Disusun oleh:
Machmut
Fitriardi (21113026); Samsul Arifin (21113025); Muntaha (21113028); Badrul anwar (
); dan Aminudin ( )
1.
Pendahuluan
Sejarah tak ubahnya kacamata masa
lalu yang menjadi pijakan dan langkah setiap insan di masa mendatang. Seperti
yang kita ketahui setelah tumbangnya kepemimpinan masa khulafaurrasyidin maka
berganti pula sistem pemerintahan Islam pada masa itu menjadi masa daulah, dan
dalam makalah ini akan disajikan sedikit tentang masa daulah Abbasiyah.
Dalam peradaban ummat Islam, Bani
Abbasiyah merupakan salah satu bukti sejarah peradaban ummat Islam yang
terjadi. Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang memperoleh
masa kejayaan yang gemilang. Pada masa ini banyak kesuksesan yang diperoleh
Bani Abbasiyah, baik itu dibidang Ekonomi, Politik, dan Ilmu pengetahuan.
Hal
inilah yang perlu untuk kita ketahui sebagai acuan semangat bagi generasi ummat
Islam bahwa peradaban ummat Islam itu pernah memperoleh masa keemasan yang
melampaui kesuksesan negara-negara Eropa. Dengan kita mengetahui bahwa
dahulu peradaban ummat Islam itu diakui oleh seluruh dunia, maka akan
memotifasi sekaligus menjadi ilmu pengetahuan kita mengenai sejarah peradaban
ummat Islam sehingga kita akan mencoba untuk mengulangi masa keemasan itu
kembali nantinya oleh generasi ummat Islam saat ini.
2.
Definisi
pemerintahan abasiah
Pemerintahan
abasiah ialah berketurunan daripada al-abbas , paman nabi SAW pendiri kerajaan
al-abbas adalah Abdullah as-Saffah bi muhammad bin Ali bin Afdullah bin
Al-Abbas, dan pendiriannya di anggap suatu kemenangan bagi idea yg di anjurkan
oleh kalangan bani hasyim setelah kewafatan Rasulallah SAW agar jabtan khalifah
di serahkan kepada keluarga Rasul dan sanak saudaranya. Tetapi idea ini telah
di kalahkan di zama permulaan Islam, dimana pemikiran Islam yang sehat bahwa
jabatan khalifah itu adalah memiliki kepunyaan seluruh kaum muslimin, dan
mereka berhak melantik siapa saja antara kalangan mereka untuk menjadi ketua
setelah mendapat dukungan. Tetepi orang-orang Parsi yang masih berpegang kepada
prinsip hak keturunan yang suci, terus berusaha menyaberkan prinsip tersubut,
sehingga mereka berhasil membawa bani hasyim ke tampuk pemerintah.
3.
Zaman Pemerintahan Abasiyah secara ringkas
Pemerintaha
abasiyah berkelanjutan dari tahun 132H, hingga tahun 656H. Temponya ialah
selama 524tahun. Pada tahun 656H, kaum tartar melanggar dunia Islam, membunuh
khalifah Abasiyah serta kaum keluarganya dan mengumumkan berakhirnya
pemerintahan Abbasiyah.
Dengan tempo
yang begitu lama dan pergantian ke kholifaan yang ber beda beda, maka para ahli
sejarah membagi tempo kekuasaa bania
abbasiah dalam tiga periode.periode periode tersebut adalah:
a.
Periode
pertama [132-232] kekuasaan pada tahun ini berada di tangan para khalifah.
b.
Periode
ke dua [232-590 h] periode ini kekuasaaan hilang dari tangan para kholifah.
c.
Periode
ke tiga [590-656 h]pada periode inikekuasaan berada kembali di tangan para
khalifah,tetapi hanya di baghdad dan kawasan kawasan sekitarnya.
4.
Kemunculan
Kerajaan Abbasiyah dan rencana Pembentukannya
Menjelang tahun
132H perkataan golongan Abbasiyah dan golongan Alawiyah belum muncul secara
nyata di permukaan sejarah, sebaliknya di sana terdapat suatu ekspresi yang
meliputi kedua pihak tersebut. Atau bani Hasyim (golongan Hasyimiyah, atau
ahlul bait). Mereka semua berjuang
bersama-sama menentang bani umayyah dengan harapan akan dapat menyandang
jabatan Khalifah yang mereka anggap sebagai milik mereka yang di rampas oleh
golongan bani Umayyah itu.
