Langsung ke konten utama

JUAL BELI VIA INTERNET





Di susun oleh : Evi Triyani (111-11-060), Siti Fatimah (111-11-115), Edi Cahyono (111-11-118).
A.    Pengertian Jual Beli
Sebelum kita membahas mengenai jual beli via internet, tidak ada salahnya kita mengerti makna serta rukun dan syarat dari jual beli tersebut terlebih dahulu. Menurut bahasa jual beli berarti al-bai’, al-tijarah yang artinya menukar, mengganti sesuatu dengan sesuatu. Sedangkan secara syara’ jual beli berarti tukar-menukar harta secara suka sama suka.

Kemajuan teknologi komunikasi saat ini turut mempengaruhi pola transaksi jual beli di masyarakat. Di masa lalu transaksi jual beli terjadi bila ada pertemuan antara pembeli dan penjual. Namun di masa kini, transaksi jual beli juga dapat dilakukan melalui telepon, media elektronik maupun internet.
Oleh karena itu, pada masa modern jual beli via internet telah beredar luas, seperti bisnis online yang dilakukan di internet secara online. Mungkin karena masyarakat beranggapan melakukan transaksi di internet, atau elektronik lain lebih praktis dan menghemat tenaga daripada harus berkeliling di pasar tetapi tidak puas terhadap apa yang dibeli. Sedang melalui internet pembeli bebas memilih sesuai gambar yang telah terpampang di media online dan bisa juga menawar tanpa mengeluarkan banyak tenaga karena tidak banyak bicara saat melakukan penawaran seperti di pasar.

B.     Rukun dan syarat jual beli
Rukun jual beli meliputi:
a)      Penjual (akil, baligh, atas kehendak sendiri)
b)      Pembeli (akil, baligh, atas kehendak sendiri)
c)      Benda/barang yang dijualbelikan (ada manfaat, merupakan kepunyaan sendiri, diketahui penjual dan pembelinya)
d)     Ijab qabul.
Sedang menurut Prof. H. A hmad Zahra, M.A.
Ada beberapa ketentuan pokok (rukun dan syarat) jual beli, yaitu:
1.      Menurut madzhab Hanafi : rukun jual beli itu hanya satu yaitu akad saling rela antara mereka (‘an taraadlin) yang terwujud dalam ijab (ungkapan membeli dan pembeli) dan qobul (ungkapan menjual dari penjual). Selain akad madzhab hanafi menyebut sebagai syarat.
2.      Sedang menurut Jumhur Fuqaha (mayoritas ulama fiqh), rukun jual jual beli itu adalah : a. Penjual dan pembeli. b. Ijab dan qobul. c. Ada barang yang dibeli. d. Ada nilai tukar dan tambah.
Adapun syarat jual beli yang terpokok adalah : orang yang berakad adalah yang berakal sehat, memiliki barang yang diperjual belikan dan ada manfaatnya, barang yanng diperjual belikan ada pemiliknya, dalam transaksi jual beli tidak terjadi manipulasi atau penipuan.
Permasalahan pokok yaitu jual beli melalui online (internet) yang sebenarnya juga termasuk juak beli via televon, sms dan alat telekomunikasi lainnya, maka yang terpenting adalah : ada barang yanng diperjual belikan, halal dan jelas pemiliknya, sebagaimana hadist Nabi (yang maknanya) : “ tidak sah jual beli kecuali sesuatu yang dimiliki seseorang” (HR. At-Turmudziy dan Abu Dawud).[1]
C.     Hukum Jual Beli
Hukum jual beli ada empat :
1.      Mubah (boleh) merupakan hukum asal jual beli.
2.      Wajib, apabila menjual merupakan keharusan, misalnya menjual barang untuk membayar hutang.
3.      Sunnah, misalnya menjuak barang kepada sahabat atau orang yang sangat memerlukan barang yang dijual.
4.      Haram, misalnya menjual barang yang dilarang untuk diperjual belikan, yaitu menjual barang untuk maksiat, jual beli untuk menyakiti seseorang, jual beli untuk merusak harga pasar, dan jual beli dengan tujuan merusak ketentraman masyarakat. [2]
Sedang hukum akad jual beli melalui alat elektronik sah apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat memenuhi mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya dan pelaksanaan akad jual-beli meskipun di majlis terpisah tetap sah.

