Di
susun oleh:
M.
Taufikhurohman (111 11 062); Siti Nina Nur Anisa (111 11 049); dan Yuli Hastuti
(111 11 050)
IJTIHAD
A. Pengertian Ijtihad dari segi bahasa (etimologi)
Ijtihad berasal dari kata “Ijtahada” artinya bersungguh-sunggguh,rajin, giat. Dengan demikian,
menurut bahasa, Ijtihad adalah berusaha atau berupaya dengan sungguh-sungguh.
Menurut Louis Makhluf, Ijtihad berasal dari
kata kerja: Jahada, yajhadu, bentuk
masdarnya jahdan yang berarti :
pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit, atau bisa
juga bermakna bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan segenap kemampuan.[1]
B. Dari Segi Istilah (Terminologi)
Terdapat
beberapa definisi ijtihad, diataranya adalah:
a.
Menurut al-‘Amidy : mencurahkan segala
kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanny.
b.
Menurut Tajuddin Ibnu Subky: pengerahan segala
kemampuan seseorang faqih untuk menghasilkan hukum yang zhanny.
c.
Menurut Khudhari Bek: pengerahan kemampuan
menalar dari seseorang Faqih dalam mencari hukum-hukum syar’i
Dari beberapa definisi ijtihad di atas terlihat
adanya persamaan pandangan, bahwa ijtihad adalah suatu pekerjaan yang
membutuhkan energy yang banyak.[2]
Imam al-Ghozaliy, yang diikuti juga oleh
Khudloriy mendefinisikan ijtihad dengan “usaha sungguh-sungguh dari seorang
mujtahid dengan sungguh-sungguh didalam rangka mengetahui/menetapkan tentang
hukum-hukum syari’ah. Ada pula yang mengatakan, Ijtihad itu ialah Qiyas, tetapi
oleh Al- Ghozaliy didalam al-mustashfa (II/4 pendapat itu tidak disetujuinya,
menurutnya itu keliru, sebab ijtihad itu lebih umum daripada qiyas, sebab
kadang-kadang ijtihad itu memandang didalam keumuman. Imam Syafi’i sendiri
menyebutkan bahwa dalam arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad.[3]
Orang yang berkecimpung di dalam bidang ini dinamakan “mujtahid”
Jadi
ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid, untuk menentukan
hukum syariat, yang masih Dhanny di dalam Al-Quran dengan syarat-syarat
tertentu. Ijtihad dapat berlaku pada :
1.
Nash yang bersifat zhaniyah, ialah untuk
mencari pengertian yang lebih tepat dan lebih kuat menurut pendapat imam
mujtahid, namun pengertian yang dimaksud tidak keluar dari kandungan nash itu
juga.
2.
Pada yang tidak ada nash sama sekali, maka
mujtahid berusaha mencari dan meneliti korinah(tanda-tanda) yang menunjukkannya
bahwa itulah yang dikehendak syara’.
3.
Dengan mempergunakan kaidah-kaidah fiqih dan
ini dapat dipergunakan oleh Mujtahid selama belum lagi hukumnya ditetapkan oleh
ijma’ dan qiyas.
C. Dasar Hukum Ijtihad
1.
Dari Al-Qur’an
Dasar
hukum ijtihad dalam al-Qur’an, antara lain:
فا عتبروا يا او لى ا لا بصا ر
“ Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan.” (Q.S.al-Hasyr:
2)
Ayat
tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal serta
mengambil I’tibar.
2.
Dari Hadist
“Dari
Amr bin ‘ Ash ra.yang mendengar Rasulullah bersabda, “Apabila seseorang Hakim
memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar,
maka baginya mendapat dua pahala.Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu
ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya keliru menurut pandangan Allah,
maka ia mendapat satu pahala.(H.R.Muslim dan Ahmad).
