Disusun Oleh :
Tiara Sofiana (216-13-021); Tatik Nur Azizah (216-13-016);
dan Isro’athul Laili (216-13-027)
HAID
Darah
yang keluar dari qubul perempuan ada 3 macam yaitu:
1.
Darah istihadhah
2.
Darah haid
3.
Darah Nifas
Al-Haidh
menurut bahasa ialah : As-Sailan artinya mengalir dari
infijaar, terpencar.
“Banjir
mengalir dan melimpah ruah”
Al-Haidh dapat pula berarti Al-Hawdh (Telaga) sebabnya
karena air mengalir ke telaga.
Artinya menurut syara’ ialah
: Darah yang keluar dari rahim perempuan ketika dia sehat melalui faraj, bukan
karena sebab beranak, dan bukan pula karena pecahnya kulit perawan.
Waktunya sejak dari perempuan mulai baligh lebih kurang pada usia sembilan
tahun, hingga usia berhenti haid. Maka bila seorang perempuan mengeluarkan
darah sebelum umur sembilan tahun atau dia mengelurkan darah sesudah usia
berhenti haid, maka darah itu bukanlah darah haid, tetapi darah penyakit.
Haid adalah kejadian atau peristiwa yang telah ditetapkan Allah
harus terjadi pada putri-putri Adam. Islam mempunyai hukum-hukum tertentu
mengenai haid, berlainan dengan hukum-hukum yang dipakai Bani Israil.
Diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmizi
dari Anas Ra. Perempuan-perempuan Yahudi apabila haid, mereka dipencilkan
jauh-jauh dari rumah tempat tinggal mereka, tidak boleh makan minum dan
berkumpul bersama-sama keluarga di dalam sebuah rumah. Maka orang-orang Arab
Madinah ikut-ikutan dengan cara yang dilakukan kaum Yahudi tersebut,
memencilkan perempuan-perempuan mereka yang sedang haid dari tempat makan,
minum dan dari tempat mereka bersam ketempat terasing.
PERBEDAAN
PENDAPAT TENTANG HAID
Apabila gadis yang hampir baligh
mengeluarkan darah usia 9 sampai dengan 13 tahun, maka sebaiknyalah dia
bertanya kepada perempuan dewasa, apakah darah yang keluar itu adalah haid atau
bukan. Kalau bukan darah haid, tentulah darah penyakit. Tempat bertanya itu
sebaiknya seperti dokter ahli ynag dapat dipercaya.
Jika darah itu keluar dari seorang
berusia 13 sampai dengan 50tahun, maka sudah pasti itu haid. Tetapi jika keluar
dari orang berusia lebih dari 50-70 tahun ke atas, maka sebaiknya dia bertanya
atau memeriksakan kepada ahli dan menjalakan nasehatnya. Jika keluar dari orang
berusia 70 tahun ke atas, pasti itu bukan darah haid, tetapi darah istihadhah.
Begitu pula jika keluar dari gadis kecil berusia dibawah 9 tahun.
HANAFI
: Apabila gadis-gadis usia 9 tahun telah
mengeluarkan darah, maka itulah darah haid. Apabila darah itu keluar, maka dia
harus meninggalkan shalat dan puasa. Peristiwa itu akan berulang-ulang secara
rutin hingga tiba usia berhenti haid,
yaitu kira-kira usia 55 tahun. Apabila perempuan itu keluar darah lagi sesudah
usia itu, maka darah itu bukan darah haid, tetapi penyakit. Tetapi jika darah
itu keluar sesudah masa berhenti haid (menopause) kelihatan hitam pekat, atau
merah menyala, maka itu dikatakan darah haid.
HANBALI
: Batas usia berhenti haid ialah umur 50 tahun. Kalau seorang perempuan
sesudah usia tersebut mengeluarkan darah, maka itu bukan darah haid.
SYAFI’I
: Darah haid mulai keluar dari seorang
perempuan sejak ia berusia 9 tahun. Tidak ada batas tertentu bagi usia berhenti
haid. Mungkin selama-lamanya, selama hayat
masih dikandung badan. Tetapi menurut kebiasaan, haid itu berhenti setelah usia
62 tahun. Maka itulah biasanya usia berhenti haid.
