Langsung ke konten utama

Ijtihad, Taklid, Talfik, dan Ithiba’



Di susun oleh:
M. Taufikhurohman (111 11 062); Siti Nina Nur Anisa (111 11 049); dan Yuli Hastuti (111 11 050)

IJTIHAD
A.       Pengertian Ijtihad dari segi bahasa (etimologi)
Ijtihad berasal dari kata “Ijtahada” artinya bersungguh-sunggguh,rajin, giat. Dengan demikian, menurut bahasa, Ijtihad adalah berusaha atau berupaya dengan sungguh-sungguh.
Menurut Louis Makhluf, Ijtihad berasal dari kata kerja: Jahada, yajhadu, bentuk masdarnya jahdan yang berarti : pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit, atau bisa juga bermakna bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan segenap kemampuan.[1]

B.       Dari Segi Istilah (Terminologi)
Terdapat beberapa definisi ijtihad, diataranya adalah:
a.         Menurut al-‘Amidy : mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanny.
b.         Menurut Tajuddin Ibnu Subky: pengerahan segala kemampuan seseorang faqih untuk menghasilkan hukum yang zhanny.
c.         Menurut Khudhari Bek: pengerahan kemampuan menalar dari seseorang Faqih dalam mencari hukum-hukum syar’i
Dari beberapa definisi ijtihad di atas terlihat adanya persamaan pandangan, bahwa ijtihad adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan energy yang banyak.[2]
Imam al-Ghozaliy, yang diikuti juga oleh Khudloriy mendefinisikan ijtihad dengan “usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dengan sungguh-sungguh didalam rangka mengetahui/menetapkan tentang hukum-hukum syari’ah. Ada pula yang mengatakan, Ijtihad itu ialah Qiyas, tetapi oleh Al- Ghozaliy didalam al-mustashfa (II/4 pendapat itu tidak disetujuinya, menurutnya itu keliru, sebab ijtihad itu lebih umum daripada qiyas, sebab kadang-kadang ijtihad itu memandang didalam keumuman. Imam Syafi’i sendiri menyebutkan bahwa dalam arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad.[3] Orang yang berkecimpung di dalam bidang ini dinamakan “mujtahid”
Jadi ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid, untuk menentukan hukum syariat, yang masih Dhanny di dalam Al-Quran dengan syarat-syarat tertentu. Ijtihad dapat berlaku pada :
1.      Nash yang bersifat zhaniyah, ialah untuk mencari pengertian yang lebih tepat dan lebih kuat menurut pendapat imam mujtahid, namun pengertian yang dimaksud tidak keluar dari kandungan nash itu juga.
2.      Pada yang tidak ada nash sama sekali, maka mujtahid berusaha mencari dan meneliti korinah(tanda-tanda) yang menunjukkannya bahwa itulah yang dikehendak syara’.
3.      Dengan mempergunakan kaidah-kaidah fiqih dan ini dapat dipergunakan oleh Mujtahid selama belum lagi hukumnya ditetapkan oleh ijma’ dan qiyas.
C.       Dasar Hukum Ijtihad
1.    Dari Al-Qur’an
Dasar hukum ijtihad dalam al-Qur’an, antara lain:
فا عتبروا يا او لى ا لا بصا ر

“ Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (Q.S.al-Hasyr: 2)
Ayat tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal serta mengambil I’tibar.
2.      Dari Hadist
“Dari Amr bin ‘ Ash ra.yang mendengar Rasulullah bersabda, “Apabila seseorang Hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka baginya mendapat dua pahala.Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya keliru menurut pandangan Allah, maka ia mendapat satu pahala.(H.R.Muslim dan Ahmad).
Dari hadist di atas, nampak jelas bahwa ijtihad diakui oleh Rasulullah SAW.untuk dijadikan sebagai salah satu sumber hukum Islam, bila tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan Sunnah dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk menerapkan hukum masalah yang actual, walaupun kemungkinan ijtihad yang dilakukan itu keliru menurut pandangan Allah SWT.
D.      Macam-macam Ijtihad
Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul al-Fiqh menyebut ada enam tingkatan mujtahid, yaitu :
1)        Mujtahid Mustaqill, yaitu mujtahid yang mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan sunnah, melakukan kias, berfatwa dan beristihsan.
2)        Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang memilih perkataan-perkataan seorang Imam pada hal-hal yang bersifat mendasar dan berbeda pendapat dengan mereka dalam hal-hal furu’ (cabang) walaupun pada akhirnya ia akan sampai pada hasil yang serupa dengan yang telah dicapai imam tersebut.
3)        Mujtahid fil Madzhab, yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat Imam Madzhab,baik dalam hal-hal ushul maupun furu’. Usahanya hanya terbatas dalam menyimpulkan hukum-hukum persoalan yang belum ditemui hukumnya dalam pendapat imam madzhab.
4)        Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang meng-isthinbat-kan hukum-hukum yang tidak diijtihadkan oleh para ulama’ sebelumnya. Sebenarnya mujtahid pada tingkatan ini hanya mencari pendapat imam madzhab yang lebih kuat.
5)        Mujtahid Muhafidh, yaitu mujtahid yang mengetahui hukum-hukum yang telah ditarjih oleh para ulama’ sebelumnya.
6)        Mujtahid Muqallid, yaitu mujtahid yang hanya sanggup memahami pendapat-pendapat mujtahid lain, tidak mampu melakukan tarjih.
E.       Ijitihad pada periode Tabi’in dan Tabi’in-tabi’in (Imam Mazhab) Abad II H - Pertengahan Abad IV H.
Dalam berijtihad para Tabi’in mendasarkan pendirian mereka kepada pendapat para sahabat. Mereka pelihara sunnah Rasulullah dan pendapat para sahabat, bahkan mereka berusaha untuk mengkompromikan pendapat-pendapat para sahabat yang saling bertentangan dalam banyak masalah. Para Tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara :
1)        Mereka mengutamakan pendapat seseorang sahabat dari pendapat sahabat lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang Tabi’in dari pendapat seorang sahabat (kalau pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan Al-Qur’an dan Sunnah).
2)        Mereka sendiri berijtihad. Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hukum Islam, sesungguhnya secara professional dimulai para periode Tabi’in ini.
Pada masa tabi’in, kegiatan melakukan ijtihad semakin meningkat, tetapi prinsip bermusyawarah dalam menetapkan hukum sudah mulai goyah, karena ulama sudah berpencar keberbagai kota, yang letaknya berjauhan antara satu dengan yang lain. Pada masa ini kedudukan ijtihad sebagai alat penggali hukum Islam mendapat posisi yang kokoh. Para sejarahwan menyebut periode tabi’in ini, dengan periode ijtihad dan masa keemasan Fiqh Islam. 

TAQLID
A.       Pengertian Taqlid
Kata taqlid, fi`ilnya adalah qallada, yuqallida, taqliidan, artinya mengalungi,meniru, mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”. Taklid ialah menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui hujjah (dalil) yang menujukan kebenaran pendapat tersebut. ( Hamdani Yusuf, 1986, Perbandingan Madhab:32)
Artinya :”penerimaan perkataan seseorang sedang engkau tidak mengetahui dari mana asal perkataan itu”.
Jadi menurut ushul fiqh ada dua hal yang terdapat dalam taqlid, yaitu :
1)      Menerima atau mengikuti perkataan seseorang.
2)      Perkataan atau pendapat yang diikuti atau yang diterima itu tidak diketahui dasar atau alasannya apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits atau tidak.

B.       Hukum Taqlid
Ada tiga macam taqlid, yaitu:
1)      Taqlid yang haram
Para ulama sepakat haram melakukan taqlid yang semacam ini. Taqlid ini terdiri atas tiga macam, yaitu:
·         Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang dahulu kala, yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits.
·         Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya. Seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, kekuasaan atau keahlian berhala tersebut.
·         Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.

Sehubungan dengan taqlid yang diharamkan diatas Ad Dahlawi mengatakan bahwa tidak boleh seseorang awam bertaqlid kepada seorang ulama dengan anggapan bahwa ulama itu tidak mungkin salah atau dengan anggapan bahwa semua yang dikatakan ulama itu pasti benar, serta enggan mengikuti perkataan atau pendapat orang lain sekalipun ada dalil yang membenarkan pendapat atau perkataan itu.
2)      Taqlid yang dibolehkan
Ad Dahlawi berkata: taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam arti mengikuti pendapat seorang alim, karena belum nyata hukum Allah dan Rasul-Nya namun akan segera meninggalkan pendapat itu bila ternyata berlawanan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya.
Seperti seorang mengikuti pendapat seorang mujtahid yang menyatakan jika seseorang tidak sempat mengerjakan shalat Ashar, ia boleh mengadhanya pada shalat maghrib berikutnya. Untuk sementara pendapat ini diikuti dahulu karena belum tau dasar hukumnya, dengan syarat selalu berusaha mengetahui alasan pendapat mujtahid itu. Seandainya kemudian diketahui pendapat mujtahid itu mempunyai dasar yang benar, maka pendapat itu boleh tetap diikuti. Tetapi jika kemudian ternyata bahwa pendapat itu mempunyai alasan yang tidak benar, maka pendapat itu akan ditinggalkan.
3)      Taqlid yang diwajibkan
Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw.[4]