Dari
hadist di atas, nampak jelas bahwa ijtihad diakui oleh Rasulullah SAW.untuk
dijadikan sebagai salah satu sumber hukum Islam, bila tidak ditemukan di dalam
al-Qur’an dan Sunnah dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk menerapkan
hukum masalah yang actual, walaupun kemungkinan ijtihad yang dilakukan itu
keliru menurut pandangan Allah SWT.
D. Macam-macam Ijtihad
Muhammad
Abu Zahrah dalam bukunya Ushul al-Fiqh
menyebut ada enam tingkatan mujtahid, yaitu :
1)
Mujtahid Mustaqill, yaitu mujtahid yang mengeluarkan
hukum-hukum dari Al-Qur’an dan sunnah, melakukan kias, berfatwa dan
beristihsan.
2)
Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang memilih
perkataan-perkataan seorang Imam pada hal-hal yang bersifat mendasar dan
berbeda pendapat dengan mereka dalam hal-hal furu’ (cabang) walaupun pada
akhirnya ia akan sampai pada hasil yang serupa dengan yang telah dicapai imam
tersebut.
3)
Mujtahid fil Madzhab, yaitu mujtahid yang mengikuti
pendapat Imam Madzhab,baik dalam hal-hal ushul maupun furu’. Usahanya hanya
terbatas dalam menyimpulkan hukum-hukum persoalan yang belum ditemui hukumnya
dalam pendapat imam madzhab.
4)
Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang meng-isthinbat-kan
hukum-hukum yang tidak diijtihadkan oleh para ulama’ sebelumnya. Sebenarnya
mujtahid pada tingkatan ini hanya mencari pendapat imam madzhab yang lebih
kuat.
5)
Mujtahid Muhafidh, yaitu mujtahid yang mengetahui
hukum-hukum yang telah ditarjih oleh para ulama’ sebelumnya.
6)
Mujtahid Muqallid, yaitu mujtahid yang hanya sanggup
memahami pendapat-pendapat mujtahid lain, tidak mampu melakukan tarjih.
E. Ijitihad pada periode Tabi’in dan
Tabi’in-tabi’in (Imam Mazhab) Abad II H - Pertengahan Abad IV H.
Dalam
berijtihad para Tabi’in mendasarkan pendirian mereka kepada pendapat para
sahabat. Mereka pelihara sunnah Rasulullah dan pendapat para sahabat, bahkan
mereka berusaha untuk mengkompromikan pendapat-pendapat para sahabat yang
saling bertentangan dalam banyak masalah. Para Tabi’in melakukan ijtihad dengan
dua cara :
1)
Mereka mengutamakan pendapat seseorang sahabat
dari pendapat sahabat lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang Tabi’in
dari pendapat seorang sahabat (kalau pendapat yang diutamakannya itu menurut
ijtihadnya lebih dekat dengan Al-Qur’an dan Sunnah).
2)
Mereka sendiri berijtihad. Bahkan menurut Ahmad
Hasan bahwa pembentukan hukum Islam, sesungguhnya secara professional dimulai
para periode Tabi’in ini.
Pada masa tabi’in, kegiatan melakukan ijtihad
semakin meningkat, tetapi prinsip bermusyawarah dalam menetapkan hukum sudah
mulai goyah, karena ulama sudah berpencar keberbagai kota, yang letaknya
berjauhan antara satu dengan yang lain. Pada masa ini kedudukan ijtihad sebagai
alat penggali hukum Islam mendapat posisi yang kokoh. Para sejarahwan menyebut
periode tabi’in ini, dengan periode ijtihad dan masa keemasan Fiqh Islam.
TAQLID
A. Pengertian Taqlid
Kata taqlid, fi`ilnya adalah qallada,
yuqallida, taqliidan, artinya mengalungi,meniru, mengikuti. Ulama ushul
fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan seseorang sedangkan
engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”. Taklid
ialah menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui hujjah (dalil) yang menujukan
kebenaran pendapat tersebut. (
Hamdani Yusuf, 1986, Perbandingan Madhab:32)
Artinya :”penerimaan perkataan seseorang sedang
engkau tidak mengetahui dari mana asal perkataan itu”.
