Oleh: Ifa Kumalasanti 11510008; Ngaunu Rofik 11510035; Umi Harlita 11510036;
dan Riza Amirudin 11510037
A. Pengertian
Istislah menurut bahasa
berarti “Mencari kemaslahatan”. Sedangkan menurut ahli Usul fiqh adalah
menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nasnya atau tidak ada ijma’
terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’
tidak dijelaskan ataupun dilarang). . Pengertian yang lain menyatakan Istishlah
adalah logika yang baik tentu baik untuk dipergunakan. Jadi apabila dikatakan
bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu
suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan
menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.
Imam Al-Ghazali
menjelaskan bahwa menurut asalnya masalah itu berarti sesuatu yang mendatangkan
keuntungan (manfaat) dan menjauhkan madharat (kesusahan).
ﺃﻠﻣﺣﺎﻓﻆﺔ ﻋﻟﻰ ﻣﻗﺻﻮ ﺍﻟﺷﺮﻉ
“Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan
hukum)”.
Imam al-Ghazali
memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’,
sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan
manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering
didasarkan kepada kehendak hawa nafsu. Misalnya, di zaman jahiliyah wanita
tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka sesuai dengan
adat-istiadat mereka, tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak
syara’, karenanya tidak dinamakan mashlahah.
Tujuan syara’ yang
harus dipelihara lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu : terpeliharanya
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan perbuatan
yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ diatas maka
dinamakan mashlahah. Al-Khawarizmi menyatakan :
ﺍﻟﻣﺣﺎﻓﻆﺔ ﻋﻟﻰ ﻣﻗﺻﻮﺩ ﺍﻟﺷﺭﻉ ﺑﺩ ﻓﻊ ﺍﻟﻓﺎﺳﺩ ﻋﻥ ﺍﻟﺧﻟﻕ
“memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum )
dengan cara menghindarkan kesusahan dari manusia
Dari uraian diatas
dapat kita mengerti bahwa tujuan dari hukum Islam adalah untuk mencapai
kemaslahatan umat manusia dunia maupun akhirat. Kemaslahatan ini merupakan lima
tujuan syara’ yaitu : terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Disampig itu, juga segala upaya untuk mencegah segala bentuk kemudharatan yang
berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut juga dinamakan mashlahah.
B. Kehujjahan Istishlah.
Ulama Hanafiyah
mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah al-mursalahsebagai
dalil disyaratkan mashlahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya,
ada ayat, hadist, atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai
kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam
penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut
dipergunakan oleh nash sebagai motivasi sebagai hukum. Misal,
sifat yang berpengaruh pada hukum tersebut adalah, Rasullah pernah ditanya
tentang status sisa makanan kucing, apakah termasuk najis atau tidak. Dalam
sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Malik dari Abi Qatadah dinyatakan :
ﺇﻦ ﺭﺳﻭﻝ ﺍﷲ ﺼﻟﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻳﻪ ﻭﺳﻟﻡ ﻗﺎﻝ ﻋﻦ ﺍﻟﻬﺭﺓ : ﺇﻧﻬﺎ ﻟﻳﺳﺕ ﺒﻧﺟﺱ ﺇﻧﻣﺎ ﻫﻲ ﻣﻥ
ﺍﻟﻂﻭﺍﻔﻳﻥ ﻋﻟﻳﻛﻡ ﻭﺍﻟﻂﻭﺍﻔﺎﺕ
Bahwa Rasullah saw.
Bersabda tentang kucing; bahwa kucing itu bukan najis, karena sesungguhnya
kucing itu termasuk binatang rumah yang senantiasa mengelilingi kamu, tidak
(menjadi najis) bagi kamu .
Keberadaan kucing yang
senantiasa berada di rumah merupakan sifat yang membuat mereka bersih atau
suci. Sifat yang menjadi motivasi hukum dalam hadist ini jelas, yaitu Thawwaf (hewan
yang senantiasa berada di rumah, tidur di rumah dan sulit memisahkannya).
Berdasarkan sifat ini maka hukum sisa makanan kucing itu tidak najis (suci).
