Materi ini saya ambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia. silahkan anda merujuk langsung ke web tersebut atau membaca langsung dari blog ini. beberapa materi tentang pandangan berbagai agama mengenai euthanasia dapat anda buka pada
Eutanasia (Bahasa
Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan
θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan
kehidupan manusia
atau hewan melalui
cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit
yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang
mematikan.
Aturan hukum mengenai
masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan
perubahan norma-norma budaya maupun
ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa
negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Oleh karena
sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa
memandang status hukumnya.
Terminologi
Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Bila
ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.
- Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
- Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
- Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan
eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak
keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan
keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada
beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan,
akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan
pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal
secara alamiah sebagai upaya defensif medis.
Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin
Ditinjau
dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga
yaitu :
- Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
- Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
- Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa
tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
- Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
- Eutanasia hewan
- Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela
Sejarah eutanasia
Asal-usul kata eutanasia
Kata
eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos"
(maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang
baik". Hippokrates pertama kali menggunakan istilah
"eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa
400-300 SM.
Sumpah
tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat
yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Dalam
sejarah hukum Inggris
yaitu common
law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun
"membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
Eutanasia dalam dunia modern
Sejak abad
ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika
Utara dan di Eropa
Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara
bagian New
York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara
bagian.
Setelah masa
Perang Saudara, beberapa advokat dan
beberapa dokter
mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela.
Kelompok-kelompok
pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada
tahun 1935 dan di Amerika
pada tahun 1938 yang
memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian
perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika
maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas
anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh
keuntungan daripadanya.
Pada era
yang sama, pengadilan
Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa
orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada
dokter sebagai bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan
suatu tindakan kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap
anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat
tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna.
Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action
T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas
3 tahun dan para jompo / lansia.[2]
Eutanasia pada masa setelah perang dunia
Setelah
dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era
tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah
dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia
yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.
Praktik-praktik eutanasia di dunia
Praktik-praktik
eutanasia pernah yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat[3]:
- Di India pernah dipraktikkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
- Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya.
- Uruguay mencantumkan kebebasan praktik eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
- Di beberapa negara Eropa, praktik eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
- Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian, eutanasia dikategorikan sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
- Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktik medis, biasanya tidak pernah dilakukan eutanasia aktif, namun mungkin ada praktik-praktik medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.
Eutanasia menurut hukum di berbagai negara
Sejauh ini
eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi
di negara bagian Oregon
di Amerika, Kolombia[4] dan Swiss dan dibeberapa
negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark [5]
Belanda
Pada tanggal
10 April 2001 Belanda
menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini
dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 [6], yang
menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik
eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan,
diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu
ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan
bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah
karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia"
dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November
1998, halaman 3
melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia
dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat
(tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50
pertanyaan.
Sejak akhir
tahun 1993, Belanda
secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia
dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul
tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi
oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu
kasus tertentu tidak akan dihukum.
Australia
Negara
bagian Australia,
Northern Territory, menjadi tempat pertama
di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski
reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory
menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU
tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali
dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia,
sehingga harus ditarik kembali.
Belgia
Parlemen Belgia telah
melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para pendukung
eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah
dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia di negara ini, namun
mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga
timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi
kematian".
Belgia kini
menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan
negara bagian Oregon
di Amerika).
Senator
Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun
rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita
secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh
untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.[7]
Amerika
Eutanasia
agresif dinyatakan ilegal
di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika
yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak
mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada
tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU
tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi
undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien
terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika
mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus
diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di
antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu
saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa
pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan
mental.Hukum juga
mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut
tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa
maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas
apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada
usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama
dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi
terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.[9][10]
Sebuah lembaga
jajak
pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa
60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasia [11]
Indonesia
Berdasarkan
hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum,
hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada
Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian
halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga
dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan
demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak
mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Ketua umum
pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5
Oktober 2004 [12]
menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan"
hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang
dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai
dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih
berlaku yakni KUHP.
Swiss
Di Swiss, obat yang
mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang
asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan
sejak tahun 1942,
yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri
adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk
kepentingan diri sendiri."
Pasal 115
tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan
terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.
Inggris
Pada tanggal
5 November 2006, Kolese
Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain's Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan
Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya
izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns).
Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan
semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor
"kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktik kedokteran.
Namun hingga
saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian
juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian
pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA)
yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.[13]
Jepang
Jepang tidak
memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian pula Pengadilan
Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah
mengatur mengenai eutanasia tersebut.
Ada 2 kasus
eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun
1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" (消極的安楽死, shōkyokuteki anrakushi)
Kasus yang
satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai
university pada tahun 1995[14] yang
dikategorikan sebagai "eutanasia aktif " (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi)
Keputusan
hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu
alasan pembenar dimana
eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian
eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap
dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh
karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih
diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai
kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi,
namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara
guna melaksanakan eutanasia.
