Disusun Oleh:
M. Sukron Rofiq
(111-11-045); Rif’ah
Munawaroh (111-11-047);
Fatkhul Wahab (111-11-053: dan Abdul Ckamim (111-11-075)
A.
Pengertian
Ikhtilaf
Ikhtilaf
menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa
Arab yang asal katanya adalah: khalafa, yakhlifu, khilafan ختف – يخلف – جلافا ) ).[1]
Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa
orang terhadap suatu obyek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk
“tidak sama” ataupun “bertentangan secara diametral”. Jadi yang dimaksud
ikhtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum
terhadap satu obyek hukum.[2]
Sedangkan
yang dimaksud ikhtilaf dalam pembahasan di sini, adalah perbedaan pendapat di
antara ahli hukum Islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah
hukum Islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum Islam),
disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum
suatu masalah dan lain-lain.
B.
Sebab-sebab
Terjadinya Ikhtilaf
Sebab-sebab terjadinya ikhtilaf dalam penetapan hukum Islam adalah
sebagai berikut:
1.
Perbedaan
Pemahaman Al-Qur’an
Perbedaan para ulama dalam memahami Al-Qur’an, di antaranya
disebabkan oleh:
a.
Lafadz
Musytarak
Musytarak
adalah satu lafadz tetapi mempunyai arti yang banyak dan berbeda-beda. Contoh
lafadz musytarak yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an seperti:
Lafal (القرء) dalam firman Allah Surah
Al-Baqarah ayat 228, yang berbunyi:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru'.” (QS.
Al-Baqarah: 228).
Kata
quru’ dapat diartikan suci dan haid. Imam Syafi’i mengambil arti suci dan Imam
Hanafi mengambil arti haid.[3]
Firman
Allah اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَآْءَ /Aulaamastumun
Nisa’ (atau kamu menyentuh/bersetubuh dengan perempuan).
Menurut
Imam Hanafi, laamastum artinya
bersetubuh, sebab itu tidak batal menyentuh perempuan, meskipun ajnabiyah.
Menurut
Imam Syafi’i, Maliki dan Hambali, laamastum artinya menyentuh, sebab itu batal
wudhu dengan menyentuh perempuan. Tetapi Syafi’i berpendapat, bahwa yang
membatalkan wudhu ialah menyentuh perempuan ajnabiyah (bukan mukhrim).
Menyentuh perempuan, seperti ibu atau anak perempuan sendiri tidak membatalkan
wudhu. Sedangkan menurut Maliki dan Hambali, menyentuh perempuan membatalkan
wudhu kalau disentuh dengan syahwat. Tetapi kalau tidak dengan syahwat, maka
tidak batal wudhu itu.
Menurut
Adh-Dhohiri (madzab kelima) menyentuh perempuan membatalkan wudhu, meskipun ibu
sendiri atau anak sendiri karena mereka termasuk perempuan juga menurut
lahirnya lafadz An-Nisa’ (perempuan).[4]
Dengan
contoh itu dapatlah kita ketahui bahwa meskipun kelima madzab itu sepakat
tentang dalil firman Allah: Aulaamastumun Nisaa’ tetapi mereka itu berlainan
pendapat tentang tafsirannya dan mengistimbathkan hukum dari padanya, sehingga
terjadi empat pendapat:
1)
Menurut
Imam Syafi’i, menyentuh perempuan ajnabiyah membatalkan wudhu, dan menyentuh
perempuan mukhrim tidak membatalkan wudhu.
2)
Menurut
Maliki dan Hambali, menyentuh perempuan membatalkan wudhu, kalau disentuh
dengan syahwat baik mukhrim atau ajnabiyah. Menyentuh perempuan dengan tiada
syahwat tidak membatalkan wudhu.
3)
Menurut
Imam Zuhri, menyentuh perempuan membatalkan wudhu, baik mukhrim atau ajnabiyah.[5]
b.
