Disusun
oleh: Luqita Cahyani (11510076); Dewi
Wachidah Hanim (11510084); dan Ika Dwi
Yanti (11510087)
A.
PENGERTIAN
TENTANG ISTISHHAB
Kata Istishhab
secara etimologi berasal dari kata “istashhaba”
dalam sighat istif’ala
(استفعال) yang bermakna استمرارالصحبة kalau kata الصحبة diartikan
dengan teman atau sahabat dan استمرار diartikan selalu atau terus menerus, maka Istishhab secara Lughawi
artinya selalu menemani atau selalu menyertai.
“Mengekalkan
apa yang sudah ada atas keadaan yang telah ada,karena tidak ada yang mengubah hukum
atau karena sesuatu hal yang belum di yakini.
Definisi lain yang hampir sama dengan
itu dinyatakan:
1.
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah,beliau adalah
tokoh Ushul Fiqh Hanbali
yaitu : menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan
sesuatu yang memang tidak ada sampai ada yang mengubah kedudukanya atau
menjadikan hukum yang telah di tetapkan pada masa lampau yang sudah kekal
menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.
Asy-Syaukani menta’rifkan Istishhab
dengan “tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya dalam Irsyad
Al-Fuhul nya merumuskan:
”Apa yang pernah berlaku secara tetap pada
masa lalu ,pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang.”
2.
Syaikh Muhammad Ridho Mudzaffar dari kalangan
Syi’ah,yaitu : (mengukuhkan
apa yang pernah ada) dan menurut Ibn
As-Subki dalam kitab Jam’u
Al-Jawani jilid II Istishhab
Yaitu :
“Berlakunya
sesuatu pada masa kedua karena yang demikian pernah berlaku pada waktu pertama
karena tidak ada yang aptut untuk mengubahnya.”
3.
Sedangkan menurut istilah ahli Ushul Fiqh “menetapkan hukum
atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumya,sehingga ada dalil yang menunjukkan
atas perubahan keadaan tersebut”.Al-Ghazali mendefinisikan Istishhab adalah berpegang
pada dalil akal atau Syara’, bukan
didasarkan karena tidak mengetahui dalil,tetapi setelah melalui pembahasan dan
penelitian cermat ,diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah
ada.
4.
Ibn Qayyim Istishhab adalah menyatakan tetap
berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau menyatakan belum ada
nya hukum suatu peristiwa yang belum penah ditetapkan hukumnya.
5.
Asy-Syatibi adalah segala ketetapan yang telah
ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa
sekarang. Contoh
Muhammad telah menikah dengan Aisyah, kemudian mereka berpisah selama 15
tahun,karena telah lama mereka berpisah lalu Aisyah ingin menikah lagi dengan
lelaki lain, dalam hal ini Aisyah belum bisa menikah lagi karena ia masih
terikat tali perkawinan dengan Muhammad dan belum ada perubahan hukum tali
perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah.
Oleh sebab itu
apabila seorang Mujtahid
ditanya tentang hukum kontrak atau pengelolan yang tidak ada di dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah atau dalil Syara’ yang meng-Itlak-kan
hukumnya, maka hukumnya boleh sesuai kaidah, bahwa ”Pangkal
sesuatu adalah kebolehan”
Kebolehan adalah pangkal (asal) meskipun
tidak ada dalil yang menunjukan atas kebolehannya,dengan demikian pangkal
sesuatu itu adalah boleh. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah :129
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ
يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ العَزِيزُ الحَكِيمُ
Artinya :” Ya Tuhan kami, utuslah
untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada
mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan
Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Istishhab adalah
akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali para Mujatahid untuk
mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama Ushul Fiqh berkata “sesungguhnya Istishhab adalah akhir
tempat beredarnya fatwa”
Yaitu mengetahui
sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak ada dalil yang
mengubahnya .Ini adalah teori dalam pengembalian yang telah menjadi kebiasaan
dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Dalam hal ini merupakan keadaan dimana
Allah menciptakan sesuatu di bumi seluruhnya. Oleh karena itu, sepanjang tidak
ada dalil yang menunjukkan perubahan nya,maka sesuatu itu tetap pada
kebolehannya yang asli.
