Oleh:
Abdul
Ghoni (11510064); Wahyu Istiqomah (11510059); Siti Komariyah (11510061); dan Ariyan Maghfuroh (11510060)
A. PENGERTIAN
IJTIHAD
Ijtihad
yang berasal dari kata ijtihada اجتهد artinya ialah bersugguh-sungguh, rajin, giat.
Sedang apabila kita meneliti ma’na kata ja-hada artinya ialah mengerahkan
segala kemampuan. (lih. Kamus Almunawwir h. 234)
Jadi
dengan demikian menurut bahasa ijtihad itu ialah berusaha atau berupaya yang
sungguh-sungguh. Perkataan ini tentu saja tidak akan dipergunakan didalam
sesuatu yang tidak mengandung kesulitan atau keberataan. Saiyid Muhammad
al-Khudloriy, didalam kitabnya ushuluiqh (h.367), demikian pula Dr. wahbah
Az-Zuhailiy didalam kitabnya al-Wasith fi Ushulil fiqhil Islamiy (h. 590)
memberikan contoh :
اجتهدفى حمل حجرالرّحا
(Dia berusaha keras membawa batu
giling) dan tidak akan dikatakan:
اجتهدفى
حمل خردلة
(berusaha sungguh-sungguh membawa sebiji-bijian)
Kemudian
dikalangan para ‘ulama’ perkataan ini khusus digunakan dalam pengertian usaha
yag sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (al-faqih) dalam mencari tahu
tentang hukum-hukum syai’at islam. Jadi dengan demikian ijtihad itu ialah perbuatan-perbuatan
istimbath hukum syar’iyyah dari segi dalilnya yang terperinci didalam syari’at.
(Dr. Wahbah az-Zuhailiy. h. 592)
Imam
al-Ghozaliy, yang diikuti juga oleh khudloriy mendefinisikan ijtihad itu dengan
“usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dengan sungguh-sungguh didalam
rangka menetapkan tentang hukum-hukum syari’ah. (Dr. Wahbah 591)
Al-‘Allamah
Al-Khudari mengatakan bahwa :
الأجتهادهوبذل الجهدفى
استنباط الحكم الشّرعيّ ممّااعتبرالشارع دليلا,وهوكتا ب الله وسنّة نبيّه
وهونوعان:
الأوّل: أخذلحكم من
ظواهرالنّصوص اذاكان محلّ الحكم ممّاتتناوله تلك النصوص.
الثّانى: أخذلحكم من
معقول النّصّ علّة معلّل بهاأمستنبطة ومحلّ الحادثة ممّايوجدفيه تلك العلّة
والنّصّ لايشمله وهذاهوالمعروف بلقياس.
“ ijtihad itu ialah :
memberi kesanggupan untuk mengistinbathkan hukum syar’I dari yang telah
dipandang dalil oleh syara, yaitu : kitabullah sunnatur Rasul”.
Dan
ijtihan itu terbagi menjadi dua:
1. Mengambil
hukum dari dhahir nash, yaitu ketika tempat-tempat yang diberikan hukum itu
dilengkapi oleh nash.
2. Mengeluarkan
hukum dari memahamkan nash.
Umpamanya, sesuatu nash
mempunyai ‘illat, maka disamakanlah dengan hukum nash itu, hukum sesuatu yang
didapati padanya ‘illat yang sempurna serupa. Dialah yang dinamakan qiyas.
(Hasbi Ash Shiddieqy. 63)
B. DASAR
IJTIHAD
Keetapan
adanya ijtihad, dan hal ini merupakan pokok syari’at. Dapat diketahui baik
dengan isyarat ataupun dengan jelas-jelas didalam ajaran-ajaran agama, yaitu
didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Misalnya firman Allah
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$# 4
(Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah
wahyukan kepadamu) (Q.S 4 : 105)
Ayat
ini menunjukkan ketepata ijtihad dengan jalan qiyas, demikian Dr.wahbah yang
menukilkannya dari Asysya-thibiy didalam al-Muwafaqot juga dalam firman Allah seperti
¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇÌÈ
Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan. (Q.S Ar-Ra’d :3)
As-sunnah
pun membolehkan melakukan ijtihad itu, diantaranya didalam sunah yang dikutip
oleh Asy-Syai’iy didalam ar-Risalah meriwayatkan dengan sanadnya dari ‘Amr bin
‘Ash yang mendengar Rasulullah saw bersabda:
إذا حكم الحا كم فاجتهد
فأصاب فله أجران, واذاحكم فجتهد ثمّ أخطأ فله أجرواحد
Apabila
seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian ia benar maka ia
mendapatkan dua pahala, tetapi apabila ia menetapkan hukum, berijtihad dan ia
lalu salah, ia mendapatkan satu pahala saja.
