Oleh:
Hermiya Arita Anggraeni
(11510044); Siti Nur Fadhilah (11510047);
Ika Muslikah (11510048); dan Nanda Wahid Nugroho (11510050)
- Pengertian ‘Urf
Secara
etimologi, ‘urf (١ﻠﻌﺭﻑ) berarti
“yang baik”. Para ulama ushul fiqh membedakan antara adat dengan ‘urf dalam
membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menentukan hukum syara’.
Adat didefinisikan dengan :
ا
لأَ مْرُ الْمُتَكَرّ رُ مِنْ غَيْرِ عَلَاقَةٍ عَقْلِيَّةٍ
Sesuatu
yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.
Definisi
ini juga menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara
berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga
menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut
permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan, dan
mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang menyangkut orang
banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang
buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab alami, seperti cepatnya seorang anak
menjadi baligh di daerah tropis atau cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis,
dan untuk daerah
dingin terjadi kelambatan seseorang menjadi baligh dan kelambatan tanaman
berbuah. Di samping itu, adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan
akhlak, seperti korupsi sebagaimana juga adat bisa muncul dari kasus-kasus
tertentu, seperti perubahahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya
asing.
Adapun
’urf menurut ulama ushul fiqh adalah :
عاَ دَةُ جُمْهُوْ رِ قَوْ مٍ فِيْ قَوْ لٍ أُوْ فِعْل
Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau
perbuatan.
Berdasarkan definisi ini, Mushtafa Ahmad al-Zarqa’ (guru
besar fiqh Islam di Universitas ’Amman, Jordania), mengatakan bahwa ’urf
merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ’urf. Suatu ’urf,
menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada
pribadi atau kelompok tertentu dan ’urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana
yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan
pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan
bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga pada suatu perkawinan bisa diambil
dari mas kawin yang diberikan suami dan penetapan ukuran tertentu dalam
penjualan makanan.
- Macam-macam’Urf
Para ulama ushul fiqh membagi ’urf kepada tiga macam :
1. Dari segi objeknya, ‘urf dibagi kepada :
a) Al-‘urf al-lafzhi (اﻠﻌﺭﻑ اﻠﻠﻔﻅﻲ)
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal
atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan
itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan
“daging” yang berarti daging sapi, padahal kata “daging” mencakup seluruh
daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual
daging itu memiliki berbagai macam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya
beli daging satu kilogram”, pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi,
karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging
pada daging sapi.
Apabila dalam memahami ungkapan itu diperlukan
indikator lain, maka tidak dinamakan ‘urf. Misalnya, seseorang datang dalam
keadaan marah dan di tangannya ada tongkat kecil, seraya berucap “jika saya bertemu dia saya akan bunuh dengan tongkat ini”. Dari
ucapannya ini dipahami bahwa yang dia maksud dengan membunuh tersebut adalah
memukulnya dengan tongkat. Ungkapan seperti ini, menurut ‘Abdul ‘Aziz al-Khayyath
(guru besar Fiqh di Universitas Amman, Yordania), tidak dinamakan ‘urf, tetapi
termasuk dalam majas (metafora).
b) Al-‘urf al-‘amali ( اﻠﻌﺭﻑ اﻠﻌﻤﻠﻲ )
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa”
adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait
dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari
tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus
atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian
tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah
kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu.
Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahan barang-barang yang dibeli itu diantarkan ke rumah pembeli oleh
penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es
dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan. Contoh lain
adalah kebiasaan masyarakat dalam berjual beli dengan cara mengambil barang dan
membayar utang, tanpa adanya akad secara jelas, seperti yang berlaku di
pasar-pasar swalayan.
2. Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua, yaitu :
a) Al-‘urf al-‘am ( ااﻠﻌﺭﻑ اﻠﻌﺎﻡ )
Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di
seluruh masyarakat dan seluruh daerah. Misalnya, memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah
memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang
telah membantu kita. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa
berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah dua puluh
kilogram.
b) Al-‘urf al-khash ( اﻠﻌﺭﻑ اﻠﺨﺎﺹ )
Adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat
tertentu. Misalnya, mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh
bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah
puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang
tertentu. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku di kalangan pengacara hukum
bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dia lakukan harus dibayar dulu sebagian
oleh kliennya. ‘Urf al-khash seperti ini, menurut Mushthafa Ahmad al-Zarqa’,
tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang sesuai dengan perubahan
situasi dan kondisi masyarakat.