Republik Ceko
Di Republik
Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan
peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud
untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu
kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan
Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal
kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.[15]
India
Di India eutanasia
adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan eutanasia
terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan
tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas
kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya
didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan
terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan kematian dimana si dokter
hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada
kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun
eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92
IPC.[16]
China
Di China, eutanasia saat
ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia diketahui terjadi pertama
kalinya pada tahun 1986,
dimana seorang
yang bernama "Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan
eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si
dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan
tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak
bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang
tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya
eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya
ia meninggal dunia dalam kesakitan.[17]
Afrika Selatan
Di Afrika
Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang
eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku eutanasia untuk
berkelit dari jerat hukum yang ada.[18]
Korea
Belum ada
suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia di Korea, namun telah
ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus
rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya
penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis)
atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut
kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya
dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang
nyata dengan mercy killing dalam arti kata eutanasia aktif.
Pada
akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari
penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan
eutanasia pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta
penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.[19]
Eutanasia menurut ajaran agama
Dalam ajaran gereja Katolik Roma
Sejak
pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas
mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak
tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan
sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan
mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga
menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang
pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada
tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan
Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") [20] yang
menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya
kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia
sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan
semakin meningkatnya praktik eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium
Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang
paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah
orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang
mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa
eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang
semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung
penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya
tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66)[21][22]
Dalam ajaran agama Hindu
Pandangan agama Hindu
terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa.
Karma adalah
merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud
perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran
kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma"
yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah
kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut
ajaran Hindu.
Ahimsa
adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti
siapapun juga.
Bunuh diri
adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran
bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat
reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia
adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat
yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan
kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya
tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai
roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya
ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17
tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah
rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka
menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam
kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya
terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.[23]
Dalam ajaran agama Buddha
Ajaran agama
Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran
untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral
dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas
bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam
ajaran agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat
menekankan pada "welas asih" ("karuna")
Mempercepat
kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap
perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi
"karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan
keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.[24]
Dalam ajaran Islam
Seperti
dalam agama-agama Ibrahim
lainnya (Yahudi
dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia.
Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS
22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam
meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara
eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang
menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau
membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah
"Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya
sendiri.[25]
Eutanasia
dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut
(eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja
tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan
penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada
konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981,
dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia
ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam
alasan apapun juga .[26]
Eutanasia positif
Yang
dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan
kematian si sakit—karena kasih sayang—yang dilakukan oleh dokter dengan
mempergunakan instrumen (alat).
Memudahkan
proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak diperkenankan
oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan
aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui
pemberian obat
secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan
termasuk dosa besar
yang membinasakan.
Perbuatan
demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang
mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya.
Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada
Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah
Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang
mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.[27]
Eutanasia negatif
Eutanasia
negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia
negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk
mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi
pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan
dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak
memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Di antara
masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau
berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha
dan imam-imam mazhab.
Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum
mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang
dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam
Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul
Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab
(sunnah).[28]
Dalam ajaran gereja Ortodoks
Pada ajaran Gereja
Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran
hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa,
upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan.
Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan
dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu
simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks
memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh
karenanya menentang anjuran eutanasia.[29]
Dalam ajaran agama Yahudi
Ajaran agama
Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya
kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi
melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik
sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan
mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan
suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.[30]
Dasar dari
larangan ini dapat ditemukan pada Kitab
Kejadian dalam alkitab Perjanjian
Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni
nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan
menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama
manusia".[31]
Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini
adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.[32]
Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan
terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang
berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu
pelaksanaan eutanasia.
Beberapa
pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]
- Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
- Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang
kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk
melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian
tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih
baik.
Lebih jauh
lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri
kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga
dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan
harapan mereka atas pengobatan.
Sejak
awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah
"bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy
killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu
pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan
dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
Beberapa kasus menarik
Kasus Hasan Kusuma - Indonesia
Sebuah
permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan
oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya
yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di
samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan
suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh
bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif
maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam
pemulihan kesehatannya.[34]
Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat
Seorang
perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey,
Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan
menggunakan alat bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika
secara berlebihan.Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka
orangtuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan
tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada
pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien ditolak, namun pada
pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan
pada tanggal 31 Maret 1976.
Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan
walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya
tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).
Kasus Terri Schiavo
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Terri
Schiavo
Terri Schiavo
|
|
Lahir
|
Terri
Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari
setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa
makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma
ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh
di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah
ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi
karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat
kekurangan oksigen.
Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam
tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktik dan harus
membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan
kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.
Setelah
Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang
bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat
bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan
tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler
menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang
niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan
izin pengadilan,
tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih
tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan,
maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat
undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim
tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat
dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah
independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan
hakim terdahulu.
Kasus "Doctor Death"
Dr.
Jack Kevorkian dijuluki "Doctor Death", seperti dilaporkan
Lori A. Roscoe [35]. Pada
awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale[36] , California
diduga puluhan pasien telah "ditolong" oleh Kevorkian untuk
mengakhiri hidup. Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata demi
"menolong" pasien-pasiennya. Namun, para penentangnya menyebut apa
yang dilakukannya adalah pembunuhan.
Kasus rumah sakit Boramae - Korea
Pada tahun
2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita
penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat, seorang
dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan
anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut
meminta polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas
tuduhan melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa
si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan
tersebut. Satu minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh
penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan
bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat
bertahan hidup selama 24 jam saja.[37]
Kasus BBC
Seorang
warga Swiss bunuh diri dibantu medis atau euthanasia. Disaksikan keluarganya,
ia menenggak obat mematikan di satu klinik di Swiss. Proses menuju
kematian itu, disiarkan oleh televisi BBC. Kontroversi pun sontak merebak. Nama
pria itu adalah Peter Smedley berusia 71 tahun dan sedang sakit parah yang tak
mungkin disembuhkan lagi. Pemilik hotel ini pun memutuskan untuk mengakhiri
penderitaan itu dengan cara meminum obat mematikan. Niatnya itu bisa terlaksana
karena di negaranya, Swiss, euthanasia tidak terlarang. Ia pun meminta dokter
di satu klik bernama Dignitas memberikan obat mematikan, barbituates. Entah bagaimana
dia memberikan izin kepada Sir Terry Pratchett,
pembawa acara Terry Pratchett: Choosing To Die, untuk merekam momen terakhirnya
saat meminum racun. Itu terjadi sebelum Natal tahun lalu. Dalam gambar yang
ditayangkan di BBC,
sang pasien, Smedley, didampingi dokter dari klinik dan istrinya Christine.
Dalam hitungan detik, ia meninggal di kursinya. Segera setelah tayangan itu,
debat panas muncul di Twitter, media sosial lainnya serta media cetak membuat
BBC dijuluki 'pemandu sorak' euthanasia. Warga pun menulis pengaduannya pada
Dirjen Mark Thompson dan Kepala BBC
Lord Patten mengenai acara
itu. Warga menganggap acara ini 'tak pantas'. Kelompok amal, politik dan agama
bergabung menyatakan acara ini 'propaganda' euthanasia. Dalam gugatan,
tertulis, "Menayangkan kematian pasien di acara demi hiburan, BBC harus
punya alasan kuat". Baroness Campbell of Surbiton, Baroness Finlay of
Llandaff, Lord Alton of Liverpool dan Lord Charlie of Berriew
mengatakan, BBC menayangkan acara ini guna mendukung bunuh diri yang dibantu.
Alhasil, hampir 900 warga membuat pengaduan resmi pada BBC atas program itu.
Juru bicara BBC menambahkan, "Terkait acara ini, kami punya 82 apresiasi
dan 162 pengaduan, total pengaduan pun menjadi 898". Regulator media Ofcom
sendiri mengakui seperti dikutip Dailymail, BBC mendapat 'banyak' pengaduan. [38] [39]
Lihat pula
Lihat
informasi mengenai
euthanasia di Wiktionary. |
Catatan kaki
3. ^ C. Satyo, Alfred, Dr,DSF,MHPE:
"Dampak Teknologi Kedokteran Modern terhadap Budaya Kematian dan
Kehidupan", Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara ,USU library, 5
11. ^ Carroll, Joseph (2006, June 19).
Public Continues to Support Right-to-Die for Terminally Ill Patients. Retrieved
on January 16, 2007, from The Gallup Poll Web site: Catatan : Jajak
pendapat ini dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang bersifat luas
dan bukannya berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada dukungan
terhadap eutanasia. Jajak pendapat tersebut bukan merupakan suatu indikator
dukungan terhadap suatu agenda kampanye eutanasia. Lihat :Situs
Galluppoll
22. ^ "Lihat artikel "Eutanasia
Menurut Ajaran Gereja" yang diterjemahkan oleh Yesaya atas izin The Arlington
Catholic Herald."
31. ^ Teks Asli Versi King James
Version : "Surely for your lifeblood I will demand [a reckoning];
from the hand of every beast I will require it, and from the hand of man. From
the hand of every man's brother I will require the life of man.situs
sabda.org
Daftar pustaka
- Agamben, Giorgio; diterjemahkan oleh Daniel Heller-Roazen (1998). Homo sacer: sovereign power and bare life. Stanford, Calif: Stanford University Press. ISBN 0-8047-3218-3.
