Langsung ke konten utama

HUKUM DAN DASAR TAYAMUM



 Disusun Oleh :
Qisthi faradina Ilma Mahanani; Ingkan Dhika Pratiwi; dan Nur Sirojudin (program studi Sejarah Kebudayaan Islam

A.     PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM
Apabila seseorang junub atau seseorang akan mengerjakan sembahyang, orang tadi tidak mendapatkan air untuk mandi atau untuk wudhu, maka sebagai ganti untuk menghilangkan hadats besar atau kecil tadi dengan melakukan tayamum. Tayamum menurut bahasa sama dengan qasad artinya menuju. Menurut syara’ , tayamum ialah menuju kepada tanah untuk menyapukan dua tangan dan muka dengan niat agar dapat mengerjakan sembahyang.Tayamum juga diperbolehkan karena takut menggunakan air karena cuaca sangat dingin, atau karena seseorang mengalami luka, sehingga kalau kena air akan mendatangkan madharat.

Orang yang telah bertayamum dan telah bersembahyang kemudian mendapatkan air dan waktu sembahyangnya dengan berwudhu, juga boleh tidak mengulanginya.Apabila orang yang bertayamum dan mendapatkan air sebelum ia mengerjakan sembahyang, maka ia harus berwudhu baru sembahyang. Timbul perbedaan pendapat fuqaha, bila di dapati air selesai sembahyang. Menurut abu hanifah, al auza’iy, al muzanny, al hadiy dan an nashr, orang yang tayamum dan melaksanakan sembahyang ditengah sembahyang mendapat air, ia wajib keluar dari sembahyang dan mengulang sembahyangnya itu dengan sempurna sesudah wudhu. Pendapat imam malik dari Abu Daud, orang tersebut tidak wajib keluar, bahkan haram, dan sembahyangnya sah. Menurut abu Daud, tidak wajib keluar dari sembahyang mengingat firman allah dalam surat 47 (muhammad) ayat 33 :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu”.