Jadi menurut ushul fiqh ada dua hal yang
terdapat dalam taqlid, yaitu :
1)
Menerima atau mengikuti perkataan seseorang.
2)
Perkataan atau pendapat yang diikuti atau yang
diterima itu tidak diketahui dasar atau alasannya apakah ada dalam Al-Qur’an
dan hadits atau tidak.
B. Hukum Taqlid
Ada tiga
macam taqlid, yaitu:
1)
Taqlid yang haram
Para ulama sepakat haram melakukan taqlid yang
semacam ini. Taqlid ini terdiri atas tiga macam, yaitu:
·
Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan
atau pendapat nenek moyang atau orang-orang dahulu kala, yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan hadits.
·
Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak
diketahui kemampuan dan keahliannya. Seperti orang yang menyembah berhala,
tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, kekuasaan atau keahlian berhala tersebut.
·
Taqlid kepada perkataan atau pendapat
seseorang, sedang yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu
salah.
Sehubungan dengan taqlid yang diharamkan diatas
Ad Dahlawi mengatakan bahwa tidak boleh seseorang awam bertaqlid kepada seorang
ulama dengan anggapan bahwa ulama itu tidak mungkin salah atau dengan anggapan
bahwa semua yang dikatakan ulama itu pasti benar, serta enggan mengikuti
perkataan atau pendapat orang lain sekalipun ada dalil yang membenarkan
pendapat atau perkataan itu.
2)
Taqlid yang dibolehkan
Ad
Dahlawi berkata: taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam arti mengikuti
pendapat seorang alim, karena belum nyata hukum Allah dan Rasul-Nya namun akan
segera meninggalkan pendapat itu bila ternyata berlawanan dengan hukum Allah
dan Rasul-Nya.
Seperti
seorang mengikuti pendapat seorang mujtahid yang menyatakan jika seseorang
tidak sempat mengerjakan shalat Ashar, ia boleh mengadhanya pada shalat maghrib
berikutnya. Untuk sementara pendapat ini diikuti dahulu karena belum tau dasar
hukumnya, dengan syarat selalu berusaha mengetahui alasan pendapat mujtahid
itu. Seandainya kemudian diketahui pendapat mujtahid itu mempunyai dasar yang
benar, maka pendapat itu boleh tetap diikuti. Tetapi jika kemudian ternyata
bahwa pendapat itu mempunyai alasan yang tidak benar, maka pendapat itu akan
ditinggalkan.
3)
Taqlid yang diwajibkan
Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya
dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw.[4]
C. Pendapat-pendapat imam Madzhab tentang taqlid.
a)
Abu Hanifah
Abu hanifah sangat melarang seseorang mengikuti
apa yang telah dikatakannya (pendapatnya), jika ia tidak mengetahui dasar
perkataan itu. Beliau menyatakan :”tidak boleh seseorang mengikuti perkataan
(pendapat) yang telah kami katakan, sehingga ia mengetahui dari mana asal
perkataan kami itu”. Bahkan beliau mengharamkan orang mengikuti fatwanya, jika
orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwanya itu.
b)
Malik bin Anas
Beliau menyatakan bahwa ia adalah manusia biasa
yang tidak luput dari kesalahan-kesalahan. Hal ini difahamkan dari perkataannya
:”sesungguhnya aku ini tidak lain hanyalah sebagai manusia biasa, mungkin aku
salah dan mungkin pula aku benar. Karena itu hendaklah kamu perhatikan
pendapatku. Semua pendapatku yang sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasul,
ambillah, dan semua yang tidak sesuai dengan sunnah Rasul saw tinggalkanlah”.