Golongan yang
ada di dalam golongan Hasyimiyyah mereka adalah berbeda satu sama lain.golongan
Alawiyah memiliki sifat baik dan tulus serta percaya bahwa jabatan Khakifah
adalah hak mereka, dan rakyat seluruhnya berusaha mengembalikan hak tersebut
kepada mereka.sementara di kalngan golongan Abbasiyah pula terdapat ciri-ciri
kepintaran dan politik, golongan Alawiyahberada di puncak pimpinan bani Hasyim
untuk suatu tempo yang lama, dan para pemimpin bani Hasyim dari golongan
Alawiyah itu sering menentang kekuasaan bani Umayyah, meskipun menerima banyak pukulan yang hebat dari bani
Umayyah, dan banyak di antara para pemimpinnya yang menjadi korban termasuk
Al-Husain bi Ali dan cucunya, Zaed dan seterusnya Yahya bin Zaed, bahkan mayat
mereka setelah di siksa, kemudian di bakar hingga menjadi debu.
Alawiah di landa
pula pertikaian di sekitar jabatan kepemimpinan sehingga menimbulkan per
pecaham kepemimpinan,dan akirnya lahirlah golongan golongan baru yg asal nya
satu di kalangan keturunan ali sendiri terjadi perselisihan sejak dari
permulaan nya.setelah gugurnya husain di
peperangan karbalah yang berat sebelah.mereka bertikai masalah kepemimpinan.
Muhammad Ibn Ali al-Abbas mulai
melakukan pergerakannya dengan langkah-langkah awal yang sistematis,
diantaranya; Pertama, membuat propaganda agama untuk menghasut rakyat
menentang kekuasaan Umayyah, serta menanamkan ide-ide tentang hak khalifah. Kedua,
membantuk faksi-faksi Hamimah, faksi Kufah, dan faksi Khurasan. Ketiga faksi
ini bersatu dalam satu tujuan menumbangkan Dinasti Umayyah. Ketiga, ide
tentang persamaan antara orang Arab dan Non Arab. Namun di balik isu propaganda
itu ada isu yang paling penting yaitu tegaknya Syariat Islam, dimana hal
tersebut tidak pernah terjadi pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan
dengan dua tahap, yakni Pertama dilaksanakan dengan sangat rahasia tanpa
melibatkan pasukan perang, mereka berdakwah atas nama Abbasiyah sambil
berdagang mengunjungi tempat-tempat yang jauh, dan dalam kesempatan menunaikan
Haji di Mekkah. Para pendakwah Abbasiyah berjumlah 150 orang di bawah para
pemimpinnya yang berjumlah 12 orang, dan pucuk pimpinnanya adalah Muhammad Ibn
Ali. Kedua, menggabungkan para pengikut Abu Muslim al-Khurasan dengan
pengikut Abbasiyah.
Propaganda-propaganda tersebut
sukses membakar semangat api kebencian umat Islam kepada Dinasti Bani Umayyah.
Langkah pertama memperoleh sukses besar melalui propaganda-propaganda yang
dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasan dengan cara menyatakan bahwa al-Abbas
adalah ahli al-Ba’it, sehingga lebih berhak menjadi Khalifah dan
menyebarkan kebencian dan kemarahan terhadap Dinasti Bani Umayyah, dan
mengembangkan ide-ide persamaan antara orang-orang Arab dengan non Arab karena
objek propaganda Abu Muslim tersebut adalah wilayah Khurasan yang notabene
merupakan basis kelompok Mawali.
Propaganda dengan cara menghasut dan
menyombongkan diri (membangga-bangkan kelompoknya sendiri) yang dilakukan oleh
Bani Abbas sangat bertentangan dengan politik Islam dalam al-Qur’an surat
al-Qashash ayat 83 dikatakan :
Artinya : “Negeri akhirat itu,
kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat
kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang
yang bertakwa”.
Setelah Muhammad Ibn Ali meninggal
tahun 743 M, perjuangan dilanjutkan oleh saudaranya Muhammad Ibn Ibrahim sampai
tahun 749 M karena diketahui oleh Marwan Ibn Muhammad (Khalifah Bani Umayyah),
Ibrahim ditangkap dan dipenjarakan di Harran, sebelum dieksekusi, Ibrahim telah
menyerahkan kepemimpinan kepada keponakannya Abdullah Ibn Muhammad dan
memerintahkan pusat gerakan di pindahkan dari Hamimah ke Kufah, maka pindahlah
mereka diiringi pembesar-pembesar Abbasiyah yang lain seperti Ja’far, Isa Ibn
Musa, dan Abdullah Ibn Ali. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu
Salama. Pada masa inilah revolusi Abbasiyah berlangsung.
Pimpinan Bani Umayyah di Kufa, Yazid
Ibn Umar Ibn Hubairah ditaklukan oleh Abu Salama pada tahun 132 H dan diusir ke
Wasit, selanjutnya Abdullah Ibn Ali diperintahkan mengejar Khalifah Umayyah
terakhir Marwan Ibn Muhammad bersama pasukannya melarikan diri, dan dapat
dipukul di dataran rendah Sungai Zab (Tigris), pengejaran dilakukan ke Mausul,
Harran, dan menyebrang Sungai Eufrat sampai ke Damaskus. Kemudian Marwan
melarikan diri hingga Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir tahun 132
H/750 M di bawah pimpinan Salib Ibn Ali salah seorang paman Abbas yang lain.
