Langsung ke konten utama

IJTIHAD DAN MUJTAHID




Oleh: Eko Zulianto ( 11510068 )

A.    IJTIHAD
1.      Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, arti ijtihad adalah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan “ ijtihad “ tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah. Menurut istilah ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hokum-hukum syariat.


2.      Skop Ijtihad
Apabila peristiwa yang hendak ditetapkan hukumnya itu telah ditunjuk olehndalil sharih yang qat’iyul wurud (pasti kedatangannya dari syar’i) dan qath’iyud dalalah (paasti menunjukkannya kemakna tertentu), maka tidak ada jalan untuk diijtihadkan. Kewajiban kita dalam hal ini ialah melaksanakan petunjuk nash. Oleh karena itu, ayat-ayat mufasar yang menunjuk kepada apa yang dikehendaki secara jelas serta tidak mungkin dapat ditafsirkan kepada arti yang lain, wajib diterapkan dan peristiwa yang dikenai nash itu tidak dapat diijtihadi. Misalny firman Allah SWT dalam QS. An-Nur: 2 yang artinya “ orang perempuan dan laki-laki yang berzina jilidlah masing-masing dari keduanya seratus kali jilid”. Maka jumlah hokum jilid yang seratus kali itu tidak dapat diijtihadkan lagi.
Adapun peristiwa-peristiwa yang dapat di ijtihadan itu ialah:
a.       Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk oleh nash yang zaniyulwhurud ( hadist-hadist ahad ) dan zhanniyud dalalah ( nash Al Qur’an dan Al hadist yang masih dapat ditafsirkan dan ditaqwilkan
b.      Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya sama sekali. Peristiwa-peristiwa semacam ini dapat di ijtihadkan dengan leluasa, lantaran seorang mujtahid dalam menghadapinya bertujuan hendak menetapkan hukumnya dengan perantaraan qias, istihsan, istishab, pada kebiasaan dan maslahah murshalah
c.       Peristiwa-peristiwa yang sudah ada nashnya yang qath’iyutsubut dan qoth”iyud dalalah. Yang terakhiir ini khusus dijalankan umar bin khotob r.a. beliau meneliti nash-nash tersebut tentang tujuan syar’I dalam syariat hokum.

3.      Hukum Ijtihad
·         Wajib ‘ain, bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa, sedang peristiwa tersebut akan hilang ( hadist) sebelum diketahui hukumnya.
·         Wajib khifayah, bagi seseorang yang ditanya tentang suatu peristiwa dan tidak dikhawatirkan hadistnya atau hilangnya peristiwa tersebut, sedang selain dia masih ada mujtahid lain.
·         Sunnat, yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik dinyatakan atau tidak.

4.      Cara melakukan ijtihad
Seseorang yang hendak berijtihad, harusnya memperhatikan urut-urutan dibawah ini. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu dalil yang lebih tinggi tingkatanya, barulah ia boleh menggunakan dalil-dalil berikutanya. Demikianlah urut-urutan tersebut sebagi berikut:
a.       Dalil mantuq :
·         Nash-nash Al Qur’an
·         Nash-nash Hadist Mutawatir
·         Nash-nash Hadist Ahad
·         Zhohir Qur’an
·         Zhohir Hadist
b.      Dalail mafhum :
Mafhum Qur’an dan Hadist
c.       Perbuatan-perbuatan Nabi
d.      Taqrir-taqrir Nabi
e.       Qiyas
Kalau ia mengahdapi dalil-dalil yang berlawanan hendaklah ia dapati, maka hendaklah ia memegangi
f.       Baraah asliyah. Kalau ia menghadapi dalil-dalil yang berlawanan hendaklah ia pertama-tama:
·         Mengumpulkan (jama’)
·         Menarjih (menguatkan salah satunya). Kalau tidak mungkin, karena sama-sama kuatnya, hendaklah menasahkan.
·         Menasahkan. Dicari mana yang dulu mana yang kemudian. Yang dulu itulah yang dibatalkan dan yang kemudian itulah yang membatalkan. Kalau tidak diketahui hendaklah tawaqquf (berhenti).
g.      Tawaqquf (berhenti). Ia tidak boleh menetapkan okum dengan dalil-dalil yang bertentangan. Ia hendaklah menggunakan dalil yang lebih rendah tingkatanya.
h.      Menggunakan dalil yang tidak lebih rendah tingkatanya.