Amar
dan Nahi
Para
ulama juga berbeda pendapat dalam memahami arti amar (perintah) dan nahi
(larangan) baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah. Sebagai contohnya di dalam Sabda
Rasulullah yang berbunyi:
يَا مَعْشَرَ ااشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَائَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ . (رواه البخار و
مسلم عن عبدالله ابن مسعود)
“Wahai para
pemuda, barang siapa dari kamu yang kuasa berumah tangga, maka hendaklah
kawin.” (HR. Bukhori Muslim dari Abdullah Ibnu Mas’ud).
Jumhur Ulama memahami makna perintah untuk
kawin dalam hadits ini maksudnya adalah sunah, sedangkan Daud Adh-Dhohiri
memahaminya wajib.[6]
c.
Makna
hakekat dan majaz
Kadang-kadang
lafadz itu menerima dua makna, hakekat dan majaz, seperti lafadz ‘am apabila
dikehendaki khas, dan lafadz khas apabila dikehendaki ‘am.
Seperti
dalam sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
وَالْبُرُّبِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِاالشَّعِيْرِ وَالتَّمَرُ بِالتَّمَرِ
وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مَثَلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ . (رواه مسلم)
“Emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, yang sama dengan yang sama, serupa dengan serupa, tangan dengan
tangan.” (HR. Muslim dar Ubaidah bin Samit).
Daud
zahiri memahami hadits tersebut khusus, yang artinya dilarang berjual beli riba
hanya terbatas pada benda-benda yang disebutkan dalam hadits itu saja, tetapi
jumhur Fuqaha memasukkan benda-benda lain lagi yang ada persamaannya dengan
benda-benda yang disebutkan dalam hadits tersebut.[7]
2.
Sebab-sebab
Khusus Mengenai Sunnah Rasulullah saw.
Sebab-sebab khusus mengenai Sunnah Rasul saw. yang menonjol antara
lain: (a) Perbedaan dalam penerimaan hadits; sampai atau tidaknya suatu hadits
kepada sebagian sahabat (b) Perbedaan dalam menilai periwayatan hadits (shahih
atau tidaknya) (c) Perbedaan mengenai kedudukan Syakhshiyyah Rasul.
a.
Perbedaan
dalam penerimaan hadits
Seperti
dimaklumi, para sahabat yang menerima dan menyampaikan (meriwayatkan) hadits,
kesempatannya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majlis Rasul, tentunya
mereka inilah yang banyak menerima hadits sekaligus meriwayatkannya. Tetapi
banyak pula di antara mereka yang sibuk dengan urusan-urusan pribadinya,
sehingga jarang menghadiri majlis Rasul, padahal biasanya dalam majlis itulah
Rasul menjelaskan masalah-masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum
sesuatu; memerintah atau melarang dan menganjurkan sesuatu. Contoh mengenai ini
adalah sebagai berikut:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَأْمُرُ النَّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ
يَنْقُضْنَ رُٶُوْسَهُنَّ
“Ibnu ‘Umar
memberi fatwa, bahwa bila wanita mandi junub hendaklah membuka (mengudar)
sanggul rambutnya agar air sampai ke akar-akar rambut”, sebagaimana
diriwayatkan Imam Muslim. Setelah mendengar fatwa itu, Siti Aisyah ra. Merasa
heran dan berkata:
عَجَبًا لاِبْنِ عُمَرَ هٰذَا يَأْمُرُ النَّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ
أَنْ يَنْقُضْنَ رُٶُوْسَهُنَّ أَفَلاَ يَاْمُرُ هُنَّ اَنْ يَحْلِقْنَ رُٶُوْسَهُنَّ
.
“Sungguh aneh
Ibn “Umar ini memerintahkan kaum wanita apabila mereka mandi janabah untuk
mengudar sanggul. Jika demikian, apakah tidak lebih baik menyuruh mereka untuk
mencukur rambut saja?”
Kemudian
Aisyah meriwayatkan hadits mengenai soal itu sebagai berikut:
لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَمَا أَزِيْدُ عَلَى أَنْ أُفْرِغَ عَلَى
رَأْسِي ثَلاَثَ إِفْرَاغَاتٍ .