c)
Imam Asy Syafi’i
Pendapat imam syafi’I tentang taqlid ini lebih
tegas, bahkan beliau mengecam orang-orang yang melakukan taqlid dan orang-orang
yang menganjurkan agar orang lain bertaqlid. Hal ini difahamkan dari pernyataan-pernyataan
beliau berikut:”Terhadap apa yang telah aku katakan, sedang perkataan Nabi saw
telah menyalahi perkataanku itu, maka (riwayat) yang benar dari Nabi saw itu
lebih utama, dan janganlah kamu bertaqlid kepadaku”.
d)
Imam Hambali
Imam Hambali melarang keras perbuatan taqlid. Hal
ini dapat difahami dari pernyataan-pernyataan beliau berikut:
Imam Abu Daud berkata:”Aku pernah bertanya
kepada Imam Ahmad bin Hambal:”Apakah Imam Auza’I yang aku ikut atau Imam Malik’. Beliau
menjawab:”Jangan kamu mengikuti pendapat salah seorang dari keduanya dalah hal
yang berhubungan dengan agamamu. Apa yang berasal dari Nabi saw dan sahabatnya,
hendaklah kamu ambil dan pegang kokoh, kemudian apa yang berasal dari Tabi’in
boleh kamu ambil setelah kamu seleksi atau teliti.[5]
ITTIBA’
A. Pengertian Ittiba’
Kata “ittiba’” adalah kata kerja (fi’il)nya “ittaba’a”, “yattabi’u”, “ittiba’an”,
“muttabi’un”, yang berarti
“menurut” atau “mengikuti”.Orang yang mengikuti disebut “muttabi’.
Menurut
ulama ushul fiqh, ittiba’ adalah: mengikuti atau menurut semua yang
diperintahkan, yang dilarang dan
dibenarkan Rasulullah saw. Dengan perkataan lain ialah melaksanakan
ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad saw, baik
berupa perintah atau larangan.
B. Macam-macam ittiba’
Ada dua
macam ittiba’, yaitu ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya dan ittiba’ kepada
selain Allah dan Rasul-Nya.
a.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya
Sepakat para ulama bahwa seluruh kaum muslimin
wajib mengikuti perintah Allah SWT dan menjauhi
larangan-Nya, sebagaimana firman Allah SWT:
ا تبعواماانزل ا ليكم من ربكم ولا تتبعوامنن دو نه ا ولياء قليلا ما
تذكرون
Artinya: “Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin selain-Nya.Amat sedikitlah kamu
mengambil pelajaran (daripadanya)”.(Q.S 7:2).
Ayat diatas memerintahkan dengan tegas agar
kaum muslimin melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua
larangan-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti perintah mengerjakan
shalat, menunaikan zakat, mengerjakan puasa bulan Ramadhan dan sebagainya. Sedang
larangan-Nya seperti larangan mempersekutukan Allah, larangan makan darah,
minum khamar dan sebagainya. Jika kaum muslimin wajib melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya, berarti mereka wajib pula mengikuti Rasul yang
telah diutus-Nya, karena beliaulah yang menyampaikan maksud wahyu Allah SWT.
b.
Ittiba’ selain kepada Allah dan Rasul-Nya.
Imam bin Hambal menyatakan bahwa ittiba’ itu
hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul-Nya dan para sahabat saja. Tidak boleh
kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan berittiba’ kepada para ulama
yang dapat dikategorikan sebagai ulama waratstul anbiyaa’ (ulama sebagai
pewaris para nabi). Mereka beralasan dengan firman Allah SWT:
وما ارسلنا من قبلك الارجالانو حي ا ليهم فسالوااهل الذكران كنتم لا
تعلمون
Artinya:” Dan
kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang laki-laki yang kami beri wahyu
kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan,
jika kamu tidak mengetahui”. (Q.S. 16:43)
C. Tujuan Ittiba’
Seseorang
yang akan melakukan ittiba’ tidak memerlukan syarat-syarat seperti yang
dilakukan seorang mujtahid. Jika ia tidak sanggup memecahkan suatu persoalan
agama ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau orang-orang yang
benar-benar mengerti hukum agama Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Setelah ia menerima jawaban dan ia benar-benar yakin bahwa jawaban itu sesuai
dengan Al-Qur’an dan hadits, maka hendaklah ia mengamalkannya.[6]
TALFIQ
A. Pengertian Talfiq
Secara
lughowi kata talfik bersal dari lakafa yalfiku yang artinya bertemu dua
tepi. Namun yang dihendaki secara istilah ialah : “ mengamalkan suatu faru’
yang zhani menurut kentuan dua madhab atau lebih.( Hamdani Yusuf, 1986, Perbandingan Madhab:38).
