Disusun Oleh:
Rangga Pradikta; M. Abdul Fatah; dan Eko Sadono
A. PENDAHULUAN
Dalam teori evolus bahwa segala sesuatu
memiliki siklus yang selalu berputar ada hidup dan ada mati seperti dunia yang
selalu berputar terkadang diatas dan terkadang dibawah. Begitu juga dalam
sejarah negeri-negeri dan kerajaan-kerajaan selalu berputar ada masanya
pembentukan dan pembangunan, masa keemasan dan pada akhirnya masa keruntuhan
dan kehancuran. Seperti kerajaan Babilonia, Gupta, Firaun, Daulah Umayyah,
bahkan kerajaan yang pernah berjaya di Indonesia yaitu Majapahit.
Dari gambaran diatas banyaknya kerajaan yang
berdiri lalu jatuh dan hancur. Hal ini serupa dengan yang
dialami oleh Daulah Abbasiyah yang memiliki sejarah panjang selama lima abad
dimulai dari masa pembentukan, masa keemasan dan sampai masa kehancuran
Daulah Abbasiyah merupakan Daulah Islamiyah
yang paling besar dan mengalami masa keemasan dari perluasan daulahnya, tata
kota dan bangunan yang indah, pemerintahan, ekonom, kesehatan, dan pendidikan
atau keilmuan.
Penjelasan tersebut akan mengejutkan otak kita
dan mengerutkan alis kita yang lantaran Daulah Abbasiyah merupakan daulah yang
hebat, luas, dan berjaya tetapi mengalami masa keruntuhan, kehancuran dan
bahkan lenyapnya Daulah Abbasiyah dari muka bumi.
Maka dari itu, kami akan membahas bagaimana
terjadinya keruntuhan Daulah Abbasiyah, faktor apa saja yang menjadikan Daulah
Abbasiyah masuk kedalam kehancuran dan keruntuhan baik dari faktor intern atau
ekstern.
B. PEMBAHASAN
Dalam pembahasan kehancuran daulah Abbasiyah
kami membaginya kedalam dua segi, yaitu faktor-faktor penyebab kemunduran dan
sebab-sebab kehancurannya.
a. Kemunduran
Daulah Abbasiyah
a) Faktor
Intern
1. Kemewahan
hidup di kalangan penguasa
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta
kemajuan besar yang dicapai Daulah Abbasiyah pada periode pertama telah
mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap
khalifah cenderung ingin lebih mewah daripada pendahulunya. Kondisi
ini memberi peluang kepada tentara profesional Turki untuk mengambil alih kendali
pemerintahan.
2. Melebihkan
Bangsa Asing dari Bangsa Arab
Keluarga Abbasiyah memberikan pangkat dan
jabatan negara yang penting-penting dan tinggi-tinggi, baik sipil ataupun
militer kepada bangsa Persia. Mereka itu sebagian besar diangkat menjadi wazir,
panglima tentara, wali provinsi, hakim-hakim dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, umat Arab benci dan amarah kepada khalifah-khalifah serta menjauhkan diri
dari padanya. Kebengisan keluarga Abbasiyah menindas dan
menganiaya keluarga Bani Umayah dan perbuatan mereka memusuhi kaum
Alawiyin, kian menambah amarah dan sakit hati mereka.
3. Angkara
murka terhadap Bani Umayah dan Alawiyin
Keluarga Abbasiyah melakukan siasatnya dengan
menindas dan menganiaya Bani Umayah dan memusuhi kaum Alawiyin yang
mengakibtkan kerugian bagi dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa berdirinya daulah
mereka adalah hasil kerja sama dengan keluarga Alawiyin yang tiada sedikit
jasanya kepada mereka dalam menjauhkan kekuasaan Bani Umayah. Akibat dari
permusuhan kedua keluarga besar itu, yaitu Abbasiyah dan Alawiyin timbullah
huru-hara dan pemberontakan hampir diseluruh negeri-negeri Islam.
4. Perebutan
kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah
Banyak sejarawan yang menyatakan bahwa
perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah ialah ketika terjadinya
perang saudara antara al-Amin dan al-Makmun.Tetapi kalau kita cermati lebih
dalam bahwa perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah adalah ketika
masa khalifah Musa al-Hadi yaitu ketika Musa al-Hadi ingin membatalkan putra
mahkota yang diberikan khlaifah al-Mahdi kepada Harun ar-Rasyid dan
membai’ahkan putranya sendiri yang bernama Jafar.Walaupun hal ini tidak
kesampaian dilaksanakan oleh Musa al-Hadi karena dia telah diburu ajalnya.
