Terbit 14
April 2014, 13:48 AEST
Oleh Dina
Indrasafitri
Sukron
Ma’mun, pengajar Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga di
Jawa Tengah, dibesarkan di keluarga pesantren, namun waktu muda justru lebih
tertarik pada sejarah. Saat akhirnya mendalami Islam pun, prosesnya kental akan
elemen sejarah dan sosial budaya.
Kanan-Kiri (Zahrul Fata, Siti Tarawiyah, Ikfina Maufuriyah, Nor Isma, dan Sukron Ma'mun) di kantor ABC Melbourne, Australia |
Salah satu
partisipan program Australia-Indonesia Young Muslim Leaders Exchange 2014, atau
Pertukaran Pemimpin Muslim Muda Australia-Indonesia ini setuju dengan pendapat
Presiden pertama Indonesia, Soekarno, “jangan sekali-kali melupakan sejarah.”
“Saya lebih
suka memahami perkembangan Islam dalam sudut pandang sejarah. Mungkin saya
lebih bisa memahami mengapa Islam seperti itu karena berangkat dari sejarah
yang seperti itu dan berbenturan dengan persoalan sosial kebudayaan, dan
sebagainya,” jelas Sukron.
Saat ini,
menurut pemimpin redaksi media mingguan ASWAJA NU di Salatiga tersebut, banyak
anak muda di Indonesia tidak tertarik pada sejarah, termasuk sejarah Islam di
Indonesia, padahal Islam yang khas Indonesia memiliki banyak sisi baik yang
bisa dipetik.
“Kita tak
pernah menengok atau mengambil teladan dari sejarah yang kita miliki. Peradaban
Islam yang pernah kita miliki. Bagaimana itu kemudian pernah jaya, pernah
mengalami masa-masa yang baik .. sehingga kita kemudian kita mencoba mengkopi
dari berbagai macam kebudayaan yang lain,” ucapnya.
Sukron yang
pernah menimba ilmu sosiologi dan sejarah di Universitas Islam Negara, Jakarta,
dan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta saat ini selain mengajar sejarah
klasik Islam juga mengetuai program studi baru tentang sejarah kebudayaan
Islam, dimana Ia bisa berfokus pada sejarah Islam di Indonesia yang tampaknya
dia kagumi.
Bahkan,
menurutnya, sejarah Islam di Australia pun melibatkan umat Islam dari
Indonesia. “Sejauh buku yang saya baca, Islam di sini berasal dari indonesia
meskipun dari negara lain juga. Tapi kita sedikit bangga bahwa islam yang dari
indonesia itu berbeda dari tempat-tempat lain.”
Pengetahuan
tentang peran Islam dari Indonesia di Australia tersebut merupakan salah satu
alasan dia mengikuti program Australia-Indonesia Young Muslim Leaders Exchange.
Namun, Ia
juga ingin memperkaya pengetahuannya tentang berbagai hal lain, seperti
pluralisme, kehidupan umat Islam di Australia, dan, sebaliknya, Sukron juga
ingin menjelaskan tentang umat Islam Indonesia ke masyarakat Australia.
Sukron
mengaku cukup terkejut melihat bagaimana masyarakat Australia cukup sekuler dan
tidak terlalu peduli pada agama. Selain itu, dia tak menduga saat berkunjung ke
salah satu sekolah, ada siswa kelas 12 yang bertanya masalah teroris.
“Kita
menyampaikan bahwa itu bukan ajaran Islam. Itu sesuatu yang common
[umum] menjadi dugaan orang-orang asing, tapi yang membikin kita takjub, mereka
tanya tentang itu meskipun di bangku sekolah,” ceritanya.
Di sisi
lain, Sukron bercerita bahwa Ia bisa melihat dari pertemuan-pertemuan dengan
berbagai kelompok, seperti Kelompok Asosiasi Yahudi, Muslim dan Kristen, bahwa
sebenarnya banyak orang Australia yang ingin memahami Islam.
“Mereka
ingin tahu Islam sebagai agama- apa yang kita lakukan, bagaimana ajaran kita.
bagaimana Al Quran atau ajaran-ajaran Islam membimbing untuk hidup, kemudian
bertanya tentang Islam di Indonesia,” ucap Sukron.
Dengan
memberi penjelasan ke kelompok-kelompok tersebut, dia berharap agar masyarakat
Australia tidak menganggap Islam di Indonesia tidak menghargai keberagaman.
Sukron juga
ingin membawa ‘oleh-oleh’ dari Australia ke masyarakat Indonesia, terutama
mahasiswa dan orang-orang di lingkungannya, yaitu pengetahuan bahwa ada
kehidupan beragama yang saling menghormati di Australia.
Selain itu,
tentu saja dia ingin membawa pengetahuan sejarah Islam, sesuai dengan minatnya.
- See more
at:
http://www.australiaplus.com/indonesian/2014-04-14/sukron-ma%E2%80%99mun-mengagumi-sejarah-islam-indonesia/1295502#sthash.KkvSN77V.iKRk6kqF.dpuf
Komentar
Posting Komentar