Dengan kematian Marwan Ibn Muhammad maka berdirilah Dinasti Abbasiyah sebagai pengganti
Dinasti Umayyah.
5.
Sukses Kepemimpinan
Abdullah Ibn Muhammad alias Abu Abbas diumumkan
sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah tahun 750 M. dalam khutbah
pelantikan yang disampaikan di masjid Kufah, ia berjanji akan memerintah
sebaik-baiknya dan melaksanakan syariat Islam. Selain itu ia menyebut dirinya
dengan as-saffa (penumpah darah) yang akhirnya menjadi julukannya. Hal ini
sebenarnya akan menjadi preseden yang buruk bagi suatu kekuasaan, dimana
kekuatan tergantung kepada pembunuhan yang ia jadikan sebagai alat pembenar
bagi kebijakan politiknya. Ini tentu bertentangan dengan tugas ideal seorang
penguasa adalah :
- Memelihara iman dan prinsip-prinsip yang telah disepakati bersama dengan suara bulat oleh Ulama-ulama salaf dari umat Islam.
- Menegakkan hokum terhadap para pelanggar hokum dan memecahkan masalah secara adil terhadap orang-orang yang sedang berselisih.
- Mengatur keamanan wilayah hingga penduduk bisa hidup tenang dan aman, baik di rumah, di perjalanan maupun di waktu melaksanakan tugas sehari-hari.
- Melindungi hak-hak perorangan dari penduduk serta menegakkan hokum sesuia dengan hokum Islam hingga setiap kejahatan terhadap Allah dapat ditekan hingga titik yang amat terbatas.
- Menjaga perbatasan Negara dengan berbagai pelaralatan yang dimiliki untuk menghadapi kemungkinan serangan dari luar.
- Berjuang melawan orang-orang yang melawan Islam, hingga kebenaran Allah bersinar di seantero wilayah itu.
- Memungut pajak dan mengumpulkan zakat sesuai dengan aturan syari’ah.
- Mengatur anggaran belanja untuk gaji karyawan/pejabat. Dan pembelanjaan lain tanpa boros atau pelit.
- mengangkat pegawai secara jujur berdasarkan keahlian seseorang dalam posisinya (tidak kolusi) agar tercapai kelancaran pemerintahan dan kemakmuran.
- Mengawasi tugas-tugas seluruh personal terutama menguji para pelaksana tugas-tugas kemasyarakatan hingga mampu mengarah pemerintahan untuk melindungi bangsa dan agama.
Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, dari tahun 132 H-656 H. selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang ditetapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan
budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, pemerintahan
Abbasiyah di bagi menjadi 5 periode :
- Periode I (132 H/750 M- 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama, Khalifah yang memerintah adalah As-Saffah 132-126 H, Ja’far al-Mansur 136-158 H, al-Mahdi 158-169 H, al-Hadi 169-170 H, Harun ar-Rasyid 170-193 H, al-Amin 193-198 H, al-Ma’mun 198-218 H, al-Mu’tasim 218-227 H, al-Watsiq 227-232 H.
- Periode II (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama, Khalifah yang memerintah adalah al-Mutawakkil 232-247 H, al-Muntashir 247-248 H, al-Musta’in 248-252 H, al-Mu’tazz 252-255 H, al-Muhtadi 255-256 H, al-Mu’tamid 256-279 H, al-Mu’tadhid 279 – 289 H, al-Muktafi 289-295 H, al-Muqtadir 295-320 H, al-Qahir 220-222 H, ar-Radhi 322-329 H, al-Muttaqi 329-333 H, al-Mustakfi 333-334 H.
- Periode III (334 H/945 M – 447 H/1055 M), disebut kekuasaan Dinasti Buwaih dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah atau masa pemerintahan Persia kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Muthi’ 334-363 H, ath-Tha’I 363 – 381 H, al-Qadir 381 – 422 H.
- Periode IV (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), disebut masa kekuasaan Dinasti Saljuk dalam pemerintahan Abbasiyah atau masa pengaruh Turki kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Qa’in 422-467 H, al-Muqtadi 467-487 H, al-Mustazhhir 487-512 H, al-Mustasyid 512-529 H, ar-Rasyid 529-530 H, al-Muqtafi 530-555 H, al-Munstanjid 555-566 H, al-Mustadhi’ 566-575 H.
- Periode V (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), disebut masa khalifah bebas dari pengaruh Dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar Baghdad sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar di bawah pemimpin Hulaqu Khan tahun 656 H. khalifah yang memerintah adalah an-Nashir 575-622 H, azh-Zahir 622-623 H, al-Mustanshir 623-640 H, al-Musta’shim 640-656 H.
