Langsung ke konten utama

ISTISLAH




Oleh: Ifa Kumalasanti 11510008; Ngaunu Rofik 11510035; Umi Harlita 11510036; dan Riza Amirudin 11510037
A.    Pengertian
Istislah menurut bahasa berarti “Mencari kemaslahatan”. Sedangkan menurut ahli Usul fiqh adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nasnya atau tidak ada ijma’ terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’ tidak dijelaskan ataupun dilarang). . Pengertian yang lain menyatakan Istishlah adalah logika yang baik tentu baik untuk dipergunakan. Jadi apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya masalah itu berarti sesuatu yang mendatangkan keuntungan (manfaat) dan menjauhkan madharat (kesusahan).
ﺃﻠﻣﺣﺎﻓﻆﺔ ﻋﻟﻰ ﻣﻗﺻﻮ ﺍﻟﺷﺮﻉ
Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)”.
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu. Misalnya, di zaman jahiliyah wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka sesuai dengan adat-istiadat mereka, tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’, karenanya tidak dinamakan mashlahah.
Tujuan syara’ yang harus dipelihara lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu : terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ diatas maka dinamakan mashlahah. Al-Khawarizmi menyatakan :
ﺍﻟﻣﺣﺎﻓﻆﺔ ﻋﻟﻰ ﻣﻗﺻﻮﺩ ﺍﻟﺷﺭﻉ ﺑﺩ ﻓﻊ ﺍﻟﻓﺎﺳﺩ ﻋﻥ ﺍﻟﺧﻟﻕ
“memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum ) dengan cara menghindarkan kesusahan dari manusia
Dari uraian diatas dapat kita mengerti bahwa tujuan dari hukum Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia dunia maupun akhirat. Kemaslahatan ini merupakan lima tujuan syara’ yaitu : terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Disampig itu, juga segala upaya untuk mencegah segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut juga dinamakan mashlahah.

