Oleh:
Sri Purwati (11510001); Siti Hakimah (11510023); Nofia Mualisa (11510033); dan Siti Zubaidah (11510097)
A.
Pegertian
Istishlah
Istislah menurut bahasa berarti : “Mencari kemaslahatan”. Secara umum
istishlah yaitu metode penetapan hukum syara yang tak ada nashnya yang subur
dan dengan istishlah dapat berjalan mengikuti dinamika perkembangan masalah dan
untuk kemashlahatan umat. Sedangkan istilah menurut ulama ushul adalah
menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak disebutkan dalam nash dan ijma,
berlandaskan dari pemeliharaan maslahat al mursalah yaitu maslahah yang tak ada
dalil syara yang menunjukkan diakuinya atau diolakanya.
Menurut
Yusuf Qordhowi astishlah yaitu istidlal (al-mashlahat al-mursalat ) mashlahat
yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus dari nash-nash syara’ agar
diperhitungkan atau tidak diperhitungkan. Tetapi dalil umum yang menunjukkan
bahwa syara’ memelihara mashlahat-mashlahat mahkluk dan ia dimaksudkan setiap
kali ada hukum yang ditetapkan sebagaimana dimaksudkanya penghapusan
kemudharatan dan kerusakan dari mereka baik bersifat materi maupun immateri
telah menjadi kenyataanatau diperkirakan menjadi kenyataan.
Jumhur Ulama sepakat menetapkan bahwa syara’ tidak mensyari’atkan
hokum dan tidak memberi jalan yang menyampaikan kepada penetapan hokum,
terkecuali untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Apabila syara’ menetapkan
hokum terhadap suatu peristiwa serta menunjukkan kepada kemaslahatan yang
dimaksudkan dan menerangkan pula ‘illah
yang menjadi dasar ditetapkannya
hokum tersebut., maka segala kejadian yang tak ada hukumnya berdasarkan nas ditetapkan
hukumnya dengan melihat kesamaan ‘illahnya, maka uyang demikian itu dinamakan
qiyas. Tetapi apabila terhadap peristiwa yang tidak ada nasnya itu, syara’
tidak menunjukkan secara nyata adanya illah itu, tetapi ada kemaslahatan yang
dianggap sesuai untuk ditetapkan hukumnya, maka hal serupa ini dinamakan
“Maslahah Mursalah”.
Para sahabat, sebagai orang-orang yang paling menguasai fiqh Islam
adalah orang terbanyak menggunakan dan berpijak pada maslahat. Maslahat ini
pulalah yang membuat Abu Bakar bertindak mengumpulkan mushaf-mushaf yang
berserakan tempatnya menjadi satu mushaf saja, dan pekerjaan itu tidak pernah
dilakukan oleh Rasul saw. Sendiri. Ini pulalah sebabnya, pada awalnya Abu Bakar
agak berhenti melakukannya. Langkah pengumpulan mushaf itu baru ia mulai
kembali setelah mendengar saran Umar yang memandang bahwa langkah itu akan
membaa kebaikan dan maslahat untuk Islam. Dan saran itu juga kiranya yang
menorong Abu Bakar meminta Umar menjadi khalifahnya sebelum wafat.
Al
mashlahat juga kiranya yang membuat Umar mengarahkan perhatianya mendirikan
lembaga Al – Kharaj, mendirikan dewan-dewan, melakukan penghijauan kota-kota ,
mendirikan tahanan, melakukan sanksi jasmani dalam berbagai macamnya. Sedangkan
Ali menyatukan umat islam pada satu mashaf dengan cara mnyebarluaskan alquran
di segenap penjuru wilayah islam serta membakar mushaf yang tidak sma denganya.
Ali juga memutuskan tetap hak waris terhadap eanita yang dicerai suaminya dalam
keadaan sakit keras karena menghindari jatuhnya harta warisan ke tangan istri.
