Langsung ke konten utama

ISTISHLAH


Oleh: Arnanda Afroh Laila (11510082); Ulfik Romdiana (11510090); dan Umi Nur Chasanah (11510091)

A.                        Pengertian Istishlah
Istihlah menurut bahasa adalah mencari mashlahat, baik dalam artian konkrit, seperti dikatakan “istashlaha badanahu” (dia mencari mashlahat badannya), maupun dalam artian abstrak, seperti dikatakan istashlaha khuluqahu (dia mencari mashlahat akhlaknya).
Menurut istilah ulama Ushul adalah menetapkan hukum suatu peristiwa hokum yang tidak disebutkan nash dan ijma’, berlandaskan pada pemeliharaan mashlahat mursalah, yaitu mashlahat yang tidak ada dalil dari syara’ yang menunjukkan diakuinya atau ditolaknya. Sebagian ulama Ushul menamakannya dengan istishlah (Hanabilah) dan sebagian lagi menyebutnya “berbuat atas dasar mashlahat mursalah (Malikiyah)”.
Istishlah adalah merupakan metode penetapan hukum syara’ yang tak ada nashnya yang amat subur. Dengan demikian, maka istishlah itu ialah istinbath hukum tentang suatu peristiwa hukum yang tak dibawa nash hukumnya, tidak terjadi ijma’ tentang hukumnya, didasarkan atas kemashlahatan yang tak terdapat dalil yang mengakui dan menolaknya.

B.                         Kehujjahan Istishlah
Berhujjah dengan istishlah/mashlahat mursalah dalam peristiwa hukum yang tidak ditetapkan hukumnya dengan nash dan ijma’, apabila mashlahat yang dicapai dengan menetapkan hukumnya itu memang ada melalui pembahasan ia merupakan mashlahat yang sebenarnya dan bersifat umum, karena bila melalui pembahasan lembaga tasyri’ (lembaga legislative) terbukti kemashlahatan tersebut benar-benar mashlahat dan bersifat umum, maka ia adalah mashlahat yang diakui syari’ , contoh,jenis dan hukum yang ditetapkan yang mewujudkan mashlahat tersebut adalah hukum syara’ karena ia serupa atau sejenis dengan hukum yang ditetapkan syari’. Tidaklah semua yang dianggap mashlahat oleh seseorang atau sekelompok orang itu boleh dijadikan landasan hukum, tetapi mashlahat yang memenuhi persyaratan tertentu.

C.                      Syarat-syarat Mashlahat yang Dapat Dipegang
1.  Benar-benar mashlahat
2.  Bukan merupakan perkiraan
3.  Merupakan mashlahat ‘am bukan mashlahat perorangan atau kelompok orang
4.  Untuk  kepentingan orang banyak
5.  Sesuai dengan tujuan syara’
6.  Bukan merupakan mashlahat mulgah

D.                        Ruang Lingkup Penerapan Mashlahat Mursalah
Ruang lingkup penerapan mashlahat mursalah dikalangan kelompok pemegangnya, terbatas pada bidang mu’amalah saja, karena kemashlahatan dalam bidang inilah yang mungkin ditemukan dan diketahui. Dia tidak menjangkau bidang ibadah, karena bidang ini merupakan tata norma hubungan manusia dengan Tuhannya dan sarana tertentu untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu ia dibatasi menutut ketentuan yang dibawa nash dan tidak dengan dalil adanya mashlahat. Karena membuka penetapan hukum dengan mashlahat dalam masalah ibadah akan membawa perubahan pada syiar agama yang mana mencakup seluruh manusia sepanjang zaman.

E.                       Mashlahat dan Nash
Mashlahat mursalah baru akan digunakan  setelah tidak terdapat nash dan ijma’. Maka jika didapati nash qath’I atau ijma’ tidaklah boleh berpegang pada mashlahat mursalah , karena jelas mashlahat itu merupakan perkiraan yang timbul dari pemikiran sesaat.
Jika didapati suatu nash yang zhanni dalalahnya, maka mashlahat yang qath’iyah lebih kuat dari pada nash tersebut dan karenanya wajib dipegang mashlahat qath’y sebagai pengunggulan dalil qath’y terhadap dalil zhanni, sedang mashlahat qath’y itu dalam hubungannya dengan syari’ yang bersungguh-sungguh untuk menarik mashlahat dan menolak mafsadah, adalah setengah dari nash atau lebih kuat dalalahnya dari dalil yang bertentangan dengan mashlahat.
Maslahat mempunyai tujuan yaitu memelihara maqsud (tujuan ) , dan tujuan itu bersal dari al-quran ,sunah dan ijma’ diantara maslahat-maslahat yang asing (al mashalih-al-ghoribat), yang tidak sesuai dengan tindakan syara’ (tasharrufat al-syar) adalah batal dan tak terpakai. Kemudian setiap maslahat yang bertujuan memelihara tujuan syara’ , dan diketahui tujuan tersebut dari al-quran , sunah, dan ijma’  maka ia tidak keluar dari dari dalil-dalil pokok ini , namun ia tidak dinamakan qiyas , malainkan maslhat mursalah, sebab qiyas itu merupakan dalil pokok yang telah jelas.

F. Perbedaan Mashlahat Mursalah dan Istihsan
1.  Istihsan ialah peristiwa yang mempunyai dua dalil :
a.   Dalil yang umum dan zhahir yang menuntut ketentuan hukum tertentu.
b.  Dalil yang khusus atau khafy yang menuntut ketentuan hukum lain.
2.  Mashlahat mursalah adalah hanya terdapat satu dalil, yaitu mashlahat tentang peristiwa tersebut, dalil mana merupakan penetapan hukum sejak semula tanpa dalil lain yang menentangnya.


G.                       Contoh Hukum yang Didasarkan Mashlahat Mursalah
1.   Mewajibkan pajak kepada rakyat, apabila kas negara tidak cukup untuk biaya pengurusan kepentingan umum.
2.   Memukul tersangka yang kebiasaannya mencuri, untuk menekannya supaya mengakui dan mengemukakan barang yang dicurinya.
3.   Diterimanya kesaksian anak kecil terhadap sesamanya dalam sebagian peristiwa yang tidak dihadiri/diketahui oleh selain anak kecil.
4.   Akad nikah yang tidak ditetapkan dengan surat resmi, apabila terjadi sengketa maka tuntutan tentang terjadinya ditolak jika pihak lain mengingkarinya.
5.   Wajib menanami sebagian tanah pekarangannya dengan tanaman pertanian dimasa perang, untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyat.
6.   Dilarang menyembelih hewan betina kecil, untuk memelihara populasi hewan.
7.   Menetapkan aturan khusus tentang lalu lintas jalan umum.

Kesimpulan

Berdasarkan makalah yang kami buat dapat disimpulkan bahwa semua ketentuan hukum yang sudah ditetapkan atas dasar mashlahat mursalah adalah merupakan penetapan hukum islam, apabila memenuhi syarat-syarat mashlahat mursalah seperti yang telah kami uraikan. Semua ketentuan hukum yang dibawa mashlahat mursalah adalah hukum Allah ditinjau dari segi mendapatkan pahala  bagi pelakunya dan dosa  atas orang yang melanggarnya selain dari sanksi duniawi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S.1995.Sumber Hukum Islam, cetakan ke I, Jakarta:Sinar Grafika
Yusuf al qardhawy, judul buku :” keluasan dan keluwesan hukum islam”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.