“Sungguh aku
pernah mandi bersama Rasulullah saw. dari satu bejana dan aku menyiram rambut
kepalaku tidak lebih dari tiga siraman.”[8]
b.
Perbedaan
dalam menilai periwayatan hadits
Adakalanya
sebagian ulama memandang periwayatan suatu hadits shahih, sedangkan menurut
ulama yang lain tidak, misalnya karena tidak memenuhi semua persyaratan yang
telah mereka tentunkan. Penilaian ini meliputi segi sanad, maupun matannya.
Contoh
dari segi sanad, adalah seperti hadits yang dijadikan dasar oleh Imam
Syafi’i tentang wajibnya membaca al-Fatihah bagi ma’mum dalam shalat:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ صَامِتٍ قَالَ: صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الصُّبْحَ فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ فَلَمَّا
انْصَرَفَ قَالَ: إِنِّيْ أَرَاكُمْ تَقْرَٶُوْنَ وَرَاءَ إِمَامِكُمْ. قَالَ٬
قُلْنَا يَا رَسُوْل اللهِ٬ وَاللهِ٬ قَالَ: لاَ تَفْعَلُوْا إِلاَّ بِأُمِّ
الْقُرْآنِ فَإِنَّهُ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا (رواه أبو داود).
Dari “Ubadah bin Shamid, ia berkata bahwa Rasulullah saw. telah shalat
subuh agak panjang bacaannya, maka setelah selesai shalat, Rasulullah berkata,
“Aku memperhatikan kalian membaca di belakang imam.” Kami menjawab, “Ya Rasul, demi Allah memang kami membaca.” Rasulullah
berkata, “Janganlah kalian membaca, kecuali Ummul Qur’an (al-Fatihah), karena
sesungguhnya tidak sah shalat seseorang yang tidak membacanya.” (HR. Abu Dawud).
Menurut
Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam kitabnya, al-Mughni menyatakan,
bahwa hadits Ubadah ini tidak ada yang meriwayatkan kecuali Ibnu Ishaq dan
Nafi’ bin Mahmud bin al-Rabi. Sedangkan Ibnu Ishaq adalah Mudallis. Dan
Nafi’ lebih rendah lagi (lebih buruk lagi) keadaannya dari Ibnu Ishaq.
Contoh
dari segi matan hadits adalah seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: مَنْ تَرَكَ
مَالاً أَوْ حَقًّا فَلِوَرَثَتِهِ وَ مَنْ تَرَكَ كَلاَّ أَوْ عِيَالاً
فَإِلَيَّ.
“Barangsiapa meninggalkan harta kekayaan atau hak, maka ia untuk ahli
warisnya, dan barangsiapa meninggalkan harta kekayaan tanpa ahli waris
(kalalah) atau sebaliknya (meninggalkan ahli waris tanpa harta kekayaan), maka
itu adalah tanggunganku.”
Imam Abu
Hanifah tidak mengakui adanya kata “hak” ( حقّا) dalam matan hadits tersebut, sehingga beliau
tidak memasukkan sebagai tirkah: hak cipta, khiyar, syuf’ah dan
sebagainya. Sedang Jumhur Fuqaha’ (Syafi’I, Malik, dan Ahmad bin Hanbal)
menetapkan adanya kata “haqqan” dalam hadits tersebut, sehingga mereka
memasukkan dalam tirkah: hak cipta, khiyar, syuf’ah dan
sebagainya.[9]
c.
Ikhtilaf
tentang kedudukan Rasulullah saw.
Sebagaimana
dimaklumi, bahwa Rasul di samping keberadaannya sebagai Rasul, juga sebagai
manusia biasa (QS, Al-Kahfi: 110). Kadang-kadang beliau bertindak sebagai
panglima perang, sebagai kepala Negara dan sebagainya. Karena itu, tindakan dan
ucapan yang dilakukan beliau tidak sama kedudukannya, kalau dikaitkan dengan
keberadaan pribadinya ketika melakukannya. Misalnya mengenai hadits berikut
ini:
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ (رواه الثلاثة).