B.
MACAM-MACAM
ISTISHHAB
Istishhab terbagi dalam beberapa macam
diantaranya :
1. Istishhab
al-baraah al-Ashliyyah (kebebasan asli)
Menurut
Ibn al-Qayyim disebut Bar’at al-Adam al-Ashliyyah, seperti terlepasnya tanggung jawab dari
segala taklif sampai
ada bukti yang menetapakan taklifnya,yaitu seperti kebebasan tanggung jawab beban syara’
sebelum ada dalil yang menunjukkan adanya beban tersebut.
Misalnya :
·
Jika masih kecil, maka ia bebas sebelum sampai baligh.
·
Jika ia tidak mengetahui dan ia tinggal di negeri harby,
maka ia bebas menjelang ia tahu atau menjelang ia sampai ke negeri Islam.
2. Ishtishhab ma
dalla asy-Syar’i au al-’Aqli ‘ala Wujudih (Istishhab kepada
dalil Syara’ atau dalil akal tentang adanya)
Bisa dipahami
yaitu bahwa nash menetapkan suatu hukum dan akal pun membenarkan (menguatkan)
sehingga ada dalil yang menghilangkan hukum tersebut.
Misalnya:
·
Seperti dalam pernikahan bahwa
pernikahan itu akan tetap sah ketika belum ada dalil yang menunjukan telah
berpisah seperti dengan men-talaq.
·
Seperti masih tetap bertanggung
jawab terhadap hutang, sebelum ada petunjuk bahwa sudah dilunasi atau
dibebaskan oleh yang berpiutang.
3. Istishhab
al-hukmi (Istishab hukum
seperti sesuatu telah
ditetapkan dengan hukum mubah atau haram)
Istishhab al-hukmi yaitu Istishhab yang berdasarkan atas hukum asal dari
sesuatu yang Mubah. Istishhab semacam ini banyak berperan
dalam menetapkan hukum di bidang muamalah. Istishhab al-hukmi (Istishhab hukum) bisa dipahami apabila hukum itu
menunjukan pada dua terma yaitu boleh atau dilarang, maka itu tetap di bolehkan
sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara yang diperbolehkan tersebut,
begitu juga sebaliknya. Landasannya adalah sebuah prinsip yang
mengatakan ,hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari selama tidak ada dalil yang melarangnya,seperti
makanan,minuman,hewan dll. Prinsip ini berdasarkan ayat 29 surat al-baqarah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً ثُمَّ اسْتَوَى
إِلَى السَّمَاء فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya :” Dia-lah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit,
lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Misalnya :
· Misalnya seluruh pepohonan di hutan
adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing- masing orang berhak
menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan
bahwa hutan tersebut telah menjadi milik sesorang. Berdasarkan ketetapan
perintah ini, maka hukum kebolehan memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi
tidak boleh.
· Semua makanan, minuman, hewan,
tumbuh-tumbuhan dll adalah halal selama tidak ada dalil/bukti yang melarangnya.
4. Istishhab al-Washfi (Istishhab Wasaf)
“Pada
dasarnya sifat dari segala sesuatu masih berlaku sebelum ada bukti yang
mengubahnya”. Istishhab al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat asal pada sesuatu.
Misalnya :
·
Air
yang diketahui bersih tetap dihukumi bersih selama tidak ada bukti bahwa iar
tersebut najis dan tetapnya sifat suci bagi air selama belum ada
najis yang merubahnya baik itu warna,rasa atau baunya.
·
Seperti tetapnya sifat hidup bagi orang hilang sehingga ada dalil yang
menunjukan bahwa dia telah meninggal.
Setiap Fuqaha menggunakan Istishhab dari
1 sampai 3 sedang mereka berbeda pendapat untuk
Istishhab Wasaf, dalam arti
bisa menetapkan hak-hak yang telah ada pada waktu tertentu dan seterusnya serta
bisa pula menetapkan hak-hak yang baru.