5. Pengaruh
bid’ah-bid’ah agama dan filsafat
Beberapa orang khalifah Abbasiyah seperti
Al-Makmun, Al-Muktasim dan Al-Wasiq amat terpengaruh oleh bid’ah-bid’ah agama
dan pembahasan-pembahasan filsafat. Hal ini menimbulkan bermacam-macam madzhab
dan merenggangkan persatuan umat Islam sehingga mereka terpecah belah kepada
beberapa partai golongan dan ini menjauhkan hati kaum agamawan.
6. Konflik
keagamaan
Timbulnya konflik keagamaan ini dimulai ketika
terjadinya konflik antara Khalifah Ali ibn Thalib dan Muawiyah yang berakhir
lahirnya tiga kelompok umat yaitu pengikut Muawiyah, Syi’ah dan Khawarij,
ketiga kelompok ini senantiasa berebut pengaruh. Yang senantiasa berpengaruh
baik pada masa Daulah Umayah atau Abbasiyah.Ketika kekhalifahan Abbasiyah
muncul juga kaum zindik yang lahir pada masa Khalifah al-Mahdi, kaum ini
menghalalkan yang haram dan mencederakan adab kesopanan dan budi kemanusiaan.
Oleh karena itu al-Mahdi berusaha menindas golongan ini, sehingga untuk itu dia
mendirikan suatu jawatan istimewa dikepalai oleh seorang yang pangkatnya
bernama “Shahibu az-Zanadiqah”. Tugasnya adalah membasmi kaum itu serta
mengikis faham dan pengajarannya.hal ini dilanjutkan oleh anaknya yaitu
Khalifah Musa al-Hadi.
7. Luasnya
wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah
Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah
sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu,
tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan
sangat rendah.
8. Ketergantungan
dan kepercayaan khalifah kepada wazir-nya sangat
tinggi.
Dalam hal ini kita bisa melihat beberapa
khalifah yang terlalu mempercayakan kepercayaannya terhadap wazirnya. Seperti
yang dilakukan oleh Khalifah al-Amin yang menyerahkan sekalian urusan daulahnya
kepada wazirnya Fadhal ibn Rabi. Dia terkenal pandai memfitnahi dan memburukkan
orang lain. Dia pula yang menghasut Harun ar-Rasyid untuk menggulingkan
keluarga Barmak dan dia juga yang memutusan tali silaturrahim antara adik dan
kakak, yaitu antara al-Amin dan al-Makmun yang mengakibatkan meletusnya perang
dua saudara dengan tewasnya al-Amin dan naiknya al-Makmun kesinggasana Khalifah
b) Faktor
Ekstern
1. Banyaknya
pemberontakan
Banyaknya daerah yang tidak diikuasai oleh
khalifah dengan memberikan atau memilih gubernur dari orang yang
telah berjasa kepada khalifah sebagai hadiah dan penghormatan untuknya.Ditambah
dengan kebijakan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan
Islam.Akibatnya provonsi-provinsi yang diberikan khalifah kepada
gubernur-gubernur banyak yang ingin melepaskan diri dari genggaman
khalifah Abbasiyah. Adapun cara provinsi-provinsi tersebut melepaskan diri dari
kekuasaan Baghdad adalah:Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin
suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah
Umayah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Kedua,seseorang yang
ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat,
kemudian melepaskan diri, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah
di Kurasan.
2. Bencana
Bangsa Turki
Amat besar bahaya umat Turki atas Daulah
Abbasiyah. Beberapa khalifah menjadi korban mereka. Tiang tua dan segala
persediaan rusak binasa olehnya. Kekacauan timbul dimana-mana, sedang khalifah
sendiri menjadi permainan dalam tangan panglima-panglima Turki. Perselisihan
antara tentara dan rakyat sering terjadi. Permusuhan diantara panglima-panglima
Turki itu sendiri kian menambah buruk dan keruh suasana daulah Abbasiyah.