B.    Kehujjahan Istishlah.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah al-mursalahsebagai dalil disyaratkan mashlahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadist, atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi sebagai hukum. Misal, sifat yang berpengaruh pada hukum tersebut adalah, Rasullah pernah ditanya tentang status sisa makanan kucing, apakah termasuk najis atau tidak. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Malik dari Abi Qatadah dinyatakan :
ﺇﻦ ﺭﺳﻭﻝ ﺍﷲ ﺼﻟﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻳﻪ ﻭﺳﻟﻡ ﻗﺎﻝ ﻋﻦ ﺍﻟﻬﺭﺓ : ﺇﻧﻬﺎ ﻟﻳﺳﺕ ﺒﻧﺟﺱ ﺇﻧﻣﺎ ﻫﻲ ﻣﻥ ﺍﻟﻂﻭﺍﻔﻳﻥ ﻋﻟﻳﻛﻡ ﻭﺍﻟﻂﻭﺍﻔﺎﺕ
Bahwa Rasullah saw. Bersabda tentang kucing; bahwa kucing itu bukan najis, karena sesungguhnya kucing itu termasuk binatang rumah yang senantiasa mengelilingi kamu, tidak (menjadi najis) bagi kamu .
Keberadaan kucing yang senantiasa berada di rumah merupakan sifat yang membuat mereka bersih atau suci. Sifat yang menjadi motivasi hukum dalam hadist ini jelas, yaitu Thawwaf (hewan yang senantiasa berada di rumah, tidur di rumah dan sulit memisahkannya). Berdasarkan sifat ini maka hukum sisa makanan kucing itu tidak najis (suci). Oleh sebab itu, thawwaf merupakan motivasi dari hukum thaharah (suci) untuk menghindari kesulitan dari orang-orang yang memelihara kucing di rumahnya.
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka mashlahah al-mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah al-mursalah itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni(relatif).
Untuk bisa menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu :
1.      Kemaslahatan itu haruslah merupakan suatu kemaslahatn yang hakiki,dan bukan suatu kemaslahatan yang bersifat dugaan saja. Yang dimaksud persyaratan ini ialah membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudaratan.
2.      Bahwa kemaslahatan ini adalah kemaslahatan umum, dan bukan kemaslahatan pribadi. Yang dimaksud dengan persyaratan ini ialah untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus adalah mendatangkan manfaat bagi mayoritas ummat manusia, atau menolak bahaya dari mereka, dan bukan untuk kemaslahatan individu atau sejumlah perseorangan yang merupakan minoritas ummat manusia.
3.      Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan nash atau ijma’. Oleh karena itu, tidak syah mengakui kemaslahatan yang menurut perasaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam kegiatan warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan, karena bertentangan dengan nash Al-Qur’an.
Ulama golongan Syafi’iyah, pada dasarnya, juga menjadikan mashlahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i, memasukannya kedalam qiyas. Misalnya,ia meng-qiyas-kan hukuman bagi peminum minuman keras kepada hukuman orang yang menuduh zina, yaitu dera sebanyak 80 kali, karena orang mabuk akan mengigau dan dalam pengigauannya diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina. Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya membahas permasalahan mashlahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu :
a.       Mashalahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan Syara’
b.      Mashlahah itu tidak meninggalkan atau beetentangan dengan nash syara’
c.       Mashlahah itu termasuk kedalam kategori mashlahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Untuk yang terakhir ini al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang hajjiyah, apabila menyangkut kemaslahatan orang banyak bisa menjadi dharuriyyah.
Jumhur ulama uamat Islam berpendapat, bahwasannya mashlahah al-mursalahadalah hujjah syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadiaan yang tidak ada hukumnya dalam nash, atau ijma, atau qiyas, ataupun istihsan,disyariatkan padanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum.
Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah :
1.      Hasil induksi terhadap ayat atau hadist menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini Allah berfirman :
ﻭﻣﺎ ﺍﺭﺳﻟﻧﺎﻙ ﺇﻻ ﺭﺣﻣﺔ ﻟﻟﻌﺎﻟﻣﻳﻥ
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia. (Q.S. al-Anbiya’, 21 : 107).
Menurut Jumhur Ulama, Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan di akhirat.
2.      Bahwasannya kemaslahatan umat manusia selalu baru dan tidak ada habis-habisnya. Maka sekiranya hukum tidak disyariatkan untuk mengantisipasi kemaslahatan umat manusia yang terus bermunculan dan apa yang dituntut oleh perkembangan mereka, serta pembentukan hukum hanya berkisar pada berbagai kemaslahatan yang diakui oleh Syar’i saja, niscaya akan banyak kemaslahatn manusia yang tertinggal di berbagai tempat dan zaman, dan pembentukan hukum tidak mengikuti roda perkembangan manusia dan kemaslahatan mereka.
3.      Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan nash atau ijma. Oleh karena itu tidak syah mengakui kemaslahatan yang menuntut persamaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam bagian warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan, karena ia bertentangan dengan nash Al-Qur’an.
4.      Jumhur ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar ibn al-Khaththab tidak memberi bagian zakat kepada para mu’allaf(orang yang baru masuk Islam), karena menurut Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu. Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an atas saran Umar ibn al-Khaththab, sebagai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan al-Qur’an dan menuliskan al-Qur’an pada satu logat bahasa di zaman Utsman ibn Affan demi memelihara tidak terjadi perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.

C.     Alasan para ulama yang menerima Istislah sebagai dalil syara’
Jumhur ulama menganggap Maslahah Mursalah sebagai hujjah syar’iyah, sekalipun dengan nama yang berbeda-beda. Adapun alasan para ulama yang menerima Istislah atau Maslahah Mursalah sebagai dalil syar’i, di antaranya ialah:
1.      Kemaslahatan yang diharapkan manusia itu tumbuh dan bertambah. Sekiranya hukum tidak menampung untuk menetapkan kemaslahatan manusia yang dapat diterima, berarti kurang sempurna syari’at itu, atau bekulah syariat islam itu. Padahal nyatanya tidaklah demikian.
2.      Kalau diamati benar-benar, para sahabat dan tabi’in beserta imam-imam mujtahid, mereka telah menetapkan hukum-hukum dengan berdasarkan para kemaslahatan. Abu Bakar Assidiq memerintahkan untuk menyusun mushaf yang tadinya belum terkumpul. Demikian pula tindakannya menerangi orang yang ingkar dan enggan membayar zakat.