- Kebijakan politik as-Saffah yang pertama pada masa pemerintahannya adalah membasmi keluarga Bani Umayyah yang masih tersisah dengan cara mengerahkan segenap pasukan yang dipimpin oleh pamannya sendiri Abdullah Ibn Ali. Hal ini dilakukan untuk mereformasi semua sistem Dinasti Umayyah agar sesuai dengan ajaran Islam murni (Syariat Islam). Karena dianggap korup, dekaden, otoriter dan sekuler. Selain itu karena terlalu benci sampai-sampai mereka juga membongkar semua kuburan Bani Umayyah dan jenazahnya di bakar. Hanya ada dua kuburan yang selamat dari kekejaman tersebut yaitu kuburan Muawiyah Ibn Abi Sofyan karena dianggap sebagai sahabat Nabi dan Umar Ibn Abdul Aziz yang selama masa pemerintahannya menerapkan keadilan dengan seadil-adilnya. Disamping itu Ia juga memberikan sebuah lahan di Hamimah untuk digunakan oleh keluarga Abbas, sehingga bisa melancarkan propaganda dengan sebaik-baiknya pasca meninggalnya. Dan dari revolusi itu pulah hanya satu orang yang berhasil selamat yaitu Abdurrahman ad-Dakhil, kemudian mendirikan sebuah Amir di Andalusia. Al-Saffah hanya memerintah selama 4 tahun, setalah meninggal pada 134 H, pemerintahan diambil alih oleh adiknya Ja’far al-Mansur setalah dapat menyingkirkan pamannya Abdullah Ibn Ali, yang juga berusaha menjadi khalifah.
Ketika naik tahta langkah yang dilakukan oleh
al-Mansur adalah menindak tegas pemberontak yang dilakukan oleh golongan Syi’ah
yang merasa disingkirkan pasca naiknya as-Saffah, pemberontakan yang dilakukan
oleh Abu Muslim al-Khurasan yang tidak mau tunduk kepada pusat, penduduk Syiria
yang masih tunduk kepada pemerintahan Dinasti Umayyah dan orang-orang yang
kecewa kepada pemerintahan baru. Masa ini dapat dikatakan sebagai masa
perjuangan dan konsolidasi untuk mengamankan eksistensi Dinasti Abbasiyah. Berkat
visi politik dan pendekatan pragmatis yang dilakukan oleh al-Mansur, maka
terjadi kestabilan pemerintah dapat terjaga. Kemudian al-Mansur mengangkat
putranya al-Mahdi dan Isa Ibn Musa untuk menggantikan posisinya kelak ketika Ia
meninggal sebagaimana perjanjian dengan as-Saffah. Sebenarnya tradisi ini sudah
ditanamkan oleh Muawiyah ketika mengangkat anaknya Yazid. Padahal sejarah
membuktikan bahwa dari tradisi ini muncul kecemburuan sosial yang menyebabkan
terjadi ketidakpuasan dan berakhir pada pemberontakan dibeberapa daerah,
terutama dari kalangan Syi’ah dan Khawarij. Pola seperti ini juga membuktikan
bahwa Dinasti Abbasiyah menerapkan kembali sistem Monarkhi Absolut yang dulu
dipraktekkan oleh kerajaan Persia, Romawi. Setelah dapat memperkokoh kekuasaan
Abbasiyah al-Mansur meninggal karena sakit dalam suatu perjalanan Haji kelima
bersama rombongan keluarga dan pembesar Abbasiyah. Dia meninggal dalam usia 65
tahun setelah memerintah selama 21 tahun.
Pemerintah Abbasiyah kemudian dipegang oleh putranya
al-Mahdi, yang baru berusia 30 tahun. Al-Mahdi memulai zaman pemerintahannya
dengan membebaskan semua tahanan, kecuali penjahat yang dipenjarah menurut
Undang-Undang dan memberikan bantuan cara hidup kepada orang-orang yang masih
dipenjara dan yang anggota tubuhnya cacat. Kemudian memerintahkan untuk
membangun beberapa bangunan Haram dan Masjid Nabawi dan memerintahkan untuk
membangun beberapa bangunan besar beserta kolam-kolam di sepanjang jalan menuju
Mekkah sebagai tempat persinggahan para musafir dan mebangun pos yang
menghubungkan Baghdad dengan wilayah Islam lainnya. Selain itu, al-Mahdi juga
membuat posko pengaduan dan penganiayaan serta mengembalikan harta yang
dirampas ayahnya kepada pemiliknya.
