Langsung ke konten utama

Peletak Dasar Sosiologi Hukum dan Pemikirannya (2)

MAX WEBER

¡  Max Weber; Sosiolog dan pakar Ekonomi dari Jerman.

¡  Menurut Weber, analisis hukum dan pranata-pranata hukum mencakup konteks historis, politik, dan realitas sosial.

¡  Bagi Weber, hukum merupakan suatu kondisi faktual yang kompleks dan ditentukan oleh tindakan-tindakan manusia.

¡  Bagi Weber perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat bergerak dari irrasional menuju rasional, kemudian transisi dari substantively rational law ke formally rational law.

¡  Perkembangan tersebut oleh Weber dibagi dalam tiga tahan dari form of domination-nya.


Tahap Tradisional

¡  Bentuk legitimasi: tradisional, otoritas pribadi raja atau ratu.

¡  Bentuk administrasi: patrimonial, asas turun temurun.

¡  Dasar ketaatannya: tradisional, beban kewajiban bersifat individual.

¡  Bentuk proses peradilannya: empiris, subtantif dan personal (khadi).

¡  Bentuk keadilannya: empiris.

¡  Tipe pemikiran hukumnya: formal irrasional dan substantive rationality.


Tahap Kharismatik

¡  Bentuk legitimasi: otoritas yang kharismatik dengan kesetiaan personal.

¡  Bentuk administrasi: tidak mengenal administrasi, tetapi hanya mengenal rutinisasi dan kharisma.

¡  Dasar ketaatan: respon terhadap karakter-karakter yang bersifat sosiopsikologis dan individu.

¡  Bentuk proses peradilan: pewahyu (revelation), empirical justice formalism.

¡  Bentuk keadilan: keadilan kharismatik.

¡  Tipe pemikiran hukum: formal irasional, subtantif irasional.


Tahap Rasional Legal

¡  Bentuk legitimasi: rasional legal (otoritas bersumber pada sistem hukumnya yang diperankan secara rasional dan sadar).

¡  Bentuk administrasi: birokrasi profesional.

¡  Dasar ketaatan: impersonal (not to individual, not to office).

¡  Bentuk proses peradilan: rasional (pelaksanaan secara rasional mengenai aturan-aturan yang abstrak melalui staf yang profesional).

¡  Bentuk keadilan: rasional.

¡  Tipe pemikiran hukum: formal rationality (logical formal rationality).


Note:

¡  Perkembangan hukum dalam teori Weber didasarkan pada perkembanga yang terjadi pada masyarakat Jerman.

¡  Sementara ketika teori tersebut untuk melihat perkembangan hukum yang ada di Indonesia, kadang menjadi rancu karena perkembangan di Jerman (Eropa) dan Indonesia memiliki perbedaan.

¡  Misalnya, pada masyarakat Indonesia tahap perkembangan masyarakat masih pada tahapan charismatic authority dengan pemikiran formal irrational, tetapi hukum yang dipakai berasal dari tahapan rasional.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.