- Almagor, Raphael (2001). The right to die with dignity: an argument in ethics, medicine, and law. New Brunswick, N.J: Rutgers University Press. ISBN 0-8135-2986-7.
- Appel, Jacob. 2007. A Suicide Right for the Mentally Ill? A Swiss Case Opens a New Debate. Hastings Center Report, Vol. 37, No. 3.
- Battin, Margaret P., Rhodes, Rosamond, and Silvers, Anita, eds. Physician assisted suicide: expanding the debate. NY: Routledge, 1998.
- Dworkin, R. M. Life's Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia, and Individual Freedom. New York: Knopf, 1993.
- Emanuel, Ezekiel J. 2004. "The history of euthanasia debates in the United States and Britain" in Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.
- Fletcher, Joseph F. 1954. Morals and medicine; the moral problems of: the patient's right to know the truth, contraception, artificial insemination, sterilization, euthanasia. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
- Humphry, Derek, Ann Wickett (1986). The right to die: understanding euthanasia. San Francisco: Harper & Row. ISBN 0-06-015578-7.
- Horan, Dennis J., David Mall, eds. (1977). Death, dying, and euthanasia. Frederick, MD: University Publications of America. ISBN 0-89093-139-9.
- Kamisar, Yale. 1977. Some non-religious views against proposed 'mercy-killing' legislation. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Minnesota Law Review 42:6 (May 1958).
- Kelly, Gerald. "The duty of using artificial means of preserving life" in Theological Studies (11:203-220), 1950.
- Kopelman, Loretta M., deVille, Kenneth A., eds. Physician-assisted suicide: What are the issues? Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 2001. (E.g., Engelhardt on secular bioethics)
- Magnusson, Roger S. "The sanctity of life and the right to die: social and jurisprudential aspects of the euthanasia debate in Australia and the United States" in Pacific Rim Law & Policy Journal (6:1), January 1997.
- Palmer, "Dr. Adams' Trial for Murder" in The Criminal Law Review. (Reporting on R. v. Adams with Devlin J. at 375f.) 365-377, 1957.
- Panicola, Michael. 2004. Catholic teaching on prolonging life: setting the record straight. In Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.
- PCSEPMBBR, United States. President's Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research. 1983. Deciding to forego life-sustaining treatment: a report on the ethical, medical, and legal issues in treatment decisions. Washington, DC: President's Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research: For sale by the Supt. of Docs. U.S. G.P.O.
- Rachels, James. The End of Life: Euthanasia and Morality. New York: Oxford University Press, 1986.
- Robertson, John. 1977. Involuntary euthanasia of defective newborns: a legal analysis. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Stanford Law Review 27 (1975) 213-269.
- Sacred congregation for the doctrine of the faith. 1980. The declaration on euthanasia. Vatican City: The Vatican.
- Stone, T. Howard, and Winslade, William J. "Physician-assisted suicide and euthanasia in the United States" in Journal of Legal Medicine (16:481-507), December 1995.
absen pak.. anggoro (223-13-002)
BalasHapusNAMA : ELLY MERY IRAWATI
BalasHapusNIM : 223-13-001
Pak, tlg berikan contoh ada gak euthanasia yg selain suntik mati atau obat-obatan dosis tinggi? terima kasih
Euthanasia bisa juga dilakukan dengan tanpa memberikan perawatan yang baik, dengan alasan dibiarkan agar cepat mati orang yang bersangkutan. Dalam konteks tersebut bisa juga disebut sebagai euthanasia. misalnya tidak diobati atau tidak diberikan obat yang semestinya.
Hapusnama: lailatul badriyah
BalasHapusnim : 223-13-006
hadir pak, hati-hati di jalan. jangan lupa oleh-oleh nya.....
nama : safitri nur annisa
BalasHapusnim : 223-13-004
hadir pak
NAMA : Ulfatu Rosyidah
BalasHapusNIM : 223 13 011
Absen Pak.....
Assalamualaikum pak. melihat blog bapak sangat populer, memiliki lebih dari 60 artikel unik dan bermutu, sekaligus memiliki pageviews lebih dari 50.000, sebaiknya mendaftarkan Google AdSense. Supaya bisa produktif lewat blog ini, karena nantinya kalo dipersetujui oleh pihak AdSense, blog bapak akan banyak Iklannya. Pendapatan per bulan per iklan bisa 100-300 ribu, apalagi kalau misal terdapat 5 - 10 iklan, tinggal mengalikannya. :) https://support.google.com/adsense/answer/10162?hl=id
BalasHapusya, boleh nanti saya pelajari.
HapusNama: Wawaladun sholichatui y
BalasHapusNim: 111-11-202
kelas: PAI C