Kemudian menunpas gerakan al-Muqanna’ al-Khurasan yaitu
sebuah kelompok yang ingin menuntut balas atas kematian Abu Muslim al-Khurasan
dan merampas kekuasaan Abbasiyah. Lalu al-Mahdi mewariskan jabatan khalifah
kepada anaknya al-Hadi dan Harun ar-Rasyid, tetapi keinginannya itu terhalang
oleh Isa Ibn Musa. Berkat jabatan putra mahkota inilah Isa Ibn Musa mengalami
dua kali kekejaman yaitu pada masa al-Mansur dan al-Hadi. Setelah dipaksa,
ditanggalkanlah gelar tersebut oleh Isa Ibn Musa, maka al-Mahdi melantik
anaknya al-Hadi sebagai putra mahkota pada 160 H dan dilanjutkan melantik Harun
ar-Rasyid tahun 166 H. dari sini dapat kita pahami bahwa cara-cara kekerasan
merupakan alternatif utama yang diambil oleh Dinasti Abbasiyah dalam
menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi terutama masalah-masalah politik. Padahal
hal ini jelas bertentangan dengan agama Islam dan prilaku Nabi Muhammad.
Setelah al-Mahdi mangkat, kekuasaan Abbasiyah
digantikan oleh al-Hadi 169-170 H, langkah awal yang dilakukan al-Hadi adalah
melantik ar-Rabi’ Ibn Yunus sebagai menteri, tetapi beberapa waktu kemudian
ar-Rabi’ Ibn Yunus digantikan oleh Ibrahim Ibn Zakuan al-Harrani dan bagaimana
melenyapkan Harun ar-Rasyid agar mau menanggalkan gelar putra mahkota sehingga
anaknya Ja’far dapat menggantikannya kelak. Salah satu sifat penguasa adalah
bagaimana kekuasaan itu langgeng dan hanya berputar disekitar garis
keturunannya. Oleh karena itu kekuasaan itu harus dipertahankan mati-matian,
jika perlu dengan menghalalkan segala cara.
Kekuasaan al-Hadi tidak berumur panjang hanya satu
tahun, karena al-Hadi di racun oleh ibunya Khaizuran yang lebih menginginkan
Harun ar-Rasyid sebagai penguasa. Harun ar-Rasyid 170-193 H naik tahta
menggantikan al-Hadi pada usia 22 tahun. ar-Rasyid merupakan puncak
kegemilangan pemerintahan Abbasiyah. Dimana ilmu pengetahuan berkembang luas,
kekayaan melimpah, dan stabilitas pemerintahan terkendali, ditambah lagi
kebijakan pembagian kekuasaan yang adil antara putra mahkotanya yaitu al-Ma’mun
untuk wilayah Khurasan, wilayah Irak untuk al-Amien dan semenanjung Arab untuk
al-Qasim.
Dalam masalah pemerintahan, ar-Rasyid dibantu oleh
seorang Wazir yang bernama Yahya bin Barmak, terutama setelah ibunya Khaizuran
meninggal dunia pada 3 tahun kekuasaan khalifah. Yahya bin Bermak dibantu juga
oleh kerabat dan keluarganya. Berkat dirinya, orang-orang Bermak dapat
menguasai dapat menguasai pemerintahan Abbasiyah hingga beberapa tahun.
Ar-Rasyid meninggal ketika menumpas pemberontakan yang
terjadi di Khurasan yang dipimpin oleh Rafi’ Ibn Laith. Namun sebelumnya
ar-Rasyid sudah melantik al-Amien sebagai penggantinya di Baghdad dan Yahya Ibn
Sulaiman untuk menjalankan urusan pemerintahan.
Al-Amien melanjutkan estapet kepemimpinan Dinasti
Abbasiyah dari tahun 193-198 H. namun Ia kurang memberikan perhatian kepada
pemerintahan, karena terlalu banyak bersenda gurau dan berpoya-poya. Ketika
dating tentara al-Ma’mun dari Khurasan di bawah pimpinan Tahir Ibn al-Husain
dan Hatsamah Ibn A’yam, al-Amien tidak bisa menghalaunya dan kemudian terbunuh.
Meninggalnya al-Amien langsung digantikan oleh al-Ma’mun
(198-218). Karena memperoleh kekuasaan dengan cara kekerasan, maka pada awal
kekuasaannya banyak pihak-pihak yang merongrong terutama pasca kepindahannya
dari Khurasan ke Baghdad. Namun semua itu dapat diatasi, bahkan kekuasaan
al-Ma’mun mengalami kejayaan seperti pada msa Harun ar-Rasyid. Pada masa ini
juga aliran Mu’tazilah dijadikan sebagai madzhab nasional. Al-Ma’mun wafat
sewaktu berperang di Tursur pada usia 48 tahun. Namun sebelumnya ia sudah
melantik saudaranya al-Mu’tashim sebagai putra mahkota yang akan
menggantikannya.
Pasca meninggalnya al-Ma’mun kekuasaan Abbasiyah mulai
mengalami kemunduran ditambah lagi kuatnya dominasi orang-orang Turki dan
Persia, sehingga setiap saat siap merongrong kewibawaan Baghdad. Puncaknya pada
masa pemerintahan al-Mutawakkil, dimana Ia mengangkat panglima besar Ashar yang
berkebangsaan Turki dan mulailah berdiri Dinasti-Dinasti kecil merdeka di
sekitar Baghdad.