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi menjadi dua,
yaitu :
a) Al-‘urf al-shahih ( اﻠﻌﺭﻑ اﻠﺼﺤﻴﺢ )
Adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadist), tidak
menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada
mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah
kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
b) Al-‘urf al-fasid ( اﻠﻌﺭﻑ اﻠﻔﺎﺴﺩ )
Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan
kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan
mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang
keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid
yang diajarkan agama Islam.
- Kehujjahan ‘Urf
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih,
yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, baik yang menyangkut ‘urf al-‘aim dan ‘urf al-khash, maupun yang berkaitan
dengan ‘urf al-lafzhi dan ‘urf al-‘amali, dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan hukum syara’.
Seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum, menurut
Imam al-Qarafi harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau
menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Seluruh ulama
mazhab, menurut Imam al-Syathibi, dan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah menerima dan
menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada
nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi.
Para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh
yang berkaitan dengan ‘urf, diantaranya adalah yang paling mendasar:
¨
العَا دَّ ةُ مَحَكَّمَةٌ Adat kebiasaan itu bisa menjadi
hukum.
¨
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَ حْكَامِ بِتَغَيُّرِ الْأ زْ مِنَةِ وَالْأ
مْكِنَةِ Tidak diingkari perubahan hukum
disebabkan perubahan zaman dan tempat.
¨
المَعْرُوْ فُ عُرْ فًا كَا لْمَشْرُ وْ طِ شَرْ طًا Yang
baik itu menjadi ’urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.
¨
الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَا لثَّا بِتِ بِا لنَّصّ Yang
ditetapkan melalui ’urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat dan atau
hadist).
- Syarat-syarat ’Urf
1) ’Urf itu (baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan
dan ucapan), berlaku secara umum. Artinya, ’urf itu berlaku dalam mayoritas
kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh
mayoritas masyarakat tersebut.
2) ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya
itu muncul. Artinya ‘urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu
ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitan dengan ini
terdapat kaidah ushuliyyah yang menyatakan:
لاَعِبْرَ ةَ لِلْعُرْ فِ الطَّا رِ ئِ
‘Urf yang
datang kemudian tidak dapat dijadikan sandaran hukum terhadap kasus yang telah
lama.
3) ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam
suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah
menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan,seperti dalam membeli
lemari es, disepakati oleh pembeli dan penjual, secara jelas, bahwa lemari es
itu dibawa sendiri oleh pembeli ke rumahnya. Sekalipun ‘urf menentukan bahwa
lemari es yang dibeli akan diantarkan pedagang kerumah pembeli, tetapi karena
dalam akad secara jelas mereka telah sepakat bahwa pembeli akan membawa barang
tersebut sendiri ke rumahnya, maka ‘urf itu tidak berlaku lagi.
4) ‘Urf itu tidak bertentangan dengan
nash, yaitu ‘urf yang selaras dengan nash. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun
bukan karena dia itu ‘urf, akan tetapi karena dalil tersebut. Misalnya, ‘urf di
masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf
semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Allah Azza wa Jalla berfirman
:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ
كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ
بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
Tempatkanlah mereka (para
istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka
(istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
- Pertentangan ‘Urf dengan Dalil Syara’
‘Urf yang berlaku ditengah-tengah masyarkat adakalanya
bertentangan dengan nash(ayat dan hadits) dan adakalanya bertentangan dengan
dalil syara’ lainnya.Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli
ushul fiqh merincinya sebagai berikut.
Ø Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus/rinci.
Apabila pertentangan ‘urf dengan nash khusus menyebabkan
tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka ‘urf tidak dapat diterima. Misalnya,
menceraikan wanita dan
mengawininya kembali tanpa sesuka hati oleh laki-laki. ‘Urf seperti ini
berlaku dikalangan bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Maka kemudian setelah
datangnya Islam, syari’at menetapkan iddah.
Ø Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum.
Apabila bertentangan
dengan nash yang bersifat umum, maka ada perbedaan pendapat didalamnya. Menurut
Mushtafa Ahmad az-Zarqa’, apabila ‘urf itu telah ada ketika datangnya
nash yang bersifat umum tersebut, maka perlu dibedakan antara ‘urf ‘amali
dan ‘urf lafzhi. ‘Urf lafzhi bisa diterima. Maka nash dengan
suatu redaksi harus difahami sesuai ‘urf lafzhi yang berlaku saat itu
kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa maksud dari redaksi nash itu
tidaklah seperti arti yang difahami dalam ‘urf, seperti kata walad yang
biasanya difahami dengan arti anak laki-laki, tapi kemudian dalam surah an-Nisa
ayat 11, disitu diberikan indikator lain bahwa walad disini adalah anak
laki-laki maupun perempuan.