“Barangsiapa
menggarap tanah mati, maka dialah pemiliknya.”
Mengenai
hadits ini ulama berbeda pendapat tentang apakah hal itu dinyatakan oleh Rasul
dalam kapasitasnya sebagai kepala Negara. Jika demikian, tidak setiap pemilik
tanah yang belum ada pemiliknya itu secara otomatis menjadi miliknya, melainkan
harus melalui prosedur yang berlaku pada waktu itu dan pada Negara di mana orang
itu hidup. Sebaliknya jumhur fuqaha’ yang memandang hadits itu dinyatakan
Rasulullah dalam kedudukannya sebagai Rasul, berpendapat bahwa kepemilikan
tanah mati itu tidak lagi harus melalui prosedur-prosedur Negara tertentu,
tetapi secara otomatis menjadi milik penggarap.[10]
3.
Perbedaan
Mengenai Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id Fiqhiyyah
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang berkaitan dengan kaidah-kaidah
ushul di antaranya adalah mengenai istitsna’ (pengecualian) yakni:
apakah istitsna’ yang terdapat sesudah beberapa jumlah yang di’athafkan
satu sama lainnya, kembali kepada semuanya ataukah kepada jumlah terakhirnya
saja?
Jumhur fuqaha’ berpendapat, bahwa istitsna’ itu kembali
kepada keseluruhannya. Sedang menurut Abu Hanifah, istitsna’ itu hanya
kembali kepada yang terakhir saja.[11]
Perbedaan kaidah ini jelas sekali pengaruhnya dalam menafsirkan
firman Allah SWT.
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang
yang fasik.” (QS. An-Nûr: 4).
Dari ayat di atas, dapat disimpulkan, bahwa hukuman bagi orang yang
menuduh zina tanpa membuktikan dengan empat orang saksi, adalah sebagai
berikut:
a.
Dera
delapan puluh kali
b.
Dicabut
haknya untuk menjadi saksi apapun
c.
Orang
itu dinyatakan fasik
Kemudian datang istitsna’ bagi orang-orang yang bertaubat,
yaitu pada ayat berikutnya:
“Di hari itu, Allah akan memberi mereka
Balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah
yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang
sebenarnya).” (QS. An-Nûr: 25).
Bagi yang berpendapat bahwa istitsna’ itu kembali kepada
jumlah terakhir saja, maka bila orang itu telah bertaubat, tidak lagi
dinyatakan fasik, dan tetap harus dikenakan dera serta belum bisa dijadikan
saksi. Adapun pendapat kedua, yang menyatakan istitsna’ kembali kepada
semuanya, orang yang sudah bertaubat itu tidak lagi dinyatakan fasik, dan juga
dikembalikan haknya untuk menjadi saksi, tetapi masih tetap dihukum dera,
kerena hukuman dera ini menyangkut hak ‘adami (manusia) yang tidak bisa digugurkan
dengan taubat.[12]
Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang berkaitan
dengan kaidah-kaidah fiqhiyah contohnya antara lain sebagai berikut:
Madzab Syafi’i menggunakan kaidah:
الأَصْلُ فِيْ
الأَشْيَاءِ لإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Hukum yang
terkuat dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang
mengharamkannya.
Sedangkan
menurut kaidah dalam madzab Hanafi adalah:
الأَصْلُ فِيْ
الأَشْيَاءِ التَّحْرِيْمُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى لإِبَاحَةِ
Hukum yang
terkuat dari segala sesuatu adalah haram, sehingga ada dalil yang menunjukkan
kebolehannya.
Jadi menurut madzab Syafi’i, asal hukum sesuatu adalah dibolehkan
mengerjakannya, sehingga ada dalil yang mengharamkannya atas dasar bahwa Allah
SWT telah berfirman:
هُوَ الَّذِيْ
خَلَقَ لَكُمْ مَا فِيْ الأَرْضِ جَمِيْعًا
“Dia-lah Allah
yang menjadikan segala yang ada di bumi untukmu.” (QS.
Al-Baqarah: 49).