CIRI-CIRI HAID
Ciri-ciri haid
berwarna seperti darah. Yaitu merah kekuning-kuningan dan darah keruh. Atau
pertengahan antara hitam dan putih. Jika kelihatan putih bersih maka itu bukan
darah haid. Dan pengikut Hanafi menghubungkan warna ini pada warna hitam,
hijau, dan warna tanah (coklat). Sedangakn Syafi’i hanya menghubungkannya pada
warna hitam dan warna merah kekuning-kuningan.
Syaratnya
perempuan bersangkutan tidak sedang hamil. Jika dia sedang hamil, maka darah
yang keluar itu bukan darah haid, tetapi darah penyakit.
Tetapi Syafi’i dan
Maliki berpendapat, darah yan keluar dari orang hamil bisa juga darah haid.
Karena itu bagi mereka tidak menjadi persyratan rahim harus kosong dari
kandungan. Bahwa pengikut Syafi’i mengatakan, masa haidnya didalam hamil harus
diperhitungan seperti biasa ketika dia tidak hamil. Artinya apabila darah itu
keluar berlebih dari masa haidnya biasa, maka tidak dihukumkan sebagai orang
yang haid.
Maliki mengatakan,
apabila perempuan hamil mengeluarkan darah sesudah dua bulan kehamilannya
sehingga sampai enam bulan, maka masa haidnya diperkirakan sekitar dua puluh
hari, jika dia masih berulang-ulang mengeluarkan darah. Dan setelah enam bulan
kehamilan sampai melahirkan, diperkirakan masa haidnya sekitar tiga puluh hari.
Apabila dia mengeluarkan darah pada bulan pertama dan ke dua dari kehamilannya,
yang demikian itu adalah darah haid biasa.
MASA HAID
Masa haid paling
sedikit sehari semalam, dan paling lama lima belas hari, dan yang biasa enam
atau tujuh hari.
HANAFI : Menurut mereka masa haid paling sedikit tiga hari tiga malam,
dan paling lama sepluh hari sepuluh malam. Jika seorang perempuan telah biasa
mengalami haid haid dalam beberapa hari tertentu, kemudian berubah dan
bertambah lama dari kebiasaannya, maka tambahan/perubahan itu harus dihitung
sebagai masa haid.
Umpamanya seseorag
biasanya haid selama tiga hari. Kemudian bertambah menjadi empat hari, maka
kebiasaanya berubah menjadi empat hari, yaitu keempat dihitung sebagai hari
haid. Begitulah halnya sampai dihitung kesepuluh. Apabila lebih dari sepuluh
hari, maka darah yang keluar itu ukan lagi darah haid tetapi darah istihadah.
Tambahan lebih dari sepuluh tidak lagi
diperhitungkan sebagai masa haid, tetapi kembali seperti biasa.
MALIKI
: Menurut mereka tidak ada batas waktu paling sedikit masa haid itu denga
membandingkannya dengan ibadah, baik dengan memmandang darah yang keluar dan
dengan memandang masa sekalipun darah yang keluar itu hanya segumpal dan dalam
waktu sekejap, maka perempuan itu dapat dikatakan haid. Adapun dengan
membandingkanya kepada masa ‘iddah dan istibra’, mereka mengatakan masa haid
itu paling sedikit satu hari atau setengah hari. Dan tidk ada batas paling lama,
karena tergantung dari darah yang keluar. Dan juga tidak dapat ditakari,
umpamanya seliter, lebih atau kurang. Sedangkan berdasarkan masa, maka paling
lama ditaksir lima belas hari bagi orang permulaan yang belum pernah hamil.
MASA SUCI
Sesingkat-singkat
masa suci ialah lima belas hari, dan tidak ada batas waktu terlama atau
terpanjang.
Menurut Hanbali,
sesingkat-singkat masa suci antara dua kali haid tiga belas hari. Walaupun
sudah bersih dari darah ketika masa haid itu, tetapi tetap masih dipandang masa
haid. Seandainya pada suatu hari dia mengeluarkan darah dan besoknya dia bersih
dari darah, lusa keluar darah pula, dan yang demikian terjadi pada masa haid,
maka seluruh hari-hari tersebut dihitung sebagai masa haid.