C.       Pendapat-pendapat imam Madzhab tentang taqlid.
a)         Abu Hanifah
Abu hanifah sangat melarang seseorang mengikuti apa yang telah dikatakannya (pendapatnya), jika ia tidak mengetahui dasar perkataan itu. Beliau menyatakan :”tidak boleh seseorang mengikuti perkataan (pendapat) yang telah kami katakan, sehingga ia mengetahui dari mana asal perkataan kami itu”. Bahkan beliau mengharamkan orang mengikuti fatwanya, jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwanya itu.
b)        Malik bin Anas
Beliau menyatakan bahwa ia adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan-kesalahan. Hal ini difahamkan dari perkataannya :”sesungguhnya aku ini tidak lain hanyalah sebagai manusia biasa, mungkin aku salah dan mungkin pula aku benar. Karena itu hendaklah kamu perhatikan pendapatku. Semua pendapatku yang sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasul, ambillah, dan semua yang tidak sesuai dengan sunnah Rasul saw tinggalkanlah”.
c)         Imam Asy Syafi’i
Pendapat imam syafi’I tentang taqlid ini lebih tegas, bahkan beliau mengecam orang-orang yang melakukan taqlid dan orang-orang yang menganjurkan agar orang lain bertaqlid. Hal ini difahamkan dari pernyataan-pernyataan beliau berikut:”Terhadap apa yang telah aku katakan, sedang perkataan Nabi saw telah menyalahi perkataanku itu, maka (riwayat) yang benar dari Nabi saw itu lebih utama, dan janganlah kamu bertaqlid kepadaku”.
d)        Imam Hambali
Imam Hambali melarang keras perbuatan taqlid. Hal ini dapat difahami dari pernyataan-pernyataan beliau berikut:
Imam Abu Daud berkata:”Aku pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal:”Apakah Imam Auza’I yang aku  ikut atau Imam Malik’. Beliau menjawab:”Jangan kamu mengikuti pendapat salah seorang dari keduanya dalah hal yang berhubungan dengan agamamu. Apa yang berasal dari Nabi saw dan sahabatnya, hendaklah kamu ambil dan pegang kokoh, kemudian apa yang berasal dari Tabi’in boleh kamu ambil setelah kamu seleksi atau teliti.[5]

ITTIBA’
A.       Pengertian Ittiba’
Kata “ittiba’” adalah kata kerja (fi’il)nya “ittaba’a”, “yattabi’u”, “ittiba’an”, “muttabi’un”, yang   berarti “menurut” atau “mengikuti”.Orang yang mengikuti disebut “muttabi’.
Menurut ulama ushul fiqh, ittiba’ adalah: mengikuti atau menurut semua yang diperintahkan, yang dilarang dan dibenarkan Rasulullah saw. Dengan perkataan lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad saw, baik berupa perintah atau larangan.
B.       Macam-macam ittiba’
Ada dua macam ittiba’, yaitu ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya dan ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
a.       Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya
Sepakat para ulama bahwa seluruh kaum muslimin wajib mengikuti perintah Allah SWT dan menjauhi  larangan-Nya, sebagaimana firman Allah SWT:

ا تبعواماانزل ا ليكم من ربكم ولا تتبعوامنن دو نه ا ولياء قليلا ما تذكرون
Artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu  dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin selain-Nya.Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”.(Q.S 7:2).
Ayat diatas memerintahkan dengan tegas agar kaum muslimin melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti perintah mengerjakan shalat, menunaikan zakat, mengerjakan puasa bulan Ramadhan dan sebagainya. Sedang larangan-Nya seperti larangan mempersekutukan Allah, larangan makan darah, minum khamar dan sebagainya. Jika kaum muslimin wajib melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, berarti mereka wajib pula mengikuti Rasul yang telah diutus-Nya, karena beliaulah yang menyampaikan maksud wahyu Allah SWT.
b.      Ittiba’ selain kepada Allah dan Rasul-Nya.
Imam bin Hambal menyatakan bahwa ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul-Nya dan para sahabat saja. Tidak boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan berittiba’ kepada para ulama yang dapat dikategorikan sebagai ulama waratstul anbiyaa’ (ulama sebagai pewaris para nabi). Mereka beralasan dengan firman Allah SWT:

