Oleh: Irwina Safitri (11111052); Siti Zulaikha (11111133); dan Yuanita (11111218)
A.
Pengertian
Hibah
1. Hibah
Menurut bahasa (harfiah), hibah
berarti pemberian atau memberikan. Menurut istilah, Hibah ialah memberikan
sesuatu hak milik kepada orang lain untuk memilikinya dengan maksud berbuat
baik dan yang dilakukan dalam masa hidup.
Menurut Imam
Hanafi : Hibah ialah memberikan hak memiliki suatu benda dengan tanpa ada
syarat harus diganti kepada orang lain dengan tanpa imbalan.
Menurut Imam
Maliki : Hibah ialah memberikan hak memiliki suatu zat/materi dengan tanpa
mengharapkan ganti rugi/imbalan, semata-mata hanya diperuntukkan bagi orang
yang diberi (Mauhub Lah). Artinya si
pemberi hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya saja tanpa mengharapkan
imbalan pahala dari Allah SWT.
Hukum hibah adalah mubah (
boleh ), sebagaimana sabda Rasulullah sebagai berikut : Artinya : "Dari
Khalid bin Adi sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda "siapa yang diberi
kebaikan oleh dengan tidak
berlebih-Iebihan dan tidak karena diminta maka hendaklah diterima jangan
ditolak. Karena sesungguhnya yang demikian itu
merupakan rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya". (HR. Ahmad).
2. Rukun hibah
a. Orang yang memberi: orang yang memiliki benda itu dan
yang berhak mentasyarrufkannya.
b. Orang
yang diberi, syaratnya orang yang berhak memiliki.
c. Ijab
dan qabul.
d. Barang
yang diberikan, syaratnya barang yang dihibahkan itu jelas terlihat wujudnya.
e. Barang
yang di hibahkan adalah barang yang memiliki nilai atau harga. Barang yang di
hibahkan itu adalah betul-betul milik orang yang memberikan hibah dan berpindah
status pemiliknya dari tangan pemberi hibah ke tangan penerima hibah.
3. Syarat hibah ( ulama Hanabilah
ada 11 ) :
a. Hibah dari harta yang boleh di tasharrufkan.
b. Terpilih
dan sungguh-sungguh.
c. Harta
yang diperjualbelikan.
d. Tanpa
adanya pengganti.
e. Orang
yang sah memilikinya.
f. Sah
menerimanya.
g. Walinya
sebelum memberi dipandang cukup
waktu.
h. Menyempurnakan
pemberian.
i.
Tidak disertai syarat
waktu.
j.
Pemberi sudah dipandang
mampu tasharruf (merdeka, dan mukallaf).
k. Mauhub
harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan.
4. Hikmah hibah diantaranya:
a. Menumbuhkan
rasa kasih sayang kepada sesama.
b. Menumbuhkan
sikap saling tolong menolong.
c. Dapat
mempererat tali silaturahmi.
d. Menghindarkan
diri dari berbagai malapetaka.
B.
Pengertian
Hadiah
1. Hadiah
Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang
dengan maksud untuk memuliakan
atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya agar
saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan
dan saling menghormati antara sesama.
Hadiah juga merupakan pemberian
seseorang yang sah memberi pada masa hidupnya, secara kontan tanpa ada syarat
dan balasan”. [1]
Disebutkan dalam hadits, dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau
bersabda : “Wahai, wanita muslimah. Janganlah kalian menganggap remeh pemberian
seorang tetangga kepada tetangganya, sekalipun ujung kaki kambing”. (HR Bukhari, no. 2566.
Lihat Fathul Bari, 5/198).
Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu, dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Saling memberi hadiahlah
kalian, niscaya kalian saling mencinta”. (HR
Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 594. Ibnu Hajar berkata,”Sanadnya shahih”.
Hukum hadiah adalah boleh ( mubah ).
Nabi sendiripun juga sering menerima dan memberi hadiah kepada sesama muslim,
sebagaimana sabdanya: Artinya: "Rasulullah SAW menerima hadiah dan beliau
selalu membalasnya". (HR. AI Bazzar).
2. Rukun
Hadiah
Rukun hadiah dan rukun hibah sebenarnya
sama dengan rukun shadaqah, yaitu :
a. Orang
yang member:
syaratnya orang yang memiliki benda itu dan yang berhak mentasyarrufkannya
b. Orang yang diberi: syaratnya orang yang
berhak memiliki
c. Ijab
dan qabul: Barang yang diberikan,
syaratnya barangnya dapat dijual.
