Langsung ke konten utama

‘Urf ( ١ﻠﻌﺭﻑ )




Oleh:
Hermiya Arita Anggraeni (11510044); Siti Nur Fadhilah (11510047); Ika Muslikah (11510048); dan Nanda Wahid Nugroho (11510050)

  1. Pengertian ‘Urf
Secara etimologi, ‘urf  (١ﻠﻌﺭﻑ) berarti “yang baik”. Para ulama ushul fiqh membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menentukan hukum syara’. Adat didefinisikan dengan :
ا لأَ مْرُ الْمُتَكَرّ رُ مِنْ غَيْرِ عَلَاقَةٍ عَقْلِيَّةٍ       
Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.

Definisi ini juga menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab alami, seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis atau cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis, dan untuk daerah dingin terjadi kelambatan seseorang menjadi baligh dan kelambatan tanaman berbuah. Di samping itu, adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti korupsi sebagaimana juga adat bisa muncul dari kasus-kasus tertentu, seperti perubahahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya asing.
Adapun ’urf menurut ulama ushul fiqh adalah :                     
                                                                                   عاَ دَةُ جُمْهُوْ رِ قَوْ مٍ فِيْ قَوْ لٍ أُوْ فِعْل
Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.
Berdasarkan definisi ini, Mushtafa Ahmad al-Zarqa’ (guru besar fiqh Islam di Universitas ’Amman, Jordania), mengatakan bahwa ’urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ’urf. Suatu ’urf, menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ’urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga pada suatu perkawinan bisa diambil dari mas kawin yang diberikan suami dan penetapan ukuran tertentu dalam penjualan makanan.

  1. Macam-macam’Urf
Para ulama ushul fiqh membagi ’urf kepada tiga macam :
1.      Dari segi objeknya, ‘urf dibagi kepada :
a)       Al-‘urf al-lafzhi (اﻠﻌﺭﻑ اﻠﻠﻔﻅﻲ)
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi, padahal kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki berbagai macam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli daging satu kilogram”, pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
Apabila dalam memahami ungkapan itu diperlukan indikator lain, maka tidak dinamakan ‘urf. Misalnya, seseorang datang dalam keadaan marah dan di tangannya ada tongkat kecil, seraya berucap “jika saya bertemu dia saya akan bunuh dengan tongkat ini”. Dari ucapannya ini dipahami bahwa yang dia maksud dengan membunuh tersebut adalah memukulnya dengan tongkat. Ungkapan seperti ini, menurut ‘Abdul ‘Aziz al-Khayyath (guru besar Fiqh di Universitas Amman, Yordania), tidak dinamakan ‘urf, tetapi termasuk dalam majas (metafora).
b)       Al-‘urf al-‘amali ( اﻠﻌﺭﻑ اﻠﻌﻤﻠﻲ )
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahan barang-barang yang dibeli itu diantarkan ke rumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan masyarakat dalam berjual beli dengan cara mengambil barang dan membayar utang, tanpa adanya akad secara jelas, seperti yang berlaku di pasar-pasar swalayan.
2.      Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua, yaitu :
a)      Al-‘urf al-‘am ( ااﻠﻌﺭﻑ اﻠﻌﺎﻡ )
Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan seluruh daerah. Misalnya, memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah dua puluh kilogram.
b)       Al-‘urf al-khash ( اﻠﻌﺭﻑ اﻠﺨﺎﺹ )
Adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya, mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku di kalangan pengacara hukum bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dia lakukan harus dibayar dulu sebagian oleh kliennya. ‘Urf al-khash seperti ini, menurut Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi masyarakat.
3.      Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi menjadi dua, yaitu :
a)       Al-‘urf al-shahih ( اﻠﻌﺭﻑ اﻠﺼﺤﻴﺢ )
Adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadist), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
b)       Al-‘urf al-fasid ( اﻠﻌﺭﻑ اﻠﻔﺎﺴﺩ )
                        Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.