D.    Alasan ulama yang menolak Istislah sebagai dalil syara’
Ulama yang menolak Istislah sebagai dalil syar’i antara lain imam Syafi’i. Beliau menolak Istislah, karena disamakan dengan Istihsan. Alasan untuk menolak Istislah sama dengan alasan untuk menolak Istihsan. Diantaranya ialah:
1.      Syari’at islam mempunyai tujuan menjaga tujuan kemaslahataan manusia. Sedangkan syara’ tidak membiarkan manusia dalam keadaan terlantar tanpa petunjuk. Petunjuk itu harus berdasarkan pada ibarat nas. Kalau kemaslahatan yang tidak berpedoman pada i’tibar nas. Bukan kemaslahatan yang hakiki
2.      Kalau menetapkan hukum berdasarkan pada kemaslahatan semata yakni yang terlepas dari syara’, sudah barang tentu akan dipengaruhi oleh hawa nafsu. Sedang hawa nafsu tidak akan dapat melihat kemaslahatan yang hakiki. Hal ini merupakan kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan yang tidak dapat dipercaya.

E.     Ruang lingkup penerapan Maslahah Mursalah
Ruang lingkup penerapan Maslahah Mursalah dikalangan kelompok pemegangnya terbatas pada bidang mu’amalah saja, kemaslahatandalam bidang inilah yang mungkin ditemukan dan diketahui. Dia tidak menjangkau bidang ibadah, karena bidang ini merupakan tata norma hubungan manusia dengan Tuhannya dan sarana tertentu untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu dibatasi menurut ketentuan yang dibawah nash dan tidak dengan dalil adanya maslahat. Membuka pintu penetapan hukum dengan maslahat dalam masalah ibadah akan membawa kepada berubahnya syi’ar agama dan beragamnya ibadah padahal Allah sudah menjadikan sebagai syiar keagamaan yang satu mencakup seluruh manusia sepanjang zaman.

F.      Macam-macam Istislah
Dalam kajian para ahli al-ijtihad mengemukakan terdapat tiga jenis mashlahah,yaitu :
1.     Mashlahah yang diakui ajaran syari’ah.
Yang terdiri atas tiga macam tingkat kebutuhan manusia, yaitu :.
a.       Mashlahah al-Dharuriyyah,
Yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan diakhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan, (5) memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
Dharuriyyah, (bersifat mutlak) karena menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga, dan kehormatan) akal pikirannya, harta bendanya, nasab keturunannya dan kepercayaan agamanya. Permasalahan diataslah yang merupakan dasar mashlahah.
b.      Mashlahah al-Hajiyah,
Yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kebutuhan pokok, untuk menghindarkan kesulitan dan kemadharatan dalam kehidupannya. Misalnya, dalam bidang ibadah di beri keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir; dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik, di bolehkan jual beli pesanan (bay’ al-salam), kerjasama dalam pertanian (muzara’ah) dan perkebunan (musaqqah). Semua ini disyari’atkan Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-mashalih al-khamsah diatas.
c.       Mashlahah al-Tahsiniyyah,
Yaitu kemaslahatan yang merupakan kebutuhan pelengkap dalam rangka memelihara sopan santun dan tata-krama dalam kehidupan. Misalnya, dianjurkan memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amal tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang Muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan sebelumnya. Kemaslahatan dharuriyyah harus lebih didahulukan dari kemaslahatan hajiyyah,dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyyah.
2.     Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari’ah
yaitu kepentingan yang bertentangan dengan mashlahah yang diakui terutama pada tigkat pertama. Mashlahah ini disebut Mashlahah al-Mulghah.
Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya, syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberikan makan 60 orang fakir miskin (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Al-Laits ibn Sa’ad (94-175 H/ahli fiqh Maliki di Spayol), menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seseorang (penguasa Spayol) yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di siang hari Ramadhan. Para ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadits Rasullah diatas, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus ditetapkan secara berurut. Kemaslahatan seperti ini, menurut kesepakatan para ulama, disebut dengan mashlahah al-mulghah dan tidak bisa dijadikan landasan hukum.
3.      Mashlahah yang tidak terikat pada jenis pertama dan kedua.
Mashlahahini disebut dengan Mashlahah al-Mursalah.
Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemashlahatan dalam bentuk ini terbagi kedalam dua macam yaitu :
a.          Mashlahah al-gharibah, yaitu kemashlahatan yang asing, atau kemashlahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum. Para ulama ushul fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada dalam teori.
b.         Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh sekumpulan makna nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadist).
Najm al-Din al Thufi (675-716 H/1276-1316 M, ahli ushul fiqh Hambali), tidak membagi mashlahah tersebut, sebagaimana yang dikemukakan para ahli ushul fiqh diatas. Menurutnya, mashlahah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum syara’, baik mashlahah itu mendapat dukungan dari syara’ maupun tidak.

