadist itu juga jelas menunjukkan perintah minta izin wanita perawan. Maka dengan demikian, si perawan tidak ada haknya kecuali memberi izin mengenai nikahnya, dan hal itu menunjukkan bahwa yang menguasai nikah adalah orang lain dari pada dia, yaitu walinya yang meminta izin kepadanya.
Abu Tsur mengambil dalil dengan hadist ‘Aisyah Ayyuma Imra-atin dan selanjutnya mengenai syarat hanyalah izin wali saja. Hadist itu menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh wanita sendiri hanya bathal apabila walinya tidak mengizinkan. Apabila ia mengawinkan dirinya dengan seizin walinya, maka nikah itu sah dan tidak tergantung kepada pelaksanaan si wali.
Berkata Muhammad bin Al Hasan: nikah itu sah yang digantungkan kepada dibolehkannya oleh wali. Kalau wali membolehkannya, dapat berlangsung terus, dan jika tidak, ia menjadi bathal. Dan ia berkata pula: apabila wali enggan membolehkan sedang calon suami adalah kufu, maka Qadli membaharui ‘aqad dan tidak dihiraukan wali. Dan diriwayatkan bahwa sudah ruju’ dari pendapat ini kepada pendapat lahir riwayat.
Ini adalah sejumlah pendapat ulama mengenai mangenai masalah “Nikah Tanpa Wali ”, yaitu tersimpul pada pendapat:
1.      Boleh secara muthlaq;
2.      Tidak boleh secara muthlaq;
3.      Tergantung secara muthlaq;
4.      Pendapat-pendapat yang terperinci, boleh dalam satu hal dan tidak boleh dalam hal lain.
Adapun pengambil dalil Sya’by dan Zuhry dari hadist perkawinan Ummi Salamah, maka itu dapat diberi keberatan, karena itu berdalil dengan mafhum, sedangkan dalil mafhum, kalau memang dapat dipergunakan tidak dapat melawan manthuq dalil-dalil orang yang tidak mensyaratkan campur tangan wali. Dan dalil ini adalah umum, tidak membedakan antara kawin dengan kufu dan kawin tidak kufu. Paling jauh mafhum hadist itu menunjukkan bahwa wanita mempunyai hak tidak mau menyelenggarakan aqad apabila walinya tidak hadir, dan ada sangkaan bahwa walinya tidak akan rela dengan calon suami itu. Sesudah itu ada kemungkinan bahwa tidak maunya itu karena tidak sah aqad dengan ijabnya sendiri, sebagaimana juga ada kemungkinan karena takut kepada sanggahan si wali dan difasakhkan apabila ia kembali. Untuk menentukan salah satu dari kemungkinan ini, harus mempunyai dalil. Dan dalil sudah ada untuk menentukan yang kedua, yaitu dalil-dalil yang telah lalu yang tidak membedakan antara mengenai sah aqad antara pelaksanaan aqad oleh wanita sendiri terhadap calon suami yang kufu dan yang tidak kufu.
            Dan tidak syak lagi bahwa adat-adat kebiasaan yang baik dan sesuatu yang pantas bagi wanita seperti tidak keluar dari adat kebiasaannya, adalah hal yang dipandang baik; akan tetapi fasidnya aqad yang dilaksanakannya sendiri, adalah suatu hal yang dibelakang itu dan belum ada dalil sampai sekarang.
            Adapun dalil secara logika dinyatakan keberatan kepada mereka bahwa mengahasilkan tujuan-tujuan nikah yang mereka sebutkan, tidak tergantung pada keharusan si wali melaksanakan sendiri aqad nikah itu tetapi cukup wali itu mengizinkan atau rela, kemudian aqad nikah dilangsungkan oleh siapa saja.
            Maka itu adalah dalil yang tidak cukup untuk membuktikan keseluruhan dakwah bahwa aqad tidak sah dengan ijab dari wanita. Sebab yang hakiki tentang hilangnya kemaslahatan-kemaslahatan itu, bukanlah kewanitaan sebagai orang sangka, kemashlahatan-kemashlahatan itu. Adapun kewanitaan tidak selalu mesti menghilangkan kemashlahatan-kemashlahatn itu, sehingga oleh karenanya tidak patut dijadikan sebab.
            Kesimpulan bahwa, praktek Rasulllah SAW. Sabda beliau dan kaidah-kaidah kewenangan yang telah ditetapkan untuk sah bertindak, semua itu menjadi dalil yang jelas untuk orang yang berpendapat sah aqad dengan ijab wanita dewasa yang merdeka, baik untuk diri mereka sendiri ataupun untuk orang lain dengan pemberian kuasa oleh mereka; dan untuk menjaga hak wali, cukup dengan izin meminta izin padanya mengenai perkawinan yang tidak kufu, atu diterima sanggahannya mengenai aqad itu apabila ia tidak mau memberi izin; dan kami mengatakan bahwa untuk memelihara adab Islamiyah, lebih baik mengambil pendapat wali dan ia sendiri yang melaksanakan aqad, supaya kita tidak ditiduh keluar dari adat kebiasaan.