Perbedaan pendapat itu, yakni :
1. Madzhab Syaf’i dan Hanbali: Dapat
dijadikan sebagai landasan hukum secara mutlak.
2. Madzhab Hanafi dan Maliki: Perlu
pemilahan. Sebab kaidah ini hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang
sudah ada bukan untuk menimbulkan haknya yang baru.
Para Ulama’ yang menyedikitkan Turuqul
Istinbat meluaskan penggunaan Istishhab ,misal golongan Dhahiri,karena mereka
menolak penggunaan Qiyas.Demikian pula Madhabz Syafi’I menggunakan Istishhab
kerena tidak menggunakan Istihsan beliau menggunakannya sebagai alat untuk
menetapkan hukum.
C.
KAIDAH-KAIDAH ISTISHHAB DAN
PENERAPANNYA
Berdasarkan Istishhab ,beberapa prinsip Syara’ dibangun ,yaitu :
-
Asal
segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan)
-
Asal pada
manusia adalah kebebasan
-
(Menurut
hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan
-
(Hukum
yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (terhapus) oleh hukum yang
ditetapkan dengan) ragu-ragu.
-
Asal
sesuatu itu adalah ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan
semula,sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang mengubahnya.
Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan
ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan
shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan
Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung
jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena
tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan
benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu’ agar tidak
diragukan kebatalannya.
Yang sedikit
menggunakan Istishhab adalah Madhabz Hanafi dan Maliki karena mereka meluaskan Thurkq al-Istinbat dengan
penggunaan Istihsan ,Maslahah Mursalah dan ‘Urf.Sehingga ruang untuk
beristimbat dengan Istishhab tinggal sedikit.
D.
PENDAPAT
ULAMA’ TENTANG ISTISHHAB
Ulama’ Hanafiah
menetapakan bahwa Istishhab merupakan Hujjah
untuk menetapkan apa-apa yang di maksud oleh mereka.Jadi Istishhab merupakan
ketetapan sesuatu yang telah ada semula dan juga mempertahan sesuatu yang
berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaanya.
Istishhab bukanlah Hujjah untuk menetapkan
sesuatu yang tidak tetap telah di jelaskan tentang penetapan orang yang hilang
atau tidak di ketahui tempat tinggalnya.Istishhab yang menentukan atau
menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolak dengan kematiannya.
وَسَخَّرَ
لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً مِّنْهُ إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَآيَاتٍ لَّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan Ia telah memudahkan tiap-tiap yang
di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya” (Al-Jatsiyyah :
13)
E.
KEDUDUKAN
ISTISHHAB SEBAGAI METODE ISTINBAT HUKUM
Para ulama’ telah berbeda pendapat dalam menyatakan
kedudukan Istishhab sebagai dalil syara' kalangan ulama’ dalam mazhab Maliki,
Hambali, dan Syafi'i menjadikan Istishhab sebagai dalil yang menetapkan hukum
yang telah ada selama mana tidak ada dalil dalam menetapkan hukum yang telah
ada selama mana tidak dalil yang mengubahnya, baik secara qath'I atau dhonni
maka hukum itu tetap berlaku kerana di andaikan belum ada perubahan
terhadapnya.
Manakala kalangan ulama’ mutakallimin
menyatakan bahawa Istishhab tidak boleh di jadikan sebagai dalil kerana mereka
menyatakan hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu mestilah bersandarkan
kepada dalil, begitu juga dalam menetapkan hukum dalam perkara sekarang dan
yang akan datang.
Pendapat ulamak mutaakhirin menyatakan
boleh menerima Istishhab sebagai hujjah untuk menetapkan hokum yang telah ada
sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa datang sehingga ada
dalil mengubahnya, namun Istishhab tidak boleh digunakan menetapkan hukum yang
akan ada (baru).