5.      Kebenaran ijtihad dan pembatalan ijtihad.
·         Kebenaran ijtihad
Ilmu dibagi menjadi 2 yaitu Qat’I dan Dhann. Yang Qat’I ada kalanya, ilmu kalam atau ilmu shul atau ilmu fiqh. Dalam ketiga ilmu ini, yang benar hanya satu dan yang mneyalahinya adalah salah dan berdosa. Dlam ilmu fiqh, selain soal-soal Qat’I, ada soal Dhanni yang tidak aa dalinya yang Qat’i. maka soal-soal inilah yang menjadi lapangan ijtihad. Dalam soal-soal Dhanni tersebut tidak berdosa apabila ijtihadnya tidak benar.
Segolongan ulama mengatakan bahwa sumua mujtahid mencapai kebenaran. Pendapat ini tidak benar, sebab sesuatu soal dpat menjadi benar dan salah dalam satu waktu dan kebenaran jadi berbilang-bilang,tidak satu. Menurut abu hanifah, maliq dam syafi’i: “ tidak semua mujtahid mencapai kebenaran, tetapi yang bisa mencapai hanya satu”.
Nabi berkata : “ hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaan maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala”. ( Hadist riwayat bukhori dan muslim ).
Hadist tersebut menunjukkan, bahwa kebenaran hanya satu. Bagiyan mujtahid dapat mencapainya, maka ia dikatakan yang benar dan mendapat pahala. Sebagiyan lagi menyalahi kebenaran, maka ia dikatakan yang luput dan ia mendapat pahala. Mendapat pahala tidak berarti ia mnecapai kebenaran, sebagaimana keluputan tidak mengharuskan tidak adanya pahala. Pahala ini karena ijtihadnya bukan karena keluputanya.

·         Pembatalan Ijtihad
Apabia seseorang telah berijtihad untuk dirinya sendiri tentang hokum sesuatu peristiwa dan telah beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya, kemudian ia merubah ijtihadnya maka ia harus membatalkan apa yang diperbuat berdasar ijtihad yang pertama. Misalnya ebagai hasil ijtihadnya ia berpendapat, bahwa khulu’ adalah fasah dan tidak mengurangi bilangan, sedang ia telah menjatuhkan khulu’ tiga kali atas istirnya. Ia kemudian merubah ijtihadnya yan bependapat bahwa khulu’ itu talaq. Maka ia harus melepaskan istri tersebut.
Apabila yang berijtihad adalah hakim dan ia telah menghukum sesuai dengan hasil ijtihadnya, kemudian berubah lagi ijtihadnya maka ia tidak boleh membatalkan keputusan yang telah diberikannya. Kalau ijtihadnya bisa dirubah dengan ijtihad maka ijtihad yang kedua ini dapat dibatalkan dengan ijtihad ketiga, maka terjadinya kekacauan hokum. Demikian pula bagi orang lain yang berbeda ijtihadnya tidak boleh membatalkan keputusan tersebut selama keputusan ini tidak menyalahi nash. Kalau menyalahi nash, barulah dibatalkan keputusan tersebut.

6.      Kehujjahan Ijtihad
Seorang ulama’ telah sepakat tentang kehujjahan ijtihad bila ijtihad itu berkaitan dengan nash-nash syari’at dari segi ketetapannya atau dalalahnya, keumumannya atau kekhususannya atau berkaitan dengan juz’iyat (dalil-dalil yang terperinci) dari segi bisa atau tidaknya dimasukkan ke dalam nash.
Akan tetapi, jika ijtihad itu untuk mengetahui hokum syari’at suatu peristiwa yang belum ditetapkan oleh nash, hal itu diperselisihkan oleh sebagian golongan yaitu:
a.       Golongan Syi’ah, mu’tazilah dan Zhahiriyah menetapkan ketiadaan ijtihad menjadi hujjah.
b.      Golongan Jumhurul Muslimin membolehkannya baik menurut logika maupun syari’at. Dan pada waktu sangat diperlukan menjadi wajib.