D.    Jual beli via internet
Pada transaksi jual beli secara elektronik, sama halnya dengan transaksi jual beli biasa yang dilakukan didunia nyata, dilakukan oleh pihak yang terkait, walaupun dalam jual beli secara elektronik ini para pihak tidak bertemu secara langsung, tetapi tetap berhubungan lewat internet. Sedangkan dalam ijab qabul boleh dilakukan melalui SMS untuk mendapatkan kesepakatan diantara keduanya.
Dalam transaksi jual beli via internet ini, pihak-pihak yang terkait antara lain:
1)      Penjual atau pengusaha yang menawarkan suatu produk melalui internet sebagai  pelaku usaha.
2)      Pembeli atau konsumen.
3)      Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli kepada penjual, karena dalam jual beli internet ini penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung.
4)      Provider sebagai penyedia jasa akses internet.
Pada dasarnya masing-masing pihak dalam jual beli memiliki hak dan kewajiban. Bagi penjual wajib memberikan informasi secara benar dan jujur atas produk yang ditawarkannya kepada pembeli.  Disamping itu penjual harus menawarkan produk-produk yang diperkenankan oleh undang-undang, tidak rusak atuapun mengandung cacat. Dengan demikian transaksi dalam jual beli internet ini tidak merugikan para pembelinya. Disisi lain penjual memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran dari pembeli/konsumen atas harga barang yang telah dijualnya.
Sedangkan bagi pembeli/konsumen wajib untuk membayar harga barang yang telah dibelinya dari penjual sesuai jenis barang dan harga yang telah disepakati diantara mereka. Selain itu pembeli juga wajib mengisi data identitas diri yang sebenar-benarnya dalam formulir penerimaan. Dan disisi lain pembeli berhak mendapatkan informasi secara lengkap atas barang yang akan dibelinya dari penjual, sehingga pembeli tidak merasa dirugikan atas produk yang dibelinya, pembeli juga berhak mendapatkan perlindungan hukum.
Bank sebagai perantara dalam transaksi jual beli secara elektronik ini berfungsi sebagai penyalur dana atas pembayaran suatu produk dari pembeli kepada penjual produk tersebut.
Provider merupakan pihak lain dalam transaksi jual beli secara elektronik, dalam hal ini provider memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan akses 24 jam kepada calon pembeli untuk dapat melakukan transaksi jual beli secara elektronik melalui internet kepada penjual.
Transaksi jual beli secara elektronik ini merupakan hubungan hukum yang dilakukan dengan memadukan jaringan (network) dari sistem informasi yang berbasis komputer dengan sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa telekomunikasi.
Pelaksanaan jual beli secara elektronik ini dilakukan dalam beberapa tahap, diantaranya:
a)      Penawaran yang dilakukan oleh penjual melalui website pada internet. Penawaran dalam website biasanya menampilkan barang-barang yang ditawarkan, harga, nilai rating tentang barang yang diisi oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi barang termaksud dan menu produk lain berhubungan. Penawaran lewat internet bisa terjadi apabila pihak lain yang menggunakan media internet memasuki situs milik penjual  yang melakukan penawaran.
b)      Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila penawaran dilakukan melalui email address, maka penerimaan dilakukan melalui email, karena penawaran hanya ditujukan pada sebuah email yang dituju. Penawaran melalui website ditujukan kepada masyarakat yang membuka website tersebut. Pada transaksi jual beli yang dilakukan secara elektronik, khususnya melalui website, biasanya calon pembeli akan memilih barang-barang tertentu yang ditawarkan.
c)      Pembayaran, dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, sebagai misal melalui fasilitas internet, tetapi tetap bertumpun pada sistem keuangan nasional, yang mengacu pada sistem keuangan lokal.
d)     Pegiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas barang yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dan dalam hal ini pembeli wajib atas penerimaan barang yang dibelinya.
Berdasarkan proses transaksi jual beli secara elektronik yang diuraikan diatas, menggambarkan bahwa jual beli tidak hanya dilakukan secara langsung, namun bisa juga melalui internet, sehingga orang yang saling berjauhan atau berada dalam tempat yang berbeda tetap dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus bersusah payah untuk saling bertemu secara langsung. Sehingga meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu serta biaya yang baik bagi pihak penjual maupun pembeli. Sehingga dalam zaman yang sekarang ini, masyarakat banyak membutuhkan layanan instan serta tidak merepotkan, oleh sebab itu para ulama’ islam memperbolehkannya. [3]




[1] http://myfiqhkontemporer.blogspot.com/2012/07/gimana-hukum-jual-beli-online.html
[2]http://basicartikel.blogspot.com/2013/04/pengertian-jual-beli-dan-ruang.html

[3] http://stitattaqwa.blogspot.com/2012/03/jual-beli-via-internet.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.