Oleh sebab itu, thawwaf merupakan motivasi dari hukum thaharah (suci)
untuk menghindari kesulitan dari orang-orang yang memelihara kucing di rumahnya.
Ulama Malikiyah dan
Hanabilah menerima mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam
menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak
dan luas menerapkannya. Menurut mereka mashlahah al-mursalah merupakan
induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang
rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi
mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah al-mursalah itu
bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa
bersifat zhanni(relatif).
Untuk bisa
menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam
menetapkan hukum, ulama Malikiyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu
:
1. Kemaslahatan itu haruslah merupakan suatu kemaslahatn yang hakiki,dan bukan
suatu kemaslahatan yang bersifat dugaan saja. Yang dimaksud persyaratan ini
ialah membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus mendatangkan
kemanfaatan dan menolak kemudaratan.
2. Bahwa kemaslahatan ini adalah kemaslahatan umum, dan bukan kemaslahatan
pribadi. Yang dimaksud dengan persyaratan ini ialah untuk membuktikan bahwa
pembentukan hukum pada suatu kasus adalah mendatangkan manfaat bagi mayoritas
ummat manusia, atau menolak bahaya dari mereka, dan bukan untuk kemaslahatan
individu atau sejumlah perseorangan yang merupakan minoritas ummat manusia.
3. Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan
dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan nash atau ijma’. Oleh
karena itu, tidak syah mengakui kemaslahatan yang menurut perasaan antara anak
laki-laki dan anak perempuan dalam kegiatan warisan, karena kemaslahatan ini
dibatalkan, karena bertentangan dengan nash Al-Qur’an.
Ulama golongan
Syafi’iyah, pada dasarnya, juga menjadikan mashlahah sebagai
salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i, memasukannya kedalam qiyas.
Misalnya,ia meng-qiyas-kan hukuman bagi peminum minuman keras kepada
hukuman orang yang menuduh zina, yaitu dera sebanyak 80 kali, karena orang
mabuk akan mengigau dan dalam pengigauannya diduga keras akan menuduh orang
lain berbuat zina. Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul
fiqhnya membahas permasalahan mashlahah al-mursalah. Ada beberapa
syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan
hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu :
a. Mashalahah itu sejalan
dengan jenis tindakan-tindakan Syara’
b. Mashlahah itu tidak meninggalkan
atau beetentangan dengan nash syara’
c. Mashlahah itu termasuk
kedalam kategori mashlahah yang dharuri, baik
menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal,
yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Untuk yang terakhir ini
al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang hajjiyah, apabila menyangkut
kemaslahatan orang banyak bisa menjadi dharuriyyah.
Jumhur ulama uamat
Islam berpendapat, bahwasannya mashlahah al-mursalahadalah hujjah
syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadiaan
yang tidak ada hukumnya dalam nash, atau ijma, atau qiyas, ataupun istihsan,disyariatkan
padanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum.
Alasan Jumhur Ulama
dalam menetapkan mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan hukum, antara lain adalah :
1.
Hasil induksi terhadap
ayat atau hadist menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi
umat manusia. Dalam hubungan ini Allah berfirman :
ﻭﻣﺎ ﺍﺭﺳﻟﻧﺎﻙ ﺇﻻ ﺭﺣﻣﺔ
ﻟﻟﻌﺎﻟﻣﻳﻥ
Kami tidak mengutus
engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia. (Q.S. al-Anbiya’, 21 : 107).
Menurut Jumhur Ulama,
Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi
kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan
Sunnah Rasullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat
manusia, di dunia dan di akhirat.
2. Bahwasannya kemaslahatan umat manusia selalu baru dan tidak ada
habis-habisnya. Maka sekiranya hukum tidak disyariatkan untuk mengantisipasi
kemaslahatan umat manusia yang terus bermunculan dan apa yang dituntut oleh
perkembangan mereka, serta pembentukan hukum hanya berkisar pada berbagai
kemaslahatan yang diakui oleh Syar’i saja, niscaya akan banyak kemaslahatn
manusia yang tertinggal di berbagai tempat dan zaman, dan pembentukan hukum
tidak mengikuti roda perkembangan manusia dan kemaslahatan mereka.
3. Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan
dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan nash atau ijma.
Oleh karena itu tidak syah mengakui kemaslahatan yang menuntut persamaan antara
anak laki-laki dan anak perempuan dalam bagian warisan, karena kemaslahatan ini
dibatalkan, karena ia bertentangan dengan nash Al-Qur’an.
4. Jumhur ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan
sahabat, seperti Umar ibn al-Khaththab tidak memberi bagian zakat kepada
para mu’allaf(orang yang baru masuk Islam), karena menurut Umar,
kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu. Abu Bakar mengumpulkan
al-Qur’an atas saran Umar ibn al-Khaththab, sebagai salah satu kemaslahatan
untuk melestarikan al-Qur’an dan menuliskan al-Qur’an pada satu logat bahasa di
zaman Utsman ibn Affan demi memelihara tidak terjadi perbedaan bacaan al-Qur’an
itu sendiri.
C. Alasan para ulama yang menerima Istislah sebagai dalil syara’
Jumhur ulama menganggap Maslahah Mursalah sebagai hujjah syar’iyah,
sekalipun dengan nama yang berbeda-beda. Adapun alasan para ulama yang menerima
Istislah atau Maslahah Mursalah sebagai dalil syar’i, di antaranya ialah:
1. Kemaslahatan yang diharapkan manusia itu tumbuh dan bertambah. Sekiranya
hukum tidak menampung untuk menetapkan kemaslahatan manusia yang dapat
diterima, berarti kurang sempurna syari’at itu, atau bekulah syariat islam itu.
Padahal nyatanya tidaklah demikian.
2. Kalau diamati benar-benar, para sahabat dan tabi’in beserta imam-imam mujtahid,
mereka telah menetapkan hukum-hukum dengan berdasarkan para kemaslahatan. Abu
Bakar Assidiq memerintahkan untuk menyusun mushaf yang tadinya belum terkumpul.
Demikian pula tindakannya menerangi orang yang ingkar dan enggan membayar
zakat.
D. Alasan ulama yang menolak Istislah sebagai dalil syara’
Ulama yang menolak Istislah sebagai dalil syar’i antara lain imam Syafi’i.
Beliau menolak Istislah, karena disamakan dengan Istihsan. Alasan untuk menolak
Istislah sama dengan alasan untuk menolak Istihsan. Diantaranya ialah:
1. Syari’at islam mempunyai tujuan menjaga tujuan kemaslahataan manusia.
Sedangkan syara’ tidak membiarkan manusia dalam keadaan terlantar tanpa
petunjuk. Petunjuk itu harus berdasarkan pada ibarat nas. Kalau kemaslahatan
yang tidak berpedoman pada i’tibar nas. Bukan kemaslahatan yang hakiki
2. Kalau menetapkan hukum berdasarkan pada kemaslahatan semata yakni yang
terlepas dari syara’, sudah barang tentu akan dipengaruhi oleh hawa nafsu.
Sedang hawa nafsu tidak akan dapat melihat kemaslahatan yang hakiki. Hal ini
merupakan kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan yang tidak dapat dipercaya.
E. Ruang lingkup penerapan Maslahah Mursalah
Ruang lingkup penerapan Maslahah Mursalah dikalangan kelompok pemegangnya
terbatas pada bidang mu’amalah saja, kemaslahatandalam bidang inilah yang
mungkin ditemukan dan diketahui. Dia tidak menjangkau bidang ibadah, karena
bidang ini merupakan tata norma hubungan manusia dengan Tuhannya dan sarana
tertentu untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu dibatasi menurut
ketentuan yang dibawah nash dan tidak dengan dalil adanya maslahat. Membuka
pintu penetapan hukum dengan maslahat dalam masalah ibadah akan membawa kepada
berubahnya syi’ar agama dan beragamnya ibadah padahal Allah sudah menjadikan
sebagai syiar keagamaan yang satu mencakup seluruh manusia sepanjang zaman.
F. Macam-macam Istislah
Dalam kajian para ahli
al-ijtihad mengemukakan terdapat tiga jenis mashlahah,yaitu :
1. Mashlahah yang diakui ajaran syari’ah.
Yang terdiri atas tiga
macam tingkat kebutuhan manusia, yaitu :.
a.