Menurut
istilah, talfiq ialah: mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau
kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam mazhab. Pada dasarnya talfiq
ini dibolehkan oleh agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata
untuk melaksanakan pendapat yang paling benar dalam arti setelah meneliti dasar
hukum dari pendapat-pendapat itu dan mengambil apa yang dianggap lebih kuat
dasar hukumnya. Tetapi ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang
ringan-ringan saja dengan arti bahwa yang diikuti adalah pendapat yang paling
murah dikerjakan, sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq yang seperti inilah
yang dicela para ulama.
Jadi
talfik adalah mengikuti atau mengambil hukum yang masih dhani menurut ketentuan dari berbagai macam madhab.
. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah
asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut
madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama
tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang
paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang
lebih kuat dasar hukumnya.
Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang
ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan
sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para
ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
Ada beberapa pendapat tentang hukum talfik
1.
Mengharamkan talfik secara mutlak dalam amalan
hukum baik yang sejalan maupun tidak.
2.
Mengharamkan tapi tidak mutlak
Membolehkan talfik secara persoalan-persoalan
hukum yang sejalan dan terpisah seperti sholat menurut madhab Hanafi berzakat
menurut Syafii. Dan tidak boleh dalam hukum yang sejalan. Seperti wudlu tentang
wajibnya mengikuti Hanafi, sedang menurut batalnya menurut Syafii dan
sebagainya.
3.
Membolehkan talfik secara mutlak baik dalam
amalan hukum yang sejalan atau terpisah, berarti boleh beramal-amal pada suatu
masalah hukum atas dasar banyak madhab dan memilih mana yang lebih mudah untuk
dilaksanakan.
Jika kita telaah anjuran Nabi kepada umat
islam, pada dasarnya mengerjakan soal-soal agama itu dikerjakan secara mudah
atau tidak memberatkan asal tidak meninggalkan pokok agama.
Nabi bersabda
“Agama Islam itu adalah mudah dan tidak
sekali amaliyah agama dipersukar oleh seseorang melainkan dia sendiri akan
lamah dan patah (mengamalkanny)
Firman Allah:
“(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.”
Dengan
melihat dasar di atas dapat diambil kesimpulan bahwa talfik dalam prakteknya
sudah tidak dapat dihindari lagi. Terutama di dalam masalah hukum yang sejalan
dan terpisah
Daftar
Pustaka
Abdul
Wahab Khalaf, 1994, Ilmu Ushul Fiqh: Semarang: Dina Semarang
Huzaimah
Tahido Yanggo, 1997, Pengantar
Perbandingan Mazhab: Jakarta: Logos
Asyimuni, 1986, Qaidah-qaidah Istinbath dan Ijtihad: Jakarta: Direktorat jenderal
pembinaan kelembagaan agama Islam
Hamdan Yusuf, 1986, Perbandingan Madhab,
Semarang: Aksara Indah.
[1] Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta:
Logos, 1997), hlm. 1
[2] Huzaimah Tahido Yanggo,
op.cit.,hlm.2.
[3] Asyimuni, Qaidah-qaidah Istinbath dan Ijtihad,
(Jakarta: Direktorat jenderal pembinaan kelembagaan agama Islam, 1986), hlm.
111)
[4] Asymuni.op.cit., hlm.
147-157
[5] Ibid., hlm. 159-161
[6] Ibid.,hlm. 170
Komentar
Posting Komentar