Juga
demikian juga hadits mu’adz ketika diutus oleh Nabi sebagai hakim ke Yaman.
Nabi bertanya kepadanya:
كيف تقضي إذا عرض لك قضاء
قال أقضي بكتاب الله قال فإن لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله
عليه وسلم قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله
قال أجتهد رأيي ولا آلو
Nabi
bertanya kepadanya : dengan apa kamu memutuskan perkara Mu’adz : Dengan sesuatu
yang terdapat didalam Kitabullah.
Nabi : Kalau tidak engkau dapati
dalam kitabullah?
Mu’adz : saya akan memutus sesuatu yang
telah diputuskan oleh Rasulullah saw
Nabi : kalau tidak engkau dapati apa
yang diputuskan oleh rasulullah saw
Mu’adz
: saya akn ber’ijtihad dengan
menggunakan pikiran saya
Nabi : segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufiq kepada utusan dari utusannya.
Sahabat
Abu Bakar sebagai diriwayatkan oleh Ibnu Hazmin dalam al-Ihkam fi ushulil Ahkam
(VI/785) apabila dalam menghadapi sesuatu dan tidak mendapatkan penyelesaiannya
didalam Al-Qur’an atau dalam As-Sunnah, beliau melakukan ijtihad.
Asy-Syaikh
Muhammad khudloriy, didalam kitabnya Ushulul Fiqh (h. 368), mengemukakan
hukum-hukum ijtihad itu sebagai berikut:
1. Wajib
ainiy yaitu bagi seseorang yang ditanyai akan suatu peristiwa, dan peristiwa
itu akan hilang sebelum diketahui hukumnya. Atau ia sendiri mengalami sesuatu
peristiwa yang ia sendiripun juga mengetahui hukumnya.
2. Wajib
kifa-iy yaitu apabila seseorang ditanyai tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak
hilang sebelum diketahui hukumnya, dan disamping itu masih ada mujtahid yang
lain. Apabila salah seorang mujtahid saja sudah menyelesaikan soal itu, atau
sudah ada seorang saja yang berijtihad menyelesaikan soal tersebut, kewajiban
tersebut sudah gugur atas yang lain-lain. Artinya ijtihad satu orang tersebut
sudah membebaskan beban kewajiban berijtihad. Tetapi apabila tiak seorangpun
yang melakukan ijtihad dari kalangan mujtagidin, mereka semua berdosa.
3. Sunnat
yaitu hukum atas sesuatu yang belum terjadi, baik hal itu ditanyakan ataukah
tidak.
Di dalam hal ini lebih-lebih apabila
yang dikemukakan itu tidak akan pernah terjadi.
Dengan demikian jelaslah kepada kita,
ijtihad itu diserukan sekali oleh syari’at walaupun. Tentu untuk menjadi
mujtahid, diperlukan syarat-syarat tetentu.
C.
RUANG LINGKUP IJTIHAD
Ruang
lingkup ijtihad ialah furu' dan dhoniah yaitu masalah-masalah yang tidak
ditentukan secara pasti oleh nash Al-Qur'an dan Hadist. Hukum islam tentang
sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil dhoni atau ayat-ayat Al-qur'an dan hadist
yang statusnya dhoni dan mengandung penafsiran serta hukum islam tentang sesuatu
yang sama sekali belum ditegaskan atau disinggung oleh Al-qur'an,hadist, maupan
ijma' para ulama' serta yang dikenal dengan masail fiqhiah dan waqhiyah
berijtihad dalam bidang-bidang yang tak disebutkan dalam Al-qur'an dan hadist
dapat ditempuh dengan berbagai cara:
1.