6.
Kemajuan Dinasti Abbasiyah
Kemajuan peradaban Abbasiyah sebagai disebabkan oleh
stabilitas politik dan kemajuan ekonomi kerajaan yang pusat kekuasaannya
terletak di Baghdad. Adapun kemajuan peradaban Islam yang dibuat oleh Dinasti
Abbasiyah adalah :
a.
Bidang
Politik dan Pemerintahan
Kemajuan politik dan pemerintahan yang dilakukan oleh
Dinasti
- Memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Kemudian menjadikan Baghdad sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dijadikan “kota pintu terbuka” sehingga segala macam bangsa yang menganut berbagai keyakinan diizinkan bermukin di dalamnya. Dengan demikian jadilah Baghdad sebagai kota international yang sangat sibuk dan ramai.
- Membentuk Wizarat untuk membantu khalifah dalam menjalankan pemerintahan Negara. Yaitu Wizaratul Tanfiz sebagai pembantuk khalifah dan bekerja atas nama khalifah dan Wizaratul Rafwidl sebagai orang yang diberi kuasa untuk memimpin pemerintah, sedangkan khalifah sendiri hanya sebagai lambing.
- Membentuk Diwanul Kitaabah (Sekretaris Negara) yang tugasnya menjalankan tata usaha Negara.
- Membentuk Nidhamul Idary al-Markazy yaitu sentralisasi wilayah dengan cara wilayah jajahan dibagi dalam beberapa propinsi yang dinamakan Imaarat, dengan gubernurnya yang bergelar Amir atau Hakim. Kepala daerah hanya diberikan hak otonomi terbatas; yang mendapat otonomi penuh adalah “al-Qura” atau desa dengan kepala desa yang bergelar Syaikh al-Qariyah. Hal ini jelas untuk mebatasi kewenangan kepala daerah agar tidak menyusun pasukan untuk melawan Baghdad.
- Membentuk Amirul Umara yaitu panglima besar angkatan perang Islam untuk menggantikan posisi khalifah dalam keadaan darurat.
- Memperluas fungsi Baitul Maal, dengan cara membentuk tiga dewan; Diwanul Khazaanah untuk mengurusi keuangan Negara, Diwanul al-Azra’u untuk mengurusi kekayaan Negara dan Diwan Khazaainus Sila, untuk mengurus perlengkapan angkatan perang.
- Menetapkan tanda kebesaran seperti al-Burdah yaitu pakaian kebesaran yang berasal dari Rasul, al-Khatim yaitu cincin stempel dan al-Qadlib semacam pedang, dan kehormatan. Al-Khuthbah, pembacaan doa bagi khalifah dalam khutbah Jum’at, as-Sikkah, pencantuman nama khalifah atas mata uang dan Ath-Thiraz, lambing khalifah yang harus dipakai oleh tentara dan pegawai pemerintah untuk khalifah.
- Membentuk organisasi kehakiman, Qiwan Qadlil Qudha (Mahkamah Agung), dan al-Sutrah al-Qadlaiyah (jabatan kejaksaan), Qudhah al-Aqaalim (hakim propinsi yang mengetuai Pengadilan Tinggi), serta Qudlah al-Amsaar (hakim kota yang mengetuai Pengadilan Negeri).
- Bidang Ekonomi
Pada masa awal pemerintahan Abbasiyah, pertumbuhan
ekonomi cukup stabil, devisa Negara penuh melimpah. Khalifah al-Mansur adalah
tokoh ekonom Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam
bidang ekonomi dan keuangan Negara (Baitul Maal).
Di sektor pertanian, pemerintah membangun sistem
irigasi dan kanal di sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir sampai teluk
Persia, sehingga tidak ada lagi daerah pertanian yang tidak terjangkau irigasi.
Kemudian kota Baghdad di sampaing sebagai kota politik agama, dan kebudayaan,
juga merupakan kota perdagangan terbesar di dunia, sedangkan Damaskus merupakan
kota kedua. Sungai Tigris dan Eufrat menjadi kota transit perdagangan antar
wilayah-wilayah Timur seperti Persia, India, China, dan nusantara dan wilayah
Barat seperti Eropa dan Afrika Utara sebelum ditemukan jalan laut menuju Timur
melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Selain itu, barang-barang kebutuhan
pokok dan mewah dari wilayah Timur diperdagangkan dengan barang-barang hasil
dari wilayah bagian Barat. Di kerajaan ini juga, sudah terdapat berbagai macam
industri seperti kain Linen di Mesir, Sutra di Suriah dan Irak, Kertas di
Samarkand, serta hasil-hasil pertanian seperti Gandum dari Mesri dan Kurma dari
Irak.
b.