  1. Kehujjahan ‘Urf
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, baik yang menyangkut ‘urf al-‘aim dan ‘urf al-khash, maupun yang berkaitan dengan ‘urf al-lafzhi dan ‘urf al-‘amali, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’.
Seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam al-Qarafi harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Seluruh ulama mazhab, menurut Imam al-Syathibi, dan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah menerima dan menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi.
Para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘urf, diantaranya adalah yang paling mendasar:
¨     العَا دَّ ةُ مَحَكَّمَةٌ                                   Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.
¨     لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَ حْكَامِ بِتَغَيُّرِ الْأ زْ مِنَةِ وَالْأ مْكِنَةِ Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.
¨     المَعْرُوْ فُ عُرْ فًا كَا لْمَشْرُ وْ طِ شَرْ طًا             Yang baik itu menjadi ’urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.
¨     الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَا لثَّا بِتِ بِا لنَّصّ                     Yang ditetapkan melalui ’urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat dan atau hadist).

  1. Syarat-syarat ’Urf
1)      ’Urf itu (baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan), berlaku secara umum. Artinya, ’urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
2)      ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya ‘urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitan dengan ini terdapat kaidah ushuliyyah yang menyatakan:
لاَعِبْرَ ةَ لِلْعُرْ فِ الطَّا رِ ئِ        

‘Urf yang datang kemudian tidak dapat dijadikan sandaran hukum terhadap kasus yang telah lama.
3)      ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan,seperti dalam membeli lemari es, disepakati oleh pembeli dan penjual, secara jelas, bahwa lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli ke rumahnya. Sekalipun ‘urf menentukan bahwa lemari es yang dibeli akan diantarkan pedagang kerumah pembeli, tetapi karena dalam akad secara jelas mereka telah sepakat bahwa pembeli akan membawa barang tersebut sendiri ke rumahnya, maka ‘urf itu tidak berlaku lagi.
4)       ‘Urf itu tidak bertentangan dengan nash, yaitu ‘urf yang selaras dengan nash. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ‘urf, akan tetapi karena dalil tersebut. Misalnya, ‘urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Allah Azza wa Jalla berfirman :
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