Kelemahan
pemerintah pusat di Baghdad itu menjadi peluang bagi kepala-kepala pemerintahan
wilayah untuk melakukan siasatnya. Mereka berusaha memutuskan perhubungan
dengan khalifah lalu mendirikan kerajaan sendiri-sendiri dalam daerah mereka.
Dengan demikian terurailah buhul tali persatuan Daulah Abbasiyah dan berdirilah
kerajaan kecil-kecil dalam pekarangan daulah itu senndiri.
3. Dominasi
Bangsa Persia
Pada awal pemerintahan Bani Abbasiyah,
keturunan Parsi bekerjasama dalam mengelola pemerintahan dan Daulah Abbasiyah
mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam berbagai bidang. Pada periode kedua,
saat kekhalifahan Bani Abbasiyah sedang mengadakan pergantian khalifah, yaitu
dari khalifah Muttaqi kepada khlaifah Muth’ie. Banu Buyah berhasil merebut kekuasaan.
Pada mulanya mereka berkhidmat kepada
pembesar-pembesar dari pada khalifah, sehingga banyak dari mereka yang menjadi
panglima tentara, diantaranya menjadi panglima besar. Setelah mereka memiliki
kedudukan yang kuat, para khalifah Abbasiyah berada di bawah telunjuk mereka
dan seluruh pemerintahan berada di tangan mereka. Khalifah Abbasiyah hanya
tinggal namanya saja, hanya disebut dalam doa-doa di atas mimbar, bertanda
tangan di dalam peraturan dan pengumuman resmi dan nama mereka ditulis atas
mata uang, dinar dan dirham.
b. Sebab-Sebab
Kehancuran Daulah Abbasiyah
a) Faktor
Intern
1. Lemahnya
semangat patriotisme negara
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas
yang bersekutu dengan orang-orangPersia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan
nasib kedua golongan itu pada masaBani Umayyah berkuasa. Keduanya
sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas
tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab
Daulah Abbasiyah memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab,
yaitu:pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani
Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang
Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian,
khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak
merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari
Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di
tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa
non-Arab ('ajam).
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada
periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda,
seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India.
Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu
tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut
dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme
bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan
berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem
perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan
tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka
dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh
bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka
merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat
berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk
mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.
Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga
keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga.
Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi
tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya
sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini
kemudian direbut olehBani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan
selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljukdan munculnya dinasti-dinasti
yang lahir dan ada yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa
khilafah Abbasiyah. Dan bahkan ada yang mengaku dirinya khilafah.Dari
latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa,
terutama antara Arab, Persia dan Turki. Disamping latar
belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatar belakangi paham
keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ah maupun Sunni.
2. Hilangnya
sifat amanah
Hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian
yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan kerendahan budi menghancurkan
sifat-sifat baik yang mendukung negara selama ini.
3. Tidak
percaya pada kekuatan sendiri
Tidak percaya pada kekuatan sendiri. Dalam
mengatasi berbagai pemberontakan, khalifah mengundang kekuatan asing.
Akibatnya, kekuatan asing tersebut memanfaatkan kelemahan khalifah.
4. Fanatik
madzhab dan keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan
persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya
tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan
ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya
gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan
para khalifah. Al-Mansurberusaha keras memberantasnya,
bahkan Al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk
mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan
tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan
kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut
mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai
kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak.
Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik
bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut,
pendukungnya banyak berlindung di balik ajaranSyi'ah, sehingga banyak aliran
Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh
penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik
dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara
keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil,
misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn
Ali di Karballa dihancurkan. Namun
anaknya, al-Muntashir(861-862 M.), kembali memperkenankan orang Syi'ah
"menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam
khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti
Idrisiyah di Marokko dan
khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang
memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak
terbatas pada konflik antara muslim danzindiq atau Ahlussunnah dengan
Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilahyang
cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh
golongan salafy. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam
oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan
menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah.
Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M),
aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Sunni
kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali terhadap
Mu'tazilah yang rasional dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah
menyempitkan horizon intelektual padahal para salaf telah berusaha
untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai dengan yang dibawa
oleh Rasulullah.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada
masa Bani Buwaih. Namun pada masaDinasti Seljuk yang menganut
paham Sunni, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara
sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur
dan berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini
menjadi ciri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut
mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas
intelektual Islam.