Dan Sabda Nabi
saw.:
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ: مَا أَحَلَّ اللهُ فَهُوَ حَلَالٌ وَ مَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَ
مَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ فَإِنَّ
اللهَ لَمْ يَكُنْ يَنْسَى شَيْئًا (أخرجه
البزار والطبر اني)
“Apa yang telah dihalalkan oleh Allah adalah halal dan apa yang telah
diharamkan Allah adalah haram serta apa yang didiamkan oleh Allah adalah
dimaafkan, maka terimalah kemaafan dari Allah itu, sesungguhnya Allah tidak
akan lupa pada sesuatu.”
Sedangkan madzab Hanafi berpendapat bahwa asal hukum sesuatu adalah
haram, sehingga ada dalil yang membolehkannya, kebalikan dari pendapat madzab
Syafi’i bahwa asal sesuatu adalah boleh, sehingga ada dalil yang
mengharamkannya. Hal seperti ini dapat menimbulkan perbedaan dalam menetapkan
hukum.[13]
4.
Hal-hal
Yang Kembali Kepada Ta’arudl
Inilah sebab yang paling banyak menimbulkan perbedaan dalam bidang
hukum. Ta’arudl menurut bahasa adalah taqabul dan tamanu, pertentangan satu
sama lain dan tidak dapat dipertemukan. Sedangkan menurut istilah, ta’arudl adalah
dua dalil yang masing-masing menafikan apa yang ditunjuki oleh dalil yang lain.[14]
Misalnya, suatu dalil menghendaki keharaman sesuatu, sedangkan
dalil yang lain menghendaki kebalikannya, seperti hadits yang melarang kita
mengambil manfaat dari bangkai. Hadits itu menunjukkan keharaman bangkai.
Tetapi ada pula hadits yang membolehkan kita mengambil manfaat dari kulit
bangkai binatang, sesudah disamak. Hal ini menunjukkan kepada kemubahannya.
Dan sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ
إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرَا انِالْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِيْنَ
“Telah
difardlukan atas kamu apabila seseorang kamu menghendaki kematian supaya
berwasiat untuk kedua orangtua dan kerabat terdekat.”
Firman Allah ini menunjukkan kepada wajibnya membuat wasiat untuk
orang tua, kerabat dekat, dll. Tetapi ayat ini dilawani oleh hadits Nabi:
لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Tak ada wasiat untuk waris.”
Oleh karena ta’arudl yang hakiki, ta’arudl
yang tidak bisa dipertemukan, tidak mungkin terjadi di antara dalil-dalil
syara’ karena yang demikian itu membawa pertentangan satu sama lain, sedang hal
itu suatu kemustahilan. Sebagaimana
diisyaratkan oleh Firman Allah, maka sesungguhnya pertentangan-pertentangan
yang tampak pada dalil-dalil syara’ ini hanyalah menurut dhohirnya saja,
menurut yang ditanggapi oleh seseorang yang memperhatikan dalil itu.[15]
Para ulama dalam melepaskan diri dari pertentangan menempuh dua
jalan, yaitu:
Pertama:
Jalan Hanafiyah dan ulama-ulama yang sependapat dengan mereka,
yaitu membahas suatu pentarjih bagi salah satu dari dua dalil yang bertentangan
itu. Umpamanya mereka mentarjihkan pengalaman dengan umum hadits istanzihul
minal bauli atas hadits Nabi yang menyuruh golongan Uraniyyin meminum
kemih-kemih unta. Mereka berpendapat bahwa segala air kemih wajib kita
bersihkan daripadanya, baik kemih binatang yang dimakan dagingnya, maupun
bukan.
Mereka menguatkan hadits yang mengharamkan daripada yang
membolehkan. Padahal antara dua hadits ini dapat kita pertemukan, yaitu dengan
menerapkan hadits istinzah kepada kemih binatang yang tidak dimakan dagingnya.