  1. Pertentangan ‘Urf dengan Dalil Syara’
‘Urf yang berlaku ditengah-tengah masyarkat adakalanya bertentangan dengan nash(ayat dan hadits) dan adakalanya bertentangan dengan dalil syara’ lainnya.Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli ushul fiqh merincinya sebagai berikut.
Ø  Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus/rinci.
Apabila pertentangan ‘urf dengan nash khusus menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka ‘urf tidak dapat diterima. Misalnya, menceraikan wanita dan mengawininya kembali tanpa sesuka hati oleh laki-laki. ‘Urf seperti ini berlaku dikalangan bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Maka kemudian setelah datangnya Islam, syari’at menetapkan iddah.
Ø  Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum.
Apabila bertentangan dengan nash yang bersifat umum, maka ada perbedaan pendapat didalamnya. Menurut Mushtafa Ahmad az-Zarqa’, apabila ‘urf itu telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum tersebut, maka perlu dibedakan antara ‘urfamali dan ‘urf lafzhi. ‘Urf lafzhi bisa diterima. Maka nash dengan suatu redaksi harus difahami sesuai ‘urf lafzhi yang berlaku saat itu kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa maksud dari redaksi nash itu tidaklah seperti arti yang difahami dalam ‘urf, seperti kata walad yang biasanya difahami dengan arti anak laki-laki, tapi kemudian dalam surah an-Nisa ayat 11, disitu diberikan indikator lain bahwa walad disini adalah anak laki-laki maupun perempuan.
Sedangkan dalam ‘urf amali terjadi perbedaan pendapat didalamnya. Menurut mazhab Hanafiyah, apabila ‘urf yang ada adalah ‘urf umum, maka itu bisa mengkhususkan nash yang umum tersebut. Karena pengkhususan tersebut tidak membuat hukum yang dikandung nash tersebut tidak dapat diamalkan. Misalnya Rasul yang membolehkan jual-beli salaam :
نَهَى عَنْ بَيْعِ مَا لَيْسَ لِلْإِ نْسَا نِ وَ رَ خَّصَ فِيْ السَّلَمِ(رواه البخارى و أبو داود)
Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh manusia dan beliau memberi keringanan dalam jual-beli pesanan (HR al-Bukhori dan Abu Daud)
                        Akad seperti ini telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Madinah sebelum Rasul datang kesana. Hadits Rasulullah ini ,menurut Abu Yusuf, bersifat umum dan berlaku bentuk jual beli yang barangnya belum ada, kecuali dalam jual beli pesanan. Termasuk dalam larangan ini adalah akad istisna’ (akad yang berkaitan dengan produk suatu industri). Akan tetapi, karena akad istisna’ ini telah menjadi ‘urf dalam masyarakat di berbagai daerah ,maka ijtihad para ahli fiqh termasuk jumhur ulama membolehkannya sesuai dengan ‘urf yang berlaku. Akan tetapi Imam al-Qarafi berpendapat ‘urf seperti ini tidak dapat dikhususkan hukum umum yang dikandung nash tersebut.
Ø  ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf tersebut.
Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antar keduanya bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat ‘amali (praktik), sekalipun ‘urf itu bersifat umum tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’ telah menentukan hukum secara umum.
Apabila ada ‘urf yang datang setelah nash umum dan ‘urf itu bertentangan dengan nash tersebut, seakan-akan ‘urf itu me-nash-kan (membatalkan) nash, sedangkan ‘urf tidak bisa me-nash-kan nash. Dalam masalah ini para ulama fiqh mengatakan, ’urf yang datang kemudian dari nash tidak bisa dijadikan patokan.
Akan tetapi, apabila ‘illat suatu nash syara’ adalah ‘urf itu sendiri dalam arti turunannya nash didasarkan atas ‘urf al-‘amali sekalipun ‘urf itu baru tercipta maka ketika ‘illat nash itu hilang, hukumnya pun berubah. Dengan demikian apabila ‘urf yang menjadi ‘illat hukum yang dikandung nash itu berubah maka hukumnyapun berubah. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf. Misalnya, dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika diminta izinnya untuk dikawinkan oleh walinya adalah diamnya. Artinya, apabila ayah anak perawan itu mengatakan “saya akan menikahkan engkau dengan fulan”, lalu anak itu diam saja maka diamnya ini menunjukkan kerelaannya, karena sudah menjadi tabiat wanita yang suka merasa malu untuk menyatakan kehendak mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman, para wanita tidak malu lagi untuk menyatakan kehendaknya untuk kawin dengan seseorang kepada ayahnya.
Menurut Musthofa Ahmad al-Zarqa,’urf para anak gadis saat ini telah berubah dengan demikian, untuk menikahkan anak perawan, apabila diminta izinnya ia diam saja, tidak dapat lagi diamnya itu diartikan sebagai persetujuan. Sang ayah harus menunggu keterusterangan dari anak perawannya ketika akan dinikahkan. Dalan hal ini ‘urf gadis remaja dalam masalah persetujuan yang menyangkut perkawinan mereka telah berubah dari yang tercantum dalam hadits diatas, maka hukumnyapun harus berubah. Perubahan ini disebabkan berubahnya ‘urf. Akan tetapi Jumhur Ulama tidak sependapat dengan yusuf.
Apabila ada pertentangan antara ‘urf dengan hasil ijtihad melalui metode qiyas, istihsan, dan  mashalah al mursalah, maka dalam kasus ini terdapat perbedaan pendapat. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa apabila terdapat pertentangan antara ‘urf dengan qiyas maka yang diambil adalah ‘urf, karena mereka menganggap ‘urf menempato posisi ijma’ ketika nash tidak ada. Penguatan ‘urf dari qiyas bagi kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah melalui metode istihsan.
Sedangkan mendahulukan ‘urf dari mashalah al mursalah, yang tidak didukung oleh nash secara khusus, menurut ulama Malikiyyah juga sangat dipengaruhi oleh ‘urf, karena kemaslahatan itu sendiri berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, sebagaimana yang dikemukakan Musthafa Ahmad al-zarqa secara prinsip juga lebih mendahulukan ‘urf dari qiyas dan mashahah al-mursalah, karena qiyas dan mashahah al-mursalah bukanlah nash tetapi dalam penerapanya terjadi beberapa perbedaan dengan pendapat ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah. Perbedaan pendapat ini dapat dilihat dalam kasus menjual buah-buahan yang masih di pohonnya, seperti buah semangka, anggur, dan terong. Sesuai dengan kaidah qiyas jual beli ini tidak diperbolehkan, karena objek yang diperjualbelikan belum utuh. Akan tetapi jual beli seperti ini sudah berlangsung dikalangan petani dan telah menjadi ‘urf dikalangan mereka. Oleh karena itu, menurut ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah, jual beli seperti ini diperbolehkan, karena jual beli seperti ini telah menjadi ‘urf di kalangan masyarakat petani buah di zaman mereka. Akan tetapi ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat jual beli ini tidak sah, sekalipun secara prinsip mereka mendahulukan ‘urf dari qiyas apabila terdapat pertentangan antara keduanya.
Sedangkan dalam pertentangan ‘urf dengan istihsan karena ulama Syafi’iyah dan Hanabilahtidak menerima kehujjahan istihsan maka dengan sendirinya mereka lebih mendahulukan ‘urf dari istihsan. Misalnya dalam masalah menjual buah-buahan di pohon sebelum seluruhnya matang. Menurut qiyas (kaidah umum) jual beli seperti ini tidak sah karena buah yang dijual belum jelas jumlahnya, belum matang semuanya dam belum dipetik. Akan tetapi, jual beli seperti ini telah menjadi ‘urf ditengah-tengah masyarakat maka para ulama mazhab sepakat mengatakan jual beli ini boleh.