5. Kemerosotan
ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di
bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode
pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang
masuk lebih besar dari yang keluar, sehinggaBaitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan
dana yang besar diperoleh antara lain darial-Kharaj, semacam pajak hasil
bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran,
pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar.
Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah
kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat.
diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri
dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan
oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. Jenis pengeluaran makin
beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak
stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi
yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini
saling berkaitan dan tak terpisahkan.
b) Faktor
Ekstern
1. Disintegrasi
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu,
provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa
Bani Abbasiyah, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan
oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh. Bahkan
berusaha merebut pusat kekuasan di Baghdad. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak
luar dan banyak mengorbankan umat, yang berarti juga menghancurkan Sumber Daya
Manusia (SDM). Yang paling membahayakan adalah pemerintahan tandingan Fatimiah
di Mesir walaupun pemerintahan lainnyapun cukup menjadi perhitungan para
khalifah di Baghdad. Pada akhirnya, pemerintah-pemerintah tandingan ini dapat
ditaklukan atas bantuan Bani Saljuk atau Buyah.
2. Perang
Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M,
saat Paus Urbanus II berseru kepada
umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk
memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang
dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan invasi dari
tentara Muslim atas wilayah Kristen. Selain seruan Paus Urbanus
ada juga dua faktor penyebab terjadinya perang salib yaitu para pedagang besar
yang berada di pantai Timur laut Tengah, terutama yang berada di kota Venezia,
Genoa dan Pisa berambisi untuk menguasai sejumlah kota dagang di sepanjang
pantai Timur dan selatan laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang
mereka.Sedangkan sebab lainnya adalah orang-orang Kristen beranggapan jika
mereka mati dalam perang salib maka jaminannya adalah surga.
Periodesasi perang salib terbagi menjadi tiga,
yaitu Pertama, periode penaklukan yang dimulai oleh pidato Paus
Urbanus II yang memotivasi untuk berperang salib. Pada periode ini terjadi
beberapa pertempuran yaitu gerakan yang dipimpin oleh Pierre I’ermitte melawan
pasukan Dinasti Bani Saljuk. Pasukan ini mudah dipatahkan oleh pasukan Bani
Saljuk. Kedua,Gerakan yang dipimpin oleh Godfrey of Bouillon.
Gerakan ini merupakan gerakan terorganisir rapi. Mereka berhasil menundukan
kota Palestina (Yerussalem) pada 7 Juli 1099 dan melakukan pembantaian
besar-besaran terhadap umat Islam. Begitu juga mereka menundukkan Anatalia
Selatan, Tarsus, Antiolia, Allepo, Edessa, Tripoli, Syam, Arce dan Bait
al-Maqdis. Kedua, periode reaksi umat Islam (1144-1192).
Periode ini muncullah pasukan yang dikomandani oleh Imanuddin Zangi untuk
membendung pasukan salib bahkan pasukan ini dapat merebut Aleppo dan Edessa.
Lalu setelah wafatnya Imanuddin Zangi maka anaknya menggantikannya yaitu
Nuruddin Zangi, dia berhasil menaklukan Damaskus, Antiolia dan Mesir. Di Mesir
muncullah Shalahuddin al-Ayyubi (Saladin) yang berhasil membebaskan Bait
al-Maqdis. Dari keberhasilan umat Islam tersebut membangkitkan kaum Salib untuk
mengirim ekspedisi militer yang lebih kuat. Ekspedisi ini dipimpin oleh
raja-raja besar Eropa, seperti Frederick I, Richard I dan Philip II. Disini
terjadiilah pertempuran sengit antara pasukan Richard dan pihak Saladin. Pada
akhirnya keduanya melakukan gencatan senjata dan membuat perjanjian. Ketiga, yaitu
periode perang saudara kecil-kecilan atau periode kehancuran di dalam pasukan
Salib.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan
daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak
sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini
mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian
mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak daulah kecil
yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
3. Serangan
Bangsa Mongol dan jatuhnya Baghdad
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang
berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad.
Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir Bani Abbas diBaghdad (1243
- 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan"
tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah
Abbasiyah, Ibn Alqami ingin mengambil kesempatan dengan menipu
khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui mereka untuk
perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya denganAbu
Bakr Ibn Mu'tashim, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin
posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana
kakek-kakekmu terhadap sulthan-sulthan Seljuk".