Di
antara contoh tersebut, banyak sekali hukum yang diistinbathkan sahabat tenang
peristiwa hukum yang mereka hadapi tetapi tidak mereka temui ketentuan hukumnya
dalam nash ataupun persamaannya sebelum itu. Istinbath yang mereka lakukan
didasarkan pada mashlahat mutlak / mursalah, seperti : menghimpun Al-Qur’an ke
dalam satu mushaf, membentuk birokrasi-birokrasi, mencetak mata uang, membangun
penjara, pengaturan kharaj/ pajak bumi oleh Umar, azan dua kali pada shalat
jum’at karena jumlah kaum muslimin bertambah banyak. Contoh lain ialah di dalam
perundang-undangan kita yang modern : persyaratan saksi dalam hal waqaf,
persyaratan umur tertentu dalam pelaksanaan akad nikah, ditolaknya tuntutan
tanpa bukti resmii dalam beberapa peristiwa hukum yang dijelaskan
undang-undang.
B.
Syarat-syarat Mashlahah yang Dapat Dipegang.
Untuk
menghindari bercampurnya mashlahat dengan mafsadah dan hawa nafsu maka ulama berhujjah dengan
mashlahah mursalah menetapkan beberapa persyaratan yaitu:
1.
Bahwa
ia benar-benar mashlahat, bukan perkiraan saja. Menurut pendapat ahlihil wal
a’qod dan mereka yang spesialis bahwa penetapan hukum yang didasarkan pada
maslahat tersebut menarik kemashlahatan bagi semua rakyat dan menolak mafsadah
dari mereka.
2.
Maka
tidak diakui mashlaht yang bersifat perkiraan oleh sebagian orang memandang
perlu dimasukkan dalam ketentuan undang-undang. Larangan menjatuhkan talak bagi
suami dan pemberian kewenangan menjatuhkan talak kepada hakim sendiri dalam
semua situasi dan kondisi.
3.
Bahwa
Ia merupakan masahlahat ‘am bukan mashlahat perorangan atau kelompok orang.
4.
Jika
mashlahat itu hanya mencakup penguasa, pembesar atau perorangan dan mengalihkan
pandangan dari kepentingan orang banyak, maka tidak sah menjadikanya dasar
hukum, karena pabila mashlahat itu bersifat umum, maka itulah yang dimaksudkan
syar’I sekalipun menimbulkan bahaya
terhadaporang seorang atao beberapa orang saja.
5.
Bahwa
ia sesuai (munasip) dengan tujuan syara (termasuk dalam jenis mahlahat yang
disebutkan syara).
6.
Bahwa
ia bukan mashlahat mulghah, seperti fatwa mufti kepada raja yang membatalkan
puasa ramadhan dengan sengaja, bahwa kafaratnya hanya berpuasa dua bulan
berturut-turut. Kebanyakan ulama berpendapa bahwa fatwa tersebut
didasarkan atas mashlahat mulgah, karena
nash tentang itu tanpa membedakan raja dan rakyat biasa, harus menuruti tertip
yang ditetapkan Allah.
Syarat-syarat
maslahat menurut al-Ghazali di dalam al-Mustashfa:
1.
Maslahatnya
bersifat dharuriy, artinya ia termasuk lima dharuriyah yang dikenal. Kalau maslahat
ini masih dalam tingkatan keperluan biasa atau pelengkap dan penyempurna saja,
maka ia tidak diperhitungkan.
2.
Kemaslahatannya
bersifat Kully, artinya ia menyangkut seluruh kaum muslimin, lain halnya
berlaku untuk sebagian manusia atau keadaan tertentu saja.
3.
Maslahat
ini harus bersifat qot’I atau mendekati qot’i.
Syarat maslahat
menurut Imam al-Syathibiy :
1.
Ia
harus ma’qul dapat diterima akal esensinya, dengan pengertian apabila ia dibawa
kepada pertimbangan akal ia langsung diterima akal, ia tidak mempunyai tempat
dalam masalah-masalah yang bersifat ta’abbudy, sebab masalah ta’abbudy pada
prinsipnya harus diterima apa adanya.