Tetapi Hanbali
berpendapat lain. Mereka mengatakan, jika suatu hari bersih dari darah pada
masa haid, maka dia dianggap suci, sekalipun yang terhenti darah hanya satu
antara dua hari masa haid, maka dia tetap dipandang suci, dan harus
melaksanakan tugas sebagai perempuan-perempuan suci.
NIFAS
Nifas atau nufas,
dengan (dhumah nun) ialah darah yang keluar dari qubul perempuan sesudah mati.
Seandainya dia melahirkan dengan cara operasi, yaitu dengan cara membedah perut
perempuan hamil dan mengeluarkan bayi kandungannya dari belahan kandungan
tersebut, maka perempuan tersebut tidak mempunyai darah nifas.
Jika perempuan itu
keguguran, dan janin yang gugur itu sudah mempunyai jari, atau kuku, atau
rambut, dan sebagainya, maka janin tersebut sama dengan bayi yang menyebabkan
keluarnya darah nifas. Jika janin tersebut belum mempunyai apa-apa, yaitu masih
merupakan segumpal darah atau segumpal daging, maka darah yang keluar sesudah
itu dapat dianggap sebagai darah haid bila keguguran itu bertepatan dengan masa
haid. Jika tidak, maka darah itu adalah penyakit.
Apabila seorang
perempuan melahirkan anak kembar, maka masa nifasnya dihitung sejak kelahiran
anak pertama, bukan dari kelahiran kembar yang kedua. Seandainya jarak
kelahiran antara anak yang pertama dengan yang kedua lama, maka nifasnya tetap
dihitung sejak melahirkan yang pertama. Jikalau kelahiran yang kedua tlambat
sampai empat puluh hari dari kelahiran pertama, maka darah yang turun sesudah
melahirkan adalah penyakit, bukan darah nifas.
Tidak ada batasan
bagi sekurang-kurang nifas. Masa nifas itu bisa terjadi hanya sekejap. Apabila
seorang perempuan melahirkan, dan sesudah itudaahnya langsung berhenti pula,
atau mungkin dia melahirkan tanpa darah, maka habispulalah msa nifasnya, dan
wajiblah melaksanakan tugas-tugas seperti yang diwajibkan kepada setiap
perempuan suci. Dalam bab terdahulu telah diceritakan kasus Fathimah
Az-Zahra binti Rasulullah. Dia mlahirkan ketika hilang cahaya merah diwaktu
senja. Sebentar ekmudian dia telah suci kembali dari nifas, lalu dia mandi dan
shalat ‘Isya tepat pada awal waktu. Karena itulah dikatakan, sekurang-kurangnya
masa nifas adalah sekejap. Dan selama-lama masa nifas ialah empat puluh hari.
MASA SUCI BERSELANG-SELING
Masa
suci yang berselang-seling oleh nifas, yaitu sehari keluar darah nifas dan
sehari suci, dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat.
HANAFI : Mereka
mengatakan, masa suci yang diselang-seling oleh keluarnya darah nifas, dianggap
sebagai masa nifas.
HANBALI : Masa suci
yang diselang-seling oleh keluarnya darah nifas dianggap sebagai masa suci.
SYAFI’I : Jika masa suci berlangsung lima belas hari atau lebih sesudah dia
melahirkan, maka perempaun tersebut dihukumkan telah suci, sedangkan masa
sebelum cukup lima belas hari dikatakan sebagai masa nifas.
MALIKI : Jika
hari-hari suci sudah telah mencapai setengah bulan (lima belas hari), maka
perempuan bersangkutan telah suci. Sedangkan darah yang turun sesudah itu
adalah darah haid, Jika masih kuarang dari lima belas hari, darah yang keluar
adalah darah nifas.
ISTIHADHAH
Istihadah adalah darah yang keluar
dari rahim perempuan tidak pada waktu haid atau nifas. Mak setip darah yang
datang lebih lama dari masa haid atau nifas, atau kurang dari masanya yang
paling singkat, atau darah yang mengalir sebelum usia haid (yaitu umur sembilan
tahun), maka darah itu adalah darah istihadhah. Darah istihadhah ialah darah
yang keluar karena penyakit, dan bukan darah haid.