Sedangkan dalam ‘urf amali terjadi
perbedaan pendapat didalamnya. Menurut mazhab Hanafiyah, apabila ‘urf
yang ada adalah ‘urf umum, maka itu bisa mengkhususkan nash yang umum
tersebut. Karena pengkhususan tersebut tidak membuat hukum yang dikandung nash
tersebut tidak dapat diamalkan. Misalnya Rasul yang membolehkan jual-beli salaam
:
نَهَى عَنْ بَيْعِ مَا لَيْسَ لِلْإِ نْسَا نِ وَ رَ خَّصَ فِيْ السَّلَمِ(رواه البخارى و أبو داود)
Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak
dimiliki oleh manusia dan beliau memberi keringanan dalam jual-beli pesanan (HR
al-Bukhori dan Abu Daud)
Akad seperti ini telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Madinah sebelum
Rasul datang kesana. Hadits Rasulullah ini ,menurut Abu Yusuf, bersifat umum
dan berlaku bentuk jual beli yang barangnya belum ada, kecuali dalam jual beli
pesanan. Termasuk dalam larangan ini adalah akad istisna’ (akad yang
berkaitan dengan produk suatu industri). Akan tetapi, karena akad istisna’ ini
telah menjadi ‘urf dalam masyarakat di berbagai daerah ,maka ijtihad para ahli
fiqh termasuk jumhur ulama membolehkannya sesuai dengan ‘urf yang berlaku. Akan
tetapi Imam al-Qarafi berpendapat ‘urf seperti ini tidak dapat dikhususkan
hukum umum yang dikandung nash tersebut.
Ø ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf
tersebut.
Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang
bersifat umum dan antar keduanya bersifat umum dan antara keduanya terjadi
pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ‘urf seperti
ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat ‘amali (praktik), sekalipun
‘urf itu bersifat umum tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum
syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’ telah menentukan
hukum secara umum.
Apabila ada ‘urf yang datang setelah nash umum dan ‘urf
itu bertentangan dengan nash tersebut, seakan-akan ‘urf itu me-nash-kan
(membatalkan) nash, sedangkan ‘urf tidak bisa me-nash-kan nash. Dalam masalah
ini para ulama fiqh mengatakan, ’urf yang datang kemudian dari nash tidak bisa
dijadikan patokan.
Akan tetapi, apabila ‘illat suatu nash syara’ adalah ‘urf
itu sendiri dalam arti turunannya nash didasarkan atas ‘urf al-‘amali sekalipun
‘urf itu baru tercipta maka ketika ‘illat nash itu hilang, hukumnya pun
berubah. Dengan demikian apabila ‘urf yang menjadi ‘illat hukum yang dikandung
nash itu berubah maka hukumnyapun berubah. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf. Misalnya,
dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika
diminta izinnya untuk dikawinkan oleh walinya adalah diamnya. Artinya, apabila
ayah anak perawan itu mengatakan “saya akan menikahkan engkau dengan fulan”, lalu
anak itu diam saja maka diamnya ini menunjukkan kerelaannya, karena sudah
menjadi tabiat wanita yang suka merasa malu untuk menyatakan kehendak mereka
secara terus terang. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman, para wanita
tidak malu lagi untuk menyatakan kehendaknya untuk kawin dengan seseorang kepada
ayahnya.
Menurut Musthofa Ahmad al-Zarqa,’urf para anak gadis saat
ini telah berubah dengan demikian, untuk menikahkan anak perawan, apabila
diminta izinnya ia diam saja, tidak dapat lagi diamnya itu diartikan sebagai
persetujuan. Sang ayah harus menunggu keterusterangan dari anak perawannya
ketika akan dinikahkan. Dalan hal ini ‘urf gadis remaja dalam masalah
persetujuan yang menyangkut perkawinan mereka telah berubah dari yang tercantum
dalam hadits diatas, maka hukumnyapun harus berubah. Perubahan ini disebabkan
berubahnya ‘urf. Akan tetapi Jumhur Ulama tidak sependapat dengan yusuf.