2.
Ia
harus cocok dengan tujuan-tujuan / maqshid syara’ dalam arti global, dengan
pengertian tidak bertentangan dengan salah satu dari dasar-dasar hukumnya, an
tidak pula bertenangan dengan salah satu dari dalil-dalilnya yang qoth’iy,
sebaliknya ia harus sejalan dengan maslahat-maslahat yang dimaksudkan oleh
syara’ mewujudkannya seperti termasuknya maslahat tersebut kedalam jenis
maslahat yang dikehendaki syara’ atau dekat dengannya, kemudian ia bukan
merupakan maslahat yang asing kalaupun ia ada dalil khusus yang mendukung
perhitungannya.
3.
Ia
harus merujuk kepada pemeliharaan hal yang dharuriy atau menghapuskan
kesempitan yang mesti menurut agama.
C.
Lapangan
Istislah dan Kehujjahannya
Ulama Ushul Fiqh menetapkan : Istislah tidak berlaku dalam bidang
ibadah, karena hokum-hkum ibadah adalah ta’abudy. Adapun bidang selain ibadah
dan selain ketentuan-ketentuan yang qat’I yang ditetapkan dalam bidang
mu’amalat, demikian pula dalam bidang ta’zir, pembktian perkara dan lain-lain,
para ulama berbeda pendapat dalam mempergunakan Istislah ini, diantaranya :
1.
Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa Istislah adalah suatu jalan
menetapkan hokum yang tak ada nash dan tak ada pula ijma’ terhadapnya. Menurut
mereka Maslahah Mursalah / Istislah yang tidak ditunjuki oleh syara’ dan tidak
pula dibatalkannya dapat dijadkan dasar istinbat.
2.
Imam syafi’i dan pengikutnya berpendapat bahwa tidak boleh
beristinbath hukum dengan istishlah. Dia adalah sama dengan istihsan, yaitu
mengikuti hawa nafsu
3.
Mazhab Hanafiyah tidak berpegang pada istishlah dan mereka tidak
mengakuinya sebagai dalil syara’. Keterangan ini perlu dikoreksi dalam beberapa
aspek. Fuqaha Irak merupakan pelopor dari pendapat yang mengatakan bahwa hukum
syara’ itu bertujuan mashlahat dan dibina atas dasar illat yang menjadi sarana
diduga kuatnya bagi mashalahat. Mereka berpegang pada rasio nash dan jiwanya
dan banyak sekali mereka menakwilkan zohir nash dengan landasan rasio dan
mashlahat yang menjadi tujuan syara’. Maka jauh sekalilah bahwa golongan
Hanafiyah yang merupakan pimpinan Fuqaha Irak itu tidak berpegang pada
istishlah. Merekapun berpegang pada istihsan. Sedangkan istihsan tersebut
mereka sandarkan/ landaskan pada ‘urf, darurat dan mashlahat. Maka jauhlah jika
dikatakan mereka tidak berpegang pada istishlah.
4.
Ath-Thufy menetapkan bahwa istislah adalah dalil syar’i dalam
bidang mu’amalat. Istislah bukan saja menjadi dali bagi yang tak ada nash,
bahkan juga pada yang ada nasnya sendiri, jika kemaslahatan menghendakinya.
Sedangkan Nasrun (1996: 120) kehujjahan maslahah al mursalah pada
prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan
hokum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka
berbeda pendapat.
Ulama
Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil
disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hokum. Artinya, ada ayat, hadist
atau ijma’ yang enunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu
merupakan ‘illat (motivasi hokum) dalam menetapkan suat hokum, atau jenis sifat
yang menjadi motivasi hokum tersebut dip0ergunakan oleh nash sebagai motivasi
suat hokum.
Misal,
sifat yang berpengaruh pada hukum tersebut adalah, Rasulullah pernah ditanya
oleh orang tentang status sisa makanan kucing, apakah termasuk najis atau tidak.