Satu tayamum hanya untuk satu sembahyang, sehingga tiap-tiap sembahyang melakukan tayamum terlebih dahulu.
B.     Sebab / Alasan Melakukan Tayamum :
1.      Dalam perjalanan jauh
2.      Jumlah air tidak mencukupi karena jumlahnya sedikit
3.      Telah berusaha mencari air tapi tidak diketemukan
4.      Air yang ada suhu atau kondisinya mengundang kemudharatan
5.      Air yang ada hanya untuk minum
6.      Air berada di tempat yang jauh yang dapat membuat telat shalat
7.      Pada sumber air yang ada memiliki bahaya
8.      Sakit dan tidak boleh terkena air
C.     Syarat Sah Tayamum :
1.      Telah masuk waktu salat
2.      Memakai tanah berdebu yang bersih dari najis dan kotoran
3.      Memenuhi alasan atau sebab melakukan tayamum
4.      Sudah berupaya / berusaha mencari air namun tidak ketemu
5.      Tidak haid maupun nifas bagi wanita / perempuan
6.      Menghilangkan najis yang yang melekat pada tubuh
D.    Hal yang Disunah  Ketika Melaksanakan Tayamum :
1.      Membaca basmalah
2.      Menghadap ke arah kiblat
3.      Membaca doa ketika selesai tayamum
4.      Medulukan kanan dari pada kiri
5.      Meniup debu yang ada di telapak tangan
6.      Menggodok sela jari setelah menyapu tangan hingga siku
E.     Rukun Tayamum
1.      Niat Tayamum.
Adapun niat tayamum adalah sebagai berikut
2.      Menyapu muka dengan debu atau tanah.
3.      Menyapu kedua tangan dengan debu atau tanah hingga ke siku.
F.      Perkara yanga membatalkan Tayamum
·         Segala hal yang membatalkan wudhu
·         Melihat air sebelum shalat, kecuali yang bertayamum karena sakit
·         Murtad, keluar dari Islam
G. Hukum-Hukum Tayamum
                 Hukum ini di jima’I oleh para ulama. Pada waktu itu para imam berselisih tentang makna yang dinamai Sha’id. Asy Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa Sha’id itu, turab yang artinya tanah. Karena itu tidak boleh kita bertayamum melainkan dengan tanah yang suci atau dengan pasir yang berdebu. Kata Abu Hanifah, dan Malik : Sha’id itu ialah bumi. Oleh karena itu boleh bertayamum dengan bumi dan dengan segala suku-sukunya, walaupun yang tak ada debu padanya. Dan Malik berkata : boleh bertayamum dengan segala yang berhubungan dengan bumi, seperti tumbuh-tumbuhan.
                 Yakni : tidak sah tayamum karena ketiadaan air, melainkan sesudah ada usaha mencari air. Pendapat itu disetujui Malik. Abu Hanifah tidak mensyaratkan mencari air.
                 Begini juga pendapat Malik. Abu Hanifah berpendapat: lazim orang tersebut keluar dari sembahyang lalu berwudhu, terkecuali jika sembahyang yang sedang dikerjakan itu sembahyang jenazah dan sembahyang hari raya. Ahmad membatalkan segala sembahyang yang dikerjakan dengan tayamum jika ia mendapatkan air sebelum selesai sembahyangnya itu.
                 Menurut Malik hendaklah orang tersebut bertayamum lalu sembahyang dan tak usah mengulanginya lagi. Abu Hanifah berpendapat hendaklah orang tersebut meninggalkan sembahyang sehingga ia mendapatkan air lalu ia kerjakan sembahyang yang ditinggalkannya itu.
                 Pendapat ini dietujui oleh Abu Hanifah dan Malik. Inilah yang rajih dalam madzhab Asy Syafi’y. atha’ dan Al Hasan tidak membolehkan tayamum bagi orang sakit yang memperoleh air.
                 Kata Ahmad : ia basuh sekedar yang dapat ia basuh lalu bertayamum untuk yang lain. Imam yang lain berkata  : tidak wajib memakai air itu hanya terus bertayamum saja.
                 Abu Hanifah dan Malik berpendapat : bahwa apabila sebagian tubuhnya sehat dan sebagiannya luka, maka jika lebih banyak yang sehat hendaklah dibasuhnya, dan disukai iya menyapu bagian yang luka dengan air. Tetapi jika banyak yang luka, hendaklah ia bertayamum dan tidak perlu ia membasuh bagian yang luka itu. Kata Ahmad : ‘ia basuh bagian yang sehat dan bertayamum untuk bagian yang luka.
                 Demikianlah pendapat Asy Syafi’y. dan Imam –imam yang lain tidak mengharuskan kita mengulangi sembahyang itu.
                 Pendapat ini disetujui Malik dan Ahmad. Dari Abu Hanifah diterima 2 riwayat yaitu : yang pertama, orang tersebut tidak bersembahyang hingga dia mendapatkan air, atau terlepas dari kurungan. Kedua, ia bersembahyang dan kemudian ia mengulangi sembahyangnya.
                 Kata Malik : tidak perlu ia ulangi sembahyang itu. Lalu ia ulangi baik juga.’ Abu Hanifah dan Ahmad tidak mewajibkan orang itu mengulangi. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Asy Syafi’y dalam madzhab qodimnya.
                 Abu Hanifah dan Malik berpendapat ‘orang tersebut tidak diharuskan bersembahyang hingga ia mendapati air atau tanah itu.’ Dari Malik diperoleh 3 riwayat : pertama, sebagai paham Abu Hanifah. Kedua, orang tersebut bersembahyang dalam keadaannya itu dan harus mengulangi. Ketiga, orang tersebut bersembahyang dengan tidak menglangi lagi. Pendapat inilah yang lebih shahih dan pendapat ini diterima juga dari Ahmad.
                 Kata Abu Hanifah : Orang tersebut tidak bertayamum dan tidak bersembahyang sehingga mendapati air untuk menghilangkan najasnya itu.Menurut Ahmad hendaklah orang itu bertayamum untuk najas seperti tayamum untuk hadas lalu bersembahyang dengan tidak perlu mengulangi lagi sembahyangnya. Pendapat Malik, tidak bertayamum untuk najasah.
                 Pendapat ini disetujui dengan pendapat Abu Hanifah. Kata Malik dan Ahmad : ‘Cukup satu kali tepuk untuk muka dan dua telapak tangan saja.’

DAFTAR PUSTAKA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.