Kedua:
Jalan Jumhur Ulama yaitu: mendahulukan pengkompromian antara dua
dalil yang dapat dikompromikan. Dan dengan mengkompromikan antara dua dalil
kita mengamalkan kedua-duanya. Dalam menguatkan salah satunya, berarti
melemahkan hadits yang satunya lagi. Karenanya, Jumhur Ulama berpendapat bahwa
kemih binatng yang halal dagingnya adalah suci.
Mereka khususkan keumuman hadits istilah itu dengan hadits yang
menerangkan bahwa orang-orang Uraniyyin meminum kemih-kemih unta. Mereka
mengumpulkan antara dua dalil itu.[16]
Terdapat perbedaan pendapat dalam cara melepaskan diri dari
pertentangan, menyebabkan pula perbedaan pendapat dalam banyak hukum. Dalam mengumpulkan antara dua dalil atau dua
hadits itu timbul pula berbagai pendapat. Pada akhirnya terdapat 6 macam
ta’arudl, yaitu sebagai berikut:
a.
Contoh
ta’arudl antara dua nash Al-Qur’an
Firman
Allah Surah Al-Maidah ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Dalam suatu qira’ah dikatakan “wa
arjulakum” sedangkan dalam qira’ah yang lain dikatakan “wa arjulikum”. Kalau
kita baca wa arjulakum, maka akibatnya kaki wajib dibasuh dalam berwudhu,
sedangkan kalau kita baca wa arjulikum, maka kaki itu cukup disapu saja.[17]
b.
Contoh
ta’arudl antara dua Hadits
Hadits
dari Ibnu Abbas tentang sabda Nabi saw. mengenai mani. Nabi menjawab:
اِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ المُخَاطِ وَالْبُصَاقِ
“Mani itu
hukumnya sama dengan lendir hidung dan air liur.”
Hadits
ini menerangkan bahwa mani itu suci, karena Nabi menyerupakannya dengan barang
suci. Tetapi hadits ini ditentang oleh hadits Ammar Ibn Yasir.
Dalam
hadits ini Nabi bersabda:
إِنَّمَا يُغْسَلُ الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ مِنَ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ
وَالدَّمِ وَالْقَىءِ وَالْمَنِىِّ
“Kain itu
dibasuh dari lima hal (perkara): dari kencing, kotoran, darah, muntah dan
mani.”
Menurut
hadits ini mani itu najis, sebab termasuk ke dalam benda-benda yang disebutkan
dalam golongan najis.
Di
antaranya lagi hadits dari Salim dari ayahnya, bahwa Rasulullah mengangkat
kedua tangannya serentang kedua pundaknya apabila beliau memulai sembahyang,
dan apabila bertakbir untuk ruku’ dan apabila mengangkat kepalanya ketika
bangun dari ruku’.
Hadits
ini berlawanan dengan Hadits dari Abdullah Ibn Mas’ud, yang mengatakan:
“Rasulullah
tidak mengangkat kedua tangan beliau kecuali ketika memulai shalat (takbiratul
ihram) saja.”
Hadits
pertama, menerangkan bahwa mengangkat kedua tangan disunatkan ketika ruku’,
sedangkan hadits kedua tidak menyunatkan kita mengangkat tangan ketika ruku’
dan i’tidal.[18]
c.
Contoh
ta’arudl antara nash Al-Qur’an dengan Hadits
Firman
Allah:
فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Bacalah apa
yang mudah daripadanya.”
Hadits Nabi:
لاَصَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْكِتَابِ
“Tak ada shalat
bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah.”
Firman
Allah فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ tidak mengharuskan membaca Al-Fatihah dalam sembahyang, artinya
boleh juga membaca ayat-ayat yang lain. Tetapi hadits menghendaki bahwa yang
harus dibaca adalah Al-Fatihah.
Segolongan
ulama seperti golongan Hanafiyah berpegang kepada umumnya ayat, sehingga mereka
memandang sudah mencukupi apabila dibaca Al-Qur’an untuk sahnya sembahyang,
baik Al-Fatihah atau selainnya. Pendapat ini berdasarkan qaidah mereka sendiri,
yaitu mendahulukan tarjih di atas mengkompromikan dalil-dalil itu.