Lembaga dan Kegiatan Ilmu
Pengetahuan
Pada masa Dinasti Abbasiyah pengembangan keilmuan dan
teknologi diarahkan ke dalam Ma’had. Lambaga ini dikenal ada dua
tingkatan. Pertama, Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga
pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung,
menulis, anak-anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama serta tempat
penngajian dari ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (Khalaqah),
tempat berdiskusi dan Munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan dan juga
dilengkapi dengan ruangan perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam
disiplin ilmu. Disamping itu, di masjid-masjid ini dilengkapi juga dnegan
berbagai macam fasilitas pendidikan penunjang lainnya. Kedua, bagi
pelajar yang ingin mendalami ilmunya, bisa pergi keluar daerah atau ke masjid-masjid
atau bahkan ke rumah-rumah gurunya. Karena semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan, baik mengenai agama maupun umum maka semakin banyak khalaqah-khalaqah
(lingkaran pengajaran), yang tidak mungkin tertampung di dalam ruang masjid.
Maka pada perkembangan selanjutnya mulai di buka madrasah-madrasah yang di
pelopori oleh Nizhamul Muluk. Lembaga inilah yang kemudian yang
berkembang pada masa Dinasti Abbasyiah. Madrasah ini dapat di temukan di
Baghdad, Balkar, Isfahan, Basrah, Musail dan kota lainya mulai dari tingkat
rendah, menengah, serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.
c.
Gerakan Penerjemah
Peleopor gerakan penerjemah pada awal pemerintahan
Dinasti Abbasyiah adalah khalifah al-Mansur yang juga membangun kota Baghdad.
Dia mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam seperti Nuwbhat,
Ibrahim al-Fazari dan Ali Ibnu Isa untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa
Persia dalam bidang Astronomi yang sangat berguna bagi kafilah dengan baik dari
darat maupun laut. Buku tentang ketatanegaraan dan politik serta moral seperti kalila
wa Dimma Sindhind dalam bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Selain itu, Manuskrip berbahasa Yunani seperti logika karya Aristoteles,
Al-Magest karya Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachus dan Gerase,
Geometri karya Euclid. Manuskrip lain yang berbahasa Yunani Klasik, Yunani
Bizantium dan Bahasa Pahlavi (Persia Pertengahan), bahasa Neo-Persia dan bahasa
Syiria juga di terjemahkan.
Penerjemahan secara langsung dari bahasa Yunani ke
dalam bahasa Arab dipelopori oleh Hunayn Ibn Isyaq (w. 873 H) seorang penganut
Nasrani dari Syiria. Dia memeperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu
menerjemahkan kalimat, bukan kata per kata. Metode ini lebih dapat memahami isi
naskah karena sturktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda dengan sturktur
kalimat dalam bahasa Arab.
Pada masa al-Ma’mun karena keinginan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan demikian pesat, dia membentuk tim penerjemah
yang diketuai langsung oleh Hunayn Ibn Isyaq sendiri, dibantu Ishaq anaknya dan
Hubaish keponakannya serta ilmuwan lain seperti Qusta Ibn Luqa, Jocabite
seorang Kristen, Abu Bisr Matta Ibn Yunus seorang Kristen Nestorian, Ibn A’di,
Yahya Ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah
Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan seperti
kedokteran. Keberhasilan penerjemahan juga didukung oleh fleksibilitas bahasa
Arab dalam menyerab bahasa Asing dan kekayaan kosakata bahasa Arab.
d.
Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan. Istitusi ini adalah kelanjutan dari Jandishapur
Academy yang ada pada masa Sasania Persia. Namun, berbeda dari istitusi
pada masa Sasania yang hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk
raja, pada masa Abbasiyah intitusi ini diperluas.
kegunaannya. Pada masa Harun ar-Rasyid intitusi ini
bernama Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai
perpustakaan dan pusat penelitian.
Sejak tahun 815 M, al-Ma’mun mengembangkan lembaga ini
dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah. Pada masa ini juga, Bait
al-Hikmah dipergunakan secara lebih modern yaitu sebagai tempat penyimpanan
buku-buku kuno yang di dapat dari Persia, Byzantium, bahkan Ethiopia dan India.
Selain itu Bait al-Hikmah berfungsi sebagai kegiatan studi dan riset
astronomi untuk meneliti perbintangan dan matematika. Di institusi ini
al-Ma’mun mempekerjakan Muhammad Ibn Hawarizmi yang ahli bidang al-Jabar dan
Astronomi dan orang-orang Persia bahkan Direktur perpusatakaan adalah seorang
nasionalis Persia dan ahli Pahlewi Sahl Ibn Harun.
e.
Bidang Keagamaan
Pada masa Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai
berkembang, terutama dua metode penafsiran, yaitu Tafsir bil al-Ma’tsur
dan Tafsir bi al-Ra’yi. Tokoh tafsir terkenal seperti Ibn Jarir
at-Tabary, Ibn Athiyah, Abu Bakar Asam (Mu’tazilah), Abu Muslim Muhammad Ibn
Bahr Isfahany (Mu’tazilah), dll.