Dalam
hadis yang artinya:
“Bahwa
Rasulullah saw. Bersabda tentang kucing, bahwa kucing itu bukan najis, karena
sesungguhnya kucing itu termasuk binatang rumah yang senantiasa mengellingi
kamu, tidak (menjadi najis) bagi kamu.
Keberadaan kucing yang senantiasa berada di rumah meruakan sifat
yang membuat mereka bersih atau suci. Sifat yang menjadi motivasi hokum dalam
hadis ini jelas, yaitu Thawwaf (hewan yang senantiasa berada di rumah, tidur di
rumah dan sulit memisahkannya). Berdasarkan sifat ini maka hokum sisa makanan
kucing itu tidak najis (suci). Oleh sebab itu, thawwaf merupakan motivasi dari
hokum thaharah (suci) untuk menghindari kesulitan dari orang-orang yang
memelihara kucing di rumahnya.
D.
Alasan
Para Ulama yang Menerima dan Menolak Istislah sebagai Dalil Syara’
Di antara ahli hukum Islam, ada yang tidak dapat menerima
al-istishlah sebagai dalil yang berdiri sendiri dalam berdalil, dijadikan
sebagai landasan fatwa, memutuskan perkara dan menetapkan hukum, seperni nash,
ijma, dan qiyas. Umpamanya Imam Al-Ghazali yang memandang al-istishlah
sebagian-bagian dari beberapa dasar hukum yang kurang diyakini. Namun demikian,
ia menyebutkan beberapa masalah dan kasus atau dalam sebagian besar yang ia
sendiri cenderung mengatakannya sebagai maslahat. Ini artinya, bagian
masalah-masalah dan kasus-kasus tersebut harus diqiyaskan kepada dali-dalil
pokok yang sahih agar istishlah ini dapat berdiri sendiri.
1.
Ulama yang menerima Istislah sebagai dali syara’
Jumhur Ulama
menanggap Maslahah Mursalah sebagai hujjah syar’iyah, sekalipun dengan nama
yang berbeda-beda. Adapun alasan para ulama yang menerima Istislah atau
Maslahah Mursalah senagai dalil syar’I :
a.
Kemaslahan yang diharapkan manusia itu tumbuh dan bertambah.
Sekiranya hokum tidak menampung untuk menetapkan kemaslahatan manusia yang
dapat diterima, berarti kurang sempurna syari’at itu, atau bekulah syari’at
Islamitu. Padahal nyatanya tidak demikian.
b.
Kalau diamati benar-benar, para sahabat dan tab’in serta imam-imam
mujtahid, mereka telah menetapkan hum-hukum dengan berdasarkan pada
kemaslahatan. Abu Bakar Siddiq memerintahkan untuk menyusun Mushaf yang tadinya
belum terkumpul. Demikan pula tindakannya memerangi orag yang ingkar dan enggan
membayar zakat.
c.
Kemashlahatan yang menjadi landasan hokum syar’i itu adalah
kemashlahatan yang rasional bahwa yang dilarang itu adalah buruk dan yang
diperntahkan adalah baik, dapat diterima akal. Allah swt. Mewajibkan kepada
kita melakukan sesuatu yan menurut akal bermanfaat dan melarang kita melakukan
sesuatu yang menurut akal berbahaya. Oleh karena itu apabila terjadi suatu
pweristiwa hokum yang tak ada ketentuan dari syar’I lalu mujtahid membina hokum
terhadap peristiwa tersebut menurut pendapatnya bermanfaat, maka ketentuan
hokum itu menuruti asas yang sah dan diakui oleh syar’i. oleh karena itu pintu
istishlah hanya ternbuka dalam menetukan hokum mu’amalah dan yang rasional
maksud hukumnya.
d.
Sahabat Nabi saw. Ketika menemui beberapa peristiwa hokum baru
seteah Nabi aw. Wafat, mereka menetapkan huumnya menurut pendapat mereka
ketentan hokum itulah yang akan mewujudkan kemashlahatan. Mereka tidak berhenti
dari menetapkan hokum, karena kemaslahatan tersebut sudah terpancang dalil
pengakuannya dari Syar’i.