Sedangkan
Jumhur Ulama mengambil hadits, mereka menjadikannya mukhoshshish bagi keumuman
ayat. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa membaca Al-Fatihah itu adalah
fardhu dalam sembahyang. Mereka berpegang kepada qaidah mendahulukan
pengkompromian atas tarjih.[19]
d.
Contoh
ta’arudl antara dua qiyas
Contoh
ta’arudl antara dua qiyas adalah qiyas wudhu atas tayammum tentang wajibnya
niat dan qiyas wudhu kepada menghilangkan najis tentang tidak wajibnya niat.[20]
e.
Contoh
ta’arudl antara qiyas dengan nash
Contoh
ta’arudl antara qiyas dengan nash yang terdapat dalam madzab Hanafiyah adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah bersabda:
لاَ تَصِيْرُ الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ فَمَنِ ابْتَاعَهَا فَهُوَ
بِخَيْرِ النَّظْرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلِيَهَا إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ وَ إِنْ
شَاءَ رَدَّهَا وَ صَاعًا مِنْ تَمَرٍ
“Janganlah kamu
melakukan tasriyah (mengikat kantong susu) unta dan kambing. Barangsiapa
membelinya, maka dia dibolehkan memilih mana yang baik setara dua hal ini
sesudah diperasnya, yaitu jika dia mau, dia tahan binatang itu dan jika dia
mau, dia kembalikan bersama satu sha’tamar kurma.”
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa tashriyah tidak membolehkan kita mengembalikan apa
yang sudah kita beli, dan tidak pula ada hak khiyar. Mereka tidak mengamalkan
hadits ini karena hadist ini bertentangan dengan qiyas. Menurut qiyas, harus
kita bayar harganya, atau kita kembalikan.
Mengembalikan
segantang tamar sebagai ganti susu berlawanan dengan qiyas, karena tidak ada
persamaan antara susu dan kurma, dan juga tidak dapat diketahui berapa ukuran
susu yang telah diperas, maka ganti itu dikhususkan dengan makanan, bukan
dengan yang lain.
Ulama-ulama
yang lain berpendapat, bahwa tashriyah itu memberikan hak khiyar kepada
pembeli. Qiyas dalam hal ini tidak dapat dipergunakan, karena menyalahi nash.[21]
f.
Contoh
ta’arudl antara Hadits dengan qaidah-qaidah yang dipegang sebagian Ulama
Hadits yang
diriwayatkan Bukhari Muslim, bahwa Rasulullah bersabda:
لاَ يَحِلُّ دَمُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ
اَثَّيِّبُ الزَّانِى وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ
المُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal
darah seorang Muslim kecuali karena tiga hal: janda yang berzina, membunuh dan
orang yang meninggalkan agamanya lagi menantangi jama’ah Muslimin.”
Hadits
ini menghendaki bahwa seorang Muslim tidak boleh dibunuh kecuali dengan salah
satu dari tiga sebab ini saja. Imam Malik dalam hal itu membolehkan kita
membunuh orang Muslim bila mereka dijadikan perisai orang kafir dalam
peperangan, sebagaimana Imam Malik membolehkan kita melempar sebagian isi kapal
ke dalam laut bila yang demikian itu menjadi jalan bagi keselamatan isi kapal yang
lain.
Imam
Malik tidak mengamalkan hadits apabila menghadapi kasus yang berlawanan dengan
masalah yang harus kita pergunakan di waktu dharurat.[22]
5.
Hal-hal
Yang Kembali Kepada ‘Urf/Adat Kebiasaan
Para Mujtahid tidak semuanya menetap di suatu kota, sebagaimana
diketahui dari sejarah. Imam Abu Hanifah berdiam di Irak, Imam Malik berdiam di
Hijaz, Imam Syafi’i berdiam dibeberapa kota, mula-mula di Hijaz, kemudian di
Irak, dan akhirnya di Mesir.