Kapan
dia dkatakan darah istihadhah dan kapan dikatakan darah haid (Istihadhah
berkepajangan):
ABU
HANIFAH : Masa haid
dihitung menurut kebiasaan yang belaku bagi masing-masing perempuan. Jika
perempuan itu haid untuk pertama kali, maka dihitung menurut masa haid yang
terpanjang atau sepuluh hari.
SYAFI’I : Menuruntnya, boleh menentukan dengan membedakan ciri-ciri darah
haid dan istihadhah jika pandai membedakannya, dan boleh pula menentukan
menurut kebiasaan (adat) yang berlaku.
MALIKI : Mereka menetapkan perubahan istihadhah pada masa suci kepada
masa haid dengan membedakan perubahan yang keluar kepada sifat-sifat darah
haid, seperti mengenai baunya, warnanya, rasa perih dan sebagainya. Jika
berubah, maka dia haid, dan kententuan harus didahului oleh sekurang-kurang
masa suci yaitu 15 hari.
HANBALI : Seorang perempuan istihadhah ada yang sudah biasa dan ada pula
yang baru untuk pertama kali. Maka yang sudah terbiasa hendaklah dia beramal
menurut kebiasaan sekalipun dia pandai membedakan mana yang istihadhah dan mana
yang haid.
CARA
BERSUCI DARI ISTIHADHAH
Dalam masalah ini terdapat empat
macam pendapat atau cara:
1.
Perempuan
istihadhah hanya wajib mandi satu kali yaitu sesudah darah haidnya berhenti.
2.
Dia wajib mandi
setiap hendak shalat.
3.
Dia wajib mandi
tiga kali sehari semalam.
4.
Dia wajib mandi
satu kali sehari semalam.
PENDERITA
ISTIHADHAH TIDAK BERPNTANG SEPERTI ORANG HAID
Istihadhah tidak menghalangi
mengerjakan amalan yang terhalang mengerjakannya selama haid dan nifas, seperti
shalat, shiyam, membaca Qur’an, menyentuh mushaf, masuk masjid, i’tikaf thawaf,
watha’ (jima’) dan lain-lain.
Kata
Imam Malik, Ahli Fiqh dan ahli ilmu membolehkan penderita istihadhah watha’
sekalipun darahnya banyak keluar. Ucapan Imam Malik tersebut diwirayatkan oleh
Ibnu Wahab dari beliau. Karena penderita istihadhah adalah orang-orang uzur,
seperti halnya orang yang sakit perut, atau orang yang suka kencing
terus-menerus (diabetes), atau orang yang hidungnya berdarah terus-menerus,
atau seperti luka yang tak kunjung sembuh.
BOLEHKAH
PENDERITA ISTIHADHAH MELAKUKAN WATHA’ (SANGGAMA)?
Perihal membolehkan penderita
istihadhah melakukan watha’ terdapat tiga pendapat yaitu:
1.
Golongan yang
membolehkan penderita istihadhah melakukan watha’,yaitu para Fuqha dari
beberapa daerah.
2.
Golongan yang
tidak membolehkan penderita istihadhah melakukan watha’ (sanggama)
3.
Golongan yang
yang tidak membolehkan suami penderita istihadhah mendatangi untuk senggama
kecuali istihadhahnya itu berkepanjangan. Pendapat ini adalah pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal.
SEBAB-SEBAB
PERBEDAAN PENDAPAT
Sebab perbedaan pendapat para Fuqaha ialah
kebolehan penderita istihadhah melakukan shalat. Apakah mereka dibolehkan
shalat karena mengingat pentingnya perintah shalat ataukah karena penderita
istihadhah menurut hukum dipandang perempuan suci?
Pihak yang berpendapat bahwa
kebolehan itu suatu pengecualian karena pentingnya shalat, tidak membolehkan
suami penderita istihadhah melakukan sanggama dengannya. Dan golongan yang
mengatakan penderita istihadhah sebagai perempuan suci, membolehkan melakukan
sanggama dan karen itu masalahnya didiamkan saja.
Komentar
Posting Komentar