B.     MUJTAHID
1.      Pengertian Mujtahid
Mujtahid secara bahasa adalah orang yang melakukan ijtihad, sedangkan secara istilah orang yang berkompeten malakukan ijtihad. ( al-mujtahid.com ).
Mujtahid adalah orang yang berijtihad atau dengan kata lain sebagai seseorang yang mencurahkan kemampuan dalam mengistinbadkan hokum syara’. ( kajad-alhikmahkajen.blogspot.com ).

2.      Syarat-syarat Mujtahid
Orang yang berijtihad harus memenuhi beberapa syarat:
·         Mengetahui nash Qur’an dan Hadist. Kalau tidak mengetahui salah satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad.
·         Mengetahui soal-soal ijma’, sehingga ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan ijma’.
·         Mengetahui bahasa arab sehingga dapat mengerti idem-idemnya. Mujtahid juga harus mengerti pembicaraan yang jelas, yang dzohir, yang mujmal, yang hakikat, yang majjas, yang ‘aam, yang khas, yang muhkam, yang mutasyabih, yang mutlak, yang muqoiyad, yang mantuq, dan yang mafhum. Yang diperlukan ialah dapat sekedar memahami Qur’an dan Hadist.
·         Mengetahui ilmu ushul fiqh dan harus kuat dalam ilmu tersebut, karena ilmu ushul fiqh menjadi dasar dan pokok ijtihad.
·         Mengetahui nasikh dan mansukh, sehingga ia tidak mengeluarkan okum berdasar dalil yang sudah dimansukh.

3.      Tingkatan Mujtahid
Dilihat dari luas atau sempitnya cangkupan bidang ilmu yang di ijtihadkan mujtahid itu dibagi menjadi 4 tingkatan.
·         Mujtahid fisy-syar’I yaitu oranr-orang yang bekemampuan berijtihadtan seluruh masalah syariat yang hasilnya di ikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad
·         Mujtahid fil-madzhab yaitu mujtahid yang ada ijtihadnya tidak sampai membentuk madzhab sendiri akan tetapi mereka mengikuti salah satu imam madzhab yang telah ada
·         Mujtahid fil-masa’il yaitu mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu madzhab bukan dari suatu pokok-pokok yang bersifat umum
·         Mujtahid muqayyad yaitu mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat ulamak salaf dengan mengetahui sumber-sumber hokum dan dalalah-dalalahnya. 

Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa ijtihad dilakukan olah mujtahid untuk mengeluarkan hokum berdasarkan kitabullah dan sunnah rosul. Karna mujtahid ini mengeluarkan hokum, maka ia disebut pula hakim. Tapi tidak semua orang dapat berijtihad begitu saja dan mengeluarkan fatwa. Untuk mencapai derajat mujtahid, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Namun dalam ijtihad terdapat perbedaan stratifikasi para mujtahid kedalam beberpa martabat.
Telah diketahui bersama bahwa hokum tertinngi dalam islam adalah Al Qur’an dan hadist. Namun seiring berjalanya waktu, permasalhan-permasalahan yang ditemui umat islampun kian berkembang. Ketika permasalahan-permasalahn tersebut tidak dapat lagi diselesaikan hanya melalui Al Qur’an dan Hadist secara jelas, timbul istilah ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA

Al-mujtahid.blogspot.com
Hanafie, A,1993.USUL FIQH.Jakarta:Widjaya
Kajad-alhikmahkajen.blogspot.com/…/pengertian-dan-syarat-syarat-mujtahid
Mukhtar, yahya. 1997. Dasar-dasar pembinaan hokum fiqih islam. Bandung: alma’arif

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.