B.       Masalah Nikah Hamil
1.      Menurut Hanafiyah.
Dalam pandangan Madzhab Hanafiyyah terdapat pendapat, diantaranya :
a.       Pernikahan tetap sah, baik dengan laki-laki yang menghamili atau tidak
b.       Pernikahan sah dengan syarat harus dengan laki-laki yang menghamili, dan tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melahirkan
c.       Boleh nikah dengan orang lain asal sudah melahirkan
d.      Boleh nikah asal sudah melewati masa haid dan suci , dan ketika sudah menikah maka tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melewati masa istibro’
2.      Menurut Malikiyah
Dari pandangan Malikiyyah, tidak sah perkawinannya kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya dan ini harus memenuhi syarat, yaitu harus taubat terlebih dahulu.
3.      Menurut Syafi’iyah
Pandangan Imam Syafi’i lebih longgar. Bukan berarti zina itu dilegalkan . Itu adalah praduga yang salah, karena perzinaan apapun sudah terkutuk. Imam Syafi’i berkata, “Kalau satu orang mencuri buah dari satu pohon, ketika itu haram. Kemudian dia beli pohon itu, maka apakah buahnya tadi masih haram atau sudah halal ? Itu sudah halal. Tadinya haram kemudian menikah baik-baik maka menjadi halal”. Dalam pandangan madzhab ini, wanita yang zina itu tidak mempunyai iddah, adapun jika melangsungkan pernikahan, maka nikahnya tetap sah, tapi dari segi hukum, bukan bearti ia bebas dari dosa berzina.
Akan tetapi dalam pandang Ashab As Syafii masih terdapat perbedaan pendapat, yaitu :
a.       Orang yang zina tidak boleh menikahi wanita tersebut selamanya
b.      Tidak boleh menikah kecuali sudah taubat
c.       Keharamannya seperti keharaman Mushoharoh

4.      Menurut Hambaliyah
Menurut pandang madzhab Hambaliyyah , ini identik seperti pendapatnya Syafiiyyah yaitu pernikahan tetap sah, sebab wanita hamil diluar pernikahan itu tidak ada iddahnya .
Dari perbedaan pendapat diatas, diantaranya yang mempunyai persamaan pendapat yaitu tentang tidak diisyaratkanya harus dengan laki-laki yang telah menghamili wanita tersebut. Adapun pendapat tersebut diambil dari pendapatnya Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Maliki. Dan persamaan antara Syafiiyyah dengan Hanafiyyah itu terletak pada tidak ada masa Iddahnya.