Khalifah menerima usul itu, la keluar bersama
beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah
berharga lainnya untuk diserahkan kepadaHulagu Khan. Hadiah-hadiah itu
dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul
oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fikih dan orang-orang
terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa
yang dikatakan wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir
sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran.
Dengan pembunuhan yang kejam ini berakhirlah
kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan
tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut.
Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad
selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syria danMesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke
tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani
Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan
peradaban Islam, karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam
yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap
dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
C. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas mengenai kehancuran
Daulah Abbasiyah bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan kehancuran baik
dari faktor intern atau ekstern. Dari faktor intern adalah kemewahan hidup
dikalangan penguasa, perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah,
konflik keagamaan, luasnya wilayah kekuasaan, lemahnya semangat patriotisme
negara, hilangnya sifat amanah, tidak percaya akan kekuatan sendiri, fanatik
madzhab dan kemerosotan ekonomi.
Adapun dari faktor ekstern adalah banyaknya
pemberontokan, dominasi Bangsa Turki dan Bangsa Persia, disintegrasi, perang
salib dan penyerbuan Bangsa Mongol dan jatuhnya kota Baghdad.
D. PENUTUP
Artikel ini yang berjudul Kehancuran
Daulah Abbasiyah berusaha menggambarkan dan menelaah faktor-faktor
intern atau ekstern yang menyebabkan hancurnya Daulah Abbasiyah.
Tujuan dari artikel ini adalah agar menjadi
bahan renungan dan pertimbangan bagi para pejabat, penguasa dan pemerintah
dalam menjalankan kebijakan negara supaya tidak terperosok kedalam lubang yang
pernah dialami oleh Daulah Abbasiyah.
Kami sangat menyadari bahwa artikel ini jauh
dari kesempurnaan dan masih banyak perbaikan. Maka dari itu kita semua agar
lebih mendalami dan memahami sejarah Daulah Abbasiyah, khususnya kehancurannya
guna adanya perbaikan dan penyempurnaan artikel ini.
DAFTAR
PUSTAKA
A
Partanto, Pius dan Albarri, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer,
Surabaya: Arkola, 1994
Al-Ghazali,
Muhammad, Al-Janibu al-‘Athifiyyu Mina al-Islam Bahtsu fi al-Khalq wa
as-Suluk wa at-Tasawwuf, Cet. I. Al-Iskandariyah: Daru ad-Da’wah,
1990.
Al-Iskandari,
Umar dan Safdaj, al-Miraj,. At-Tarikhu al-Islamiyu Juz II.
Ponnorogo: Darussalam Pers, tt.
Bagian
Kurikulum KMI Gontor, Tarikh al-Adabi al-‘Arabiyyi Juz II,
Ponorogo: Darussalam Pers, tt.
Hajar,
Siti, Sejarah Dinasti Bani Umayyah (Artikel), Bandung:
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2011.
Mansur,
Hasan. Khaeruddin, Abdul Wahab. ‘Anani, Mushthafa, Ad-Dinu
al-Islamiyyu Juz I,Ponorogo: Darussalam Pers, tt.
Maryam,
Siti. Dkk., Sejarah Peradaban Islam dari Klasik Hingga Modern, Yogyakarta:
Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga dan LESFI, 2003.
Mustafa,
Sodiq., Suparman, dan Kuswanto. Kompetensi Dasar Sejarah. Solo:
Tiga Serangkai, 2004.
Mutholib,
Abd, dkk., Sejarah Kebdayaan Islam I. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Agama Islam dan Universitas Terbuka, 1995
Osman,
A Latif, Ringkasan Sejarah Islam, Cet. XXX. Jakarta: Widjaya,
2000.
Rozak,
Abdul dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Cet.
II. Bandung: CV Pustaka Setia, 2003.
Sami
an-Nasyar, Ali, Nasyatu al-Fikri al-falsafi fii al-Islam Juz
I, Cet. IV. al-Iskandariyah: Daru al-Ma’arif, 1966.
Suparman. Sejarah
Nasional dan Umum. Cet. III. Solo: 2002.
Supriadi,
Dedi, Sejarah Peradaban Islam,Cet. X. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Susiawati, Peradaban
Emas Dinasti Abbasiyah (Artikel), Bandung: Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati Bandung, 2011.
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Cet. XXI.
Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Komentar
Posting Komentar