Dalam bidang Hadits, mulai dikenal ilmu
pengklasifikasian Hadits secara sistematis dan kronologis seperti, Shahih,
Dhaif, dan Madhu’. Bahkan juga sudah diketemukan kritik Sanad,
dan Matan, sehingga terlihat Jarrah dan Takdil Rawi yang
meriwayatkan Hadits tersebut. Ahli Hadits terkenal di zaman ini adalah; Imam
Bukhari (w 256 H), Imam Muslim (w 261 H), Ibn Majah (w 273 H), Abu Daud (w 275
H), at-Tirmidzi, An-Nasa’I (303 H), dll.
Dalam bidang Fiqh, mucul kitab Majmu’
al-Fiqh karya Zaid Ibn Ali (w 740) yang berisi tentang Fiqh Syi’ah
Zaidiyah. Kemudian lahir Fuqaha seperti Imam Hanafi (w 767 ), seorang hakim
agung dan pendiri Madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas (w 795 M), Muhammad Ibn Idris
as-Syafe’i (820 M), Imam Ahmad Ibn Hambal ( w 855 M).
Dalam bidang filsafat dan Ilmu kalam, lahir para
filosof Islam terkemuka seperti Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi, Abu Nasr Muhammad al-Farabi,
Ibn Barjah, Ibn Tufail, dan Imam Ghazali. Dan ilmu Kalam, Mu’tazilah pernah
menjadi Madzhab utama pada masa Harun ar-Radyid dan al-Ma’mun. diantara ahli
ilmu Kalam adalah Washil Ibn Atha’, Abu Huzail al-Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan
Asy’ary, dan Iman Ghazali.
Ilmu Lughah juga berkembang dengan pesat karena
bahasa Arab semakin dewasa dan memerlukan suatu ilmu bahsa yang menyeluruh.
Ilmu bahasa yang dimaksud adalah Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi, Arudh,
dan Insya. Ulama Lughah yang terkenal adalah Sibawaih (w 183 H),
Mu’az al-Harra (w 187 H), Ali Ibn Hamzah al-Kisai (w 208 H), dll.
Ilmu Tasawuf
berkembang pesat terutama pada masa Abbasiyah II dan seterusnya. Diantara tokoh
tasawuf yang terkenal adalah al-Qusayiri (w 456 H), Syahabuddin (w. 632 H), Imam
al-Ghazali (w. 502 H), dan lain-lain.
f.
Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan
Teknologi
Adapun kemajuan yang dicapai umat Islam pada masa
Dinasti Abbasiyah dalam bidang ilmu Pengetahuan, sains dan teknologi adalah a).
Astronomi, Muhammad Ibn Ibrahim al-Farazi (w. 777 M), ia adalah astronom muslim
pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian bintang.
Disamping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali Ibn Isa
al-Asturlabi, al-Farghani, al-Battani, al-Khayyam dan al-Tusi. b). Kedokteran,
pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibn Rabban al-Tabari
pengarang buku Firdaus al-Hikmah tahun 850 M, tokoh lainnya adalah
ak-razi, al-Farabi, dan Ibn Sina. c). Ilmu Kimia, bapak kimia Islam adalah
Jabir Ibn Hayyan (w. 815 M), al-Razi, dan al-Tuqrai yang hidp pada abad ke 12
M. d). Sejarah dan Geografi, pada masa ini sejarawan ternama abad ke 3 H adalah
Ahmad Ibn al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad Ja’far Ibn Jarir al-Tabari. Kemudian
ahli Bumi yang termasyur adalah Ibn Khurdazabah (w. 913 H).
7.
KESIMPULAN
Dinamakan khilafah bani Abbasiyah karena para pendiri
dan penguasanya adalah keturunan al Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti ini
didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas.
Berdirinya Dinasti ini tidak terlepas dari keamburadulan Dinasti sebelumny,
dinasti Umaiyah. Pada mulanya ibu kota negera adalah al-Hasyimiyah dekat kufah.
Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga setabilitas Negara al-Mansyur
memindahkan ibu kota Negara ke Bagdad. Dengan demikian pusat pemerintahan
dinasti Abasiyah berada di tengah-tengah bangsa Persia. Al-Mansyur melakukan
konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal
untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Puncak perkembangan dinasti Abbasiyah tidak seluruhnya
berawal dari kreatifitas penguasa Bani Abbasiyah sendiri. Sebagian diantaranya
sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan misalnya di
awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Namun lembaga-lembaga
ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abas dengan berdirinya
perpustakaan dan akademi.
Pada beberapa dekade terakhir, daulah Abbasiyah mulai
mengalami kemunduran, terutama dalam bidang politiknya, dan akhirnya membawanya
pada perpecahan yang menjadi akhir sejarah daulah abbasiyah.
Rujukan
Buku sejarah
kebudayaan Islam Prof.Dr.A.SYALABI
Komentar
Posting Komentar