  1. Kesimpulan
            Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mencolok dalam memberikan definisi ‘urf. Para ulama Ushul, menurut kajian kami, sepakat bahwa konsep ‘urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan sudah berlaku di kalangan mereka. Meskipun mereka memberikan definisi yang berbeda, akan tetapi tampaknya semuanya berpulang kepada ide yang sama.
            Dalam masalah kehujjahan dan kekuatannya sebagai dalil hukum, terdapat perbedaan pendapat diantaranya. Mereka yang setuju dan menerima ‘urf sebagai dalil hukum mengajukan beberapa alasan baik dari Alquran al-Karim maupun Sunnah. Sedangkan mereka yang menolak ‘urf sebagai dalil hanya menolak keberdiriannya sendiri dari dalil syara’ lainnya. Menurut mereka ‘urf ini hanya pengkhusus, pengikat bagi nash yang umum.
            Sementara dalam kekuatannya, juga terdapat perbedaan pendapat jikalau ‘urf bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Apabila ‘urf itu bertentangan dengan dalil nash yang rinci, tampaknya para ulama sepakat bahwa ‘urf tidak bisa dijadikan sebagai dalil. Akan tetapi dalam nash yang umum, ada yang berpendapat bahwa ‘urf ini bisa mengkhususkan nash itu, meskipun ada juga yang menolak pendapat tersebut. Sedangkan dalam pertentangan antara ‘urf dengan dalil syara’ yang lain yang bukan nash, juga terdapat perbedaan pendapat.
           
DAFTAR PUSTAKA

-          Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta : Jakarta Logos, 1996.
-          Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta, Sinar Grafika, 1995.
-          Khallaf, Abdul Wahab, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.