C.      Jatuhnya Thalaq Dalam Waktu Haidl atau Dalam Waktu Suci Yang Telah Disentuhnya
Satu golongan ulama berpendapat bahwa thalaq dalam waktu haidl atau dalam waktu suci yang telah disentuhnya itu tidak jatuh. Di antara yang berpendapat demikian ialah Al Baaqir dan As Shaadiq dari Imam Syiah, Ibnu Aliyyah dari Ulama Mu’tazilah. Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu ‘I-Qayyim dari Ulama Hanabilah menyenangi pendapat itu dan membelanya.
            Ulama Jumhur berdalil dengan kitab, sunnah dan logika, adapun dalil dari kitab ialah:
1.      Firman Allah Q.S. Al Baqarah: 229, yang artinya:
“Thalaq adalah dua kali, kemudian adakala menahan dengan cara yang baik, atau melepaskannya dengan cara yang baik pula”.
2.      Firman Allah Q.S. Al Baqarah: 230, yang artinya:
“Maka jika ia telah menceraikannya, maka tidak halal lagi baginya sesudah itu, sehingga ia kawin dengan suami lain”
3.      Firman Allah Q.S. Al Baqarah: 228, yang artinya:
“Wanita-wanita yang diceraikan, menanti diri mereka tiga kali suci”.
Mereka mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut datang secara muthlaq tanpa diqaidkan dengan sesuatu waktu tanpa ditentukan mengenai suatu macam wanita yang diceraikan. Oleh karena itu maka ayat-ayat tersebut menunjukkan jatuhnya thalaq yang dilakukan dalam semua wktu dan kondisi bagaimanapun juga. Juga tidak terdapat nash yang mengkaitkan kemuthlakan ayat-ayat tersebut. Oleh karena itu wajiblah kita berpendapat jatuhnya thalaq dalam waktu haidl ataupun dalam waktu suci.
Adapun dalil dari sunnah ialah hadist-hadist yang datang mengenai kisah ‘Abdullah Ibnu Umar dengan berbagai lafal yang menunjukkan jatuhnya thalaq itu:
1.      Sabda Nabi dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Jama’ah, yang artinya:
Perintahkan dia untuk rujuk”.

Nabi memerintahkan Ibnu Umar untuk rujuk. Adanya rujuk tentulah sesuadah jatuhnya thalaq.
2.      Hadist menurut riwayat Bukhari-Muslim, yang artinya:
“Abdullah telah mentalaq istrinya  satu kali thalaq, maka istrinya beristishab dengan thalaqnya”.
Tetapi thalaq itu hanyalah untuk menghilangkan Ishmah dan menggugurkan hak, maka tentulah tidak terikat dengan sesuatu waktu tertentu, sedang larangan thalaq dalam waktu haidl bukan karena tidak ada sababiyah, melainkan karena ada sebab lain di luar hakikatnya dan di luar sababiyahnya, yaitu karena memberi melarat kepada isteri dengan sebab iddahnya menjadi lama.
Mereka yang berpendapat tidak jatuhnya thalaq dalam masa yang telah disebutkan, juga berdalil dengan kitab, sunnatullah dan logika.
            Adapun dalil dari kitab ialah Firman Allah SWT, yang artinya:
Maka thalaqlah mereka untuk ‘iddah mereka”.
Mereka mengatakan bahwa asal mengenai thalaq adalah dilarang. Dan karena kebutuhan, ayat tersebut telah menunjukkan bolehnya thalaq pada waktu tertentu, yaitu pada waktu mengahadapi iddah. Maka pensyariatannya hanyalah terbatas menurut apa yang tersebut dalam nash itu, dan selain dari keadaan yang tersebut dalam nash itu tetaplah menurut asalnya tidak boleh.
Hadist yang dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Nassaiy: bahwa Ibnu Umar ditanyai bagaimana pendapatnya mengenai seorang laki-laki yang menceraikan isterinya dalam keadaan haidl. Beliau menjawab “ pada masa Rasullah, Ibnu Umar telah menceraikan isterinya dalam keadaan haidl, maka Umar menanyakan hal itu kepada Rasullah SAW, ia berkata: Abdullah sudah menceraikan istrinya dalam keadaan haidl. Berkata Abdullah: Beliau mengembalikannya kepada saya. Dan ia tidak memandangnya sesuatu”.
Dan hadist ini jelas tentang mengabaikan thalaq dan tidak jatuhnya thalaq ini.
Para ulama mengatakan: Tidak ada berlawanan antara Firman Allah Fa thalliquuhuna li’iddatihinna dengan ayat-ayat yang muthlaq, sehinnga perlu dipertanggungkan yang muthlaq kepada yang muqaiyyad. Karena ayat muqayyad itu diturunkan untuk menyatakan waktu thalaq yang tidak mendatangkan kemelaratan kepada isteri, sedang ayat-ayat lain diturunkan untuk menyatakan hukum-hukum sebagai akibat dari terjadinya thalaq. Sedang thalaq itu kadang-kadang terjadi tidak pada waktu yang iddahnya pendek, dan dalam ayat itu tidak ada yang menunjukkan tidak jatuhnya thalaq itu. Dan thalaq semacam itu dilarang, karena sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan hak-hak syariat, itu tidak mencegah jatuhnya dan sahnya thalaq. Dan tidak dilarang kecuali karena memang jatuh dan ada akibatnya. Kalau memang tidak jatuh, tentulah tidak ada kemelaratannya yang menimpa isteri, dan ia hanya menjadi ucapan yang sia-sia saja. Adapun tidak mencakup nash-nash ibadat dan muamalat kepada yang fasid, karena yang fasid itu ada kecederaan yang kembali kepada bukan zat, maka kami tidak dapat menerima bahwa nash itu tidak mencakupnya, dan oleh karena itu terdapat dalam ibadat dan dalam muamalat, yang fasid, yang sah dan yang makruh. Dan ini juga merupakan tanda bahwa larangan itu tidak berlawanan dengan disyariatkannya secara ithlaq.
Kemudian setelah membandingkan dalil-dalil kedua pihak dan sesudah meneliti perdebatan kefua golongan maka dapat disimpulkan bahwa yang paling dekat dengan nash dan qias adalah pendapat dari para madzhab jumhur ulama.
D.      Thalaq dengan sebab tidak mampu
Para ulama telah sepakat bahwa nafkah istri wajib diberikan suaminya. Mereka telah sepakat pula bahwa apabila suami tidak mampu membelanjai istrinya, sedang istri rela tinggal bersamanya, maka tidak ada thalaq dan tidak ada fasakh selama istri rela yang demikian. Akan tetapi mereka berbeda pendapat apabila dalam hal demikian istri tidak rela.
Abu Muhammad ibnu Hazmin berpendapat bahwa apabila suami mampu membelanjai sebagian dari nafkah istrinya, maka ia hanya wajib membiayai menurut kemampuannya, dan kalau sama sekali tidak mampu, maka kepadanya tidak diberatkan apa-apa. Kalau kemudian ia mampu, maka wajib ia memberi nafkah sejak ia mampu dan tidak wajib membayar kembali apa yang telah dibelanjakan oleh istri untuk dirinya selama suaminya tidak mampu. Kemudian istri tidak boleh mencegah dirinya dengan alasan suami tidak memberi nafkah, baik karena udzur atau tanpa udzur. Hanya ia boleh mengambil harta suaminya kalau ada, sebanyak haknya. Bahkan ibnu Hazmin berpendapat bahwa kalau istri itu kaya, wajib membelanjai suaminya, kalau suaminya tidak mampu.