وما ارسلنا من قبلك الارجالانو حي ا ليهم فسالوااهل الذكران كنتم لا تعلمون

Artinya:” Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”. (Q.S. 16:43)  

C.       Tujuan Ittiba’
Seseorang yang akan melakukan ittiba’ tidak memerlukan syarat-syarat seperti yang dilakukan seorang mujtahid. Jika ia tidak sanggup memecahkan suatu persoalan agama ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau orang-orang yang benar-benar mengerti hukum agama Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Setelah ia menerima jawaban dan ia benar-benar yakin bahwa jawaban itu sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits, maka hendaklah ia mengamalkannya.[6]

TALFIQ
A.       Pengertian Talfiq
Secara lughowi kata talfik bersal dari lakafa yalfiku yang artinya bertemu dua tepi. Namun yang dihendaki secara istilah ialah : “ mengamalkan suatu faru’ yang zhani menurut kentuan dua madhab atau lebih.( Hamdani Yusuf, 1986, Perbandingan Madhab:38).
Menurut istilah, talfiq ialah: mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam mazhab. Pada dasarnya talfiq ini dibolehkan oleh agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar dalam arti setelah meneliti dasar hukum dari pendapat-pendapat itu dan mengambil apa yang dianggap lebih kuat dasar hukumnya. Tetapi ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja dengan arti bahwa yang diikuti adalah pendapat yang paling murah dikerjakan, sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq yang seperti inilah yang dicela para ulama.
Jadi talfik adalah mengikuti atau mengambil hukum yang masih dhani menurut  ketentuan dari berbagai macam madhab.
. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya.
Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
Ada beberapa pendapat tentang hukum talfik
1.         Mengharamkan talfik secara mutlak dalam amalan hukum baik yang sejalan maupun tidak.
2.         Mengharamkan tapi tidak mutlak
Membolehkan talfik secara persoalan-persoalan hukum yang sejalan dan terpisah seperti sholat menurut madhab Hanafi berzakat menurut Syafii. Dan tidak boleh dalam hukum yang sejalan. Seperti wudlu tentang wajibnya mengikuti Hanafi, sedang menurut batalnya menurut Syafii dan sebagainya.
3.         Membolehkan talfik secara mutlak baik dalam amalan hukum yang sejalan atau terpisah, berarti boleh beramal-amal pada suatu masalah hukum atas dasar banyak madhab dan memilih mana yang lebih mudah untuk dilaksanakan.
Jika kita telaah anjuran Nabi kepada umat islam, pada dasarnya mengerjakan soal-soal agama itu dikerjakan secara mudah atau tidak memberatkan asal tidak meninggalkan pokok agama.
Nabi bersabda
Agama Islam itu adalah mudah dan tidak sekali amaliyah agama dipersukar oleh seseorang melainkan dia sendiri akan lamah dan patah (mengamalkanny)
Firman Allah:
       “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Dengan melihat dasar di atas dapat diambil kesimpulan bahwa talfik dalam prakteknya sudah tidak dapat dihindari lagi. Terutama di dalam masalah hukum yang sejalan dan terpisah

Daftar Pustaka
Abdul Wahab Khalaf, 1994, Ilmu Ushul Fiqh: Semarang: Dina Semarang
Huzaimah Tahido Yanggo, 1997, Pengantar Perbandingan Mazhab: Jakarta: Logos
Asyimuni, 1986, Qaidah-qaidah Istinbath dan Ijtihad: Jakarta: Direktorat jenderal pembinaan kelembagaan agama Islam
Hamdan Yusuf, 1986, Perbandingan Madhab, Semarang: Aksara Indah.


[1] Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 1
[2] Huzaimah Tahido Yanggo, op.cit.,hlm.2.
[3] Asyimuni, Qaidah-qaidah Istinbath dan Ijtihad, (Jakarta: Direktorat jenderal pembinaan kelembagaan agama Islam, 1986), hlm. 111)
[4] Asymuni.op.cit., hlm. 147-157
[5] Ibid., hlm. 159-161
[6] Ibid.,hlm. 170

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.