Al-Mashlahah  al-‘ammah.
Hukum Islam mengenal mashlahah ‘ainiyah (kepentingan perorang dari setiap manusia, yang sifatnya umum yakni yang merupakan kepentingan setiap manusia dalam hidupnya, seperti yang digambarkan dalam uraian terdahulu tentang al-mashalih al-khamsah. Hal-hal ini terkait dengan taklif yang membentuk fardhu ‘ain. Seperti misalnya menyangkut mashlahah harta benda (untuk makan, pakaian, dan tempat tinggalnya), danmashlahah akal pikiran (kewajiban menuntut ilmu bagi semua orang islam). Mashlahah ini terbagi atas dua macam mashlahah.
1.      Mashlahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah uamat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2.      Mashlahah al-Khasanah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali.
Dalam hal ini Mashlahah al-Khasanah adalah merupakan kemaslahatan yang sifatnya pribadi dan sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan  hilang (maqfud).
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.

G.    Kesimpulan
Mashlahah al-Mursalah, yaitu yang mutlak menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah : Suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya. Maslahat ini disebut mutlak, karena ia tidak terikat oleh dalil yang mengakui atau dalil yang membatalkannya.
a.      Keutamaan Istishlah Dalam Hukum Islam.
Menghilangkan kemudaratan, bagaimanapun bentuknya merupakan tujuan Syara’ yang wajib dilakukan. Menolak kemudaratan itu termasuk ke dalam konsep mashlahah al-mursalah.  Hal yang lain yang menjadikan mashlahah al-mursalah begitu utama ialah :
Kemaslahatan  Manusia akan selalu senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
Rasullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan di akhirat.
Bahwasannya orang yang meneliti pembentukan hukum oleh para sahabat, tabi’in, dan para imam mujtahid, maka ia akan merasa jelas bahwasannya mereka telah mensyari’atkan berbagai hukum untuk merealisir kemaslahatanumum ini, bukan karena adanya dalil yang mengakui.
b.      Kekaburan Istishlah Dalam Hukum Islam.
Sebagian dari ulama kaum muslimin berpendapat bahwasannya mashlahah al-mursalah yang tidak ada bukti syar’i yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, tidak bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum. Mereka berdalil ada dua hal yang menyebabkan kekaburan Istishlah ini, yaitu :
Bahwasannya syari’at telah memlihara segala kemaslahatan manusia dengan nash-nashnya dan dengan petunjuknya berupa Qiyas. Syara’ tidak membiarkan umat manusia dengan sia-sia, dan tidak pula membiarkan kemaslahatan apapun tanpa ada penunjukan kepada pentassyri’annya.Tidak ada suatu kamaslahatan melainkan ia mempunyai bukti dari Syar’i yang mengakuinya, sedang kemaslahatn yang tidak ada bukti dari Syar’i yang mengakuinya, maka pada hakikatnya ia bukanlah kemaslahatan. Ia tidak lain merupakan mashlahah wahmiyyah (kemaslahatn yang bersifat dugaan saja) dan tidak boleh mendasarkan hukum atas kemaslahatn tersebut.
Bahwasannya pembentukan hukum atas dasar kemutlakan kemaslahatn berarti membuka pintu untuk hawa nafsu orang yang menurutinya, baik dari kalangan penguasa, amir, dan para mufti. Sebagian dari mereka kadangkala terkalahkan oleh hawa nafsu dan keinginannya, sehingga mereka membayangkan berbagai mafsadah (kerusakan) sebagai kemaslahatan. Sedangkan kemaslahatan merupakan hal yang bersifat perkiraan yang dapat berbeda-beda akibat perbedaan berbagai pendapat dan lingkungan. Oleh karena itu, pembukaan pintu pembentukan hukum berdasarkan mutlaknya kemaslahatan membuka pintu kejahatan.

 REFERENSI

abdul salam, zarkasji.  Oman fathurohman. 1994. Pengantar ilmu fiqh unsul fiqh I.yogyakarta: lembaga studi filsafat islam(LESFI).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.