3. Syarat Hadiah
a. Orang
yang memberikan shadaqah atau hadiah itu sehat akalnya dan tidak dibawah
perwalian orang lain. Hadiah dari orang gila, anak-anak dan orang yang kurang
sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan hadiahnya.
b.
Penerima haruslah orang
yang benar-benar memerlukan karena keadaannya yang terlantar. Penerima shadaqah
atau hadiah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi shadaqah atau hadiah
kepada anak yang masih dalam kandungan tidak sah.
c. Barang
yang dishadaqahkan atau dihadiahkan harus bermanfaat bagi penerimanya.
4. Hikmah
Hadiah
a. Menjadi
unsur bagi suburnya kasih sayang
b. Menghilangkan
tipu daya dan sifat kedengkian.
Sabda Nabi
Muhammad SAW. :
تَهَادُوْافَإِنَّ الهَدِيَّةَتُذْهِبُ وَحَرَّالصَّدْرِ (رواه ابو يعلى)
“Saling
hadiah-menghadiahkan kamu, karena dapat menghilangkan tipu daya dan kedengkian”
(HR. Abu Ya’la).
عَلَيْكُمْ بِالْهَدَايَافَاِنَّهَاتُورِثُ
الْمَوَدَّةَوَتُذْهِبُ
الضَّغَائِنَ (رواه
الديلمى)
“Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena ia
akan mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian” (HR.
Dailami).
C.
Pengertian Perlombaan
1. Perlombaan
Perlombaan dalam bahasa arab adalah musabaqoh. Perlombaan termasuk olah
raga terpuji, hukumnya berubah-ubah, tergantung niatnya. Perlombaan disyariatkan karena
termasuk olahraga yang terpuji. Asal perlombaan adalah dibolehkan. Hal ini
dibuktikan dalam beberapa hadits dan juga klaim ijma’ (kesepakatan para ulama).
Apalagi jika lomba tersebut sebagai persiapan untuk jihad seperti lomba memanah
atau pacuan kuda, para ulama sepakat akan sunnahnya, bahkan hal ini adalah
ijma’ (kesepakatan) mereka. Bahkan kadangkala hukum melakukan lomba memanah dan
pacuan kuda bisa jadi wajib (fardhu kifayah) di kala diwajibkannya jihad.
Mengenai
persiapan jihad, Allah Ta’ala berfirman,
وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja
yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat” (QS. Al Anfal: 60).
Yang dimaksud dengan kekuatan apa saja, ditafsirkan dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan memanah (HR. Muslim no. 1917).
2.
Syarat Perlombaan
a. Bila ada hadiah, maka hadiah itu
harus mubah dan diketahui.
b.
Tidak boleh ada unsur perjudian.
c. Tidak melalaikan kewajiban agama
d. Tidak dicampuri dengan taruhan
e. Tidak muncul ditengah permainan
hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Allah.
3. Hukum
Musabaqah ada tiga
macam.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
“perlombaan ada tiga macam:
a.
Perlombaan yg
dicintai oleh Allah SWT dan RasulNya seperti lomba berkuda,
memanah dan sebagainya yg tujuannya adalah persiapan untuk jihad. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak ada
perlombaan kecuali pada khuff (unta) atau panah atau hafir (kuda)”.
Madzhab
hanafiyah memasukkan dalam golongan ini perlombaan menghafal Al Qur’an, hadits
dan fiqih dan dipilih oleh syaikhul islam ibnu Taimiyah.
b.
Perlombaan yg
dibenci oleh Allah SWT dan RasulNya SAW yaitu yang dapat menimbulkan
kebencian dan permusuhan dan menghalangi dari dzikir kepada Allah
SWT dan shalat. Seperti maen kartu remi
dan sebagainya.
c.
Perlombaan yang
tidak dicintai oleh Allah SWT tidak juga dimurkai, hukumnya mubah
seperti lomba lari, lomba renang, adu gulat dsb.
4. Hukum Perlombaan Berhadiah
Syaikh Abdurrahman As Sa’di
rahimahullah berkata: “Mengambil ‘iwadl (hadiah) dalam perlombaan ada tiga
macam:
a. Perlombaan
yang diperbolehkan tanpa hadiah dan tidak boleh mengambil hadiah seperti
perlombaan balap mobil, perahu dsb.
b.