Demikian pula para Fuqaha yang lain. Masing-masing kota itu
mempunyai adat istiadat yang menyebabkan masing-masing Imam itu memelihara ‘urf
negerinya dalam hal-hal yang tidak diperoleh dalam nash, walaupun ‘urf-nya
tersebut menyalahi ‘urf negeri yang lain.[23]
Contohnya, sebagian ulama membolehkan menjual kebun apabila
sebagian buahnya telah baik. Hal yang demikian itu ditentang oleh sebagian
ulama yang lain, berdasar kepada ‘urf yang berlaku di daerahnya.[24]
6.
Perbedaan
Penggunaan Dalil di Luar Al-Qur’an dan Sunnah
Ulama terkadang berbeda pendapat pula mengenai fiqh, disebabkan
perbedaan penggunaan dalil di luar Al-Qur’an dan Sunnah. Seperti perbedaan
dalam penggunaan ijma’, qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, sad al-dzari’ah,
istishab, ‘urf, dan sebagainya, yang oleh sebagian ulama dijadikan dasar,
sedang sebagian ulama lain tidak menjadikannya dasar dalam mengistimbathkan
hukum, sekalipun sebenarnya perbedaan itu hanyalah dalam tingkat penggunaannya
saja.[25]
C. Tujuan Mengetahui Sebab Terjadinya
Ikhtilaf
Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat para Imam Madzab dan para ulama fiqh, sangat penting untuk membantu
kita agar keluar dari taklid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang
mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu
masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam
studi tentang hal yang diperselisihkan, meneliti sistem dan cara yang lebih
baik serta tepat dalam mengistimbathkan hukum, juga dapat mengembangkan
kemampuan dalam hukum fiqh, bahkan akan terbuka kemungkinan untuk menjadi
mujtahid.[26]
D.
Kesimpulan
1.
Ikhtilaf adalah perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam yang bersifat
furu’iyyah, bukan pada masalah hukum Islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok
hukum Islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam
menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain.
2.
Sebab-sebab terjadinya ikhtilaf di antaranya karena: (1) perbedaan
penafsiran Al-Qur’an, (2) sebab-sebab khusus mengenai Sunnah Rasulullah saw.,
(3) perbedaan mengenai qawa’id ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah, (4) perbedaan
penggunaan dalil di luar Al-Qur’an dan Sunnah, (5) hal-hal yang kembali kepada
ta’arudl, (6) hal-hal yang kembali kepada ‘urf/adat kebiasaan.
3.
Tujuan mengetahui sebab terjadinya ikhtilaf yaitu sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari
taklid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang ulama pergunakan
serta jalan pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu masalah. Di samping
itu, apabila diketahui bahwa sebab yang menimbulkan perbedaan tersebut kurang
tepat dijadikan alasan, maka akan diusahakan untuk mendudukkannya pada proporsi
yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Yanggo,
Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Madzab. Jakarta: Logos.
Yusuf,
M. Hamdani. t.t. Perbandingan Madz-Hab. terj. A. Zarkasyi Chumaidy.
Semarang: Aksara Indah.
[1] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzab,
(Jakarta: Logos, 1997), hlm. 47.
[2] Ibid., hlm. 48.
[3] M. Hamdani Yusuf, Perbandingan Madz-hab, (Semarang, Aksara
Indah, t.t), hlm. 64.
[4] Ibid., hlm. 63.
[5] M. Hamdani Yusuf, loc.cit.
[6] Ibid., hlm. 65.
[7] Ibid., hlm. 66.
[9] Ibid., hlm. 58.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 59.
[12] Ibid., hlm. 60.
[13] Ibid., hlm. 61.
[14] M. Hamdani Yusuf., hlm. 68.
[15] Ibid., hlm. 69
[16] Ibid., hlm. 70.
[17] Ibid., hlm. 71.
[18] Ibid., hlm. 72.
[19] Ibid., hlm. 73.
[20] ibid.
[21] Ibid., hlm. 74.
[22] Ibid., hlm. 75.
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 76.
[25] Huzaemah Tahido Yanggo, op.cit., hlm. 62.
[26] Ibid., hlm. 68.
Komentar
Posting Komentar