E.       Thalaq dengan sebab memberi melarat, atau karena jauh atau karena cacat
Tidak ragu lagi bahwa adanya thalaq karena jauh atau karena cacat, itu karena memberi melarat kepada salah seorang dari kedua suami istri. Akan tetapi karena terjadi perbedaan pada masing-masing dari keduanya menurut cara-cara tertentu maka memberi melarat itu dibicarakan tersendiri. Dan yang dimaksud memberi melarat disini ialah yang bukan karena jauh dan bukan karena cacat. Yaitu secara positif dan negatif;
            Adapun cara positif ialah perkataan atau perbuatan suami yang menyakiti istri, memberi melarat kepadanya dan menimbulkan percekcokan antara keduanya
            Adapun cara negatif ialah kalau suami mencengung istri dan tidak memberikanya kebutuhan sex.
1.      Thalaq karena jauh

pembicaraan disini adalah mengenai orang yang jauh, mampu dan bukan orang hilang. Adapun hukum mengenai orang hilang akan diuraikan kemudian. Sedang perceraian karena tidak mampu, sudah dibicarakan terdahulu.
ulama hanafiyah dan syafiiyah berpendpat bahwa hakim tidak boleh menthalaq istri orang dengan alasan suaminya ghaib walaupun sudah lama.
2.      Thalaq dengan dengan sebab ‘aib

Para ulama telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari suami istri mengetahui ada aib pada pihak lain sebelum akad nikah atau diketahuinya sesudah akad tetapi dia sudah rela secara tegas atauada tanda yang menunjukan kerelaanya, maka ia tidak mempunyai hak lagi untuk meminta fasakh, dengan alasan aib itu bagaimanapunjuga. 


DAFTAR PUSTAKA
Syaltout, Syaikh Mahmoud & As Sayis, Syaikh M. Ali. 1987. Perbandingan Madzhab. Jakarta: PT Bulan Bintang
http://yuliantihome.wordpress.com/2011/07/11/fiqih-munakahat-dan-ruang-lingkupnya. diunduh pada hari minggu, 01 Juni 2014 pukul 15.21 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.