Perlombaan yang
tidak boleh dilakukan baik dengan hadiah maupun tanpa hadiah, yaitu setiap
perlombaan yg menjerumuskan kepada dosa dan permusuhan.
c. Perlombaan
yang diperbolehkan baik dengan hadiah ataupun tidak, yaitu perlombaan dalam
memanah, berkuda dan unta sebagaimana ditunjukkan oleh hadits di atas.
5. Hukum
Mengeluarkan Harta (hadiah) Dalam Perlombaan.
Para ulama menyebutkan tiga keadaan:
a. Hadiah
dari gubernur atau yang semacamnya. Hukumnya boleh dengan ijma para ulama.
b. Hadiah dari salah satu peserta lomba, seperti si A
berkata kepada kpd si B: ayo lawan aku dalam perlombaan, jika kamu menang saya
akan memberikan hadiah untukmu, dan jika kamu kalah maka kamu tidak ada
kewajiban apa-apa. Hukumnya juga boleh menurut seluruh ulama kecuali yg
diriwayatkan dari Al Qasim bin Muhammad. Namun
yang shahih boleh karena ini sama dengan hadiah dan tidak ada makna perjudian.
c. Hadiah
dari semua peserta, dimana setiap peserta mengeluarkan uang dan yang menang
mengambil semua uang tsb. Hukumnya: terjadi khilaf para ulama: jumhur
menyatakan haram kecuali bila ada pihak ketiga yang disebut muhallil, alasannya
karena ini adalah bentuk perjudian karena hakikat perjudian adalah seseorang
berada diantara untung atau rugi. Dan ini ada dalam perlombaan seperti itu.
Namun untuk
perlombaan yang dicintai oleh Allah dan RasulNya yaitu perlombaan yang
mendukung jihad seperti lomba memanah, dan berkuda, syaikhul islam
membolehkannya secara mutlak, dan beliau memandang bahwa itu pengecualian dari
perjudian karena mashlahatnya besar.
D.
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas
mengenai hibah, hadiah, dan perlombaan, kami dapat menyimpulkan bahwa:
1.
Hibah adalah memberikan
sesuatu hak milik kepada orang lain untuk memilikinya dengan maksud berbuat
baik dan yang dilakukan dalam masa hidup.
2.
Hadiah adalah pemberian
sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk memuliakan atau memberikan penghargaan.
Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah.
Karena yang demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati
antara sesama.
3.
Perlombaan dalam bahasa arab disebut dengan musabaqah
termasuk olah raga terpuji, hukumnya berubah-ubah, tergantung niatnya. Perlombaan disyariatkan karena
termasuk olahraga yang terpuji.
Dari pengertian tersebut maka terlihat jelas bahwa
hibah, hadiah, dan perlombaan bukan sesuatu hal yang mudah atau gampang dalam
kehidupan nyata. Semua harus diawali dengan niat yang baik, tulus, dan ikhlas
sehingga tidak merubah arah dari arti dan maksud yang sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm.
2/500-503
Karim, Helmi,
1997, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo
Rusyd,
Ibnu, 2007, Bidayatul Mujtahid, Jakarta : Putaka Amani, jilid. 3.
Fiqih Musabaqah (Perlombaan).
Suhendi,Hendi. Fikih
Muamalah. Jakarta : Raja Gravindo, 2010
Syafe’i,
Rachmat, 2006, Fiqh Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, cet. 3
Assalamu'alaikum wr wb.
BalasHapusSaya ingin bertanya mengenai Hibah.
Untuk pengertiannya memang sudah jelas secara umum hibah adalah pemberian sesuatu/hak milik kepada seseorang dengan maksud yang baik dan bertujuan untuk supaya barang itu bisa bermanfaat untuk sesorang yang kita hibah i.
Tetapi apabila orang yang telah kita beri hibah malah menyalah gunakannya.
Contohnya seperti ini:
Saya memberikan sebotol obat nyamuk "Baigon" kepada tetangga saya, dengan maksud supaya tetangga saya dapat memanfaatkannya untuk mengusir nyamuk dirumahnya karena musim sedang hujan dan sedang banyak wabah nyamuk DBD yang menyebar.
Tetapi setelah satu hari berselang, terdengar kabar bahwa tetangga saya mati bunuh diri dengan meminum obat nyamuk baigon tersebut.
Pertanyaannya, apakah saya harus ikut bertanggungjawab atas kematian dan atas kesalahan saya karena saya memberikan obat baigon tersebut?
Bagaimana tanggapan dari kelompok anda?
Ahmad Zamroni 111-11-169