Oleh: Korifah (11510052); Syarifatul
Mujazanah (11510053); Megar
Kisworo (11510056); dan Yuni
Astutik (11510057)
A. Pengertian Saadudz Dzari’ah
Secara bahasa
kata Sadd ((سدّ
berarti menutup atau penghalang hambatan dan sumbatan. adz-dzariah (الذّرِيْعَة)
berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan. Secara istilah,
adz-dzariah adalah:
ماَ تَكُوْنُ وَسِيْلَةً وَطَرِيْقاً
اِلىَ شَيْئٍ مَمْنُوْعٍ شَرْعاً
“Jalan yang
menjadi perantaraan dan jalan kepada sesuatu yang dilarang.
Maka dapat
dikatakan bahwa saddudz dzari’ah adalah metode penetapan hukum dengan
cara menutup jalan yang menjadi perantara kepada perbuatan yang dilarang atau
perbuatan yang bisa menimbulkan kerusakan (mafsadat). Bisa juga
diartikan melarang suatu perbuatan untuk menghindari perbuatan lain yang dilarang.
Contoh : pada dasarnya jual beli itu adalah halal, karena jual beli
merupakan suatu sarana tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Seorang membeli kendaraan seharga Rp. 30.000.000 secara kredit adalah sah
Karena pihak penjual member keringanan kepada pembeli untuk tidak segera
melunasinya. Akan tetapi, bila kendaraan itu yang dibeli dengan kredit sebesar
Rp. 30.000.000 dijual kembali kpada penjual (pemberi kredit) dengan harga tunai
sebesar Rp. 15.000.000, maka tujuan ini akan membawa kepada suatu kemafsadatan,
karena seakan-akan barang yang diperjual belikan tidak ada dan pedagang
kendaraan itu tinggal menunggu keuntungan saja. Maksudnya, pembeli pada saat
membeli kendaraan mendapatkan uang sebesar p. 15.000.000, tetapi ia tetap harus
melunasi hutangnya (kredit kendaraan itu) sebesar Rp. 30.000.000. jual beli
seperti ini dalam fiqh disebut dengan bay’u al-ajal.
B. Macam-macam dzari’ah
Saddudz dzari’ah dibagi menjadi dua,antara
lain :
1. Dari segi
kualitas kemafsadatannya.
Dari segi kualitas
kemafsadatannya, dzari’ah dibagi menjadi empat
a.
Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadat
secara pasti (qathi), misalnya seseorang menggali sumur di depan pintu rumah
orang lain pada malam hari dan pemilik rumh tidak mengetahuinya.
b.
Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan
karena jarang membawa kepada kemafsadat. misalnya
menanam pohon anggur. Walaupun buah anggur sering dibuat minuman keras, tetapi
hal ini termasuk jarang. Karena itu, dzari’ah ini tidak perlu dilarang.
c.
Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau
besar kemungkinan membawa kepada kemafsadat. misalnya menjual anggur
kepada perusahaan pembuat minuman keras. Dzari’ah ini harus dilarang.
d. Perbuatan itu
pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi
memungkinan juga perbuatan itu membawa kemafsadat, misalnya transaksi
jual beli secara kredit yang memungkinkan terjadinya riba. Terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama tentang dzar’ah yang keempat ini. ada yang berpendapat harus
dilarang dan ada yang berpendapat sebaliknya.
2. Dzari’ah
dilihat dari jenis kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dzari’ah jenis
ini dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Perbuatan yang membawa
kemafsadatan.
misalnya
meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu
kemafsadata.
b.
Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau
dianjurkan, namun digunakan untuk melakukan perbuatan yang haram baik disengaja
ataupun tidak. Yang disengaja misalnya nikah al-tahlil dan yang tidak sengaja
misalnya mencaci-maki ibu bapak orang lain yang mengakibatkan orang tuanya juga
dicaci-maki orang tersebut.
Ibnu Qayyim juga membagi dzari’ah jenis ini
menjadi dua yaitu
Ø yang
kemaslahatannya lebih besar dari kemafsadatannya
Ø yang
kemafsadatannya lebih besar dari kemaslahatannya
kedua bentuk Dzari’ah dilhat dari bentuknya dibagi menjadi
empat, yaitu:
a)
Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu
kemafsadatan misalnya meminum mminuman keras. Hal ini dilarang oleh syara’.
b)
Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi
dilakukan untuk suatu kemafsadatan, misalnya nikah tahlil. Hal ni dilarang oleh
syara’.
c)
Pekerjaan yang hukumnya boleh dan tidak
bertujuan untuk suatu kemafsadatan tetapi biasanya akan mengakibatkan mafsadat,
misalnya mencaci sesembahan orang lain. Hal ini dilarang oleh syara’
d)
Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi
kadang membawa mafsadat, misalnya melihat wanita yang dipinang. Tetapi menurut
Ibnu Qayyim, kemaslahatannya lebih besar maka dibolehkan sesuai kebutuhan.
C.
Kehujahan Sadd adz-dzari’ah.
Terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama terhadap keberadaan saddudz dzari’ah sebagai
dalil dalam menetapkan hukum syara’
1. Ulama yang
menerima sepenuhnya
Ulama malikiyah
dan hanabilah dapat menerima kehujjahan sadd adz-dzari’ah ini sebagai salah
satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:
a.
Firman Allah dalam surat An An’am, 6: 108
وَلَا تَسُّبُوْاالَّذِيْنَ
يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْااللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمِ (الانعم 108)
Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan….(QS: An An’am:108).
b.
Hadits Rasulullah saw
اَلاَوَاِنَّ حِمىَ اللهِ مَعَاصِيْهِ
فَمَنْ حاَمَ حَوْلَ الْحِمىَ يُوْشِكُ اَنْ يَقَعَ فِيْهِ
“Ingatlah,
tanaman Allah adalah ma’siat-ma’siat kepada-Nya. Siapa yang menggembalakan di
sekitar tanaman tersebut, ia akan terjerumus di dalamnya. (Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim)
Hadits ini
menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan
maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu
daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang
paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat
itu.
2.
Ulama yang menerima secara terbatas
Ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima sadd adz-dzari’ah sebagai
dalil jika kemafsadatan yang akan muncul itu dipastikan akan terjadi atau
paling tidak diduga keras akan terjadi jika sebuah dzari’ah dikerjakan.
3.
Ulama’ yang menolak
Ulama
dhohiriyah tidak menerima sadd adz-dzar’ah sebagai salah satu dalil dalalm
menetapkan hukum syara’. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
beramal berdasarkan nash secara harfiah dan tidak menerima logika dalam masalah
hukum.
DAFTAR PUSTAKA
·
Abdullah, Sulaiman, Dr. H. Sumber Hukum
Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 1995.
·
Ash-Shiddieqy, Hasby, Falsafah Hukum Islam,
Jakarta, Bulan Bintang, 1975.
·
Djamil, Fathurrahman, Dr. H. MA, Filsafat
Hukum Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997.
·
Haroen, Nasrun, Drs. H.M. A, Ushul Fiqh 1,
Jakarta, Logos, 1996.
·
Salam, Zarkasji Abdul, Drs. dan SW, Oman
Fathurrohman, Drs. Pengantar Ilmu Ushul Fiqh I, Yogyakarta, Lembaga
Studi Filsafat Islam (LESFI), 1994.
·
Hanafi, A., M. A., Usul Fiqh, Jakarta,
Wijaya, cetakan ke-12 1993.
Komentar
Posting Komentar