2.
Ulama yang menolak Istislah sebagai dalil syara’
Ulama yang
menolak Istislah sebagai dalil syar’I, antara lain imam syafi’i. Beliau menolak
Istislah, karena disamakan dengan Istihsan. Di antaranya adalah:
a.
Syari’at Islam mempunyai tujuan menjaga tujuan kemslahatan manusia.
Sedangkan syara’ tidak membiarkan manusia dalam keadaan terantar tanpa
petunjuk. Petnjuk itu harus berdasarkan pada ibarat nas,bukanlah kemaslahatan
yang hakiki.
b.
Kalau menetpkan hokum berdasarkan pada kemaslahatan semata yakni yang
terlepas dari syara’. Sudah barang tentu akan dipengaruhi oleh hawa nafsu,
sedang hawa nafsu tidak akan dapat melihat kemaslahatan yang hakiki. Hal ini
merupkan kaidah-kaiah atau ketentuan-ketentuan yang tidak dapat dipercaya.
E. Perbedaan Mashlahah Mursalah dan Istishan
Perbedaan antara
keduanya yaitu:
1.
Ishtisan
ialah peristiwa yang menpunyai dua dalil, dalil yang satu umum dan dhohir yang
menuntut ketentuan hukum tertentu. Sedang dalil yang lain adalah khusus atau
khofi yang menuntut ketentuan hukum lain. Dalam kasus tadi tidak boleh
menetapkan hukum terhadap peristiwa tadi dengan ketentuan hukum pertama tetapi
ditetapkan hukumnya menurut ketentuan hukum kedua sebagai pengecualian.
2.
Sedang
mashlahat mursalah adalah hanya terdapat satu dalil, yaitu mashlahat tentang
peristiwa tersebut dalil dimana merupakan penetapan hukum sejak semua tanpa
dalil yang menentangnya.
F. PENUTUP
Jadi dapat
diakui bahwa kehujjahan maslahat itu sendiri tidak menolak kesempurnaan
syari’at. Tetapi dialah sesungguhnya
merealisasikan kesempurnaan tersebut, dan merealisasikan kemaslahatan semua
manusia yang berbeda latar belakang budaya dan masanya. Berpegang pada maslahat
dalam membina hukukm sebenarnya berpegang pada asas yang kokoh dan akurat,
karena terpampang dalil-dalil qot’i yang menunjukkan bahwa ia merupakan asas
dari hukum-hukum yang dibawa nash. Jadi berarti berpegang kepada dasar syari’at
sedangkan hukum-hukum yang dibina atas dasar maslahat merupakan bagian dari
hukum syari’at yang dietapkan Allah kesempurnaannya. Kehawatiran dipergunakan
oleh pengikut hawa nafsu dan hakim-hakim yang mementingkan diri tidak boleh
dijadikan alasan untuk menghambatkan kepentingan manusia karena dengan
meninggalkan maslahat itu saja tidaklah cukup unuk menghambat kejahatan mereka
terhadap syari’at dan manusia serta tidak cukup untuk menghalangi bahaya dari
mereka, kecuali dengn menjauhkan mereka dari kekuasaan mengurusi manusia dan
menegakkan syari’at. Karena seseorang yang sudah dikalahkan nafsu dan rusak
jiwanya, selalu akan membahayakan syari’at dan hukum-hukumnya apakah ia
menetapkan hukum berlandaskan nash atau maslahat.
DAFTAR PUSTAKA
Qardawy, Yusuf. 1985. Keluasan
dan Keluwesan Hukum Islam. Semarang: Toha Putera.
Abdulah, Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh I. Jakarta : Logos Publishing House
Salam,
Abdul Zarkasi, dkk. 1994. Pengantar Ilmu
Fiqh- Ushul Fiqh I. Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam
Komentar
Posting Komentar