Mashlahah
al-Dharuriyyah,
Yaitu kemaslahatan yang
berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan diakhirat.
Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara
jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan, (5) memelihara harta.
Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
Dharuriyyah, (bersifat mutlak) karena menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai
manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga, dan
kehormatan) akal pikirannya, harta bendanya, nasab keturunannya dan kepercayaan
agamanya. Permasalahan diataslah yang merupakan dasar mashlahah.
b.
Mashlahah al-Hajiyah,
Yaitu kemaslahatan yang
dibutuhkan dalam menyempurnakan kebutuhan pokok, untuk menghindarkan kesulitan
dan kemadharatan dalam kehidupannya. Misalnya, dalam bidang ibadah di beri
keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang
yang sedang musafir; dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan
memakan makanan yang baik-baik, di bolehkan jual beli pesanan (bay’
al-salam), kerjasama dalam pertanian (muzara’ah) dan
perkebunan (musaqqah). Semua ini disyari’atkan Allah untuk
mendukung kebutuhan mendasar al-mashalih al-khamsah diatas.
c.
Mashlahah
al-Tahsiniyyah,
Yaitu kemaslahatan yang
merupakan kebutuhan pelengkap dalam rangka memelihara sopan santun dan
tata-krama dalam kehidupan. Misalnya, dianjurkan memakan makanan yang bergizi,
berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amal
tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.
Ketiga kemaslahatan ini
perlu dibedakan, sehingga seorang Muslim dapat menentukan prioritas dalam
mengambil suatu kemaslahatan sebelumnya. Kemaslahatan dharuriyyah harus
lebih didahulukan dari kemaslahatan hajiyyah,dan
kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari
kemaslahatan tahsiniyyah.
2. Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari’ah
yaitu kepentingan yang
bertentangan dengan mashlahah yang diakui terutama pada tigkat
pertama. Mashlahah ini disebut Mashlahah al-Mulghah.
Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan
ketentuan syara’. Misalnya, syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan
hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan
memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberikan makan
60 orang fakir miskin (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Al-Laits ibn Sa’ad (94-175
H/ahli fiqh Maliki di Spayol), menetapkan hukuman puasa dua bulan
berturut-turut bagi seseorang (penguasa Spayol) yang melakukan hubungan seksual
dengan istrinya di siang hari Ramadhan. Para ulama memandang hukum ini
bertentangan dengan hadits Rasullah diatas, karena bentuk-bentuk hukuman itu
harus ditetapkan secara berurut. Kemaslahatan seperti ini, menurut kesepakatan
para ulama, disebut dengan mashlahah al-mulghah dan tidak bisa
dijadikan landasan hukum.
3. Mashlahah yang tidak terikat pada
jenis pertama dan kedua.
Mashlahahini disebut dengan Mashlahah al-Mursalah.
Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak
pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemashlahatan dalam
bentuk ini terbagi kedalam dua macam yaitu :
a.
Mashlahah al-gharibah, yaitu kemashlahatan yang asing, atau kemashlahatan yang sama sekali tidak
ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum. Para ulama
ushul fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam Syathibi
mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun
ada dalam teori.
b.
Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh sekumpulan makna nash yang
rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau
hadist).
Najm al-Din al Thufi (675-716 H/1276-1316 M, ahli ushul fiqh Hambali),
tidak membagi mashlahah tersebut, sebagaimana yang dikemukakan
para ahli ushul fiqh diatas. Menurutnya, mashlahah merupakan
dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan
hukum syara’, baik mashlahah itu mendapat dukungan
dari syara’ maupun tidak.
Al-Mashlahah al-‘ammah.
Hukum Islam mengenal mashlahah ‘ainiyah (kepentingan
perorang dari setiap manusia, yang sifatnya umum yakni yang merupakan
kepentingan setiap manusia dalam hidupnya, seperti yang digambarkan dalam
uraian terdahulu tentang al-mashalih al-khamsah. Hal-hal ini
terkait dengan taklif yang membentuk fardhu ‘ain. Seperti misalnya
menyangkut mashlahah harta benda (untuk makan, pakaian, dan
tempat tinggalnya), danmashlahah akal pikiran (kewajiban menuntut
ilmu bagi semua orang islam). Mashlahah ini terbagi atas dua macam mashlahah.
1. Mashlahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum
yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi
bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya, para
ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah uamat,
karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Mashlahah al-Khasanah, yaitu kemaslahatan
pribadi dan ini sangat jarang sekali.
Dalam hal ini Mashlahah al-Khasanah adalah merupakan
kemaslahatan yang sifatnya pribadi dan sangat jarang sekali, seperti
kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang
dinyatakan hilang (maqfud).
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana
yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan umum bertentangan dengan
kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan kedua kemaslahatan ini, Islam
mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.
G. Kesimpulan
Mashlahah
al-Mursalah, yaitu yang
mutlak menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah : Suatu kemaslahatan
dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan
itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya.
Maslahat ini disebut mutlak, karena ia tidak terikat oleh dalil yang mengakui
atau dalil yang membatalkannya.
a.
Keutamaan
Istishlah Dalam Hukum Islam.
Menghilangkan kemudaratan, bagaimanapun bentuknya merupakan tujuan
Syara’ yang wajib dilakukan. Menolak kemudaratan itu termasuk ke dalam konsep mashlahah al-mursalah. Hal yang lain yang menjadikan mashlahah al-mursalah begitu
utama ialah :
Kemaslahatan Manusia akan selalu senantiasa dipengaruhi
perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at
Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
Rasullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka
memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat
al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai
kemaslahatan umat manusia, di dunia dan di akhirat.
Bahwasannya orang yang meneliti pembentukan hukum oleh para
sahabat, tabi’in, dan para imam mujtahid, maka ia akan merasa jelas bahwasannya
mereka telah mensyari’atkan berbagai hukum untuk merealisir kemaslahatanumum
ini, bukan karena adanya dalil yang mengakui.
b.
Kekaburan
Istishlah Dalam Hukum Islam.
Sebagian dari ulama kaum muslimin berpendapat bahwasannya mashlahah al-mursalah yang
tidak ada bukti syar’i yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun
pembatalannya, tidak bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum. Mereka berdalil ada dua hal yang menyebabkan kekaburan
Istishlah ini, yaitu :
Bahwasannya syari’at telah memlihara segala kemaslahatan manusia
dengan nash-nashnya dan
dengan petunjuknya berupa Qiyas. Syara’
tidak membiarkan umat manusia dengan sia-sia, dan tidak pula membiarkan
kemaslahatan apapun tanpa ada penunjukan kepada pentassyri’annya.Tidak ada suatu
kamaslahatan melainkan ia mempunyai bukti dari Syar’i yang mengakuinya, sedang
kemaslahatn yang tidak ada bukti dari Syar’i yang mengakuinya, maka pada
hakikatnya ia bukanlah kemaslahatan. Ia tidak lain merupakan mashlahah wahmiyyah (kemaslahatn
yang bersifat dugaan saja) dan tidak boleh mendasarkan hukum atas kemaslahatn
tersebut.
Bahwasannya pembentukan hukum atas dasar kemutlakan kemaslahatn
berarti membuka pintu untuk hawa nafsu orang yang menurutinya, baik dari
kalangan penguasa, amir, dan para mufti. Sebagian dari mereka kadangkala
terkalahkan oleh hawa nafsu dan keinginannya, sehingga mereka membayangkan
berbagai mafsadah (kerusakan)
sebagai kemaslahatan. Sedangkan kemaslahatan merupakan hal yang bersifat
perkiraan yang dapat berbeda-beda akibat perbedaan berbagai pendapat dan
lingkungan. Oleh karena itu, pembukaan pintu pembentukan hukum berdasarkan
mutlaknya kemaslahatan membuka pintu kejahatan.
REFERENSI
abdul salam, zarkasji. Oman fathurohman.
1994. Pengantar ilmu fiqh unsul fiqh I.yogyakarta: lembaga studi filsafat
islam(LESFI).
Komentar
Posting Komentar