Qiyas atau analogi adalah salah satu metode ijtihad, telah dilakukan sendiri oleh
rosulullah SAW. Meskipun sabda nabi merupakan sunnah yang dapat menentukan
hukum sendiri.
2.
Memelihara kepentingan hidup manusia yaitu menarik manfaat dan menolak madlarat
dalam kehidupan manusia.
D.
MUJTAHID DAN SYARAT-SYARAT MENJADI SEORANG
MUJTAHID
Mujtahid
ialah orang yang berijtihad. Berbicara tentang syarat-syarat orang mujtahid tidak
lain berbicara tentang syarat-syarat ijtihad.
Imam
al-Ghozaliy didalam kitabnya al-Mustasha (II/102) meyatakan, mujtahid mempunyai
dua syarat:
Mengetahui
dan menguasai syara’, mampu melihat yang dzon didalam hal-hal yang sya’I,
mendahulukan apa yang wajib dilakukan dan membelakangkan apa yang mesti
dikemukakan.
Ia
hendaknya seroang yang adil, menjauhi segala ma’siyat yang membuat cemarkan
sifat dan sikap keadilan, ini penting karena syarat ini menjadi landasan apakah
fatwanya dapat dijadikan pegangan atau tidak.
Asy-Syathibiy
menyatakan seorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila ia memiliki dua
sifat:
Mengerti
dan faham akan tujuan-tujuan syari’at dengan penuhnya, sesempurnanya, secara
keseluruhannya
Mampu
melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertiannya terhadap tujuan-tujuan
syari’at tersebut.
E.
TINGKATAN-TINGKATAN MUJTAHID
Kemampuan
dan minat seseorang terbatas. Bahkan ada orang yang puas dengan mengikut saja.
Sejalan
dengan kemampuan dan minat itu, para mujtahid juga betingkat-tingkat.
1. Mujtahid
Mutlaq
Yaitu seorang mujtahid yang mampu
memberikan fatwa dan pendapatnya dengan tidak teikat kepada madzhab apapun.
Bahkan justru menjadi pendiri madzhab. Sebagaimana halnya sebagai keempat Imam
tokoh-tokoh madzhab Hanafiy, Syafi’iy, Ahmad bin Hanbal dll.
2. Mujtahid
Muntasib
Yaitu seorang yang memiliki
syarat-syarat untuk berijtihad akan tetapi ia menggabungkan diri kepada sesuatu
madzhab dengan mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh imam madzhab itu.
F.
MACAM-MACAM IJTIHAD
Dr.
Ad-Duwa-libi membagi macam ijtihad kepada tiga macam yang diantaranya:
Al-Ijtihadul
Bayaniy, yaitu menjelaskan hukum-hukum syar’iyah dari nash-nash syar’I (yang
memberi syari’at yang menentukan syari’at)
1. Al-Ijtihadul
Qiyasiy yaitu meletakan hukum-hukum syar’iyah untuk
kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa yang tidak terdapat didalam al-Kitab dan
As-Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat didalam
nash-nash hukum syar’i.
2. Al-Ijtihadul
ishthishlahiy, inipun juga meletaka hukum-hukum syar’iyah, untuk
peristiwa-peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat didalam al-Kitab dan
As-Sunnah dengan menggunakan ar-ro’yu yang disandarkan atas ishthishlah.
Seperti
yang diungkapkan muhammad Taqiyu
al-hakim dengan mengemukakan
beberapa
alasan, diantaranya jami’ wal mani.
Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
1. ijtihad al-aqli
yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil
syara’.
2. ijtihad syari’,
yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah
ijma’, qiyas, istihsan, istislah, ‘urf, istishab.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. A. Mu’in, dkk.
1986. Ushul Fiqh. Jakarta. Proyek pembinaan sarana dan prasarana Perguruan
Tinggi Agama Isam/IAIN.
Prof. Dr. T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy. 1958. PENGANTAR HUKUM ISLAM. Jakarta. Bulan Bintang.
Khallaf, Abdul Wahab,
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996.
Komentar
Posting Komentar