Jadi berdasarkan pendapat ini sesuatu
hukum yang telah berlaku dan tidak ada dalil yang membatalkannya maka hukum
tersebut terus berjalan, namun dalam nya tidak di pakai dalam menetapkan hukum
yang baru.
F.
KEHUJJAHAN
ISTISHHAB
Ahli ushul fiqh berbeda pendapat tentang
ke-Hujjah-an Istishhab ketika tidak ada
dalil Syara’ yang
menjelaskannya,antara lain :
1. Menurut
mayoritas Mutakallimin (ahli kalam) Istishhab
tidak dapat di jadikan dalil,karena hukum yang ditetapkan pada masa
lampau menghendaki adanya dalil. Demikian pula untuk menetapkan hukum yang sama
pada masa sekarang dan masa yang akan datang,harus berdasarka dalil.
2. Menurut
mayoritas Ulama’ Hanafiyah, khususnya Muta’akhirin Istishhab bisa dijadikan Hujjah untuk menetapkan
hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada
masa yang akan datang,tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.
3. Ulama’
Malikiyyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zahiriyyah dan Syi’ah berpendapat bahwa Istishhab bisa dijadikan Hujjah secara mutlaq untuk
menetapkan hukum yang telah ada selama belum ada dalil yang mengubahnya.Alasan
mereka adalah bahwa sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu,selama tidak
ada dalil yang mengubahnya baik secara qath’I
maupun Zhanni, maka
hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus,karena diduga keras belum ada
perubahanya.
G.
ANALISIS
Jika hukum Istishhab ini kita lihat
sekilas tanpa kita pahami,maka akan ada banyak perbedaan dikalangan muslim satu
dengan lainnya dalam mengambil sikap untuk menentukan suatu hukum.Bukankah ini
akan menimbulkan perpecahan dalam islam?
Perbedaan pendapat
untuk menentukan hukum dalam Fiqih itu hal yang biasa,karena dasarnya Akal
bukan wahyu, tidak mengikat untuk seluruh umat islam dan sifatnya “Dhonni”. Perpecahan
terjadi bukan karena perbedaan pendapat tetapi karena manusianya yang belum
paham tentang fiqih.
H.
KESIMPULAN
Setelah membaca dan
memahami penjelasan diatas dapat kami ambill kesimpulan bahwa Istishhab dapat digunakan
sebagai dasar hukum setelah Al-qur’an,As-sunnah,Ijma’ dan Qiyas.Karena “Pangkal sesuatu itu adalah boleh”
Selama belum ada dalil yang merubah
ketetapan hukum tersebut,maka sesuatu itu tetap dihukumi boleh. Dengan catatan selama tidak bertentangan
dengan Al-qur’an dan As-sunnah.
DAFTAR
PUSTAKA
- Abdullah, Sulaiman. (1995). Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
- Mubarok, Jaih. (2002). Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press.
- Salam, Zarkasji Abdul. , Oman Fathurohman. (1994). Pengantar Ilmu Fiqh Ushul Fiqh I. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
- Rahmah, Nurur. (2012). “Makalah Istishab”. From http://E://Nurur_Rahmah%20%20Makalah%20Istishab.htm, 3 Mei 2013.
- Hazin, Mufarrihul. (2011). “Kumpulan Makalah Ushul Fiqh Lengkap”. From http://Kumpulan%20Makalah%20Ushul%20Fiqh%20Lengkap%20~%20SUMBER%20BACAAN.htm, 3 Mei 2013.
- Putra, Ahmad Nanda Trisna. (2011). “Resume Ushul Fiqh (Istihsan, Istishab, Syar’u Man Qablana, Urf,Sadz Ddzariah)”. Fromhttp://ahmadnandatrisnaputra.blogspot.com/2011/12/resume-ushul-fiqh-istihsan-istishab.html?m=1, 3 Mei 2013.
- Barnur, Abidin. (2011). “Pengertian Istishab dan Contohnya”. From http://barnur.blogspot.com/2011/08/pengertian-istishab-dan-contohnya.html?m=1, 3 Mei 2013.
Komentar
Posting Komentar