Apabila ada pertentangan antara ‘urf dengan hasil ijtihad
melalui metode qiyas, istihsan, dan
mashalah al mursalah, maka dalam kasus ini terdapat perbedaan pendapat. Ulama
Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa apabila terdapat pertentangan
antara ‘urf dengan qiyas maka yang diambil adalah ‘urf, karena mereka
menganggap ‘urf menempato posisi ijma’ ketika nash tidak ada. Penguatan ‘urf
dari qiyas bagi kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah melalui metode
istihsan.
Sedangkan mendahulukan ‘urf dari mashalah al mursalah, yang
tidak didukung oleh nash secara khusus, menurut ulama Malikiyyah juga sangat
dipengaruhi oleh ‘urf, karena kemaslahatan itu sendiri berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman dan tempat. Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, sebagaimana
yang dikemukakan Musthafa Ahmad al-zarqa secara prinsip juga lebih mendahulukan
‘urf dari qiyas dan mashahah al-mursalah, karena qiyas dan mashahah al-mursalah
bukanlah nash tetapi dalam penerapanya terjadi beberapa perbedaan dengan
pendapat ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah. Perbedaan pendapat ini dapat dilihat
dalam kasus menjual buah-buahan yang masih di pohonnya, seperti buah semangka, anggur,
dan terong. Sesuai dengan kaidah qiyas jual beli ini tidak diperbolehkan, karena
objek yang diperjualbelikan belum utuh. Akan tetapi jual beli seperti ini sudah
berlangsung dikalangan petani dan telah menjadi ‘urf dikalangan mereka. Oleh
karena itu, menurut ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah, jual beli seperti ini
diperbolehkan, karena jual beli seperti ini telah menjadi ‘urf di kalangan
masyarakat petani buah di zaman mereka. Akan tetapi ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah berpendapat jual beli ini tidak sah, sekalipun secara prinsip mereka
mendahulukan ‘urf dari qiyas apabila terdapat pertentangan antara keduanya.
Sedangkan dalam pertentangan ‘urf dengan istihsan karena
ulama Syafi’iyah dan Hanabilahtidak menerima kehujjahan istihsan maka dengan
sendirinya mereka lebih mendahulukan ‘urf dari istihsan. Misalnya dalam masalah
menjual buah-buahan di pohon sebelum seluruhnya matang. Menurut qiyas (kaidah
umum) jual beli seperti ini tidak sah karena buah yang dijual belum jelas
jumlahnya, belum matang semuanya dam belum dipetik. Akan tetapi, jual beli
seperti ini telah menjadi ‘urf ditengah-tengah masyarakat maka para ulama
mazhab sepakat mengatakan jual beli ini boleh.
- Kesimpulan
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mencolok
dalam memberikan definisi ‘urf.
Para ulama Ushul, menurut kajian kami, sepakat bahwa konsep ‘urf adalah
sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan sudah berlaku di kalangan
mereka. Meskipun mereka memberikan definisi yang berbeda, akan tetapi tampaknya
semuanya berpulang kepada ide yang sama.
Dalam masalah kehujjahan dan kekuatannya
sebagai dalil hukum, terdapat perbedaan pendapat diantaranya. Mereka yang
setuju dan menerima ‘urf sebagai dalil hukum mengajukan beberapa alasan
baik dari Alquran al-Karim maupun Sunnah. Sedangkan mereka yang menolak ‘urf
sebagai dalil hanya menolak keberdiriannya sendiri dari dalil syara’ lainnya.
Menurut mereka ‘urf ini hanya pengkhusus, pengikat bagi nash yang umum.
Sementara dalam kekuatannya, juga terdapat
perbedaan pendapat jikalau ‘urf bertentangan dengan dalil syara’
lainnya. Apabila ‘urf itu bertentangan dengan dalil nash yang rinci,
tampaknya para ulama sepakat bahwa ‘urf tidak bisa dijadikan sebagai
dalil. Akan tetapi dalam nash yang umum, ada yang berpendapat bahwa ‘urf
ini bisa mengkhususkan nash itu, meskipun ada juga yang menolak pendapat
tersebut. Sedangkan dalam pertentangan antara ‘urf dengan dalil syara’
yang lain yang bukan nash, juga terdapat perbedaan pendapat.
DAFTAR PUSTAKA
-
Haroen,
Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta : Jakarta Logos, 1996.
-
Abdullah,
Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta, Sinar
Grafika, 1995.
-
Khallaf,
Abdul Wahab, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996.
mantabb pakkk....klo gini kan enak mahamnya....
BalasHapusmantab pakk...klo gini kan enak mahamnya...
BalasHapus